You never get a second chance to make a first impression.
-Andrew Grant
But there’s always a chance to make a better perception after all.
-Kanietha
Genta baru saja keluar dari sebuah butik khusus anak, dengan menenteng satu paper bag besar, berisi pakaian dan mainan anak perempuan tentunya. Buat siapa lagi kalau bukan untuk keponakan kesayangannya, Giana, anak Zio dan Lastra. Bibirnya selalu membentuk lengkungan sempurna saat Genta kembali mengingat tingkah lucu dari Giana yang saat ini sudah berusia 20 bulan, apalagi Giana saat ini sudah bisa memanggilnya dengan Ayah. Hati Genta menghangat seketika bila memikirkan itu semua.
Namun senyumnya tiba-tiba memudar saat ia melihat punggung seorang gadis memakai seragam putih, rok abu-abu dengan gaya rambut boyish model faux hawk berwarna kecoklatan, sedang mengendap-endap di samping jeep wrangler rubicon-nya. Genta segera menggebrak badan mobilnya hinga membuat gadis tersebut berjengit melompat kaget dan berbalik seraya mengusap dadanya.
“Mau maling lo, bocah!” sergap Genta dengan tatapan mengintimidasi.
Bukannya takut, tapi gadis itu malah tertegun melihat sosok Genta yang terlihat dewasa namun penampilannya masih fresh layaknya ABG, dengan memakai jaket denim dan jeans warna senada. Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, memandang takjub ke arah Genta.
“Woi! Lo mau gue laporin satpam!” Genta lalu berjalan berniat untuk mendatangi satpam di salah satu toko namun tubuh gadis itu dengan sigap menghalanginya.
“Om! Jangan Om, gue bukan maling, sumpah!”
“Am, Om, Am, Om, emang kapan gue nikah sama Tantel lo!”
Gadis itu nyengir lalu menoleh sekilas ke sebuah pertokoan yang memang sejak tadi ia intai. “Gue cuma lagi ngikuti Bapak gue ke sini, dia sama cewek barunya Om! Noh tadi masuk ke dalam sana, gue lagi nunggu mereka keluar!” Ujar gadis itu sambil mengarahkan telunjuknya pada salah satu ruko.
Genta memasukkan telunjuknya ke dalam lubang telinga dan menggoyangkannya sebentar. “Hah? Apa lo bilang tadi? Bokap lo sama cewek barunya?”
Gadis mengangguk tanpa ragu. Maniknya kini kembali mengawasi ruko tadi.
Genta menghela nafas, melihat arloji pada pergelangan tangannya, lalu berdecak. “Minggir lo, gue mau cabut!”
“Ehh!” Gadis itu menggaruk kepalanya, lalu merapikan rambut bagian tengahnya dengan menariknya ke atas untuk mempertegas model mowhaknya.
“Lo itu cewek apa cowok sih sebenernya?” tanya Genta yang sudah membuka pintu mobilnya dan meletakkan paper bag pada kursi penumpang di sampingnya.
“Androgini Om, kan lagi ngetrend,” jawab gadis itu asal tanpa menoleh ke Genta. “Om, gue juga mau cabut, tuh Bapak gue dah keluar.” Ia lalu berlari dengan cepat menghampiri kedua manusia yang baru saja keluar dari sebuah ruko.
Genta baru saja hendak menstarter mobilnya, saat ia melihat gadis itu menarik kasar bahu wanita yang ia katakan sebagai kekasih baru Ayahnya lalu menamparnya saat itu juga. Genta bahkan bisa mendengar teriakan minta tolong dari wanita yang kini sudah berada di bawah tubuh gadis SMA yang tadi bersamanya.
Manik Genta lalu melebar saat melihat gadis itu, di tarik paksa oleh seorang pria paruh baya dan menghempaskan tubuhnya ke sudut dinding. Lalu ia melihat sebuah tamparan berhasil didaratkan oleh pria itu pada pipi gadis tersebut.
Genta spontan keluar dari mobil, berlari mendatangi gadis berseragan SMA yang sudah dikerumuni oleh beberapa orang. Ia sudah berfikiran yang tidak-tidak, khawatir pada kondisi gadis tersebut namun ia terkesiap saat melihatnya masih berdiri dengan tegar hanya mengusap pelan pipinya yang hampir membiru dengan mulut yang tak henti mengumpat. Genta melihat sekeliling dan tidak mendapati pria paruh baya ataupun wanita yang tadi berurusan dengan gadis SMA itu.
