Bu Sari menekuk tubuhnya di depan pembatas meja, bertopang dagu tepat di depan meja Risa, dan berkata pelan penuh rayuan, “aku ini tidak begitu murahan, Risa. Tidak seperti mereka yang suka menjilat orang-orang demi keuntungan pribadi. Kau tahu, kan, aku ini suka dengan barang-barang bermerk. Aku hanya ingin tahu lebih banyak apa-apa saja yang sudah diberikannya padamu. Anggap saja aku sedang melakukan riset. Ini demi keuntungan perusahaan juga, kan?”
Mulut Bu Sari sungguh licin seperti belut.
Orang-orang yang mendengarnya merasa tidak nyaman, tapi ada kebenaran dalam suaranya, tidak bisa membuat mereka protes karenanya.
Risa menatapnya datar dan malas, sudah berkedip-kedip manja untuk merayunya, tapi wanita berambut hitam sepunggung ini tidak tergerak sedikit pun.
Bagaimana dia ingin menceritakan semuanya? Mereka saja baru bertemu?
“Bu Sari, mohon maaf, tapi saya baru berkenalan dengan pria itu. Dia adalah pria yang dijodohkan dengan saya, ja
“Kau tidak suka? Apa ini benar-benar berlebihan? Aku pikir ini romantis.” Raut wajah Adnan langsung menampilkan senyum manis dan hangatnya. Melihat itu, hati Risa langsung lega. Dengan cepat ia menyimpulkan bahwa semua ini memang benar adalah hadiah dari calon suaminya ini. “Um. Aku sangat menghargai semua pemberianmu, tapi lain kali sungguh tidak usah yang seperti ini, ya! Takutnya ada gosip yang tidak enak menyebar di kantor. Kau tahu, kan, kalau ada gosip tidak enak bisa bikin kinerja jadi terganggu.” Adnan hanya mengangguk pelan, senyumnya terus melekat, sama sekali tidak banyak bicara usai Risa memperlihatkan foto-foto itu. Sang pria hanya memerhatikan Risa menggulir media sosialnya sambil menjelaskan hadiah-hadiah yang diterimanya itu dan mengeluh soal beberapa teman kantornya yang mulai dekat-dekat hanya untuk menjilat kepadanya. “Baiklah. Kapan-kapan aku akan bertemu dengan mereka.” Adnan berkata singkat begini
Dengan cepat Risa berbalik menghadap Gina, menjelaskan kejadian salah paham itu. “A-aku tadi keseleo, tidak sengaja jatuh seperti tadi!” ucapnya dengan nada suara gugup, berjalan dengan kaki tertatih sembari mendorong dokumen ke dada sekertaris Gina. Wajah merajuk sebal tertahan, melototkan mata seolah menyuruh Gina agar tidak berpikir macam-macam. Wanita berpakaian hitam-putih khas sekertaris itu hanya bisa terbodoh mendapat serangan tiba-tiba wanita di depannya. “La-laporan dari nona Vera!” sahut Risa dengan suara keras dan lantang, wajahnya sudah memerah nyaris mengeluarkan asap. “Ba-bagaimana mungkin kau sebagai sekertaris meninggalkan tempatmu begitu lama? Kalau tamu kita bukan orang yang sabar dan baik hati, kau pasti sudah kena masalah besar! Pak Sudirman mungkin akan memecatmu!” Risa tidak bisa menghentikan mulutnya yang cerocos tidak terkendali akibat salah tingkah kedapatan dalam posisi memalukan barusan. Siapa pun bisa menil
Ciri khas permainan ini adalah adanya seorang Osama atau Raja dalam bahasa Jepang yang didapat dari hasil undian sumpit. Sisanya adalah anak buah yang akan mendengarkan apa saja yang diperintahkan oleh Osama tersebut. “Saya harap Pak Shouhei terhibur dengan acara sambutan ini. Saya tahu ini tidak sehebat dan semewah yang mungkin Anda harapkan, tapi saya sudah mencoba yang terbaik,” ungkap seorang atasan gendut dan pendek, kepalanya sudah botak licin di atas dengan pinggiran dihiasi rambut tipis-tipis. Dengan bangga dan sopan memberikan minuman soda ke gelas Shouhei yang sudah terlihat hampir kosong. “Terima kasih. Saya suka acara ini. Ini sudah terlalu mewah. Seharusnya kalian tidak usah menyiapkan acara sambutan yang merepotkan kalian.” “Ahahaha! Sama sekali tidak merepotkan! Kami senang jika Pak Shouhei mendapat yang terbaik. Mari silahkan diminum!” pujinya sembari meraih gelas tadi dengan kedua tangan dalam gaya tata krama memberi minuman ala orang Jepang.
