"Lily, bisa kau ceritakan mengenai project terbarumu?"
"Bagaimana perasaanmu masuk ke dalam nominasi kategori sexiest women alive?"
"Apakah benar berita tentang pertunanganmu?"
Kurang lebih itulah pertanyaan-pertanyaan senada yang dilontarkan paparazzi dalam satu bulan terakhir. Aku hanya tersenyum simpul dan terus melangkah menghindari kerumunan yang semakin menjadi. Matthew yang merupakan managerku, sebisa mungkin membuat jarak agar aku bisa mudah berjalan. Dengan radius beberapa meter August sudah siap membukakan pintu mobil dan itu menjadikanku bernafas lega. Detik selanjutnya mobil membelah mulus jalanan malam kota London.
"Astaga paparazzi semakin tidak sopan saja!" Kesal Matthew. Yang selanjutnya terdengar adalah teriakan histersisnya karena mendapati tanganku tergores. Memang mengeluarkan sedikit darah, tapi tak apa. "Lihat saja. Aku hapal mereka semua berasal dari media mana saja. Beraninya mereka menyakiti artisku!" Sebuah plester bergambar binatang panda kini sudah menutupi lukaku.
"Thank you, handsome."
Mata Matthew mengerling tak menyukai pujian yang ku layangkan. "Hey, aku ini secantik Paris Hilton loh. Mungkin aku harus operasi dada dulu agar kau memanggilku si cantik Matthew."
Lewat ponselnya, Matthew terus mencari-cari dokter terbaik untuk operasi. Sementara aku iseng meraih tangannya dan bergelayut manja di sana. "Hih! Lepaskan!"
Kekasihku, Julian Watson, tidak akan merah sekalipun melihatku bermanja ria pada Matthew. Maksudku Matthew tidak menyukai gadis manapun, karena baginya pria bertubuh atletis dan berkulit eksotis lebih menarik.
Sekarang Matthew menoyor pelan kepalaku dan aku balas saja. Perbuatan kami persis anak kecil, yang langsung disambut kekehan August dari balik kemudi. Mereka berdua sudah bersamaku semenjak dua tahun aku berkarir. Dan sejujurnya Matthew dan August sudah ku anggap sebagai orang terdekat. Mereka temanku.
"Jadwalmu besok padat, Lily." Ujar Matthew sesaat perkelahian kami usai. Dia memberikanku sebotol air mineral dan langsung ku habiskan. "Jam 10 pemotretan, jam 3 ada syuting video musik dan dilanjutkan dengan makan malam. Besok aku akan ingatkan lagi."
Aku mengacungkan dua ibu jari. "Kau yang terbaik."
"Tentu. Oh tunggu, ada telpon masuk dari pihak pemotretan. Aku akan mengangkatnya."
Selanjutnya Matthew sudah sibuk membicarakan ulang mengenai konsep besok hari. Dan aku memainkan ponselku sebentar sebelum jatuh melamun.
"Nona Lily, anda baik-baik saja?"
Aku memerhatikan lekat plester di tanganku, tersenyum. "Tentu, August. Aku baik."
Padahal kenyataanya tidaklah demikian.
Jujur aku bukanlah orang yang gila akan publisitas. Aku mencintai pekerjaanku, tetapi tidak dengan hadirnya para paparazzi yang selalu menguntitku tanpa henti. Lagi pula apa yang mereka ingin tahu? Aku hanyalah gadis biasa yang berasal dari kota kecil, Hungaria. Dari segi pendidikan pun tidak ada yang bisa ku banggakan, aku cuti kuliah di tahun ke dua dan lebih memilih menetap di London untuk melanjutkan karirku sebagai model.
"Nona Lily, apa anda tempat yang ingin anda datangi?" August kembali bertanya saat aku mulai memejamkan mata. Rintikan hujan yang memasahi kaca mobil membuatku semakin ingin merebahkan diri di ranjang.