Genta mendekat. “Lo gak papa?”
Lagi, gadis itu terkesiap dengan mata melebar lalu sedikit meringis memegang pipinya. “Eh Om, kirain udah pergi.”
“Ck, ikut gue!” Genta menarik tangan gadis itu dan menyuruhnya masuk ke dalam mobilnya. “Tadi beneran bokap lo? Sama pacar barunya? Yang nampar elo?”
“Iya Om. Bapak gue.” Masih sambil meringis memegangi pipinya, lalu memandang ke dalam paper bag yang berada di sampingnya. “Habis belanja ya Om, buat anaknya?”
Genta tidak menjawab, namun rahangnya mengetat seketika, ia langsung melajukan mobilnya untuk mencari apotik terdekat.
“Mau kemana Om?” tanya gadis itu lagi.
Genta lagi-lagi tidak menjawab, tapi menghentikan mobilnya di depan apotik, keluar sebentar lalu kembali dengan membawa salep untuk meredakan rasa sakit dan memarnya.”Pake nih, buat pipi lo, nanti sampai rumah langsung di kompres.”
Gadis itu hanya diam sambil membolak-balik salep yang di beri oleh Genta.
Genta memasang sabuk pengamannya dan kembali melajukan mobilnya. ”Seharusnya tadi lo bisa bicara baik-baik, jangan main hajar aja kayak preman, lo itu cewek!”
“Emang kenapa kalau cewek? Gak boleh gitu hajar orang, apalagi tu orang dah bikin Emak gue sakit hati!” ucap gadis itu berapi-api.
Genta menggelengkan kepalanya, ia berfikir sebaiknya tidak ikut campur dalam urusan orang lain. “Nama lo siapa?” tanya Genta mengalihkan pembicaraan.
“Nama gue Hening, nama Om siapa?”
“Hening? Hening siapa?”
“Ya Hening, Hening aja, Hening doang!” Hening memutar tubuhnya memperlihatkan badge nama yang terjahit pada dada kanannya. “Nih Om, bisa baca sendiri kan, HENING! Kalau Nama Om siapa?” Hening bertanya sekali lagi
“Genta,” jawabnya singkat, melirik sekilas pada badge nama di dada Hening, lalu kembali berkonsentrasi dengan kemudinya.
“Genta! Genta siapa Om? Genta aja? Genta doang?”
Genta menarik telinga Hening sehingga membuat tubuh gadis itu mendekat ke arahnya. “Dengerin dan inget baek-baek, jangan sampek salah, nama gue Genta Aria Abhiraja!” Lalu melepaskan telinga Hening begitu saja hingga membuat gadis itu mengaduh. Dan benar saja telinganya kini terlihat memerah saat ia mengeceknya lewat kaca di spion samping.
“Nama lo, serius Hening doang? Gak pake embel-embel apa gitu?”
“Gak ada! kalau versi emak gue, katanya waktu lahir gue gak oek-oek Om, terus lahirnya pas tengah malam pula, jadi heniiing gitu suasananya. Nah, kalau versi Bapak gue yang gesrek itu, katanya pas mereka bedua bikin gue, Emak gak ada suaranya sama sekali! diem aja kaya’ gedebog pisang. Iya kali pas emak gue dikasi obat tidur sama dia, emang gue gak tau apa kalau gue sudah tanya emak, gimana dulu waktu bikin gue. Bapak gue mabok katanya,” tutur Hening dengan polosnya.
Mulut Genta antara hendak tertawa, sekaligus mengumpat mendengarnya. Namun ia tahan karena kalau sudah menyangkut orang tua, hal itu bukanlah lelucon yang lucu baginya. “Mulut lo, kalau ngomong disaring dulu. Gitu-gitu dia juga Bokap elo. Gak ada dia lo gak jadi.”
Hening hanya mendengkus malas mendengar ocehan Genta, membuka salep yang ada di tangannya dan mengoleskannya pada pipi kirinya.
“Rumah lo di mana ini, cepetan, gue masih ada urusan!”
“Antar ke sekolah aja Om, tas gue masih di sekolah soalnya, entar gue pulangnya jalan kaki, rumah gue deket sekolah kok.”
“Ck, sekolah lo, dimana?”
“SMA Negeri Taruna 1 Om, Tau gak?”
Genta berfikir sejenak. “Iya, tau-tau, Lo bolos?”