Bu Sari sialan! maki Risa dalam hati, sudah panas bagaikan ketel mendidih, tapi ditahan mati-matian. Dia tahu ini adalah jebakan untuknya agar bisa menggali lebih dalam soal siapa pria kaya yang sudah menjadi kekasihnya itu. Tapi, dia pikir dia tidak berani melakukan tantangan ini?! Cih! Semua orang tahu kalau ini hanyalah tantangan! Hanya sebuah permainan untuk menghibur mereka! Tidak benar-benar serius! Akal sehat Risa akhirnya kembali ke tempatnya. Dia lebih memilih gulungan kertas itu, karena takut dipermalukan di depan banyak mata dengan label dirinya yang sudah akan menikah. Apa jadinya kelak kalau sudah bicara banyak tapi ternyata pernikahannya batal? Itu memang adalah perjodohan bisnis, tapi tidak ada yang bisa menjamin masa depan akan seperti apa. Berpikir begini, Risa merasa lebih kuat dalam hati. Mana mungkin bosnya akan marah, kan? Dia hanya akan melakukan apa yang tertu
“Bicara apa kau?” balas Risa berbisik kesal, pura-pura tersenyum seperti orang sakit gigi kepada orang-orang yang melihat ke arahnya dengan pandangan menarik dan penasaran. “Psst! Risa! Coba saja!” bisik Bu Sari dengan sebelah mulut ditutupi tangan kanan, terlihat jelas matanya bersinar. Risa langsung terbakar hebat melihat ulahnya yang sudah menaruhnya dalam masalah. Dia benar-benar tidak ingin membuatnya bernapas lega, ya? “Apa lagi yang kau tunggu?” ujar Shouhei dengan nada dalam penuh desakan, wajahnya terlihat serius. Risa tersenyum kaku ke arahnya, matanya meminta tolong kepada orang-orang yang ada di meja, tapi mereka malah terlihat memberikan kode agar segera maju saja ke sana. “Apa harus aku yang ke sana?” “Ti-tidak usah, Pak! Biar saya yang ke sana!” tolak Risa cepat. Vera lalu mengembalikan kertas tadi ke tangan Risa, berbisik pelan, “semoga beruntung!” Beruntung kepalamu! maki Risa kesal membatin, me
“Ya. Tentu saja. Keberaniannya patut diacungi jempol. Mari bersulang untuk keberanian nona Risa.” Para atasan yang tidak menyangka bos baru mereka akan mengangkat gelas di udara, buru-buru menyambut gerakan itu. “Terima kasih. Terima kasih,” ujar Risa dengan wajah penuh senyum dan bangga, meski dalam hati sangat bingung dengan keberuntungannya itu. Apakah dia kasihan kepadanya? “Ah, baiklah! Kalau begitu, kembalilah ke tempatmu. Benar-benar bikin kaget saja!” perintah seorang atasan yang ada di dekat Risa, buru-buru ingin menyingkirkan Risa yang bisa dilihatnya menahan rasa gelisah dari tadi dan tidak nyaman karena efek mabuknya. Kedua kaki wanita ini bergerak-gerak di balik punggungnya, dan rasa kasihan karena dipikirnya sedang dikerjai berlebihan akhirnya menyentuh hatinya. Dengan wajah dan nada riang, kedua pipi memerah lembut, Risa membalasnya sembari tersenyum , “terima kasih, Pak! Permi—“ TAP! Ketika Risa sudah me
“Ma-maaf, Pak Shouhei. Ta-tangan saya?” bisiknya mendekat kepada sang pria. Shouhei menoleh, memberikan senyum dingin dan manisnya, langsung saja berkata, “kenapa? Bukankah jika sepasang kekasih adalah hal lumrah untuk duduk bersama?” DOENG! Seketika saja Risa terbengong mendengarnya. Semua orang di ruangan itu sekali lagi dikagetkan dengan adegan di luar perkiraan itu. Semua mata menatap ke arah mereka berdua: tidak berkedip, tidak bergerak, dan tidak mengelurkan sepatah kata pun. Wajah-wajah mereka benar-benar diliputi kebingungan seperti orang bodoh. Adegan itu pecah ketika seorang atasan yang hendak memakan tempuranya, tergantung di depan mulutnya yang terbuka, jatuh dan mengenai sup miso di depannya. “Aduh! Kena sudah kemeja mahalku ini!” keluhnya dengan nada panik, buru-buru meraih tisu dan mengelapnya cepat-cepat. Spontan saja semuanya menjadi kikuk dan salah tingkah, pura-pura mengalihkan pandangan dan sibuk sen
Vera menoleh, lalu menaikkan sebelah alisnya. “E-eh? Ti-tidak. Tadi mau bersin, tapi tidak jadi. Hachim! Udara malam ini cukup dingin, sih, ya,” jawabnya ke arah Vera, bukan kepada sang bos yang bertanya kepadanya. “Jika tidak ikut karokean, apa kalian berdua sedang menunggu seseorang?” Risa lega, sang bos sepertinya membiarkannya begitu saja. Sambil menggosok bawah hidungnya sambil memeriksa pesan di layar ponselnya. Dia sudah menghubungi Adnan untuk mengingatkannya menjemput dirinya di restoran itu, tapi sampai sekarang masih belum dibaca olehnya. Apakah sudah tidur? Vera dan Shouhei masih bercakap-cakap kecil dan remeh, sementara wajah Risa semakin masam karena sudah hampir 5 menit berlalu sejak sang bos datang menyapa, masih saja melirik mengecek layar ponselnya. Beberapa karyawan yang berlalu di samping mereka sudah pamitan satu per satu, dan ketika hanya tersisa mereka di ruangan itu, Vera yang merasa sudah bangga akrab dengan bo