"Tidak, langsung pulang saja."
-----
Gelegar petir yang bersahutan membangunkanku dari tidur. Pendingin ruanganpun tidak bisa menghalau keringat yang membanjiri seluruh tubuhku. Kupegangi dada sejenak, berusaha menormalkan deru nafas yang masih memburu. Bukan hanya peluh, pipiku sudah basah oleh tangisan.
Mimpi itu lagi...
Aku menghapus sisa air mataku, kemudian tersadar jam dinding baru menunjukkan pukul 3 pagi. Peristiwa mengerikan itu sudah lama terjadi, namun aku masih kerap memimpikannya. Kakiku bahkan bergetar sebelum berhasil berjalan gontai ke arah dapur.
'Tidak ada makan di malam hari, sayang. Ingat, karirmu lebih penting dibandingkan satu cup mie instant. I love you.'
Begitulah kalimat yang tertera pada sticky notes di pintu kulkas. Aku harap itu hanya lelucon, akan tetapi aku tidak menemukan apapun disetiap kabinet dapur. Kekasihku memang tahu aku sering menyelinap makan di tengah malam. Tidakah tindakannya terasa berlebihan?
To: Julian
Aku akan marah padamu satu minggu penuh.
Sesudah mengirimi Julian pesan guna menunjukkan kekesalanku, aku beranjak menuju balkon. Aku harap pepatah makan angin dapat berfungsi dan membuat rasa laparku teratasi. Oh, sekarang aku benar-benar terdengar seperti orang bodoh.
Kimono tipis yang ku kenakan langsung berhembus begitu ku geser pintu balkon. Bau tanah sisa hujan semalam masih melekat. Lampu kota yang menerangi lengangnya jalan membuatku semakin menikmati semuanya secara keseluruhan. Bisa dibilang, ini adalah kali pertamanya aku tidak menyesal membeli apartemen di pusat kota. Sangat menenangkan. Rileks.
Kepulan asap yang ditangkap lampu jalan mengalihkan fokusku. Seorang pria berdiri di bawah sana dengan hoodie yang menutupi kepalanya. Aku refleks menggigit bibirku kala sadar pria tersebut sedari tadi tengah... memperhatikanku? Mengapa juga dia... menyeringai? Tunggu, untuk apa dia melakukan itu padaku?
Apakah ini termasuk pelecehan?
Belum usai aku dengan berbagai pikiran burukku, tiba-tiba orang asing tersebut menginjak puntung rokoknya sebelum Range Rovernya. Dalam sepersekian detik dia menghilang dibalik kegelapan, menyisakan diriku yang mematung bersama dering ponselku yang berbunyi keras.
"Baby, satu minggu terlalu lama."
Suara Julian boleh saja memecahkan ketakutanku, tapi seringaian pria misterius itu membekas. Seringaian yang dingin dan mendebarkan.
-----
Dinner bersama agensiku baru saja berakhir. Sekarang di sinilah aku, terduduk sendiri disebuah restaurant Prancis menanti kedatangan Julian. Bahkan aku sengaja menyuruh Matthew pulang lebih awal karena Julianlah yang memaksaku demikian. Ah ya, siang ini August mengundurkan diri secara mendadak. Dia berpamitan dengan alasan bahwa ibunya jatuh sakit, jadi dia langsung bergegas kembali ke kampung halamannya di Doncaster. Pun untuk hari-hari berikutnya Matthew resmi merangkap sebagai manager sekaligus supirku.
"Sayang, maaf aku terjebak macet. Tunggu sebentar lagi, ya?" Suara Julian terdengar pelan diujung ponselku. Mungkin takut amarahku akan meledak.
"Berapa lama?" Aku mencoba mengerti posisinya yang kini sudah memiliki porsi kerja lebih banyak. Sebab menjadi pimpinan divisi di perusahaan asuransi tentu bukanlah perkara mudah.