“Eh gak ya, hari ini kan pengumuman kelulusan Om, baru tadi gue mau coret-coret ikut konvoi, ehh tau-tau lihat bapak gue lewat sama ceweknya, ya udah gue kejar naik ojek!” sungut Hening.
“Terus apa yang lo dapat? Gak dapat apa-apa kan? Malah pipi lo jadi bengeb.”
“Cuma di gampar doank, biasa kali Om, gak kaget gue sih.” Bibir hening lalu melengkung membentuk senyum licik. “Tapi gue puas, tadi udah ngegampar tuh cewek, mukanya udah gue cakar,” lanjutnya sembari terkekeh puas.
“Mau jadi preman lo?”
“Tadinya sih gitu. Tapi emak gue ngelarang! Om.” Hening mengangkat kakinya lalu bersila dengan cueknya. “Katanya, jangan sampe ikutin jejak bapak gue, emak gak bakal ridho dunia akherat.”
Manik Genta membulat mendengarnya. Ia tak mempedulikan sikap Hening yang sembrono, karena rok abu-abunya kini sudah terangkat tinggi, memperlihatkan hampir separuh dari paha putihnya. “Apa! Bokap lo, preman?!”
“Yoi Om, kenapa? Takut?” Hening tertawa mengejek.
“Ngapain takut, selama gue bener,” ucap Genta lalu menoyor kepala Hening karena gemas merasa diremehkan.
“Jangan sok akrab Om, otak gue berharga, kalau geser dikit gara-gara lo toyor, mau tanggung jawab?” kata Hening yang kini kembali sibuk merapikan rambutnya meskipun tidak terlihat berantakan sama sekali.
“Otak lo emang udah geser dari sononya, coba aja lihat penampilan lo, kayak cewek jadi-jadian!” Genta kembali melirik sekilas tubuh Hening.
Hening tertawa renyah. Sambil menahan perih dipipinya. “Casingnya boleh jadi-jadian Om, tapi gue jamin dalamnya masih ori! Masih segel”
“Segel ato gaknya, gue mana tau, kan gue belum nyoba, belum juga ngerasain,” jawab Genta asal lalu ikut tertawa bersama Hening.
“Om mau nyoba? Di gorok bapak gue baru tau rasa!” kekeh Hening.
Genta terdiam, wajahnya berubah serius. “Emang Bokap lo, masih peduli sama lo?”
“Ck, gitu-gitu dia masih peduli sama anaknya, gue gak pernah tuh kekurangan apapun. Cuma yaitu, gue gak sukanya dia maen cewek mulu, Om. Gerah gue lihatnya!” Wajah Hening terlihat kesal. Kedua tangannya mengepal sempurna. “Lah, giliran gue yang pacaran nih ya, bapak gue langsung marah-marah gak jelas, dia aja bisa seenaknya gonta ganti cewek, nah kalau gue? udah pasti kena gampar!”
“Bokap lo bener! Kalau elo gak boleh gonta ganti pacar sembarangan, tapi, lo … sering di gampar?” Entah kenapa yang tadinya Genta tidak mau tau sekarang malah penasaran.
“Di bilang sering, yaa gak juga sih, tapi Bapak gue emang gak segan main tangan kalau dia marah. Dan, gue juga dah kebal lah, sakit sih Om, tapi bentar juga sembuh. Namanya juga preman, Om,” kekehnya garing tapi maniknya tidak bisa menyembunyikan rasa sakit yang terpendam di lubuk hatinya. Dan, Ini kali pertamanya Hening menceritakan sedikit hal tentang kehidupan pribadinya kepada orang yang baru saja ditemuinya. Entah mengapa, ia juga tidak mengerti, semua tercurah begitu saja.
Just like yesterday, you and I, catch the memories all over again. -Kanietha Setahun kemudian. Hari ini adalah giliran Giana menginap di rumah Kakek Abhinya, oleh karena itu sebelum jam makan siang Genta buru-buru menjemputnya di kediaman keluarga Andreas, agar bisa mengajak keponakan cantiknya itu untuk makan siang bersamanya terlebih dahulu. Sebenarnya Zio dan Lastra sudah pindah ke rumah mereka sendiri pada saat Giana berusia tepat dua tahun, namun tiga bulan kemudian Lastra kembali hamil dengan mengalami morning sick yang parah sehingga mau tidak mau mereka kembali lagi tinggal di kediaman Andreas bersama orang tua Zio. Agar ada yang mengawasi Giana yang semakin aktif itu, lebih intens lagi. Rambut lurus Giana kini sudah di kuncir dua dan sudah duduk manis pada kursi penumpang di belakang dengan memakai car seat untuk melindunginya serta menghidari sesuatu yang tidak di inginkan terjadi. Sepanjang perjalanan Giana selalu saja berceloteh dan bersenandung tiada henti. Genta sampa
When the date to meet you had come, My heart suddenly feeling blind about everything. -Kanietha Genta yang sudah memakai celana dan jaket jeans berwarna senada dan juga kaos hitam di dalamnya, masih asik duduk di meja makan dengan santai sambil menikmati kentang goreng, dan belum berniat untuk pergi ke showroomnya. Mama Ruby yang mengetahui hal itu segera menghampirinya, dan duduk di sampingnya. “Gen!” mengusap pelan punggung tangan putranya itu. “Yes Mam?” Genta menoleh sekilas lalu kembali berkonsentrasi dengan kentang gorengnya. Mama Ruby mengotak atik ponselnya sebentar lalu menyerahkannya kepada Genta. “Coba lihat. Cantik kan?” tanya Mama Ruby memperlihatkan foto seorang gadis cantik pada benda pipih itu. Genta hanya melirik sekilas. “Yang namanya cewek semua ya cantik kali, Mam, kalau cowok baru ganteng, terutama anak Mama yang satu ini, gak ketulungan gantengnya,” ucap Genta dengan percaya diri. “Percuma ganteng, umur sudah hampir 32 tapi belum laku-laku!” sindir Mama Rub
You can be the moon and still be jealous of the stars. -Gary Allan And unfortunately, you both need the same sun to shine -Kanietha -- “Esa! Apa ini?” Seorang pria tiba-tiba sudah berdiri di tengah pintu memandang heran. Menatap bergantian pada Esa, dan Hening yang masih dengan posisi berlutut. “Pak Zaid. Bukannya Bapak sudah pulang?” ucap Esa sedikit terkesiap namun tetap tenang, karena pemilik dari tempat ia bekerja tiba-tiba mendatangi ruangannya.. Zaid kembali melihat Hening. Memperhatikan gadis itu sejenak. “Kamu anak Metro kan?” tanyanya pada Hening, dengan menyebutkan tempat di mana gadis itu bekerja. Hening mengangguk menatap tegas ke manik Zaid. “Iya, Pak, saya Hening, kita pernah ketemu waktu grand launching bistronya Pak Zaid.” Hening menjelaskan. “Berdiri sekarang juga!” perintah Zaid, tapi Hening bergeming tidak menghiraukannya. Zaid berdecak. “Esa! Pacar kamu?” Esa menggeleng cepat. “Saya adeknya Kak Esa, Pak,” celetuk Hening. “Esa?” Zaid meminta penjelasan.
Brothers are Superman, Spiderman and Batman of their sisters -Unknown ~~~ Belum sempat Esa melangkahkan memasuki rumah masa kecilnya, Bagus Prasetyo, sang ayah sudah lebih dahulu menghampiri. Pria itu memeluk dan menepuk-nepuk punggung putra kesayangan yang sudah jarang sekali pulang ke rumah. Tertawa renyah sebentar, kemudian menarik diri. “Anak kesayangan gue, akhirnya ingat pulang juga.” Bagus berdecak berkali-kali dengan gelengan. Esa hanya tersenyum miris. Bergegas masuk, lalu duduk di salah satu kursi yang ada ruang tamu. “Aku mau ngomong sama Bapak,” ucapnya dingin. Bagus yang masih tidak bisa menyembunyikan senyumnya, segera duduk berhadapan dengan Esa, dengan sebuah coffee table sebagai penengahnya. “Nanya kabar Bapak lo dulu kek, basa basi.” “Bapak udah pasti sehat, bisa kelihatan, kok.” Esa sedikit mencondongkan tubuh. “Bapak bener nyuruh Hening nikah?” Senyum di wajah Bagus menghilang seketika, berganti dengan ekspresi serius. “Denger dari mana?” tanyanya, lalu berp