"Hampir sampai. Tidak sampai 15 menit."
Terdengar Julian membunyikan klaksonnya berulang kali, dan aku menghela nafas dalam-dalam. "Baiklah. Hati-hati mengemudinya."
"Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu." Balasku.
Tidak berselang lama setelah aku mengakhir pembicaraan dengan Julian, seorang waiter datang dan memberikan segelas minuman yang bisa kutebak itu adalah wine. Ada sepucuk kertas tepat dipinggir gelas tersebut.
"Aku tidak memesan menu tambahan." Jelasku terheran.
"Ini pemberian dari pria yang duduk di-" Aku mengikuti arah mata si waiter ketika berbicara, namun ucapannya terhenti ketika meja yang dimaksud sudah kosong.
"Maaf nona, tadi pria yang saya maksudkan ada di sana. Beliau menyuruh saya memberikan ini pada... Nona Lily Cansas?"
"Benar, itu namaku. Baiklah, terima kasih." Setelah waiter tersebut pergi, dengan ragu aku membuka lipatan surat tersebut.
'Lily, kau adalah wanita tercantik yang pernah aku lihat. Tapi kau tahu? Aku lebih suka jika mata indahmu tertutup selamanya.'
Tubuhku seketika melemas. Ku mohon tidak lagi. Tidak dengan teror lagi. Ini gila, bahkan ditempat umum seperti ini peneror tersebut tak segan menunjukan niatannya. Kakiku limbung saat mencoba berjalan. Mataku memanas seiring rasa takut yang menjalar diseluruh tubuhku. Aku harus pergi! Persetan dengan paparazzi yang akan mengambil gambarku dengan keadaanku yang kacau seperti ini!
Sebelum si pelayan membukakan pintu, seseorang terlebih dahulu menutupi kepalaku dengan sebuah jaket dan menarik jari-jariku dalam genggamannya. Aku sempat mengelak, tetapi yang ada dia semakin mengeratkan persatuan tangan kami. Seseorang itu seolah menawarkanku kepastian untuk percaya padanya.
Dalam sekejap, kilatan flashpun sibuk menyambarku dan entah siapa dia.
Tanpa berbicara, entah siapa dia mendorongku masuk ke dalam mobil. Baiklah, adanya dia memang menolongku agar wajah kacauku tidak muncul dalam berbagai majalah maupun internet pada esok pagi, tapi aku mulai takut saat dia mengemudikan mobil layaknya pembalap liar. Bunyi klaksonnya bisa membuat siapapun tuli."Kau bisa membuka jaketku sekarang." Suara berat khas pria terdengar.Pikiranku menerawang kemana-mana. Bagaimana kalau dia berniat menculikku, lalu meminta tebusan pada ibuku yang jauh berada di Hungaria? Bagaimana kalau dia satu dari sekian orang yang memberikanku teror? Bagaimana--?"Tidak ada untungnya bagiku untuk menculik wanita dewasa. Tetapi untuk bercinta denganmu patut ku pertimbangkan." Nafasku tertahan. Benar kata Emily Campbell –sahabatku, hari kamis memang bukanlah hari keberuntunganku. Lihat saja aku baru saja diselamatkan oleh pria mesum.Dengan ragu-ragu aku menyingkirkan jaket miliknya dari wajahku. Mataku seketika disuguhkan dengan sosok pria berkemeja coklat dib
Aku memandangi resah jam yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Entah mengapa, bagiku detiknya terasa berjalan sangat cepat."Emily, aku harus pergi sekarang. Aku tidak ingin terlambat." Sudah berkali-kali aku berbicara dengan kalimat yang sama, tetapi Emily Campbell masih menyeretku keluar masuk satu persatu outlet mall."Sebentar lagi, masih ada yang ingin ku beli." Emily berjalan mendahuluiku dengan menggenggam seluruh belanjaannya, sementara aku hanya mengekor pada sahabatku ini.Emily bisa dibilang sama dengan gadis kebanyakan, matanya akan menggelap jika sudah melihat barang baru terpampang. Berbanding terbalik denganku. Aku hanya berbelanja jika aku benar-benar membutuhkan suatu barang."Lily, bisa aku meminjam uangmu? Kartu kreditku sudah limit." Pinta Emily diikuti cengiran kudanya."Tentu saja." Aku merogoh dompetku, lalu memberikan kartuku padanya."Aku akan segera menggantinya.""Tidak usah kau pikirkan. Setelah ini aku benar-benar harus pergi." Emily pun mengangguk de
Pria bernama Alex Willis melayangkan tatapan padaku dari ujung kepala hingga kaki. Bibirnya menyeringai lebar begitu jatuh di dadaku. Refleks aku menutupi bagian atas tubuhku yang hanya berbalut tanktop putih tipis. Baru dua kali bertemu, dan aku bersumpah sudah sangat membencinya!"Jaga matamu, pria mesum."Alex tergelak singkat. Dia sepertinya senang dicap dengan sebutan demikian. Setelah selesai dengan kegiatannya tidak senonohnya Alex pun mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu lagi, Lily Cansas."Ada penekanan saat dia menyebutkan namaku. Serak dan rendah suaranya menjadikan namaku terdengar lebih seksi. Diam-diam aku mencubit paha sendiri, sekedar mengirimkan sensasi dalam diriku supaya tersadar bahwa selama beberapa detik aku sempat gila.Situasi di mana Julian tengah menerima telpon, Alex manfaatkannya dengan mengedipkan sebelah mata. Aku seketika bergidik ngeri. Genit sekali. Aku tidak berminat jika setiap hari harus menghabiskan waktu bersama orang yang jelas-jelas be
Aiden si desainer, datang terpogoh-pogoh melihatku terjatuh dengan posisi yang super memalukan. Diikuti Emily dan beberapa model lainnya. Aku butuh tempat bersembunyi."Honey, apa kau terluka?" Suara baritone klas pria terdengar cemas, begitu berbanding terbalik dengan tampilan feminim Aiden. Sebenarnya jatuhnya tidak begitu sakit, malunya yang luar biasa sulit walau sekedar mengangkat dagu sendiri. Aku pun hanya menggelengkan kepalaku singkat, tanda aku baik-baik saja.Aiden hendak membantuku bangun, namun ku rasakan telapak tangan besar terlebih dahulu menyentuh pinggangku. Aku menoleh, ternyata Alex. Bukankah tadi dia pergi? Tak hanya membantuku bangun, Alex langsung gesit menggendongku. Apa-apaan dia?"Biar saya lihat dulu keadaan Lily. Anda semua bisa memulai latihannya lagi." Ucap Alex tegas. Tanpa berbicara lagi, dia berbalik meninggalkan kerumunan dengan diriku yang ada di dekapannya."Turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri." Spontan aku menggerakkan tubuhku. Aku takut pipiku
Kata-kata yang dilontarkan Alex Willis terus berulang. Ciuman singkatnya juga masih membekas. Pria itu tanpa berkata apapun meninggalkanku yang berhasil mematung selama beberapa menit di area parkir. Mungkin Alex berubah pikiran, lebih setuju untuk pergi ke bengkel mobil, ketimbang menyaksikan runwayku."Lily, ini pakaianmu. Segeralah bersiap." Suara Aiden menyadarkanku. Aku menerima dress dengan warna dominan putih dan aksesoris kecil pada bagian depan, pakaian semi formal untuk menghadiri pesta.Dalam dua menit aku sudah siap, diikuti dengan makeup artist yang memoles tipis sekitaran wajah dan leherku. Berdiri tepat di belakang Emily Campbell, kami saling memberikan semangat lalu tertawa untuk menghilangkan rasa gugup. Biasanya aku tidak setegang ini. Semoga saja semua berjalan lancar.Menghela nafas, aku mengangkat daguku lurus dan tatapan mataku seketika berubah menjadi tajam, namun tetap hangat –itulah yang selalu berbagai majalah kerap katakan disetiap ulasan mereka. Aku berjalan