It begins with curiosity ~ Kanietha “Mampus di tangan gue, lo habis ini!” Hening kembali mengancam Beni dengan suara pelan, tetapi begitu menghunus tajam. “Janganlah Non, gue cuma disuruh buat nganterin lo doang. Entar urusan kelar, gue balikin lagi lo ke kantor tadi,” ucap Beni memelas. Hening menoleh pada pria yang saat ini duduk di sampingnya. Pria itu bersedekap, dan menyilangkan kaki panjangnya. “Terus kalau Bapak sendiri, disuruh siapa?” tanya Hening melempar tatapan tajam. Sama sekali tidak takut, meskipun tubuh pria itu layaknya binaraga dengan lekukan otot yang tersebar di sekujur tubuh. Setahu Hening, bapaknya tidak pernah punya anak buah yang bertubuh seperti pria yang ada di sebelahnya saat ini. “Bapak? Gue?” Pria itu mengarahkan telunjuknya pada wajahnya sendiri. Beni sontak tertawa mengejek mendengarnya. “Udah gue bilang Jon, muka lo itu boros banget! Wajar aja Non Hening manggil lo Bapak!” ujarnya lalu kembali melanjutkan tawanya. Pria yang bernama Joni itu berde
Each of us just needed someone to talk to, and share everything that we had in mind. ~Kanietha Setelah terjadi sedikit keributan di Green Resto, Esa dengan terpaksa menjelaskan pokok permasalahannya pada Zaid secara singkat. Kemudian, ia segera berpamitan dan tidak lupa berterima kasih atas bantuan Zaid dan teman-temannya. Esa membawa motor sportnya dengan kecepatan di atas rata-rata, hingga Hening mau tidak mau harus memeluk sang kakak dengan erat. Hening hanya bisa terdiam pasrah, daripada menyela hingga menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi pada mereka berdua. Setelah tiba di kontrakannya, Esa segera menarik lengan Hening ke dalam rumah. Karena masih dirundung kesal, Esa menghempaskan tubuh Hening pada salah satu sofa di ruang tamunya dengan kasar. “Lo itu! CK!” Esa tidak dapat berkata-kata untuk mengungkapkan kekesalannya pada Hening. Ia menunjuk tajam sang adik, yang memasang wajah tanpa dosa sama sekali. “Lo mau buat gue mati muda Kak! Naik motor kayak orang kesetanan,
When you’re curious you find lots of interesting things to do. -Walt Disney -- “Cepetan ke KANTOR!” Hening menghela kecil saat membaca pesan yang dikirim manajernya. Baru saja ia hendak membalas, muncul satu lagi pesan di bawahnya. Mau tidak mau, Hening membacanya sebentar, dan menunda membalas pesan tersebut. “SEKARANG.” “NGGAK PAKE LAMA!” Hening sampai harus mengerjap beberapa kali . Bertanya-tanya, dan mengingat-ingat apa dirinya ada berbuat salah belakangan ini. Namun, ia yakin tidak berbuat sesuatu yang melenceng dari job desknya. Padahal, Hening sudah memiliki janji dengan seseorang yang hendak memasang iklan. Karenanya, dengan terpaksa tugas tersebut ia limpahkan kepada rekan yang lain, dan segera melajukan motornya menuju kantor. Sesampainya di parkiran kantor, Hening bergegas berlari kecil. Ketika baru memasuki lobby kantor, Hening merasa heran melihat Ilham yang mondar mandir mirip setrikaan. “Pak Ilham,” panggil Hening setengah berbisik. Entah kenapa juga ia harus
One kiss could bind two souls in a second. -Unknown -- Hampir lima menit, Dewa hanya diam memandang Hening yang duduk berseberangan dengannya. Keduanya kini berada di VIP room sebuah restoran, yang memang dipesan khusus oleh Dewa, untuk makan siang bersama gadis itu. Insting Dewa memang tidak salah. Seperti yang pernah ia katakan pada Hening, saat pertemuan pertama, gadis itu sebenarnya manis dan hanya butuh sedikit polesan saja. Alhasil, Hening akhirnya bisa tampil luar biasa seperti sekarang. Bertemu dan bergaul dengan para wanita cantik nan seksi, bagi Dewa adalah hal biasa. Namun, hanya Heninglah gadis yang memiliki nyali besar, dan berani menantangnya tanpa ragu. Hal tersebutlah yang membuat Dewa semakin penasaran dan ingin kembali bertemu dengan gadis itu. Hening menelan ludah, dan melebarkan mata, saat melihat satu porsi chicken cordon bleu baru saja disajikan oleh pelayan di depan mata. Meski cacing di perutnya sudah berteriak memberontak, tetapi Hening masih bergeming me