Bukankah itu suara Julian?Aku meronta dari tubuh Alex yang sedang sibuk menjamah leherku. Dia seperti tidak ambil pusing dengan fakta bahwa kami tengah tertangkap basah. Bahkan nafasku kian tertahan sewaktu Alex memberikan gigitan kecil dan hisapan di sana.Dia menandaiku."Alex... hentikan." Suaraku terputus, antara ingin mengerang dan menyudahi aksi gila kami. Tangan Alex dengan berani menggerayangi bagian bawah tubuhku. Jemarinya berlarian di bagian dalam pahaku, membentuk pola berantakan. Begitu dia akan bertindak lebih jauh, mataku terbuka lebar dan langsung mendorong dadanya."Relax, baby. Kita bercinta sekalipun kekasihmu tidak akan tahu."Alex menyengir tanpa rasa bersalah. Sementara dengan nafasku yang masih terengah, dia turun dari mobil untuk menyapa Julian. Alex jelas sedang mengulur waktu agar aku merapihkan kekacauan akibat ulahnya. Dengan gugup aku menyisir rambutku asal menggunakan jari, begitupun pakaian bawahku ku rapihkan cepat-cepat. Setelah membuka pintu mobil, ak
Aku tidak henti memaki Alex dalam hati, merutuki setiap perkataan dan perlakuan pria tersebut padaku. Apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya?! Dia sudah menciumku dua kali! Dia juga mengatakan ingin menikahiku! Kami bahkan baru saling mengenal beberapa hari. Namun bukan berarti jalan pikiranku akan berubah seandainya aku dan Alex sudah mengenal selama satu bulan, satu tahun, bahkan satu tahun sekalipun.Kenapa Alex kian mempoposisikanku dalam keadaan yang sulit?Menjatuhkan tubuhku di ranjang, aku membenambakan wajah pada tumpukan bantal empuk. Tanpa beranjak, aku meraih ponselku yang berada di atas nakas dan mencari nomor Julian."Hallo say- oh, shit! Hentikan."Dahiku seketika mengerut mendengar suara Julian. "Julian, apa yang terjadi denganmu? Apa ada masalah?""Tidak ada apa-apa, Lily. Tadi ada office boy yang menumpahkan kopi ke celanaku.""Aku kira ada a-" Ucapanku terhenti ketika mendengar jelas gelak tawa seorang wanita. Pikiranku mulai bercabang, memikirkan berbagai kemun
Rabu siang ini berjalan lancar. Tidak ada kejanggalan bahwa penjahat tempo hari akan kembali menjalankan aksinya. Seselesainya sesi pemotretan untuk sebuah majalah remaja, Alex langsung mengantarkanku pulang. Di pelataran basement, tanpa turun dari mobil, dia bilang akan bergegas pergi ke sebuah perusahaan. Ya, pria ini baru saja mendapatkan panggilan kerja, namun bukan perusahaan tempat Julian bekerja. Aku menarik kesimpulan dia melamar ke beberapa tempat."Wish you luck! Dan dengan begitu kau akan segera berhenti menjadi bodyguard payahku."Aku terkekeh, walau sebenarnya aku tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Memang, akan bagus jika Alex mendapatkan pekerjaan yang benar-benar diinginkannya, namun jika ia diterima, itu berarti cepat atau lambat ia tidak akan berada di sisiku lagi."I know, you don't mean it." Tanpa ku duga Alex merangku. Sadar bahwa dia mulai bertingkah sekenanya, aku menarik tubuhku menjauh. Tenaga pria ini ku akui sangat besar, saat dengan mudahnya dia kembal