Risa masih tidak percaya dengan apa yang baru saja dia ketahui tentang bos tiraninya itu.Bagaimana bisa hanya dalam semalam dia langsung kaya mendadak?Tidak! Tidak!Dia sudah memberikan sinyal itu sejak beberapa kali mereka berdebat. Tapi, Risa tidak percaya dengan ucapannya sama sekali.Bagaimana bisa dia memberikan kepercayaan kalau dia sangat pintar memanipulasi orang lain?Risa sekarang berada di kamar mewah yang sangat luas dan dihiasi perabotan mahal yang membuat mata senang. Dia menaksir harganya sangat mahal.Karena tidak bisa tidur, akhirnya wanita dalam handuk kimono putih ini hanya bisa berguling-guling dengan perasaan gelisah mencubit hatinya.‘Apa sebaiknya aku meminta pendapat Vera? Tidak! Itu mustahil! Yang ada dia malah akan mengejekku dan memberiku banyak ceramah yang tidak masuk akal! Mau taruh di mana mukaku kalau sampai ketahuan menjadi simpanan bos sendiri? Dia pasti akan mengungkit masalah daging segar yang sudah menjadi tunangan resmiku!’ batinnya kepada diri
Setelah memasak di dapur dengan rasa takjub yang tidak bisa hilang dari benaknya, Shouhei memuji masakan buatan Risa. “Kamu memang punya bakat yang luar biasa dalam bidang kuliner. Aku sungguh beruntung mendapatkanmu,” pujinya dengan senyum tulus yang dingin dan memikat. Risa nyaris tersedak makanannya, duduk dengan wajah canggung di kursinya. “Yah. Kamu memang beruntung. Tapi, aku yang sial, kan?” Shouhei mendengus geli. “Sial? Kenapa sial?” Risa menghela napas berat. “Ya. Memang begitu, kan? Kamu pikir ada wanita yang senang diperlakukan bagaikan simpanan? Apalagi jelas-jelas menjadi simpanan? Aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya. Apa yang kamu sembunyikan dariku, lalu apa yang kamu inginkan dariku. Bukankah itu sangat mengerikan dan menakutkan? Kamu tidak berpikir sedikitpun kalau itu hal yang membuat tidak nyaman?” Shouhei berhenti menikmati sarapannya, dia melipat tangan di dadanya, berpikir sok serius dengan kepala dimiringkan. “Benarkah? Kalau begitu, kamu bisa tanyakan kep
“Bisakah kamu memberi ponselku sekarang?” kata Risa tidak sabaran saat mereka berdua sedang berjalan ke sebuah helipad yang ada di sekitar mansion super besar itu. Tatapan Risa tampak sangat kesal ke arah punggung pria dingin di depannya.Shouhei tidak menanggapinya serius. “Jangan khawatir. Aku sudah bilang kepada keluargamu kalau kamu sedang melakukan tugas yang sangat penting denganku. Sejak tadi kamu melihat ponselmu setelah aku begitu sabar melihatmu tersenyum sendirian. Tidak baik seperti itu, Sayang. Nanti orang-orang mengira ada yang tidak beres dengan dirimu.”Risa menghentakkan kakinya kesal! Kedua tangan mengepal erat, wajahnya tampak cemberut penuh protes.“Kamu tidak berhak menahan ponselku, Shouhei Shiraishi! Cepat kembalikan kepadaku! Kamu tidak bisa bersikap begini! Kamu hanya tidak mau aku berhubungan dengan Adnan, kan?”Shouhei masih mengabaikan protesnya. Dia sudah berbicara dengan dua pria berseragam ala petugas bandara, lalu melirik sekilas ke ara wanita yang mena
Di sebuah gedung tinggi perkantoran yang sangat megah dan modern di Tokyo, Jepang. Setumpuk dokumen dilempar begitu saja di atas sebuah meja. Suara debamnya memekakkan telinga. Dokumen paling atas memperlihatkan profil seorang wanita lengkap dengan foto yang terlihat sangat formal. Rambut perempuan itu hitam panjang dan diikat satu dengan poni indah menghiasi wajahnya. Tertulis jelas di sana nama sang wanita dalam bahasa Indonesia: Risa Abdullah “Apa berita itu benar? Kamu sudah memastikan kebenarannya?” tanya sebuah suara berat, rendah dan dalam. Sangat magnetis dan merdu bagi wanita mana pun yang bisa mendengarnya. Percakapan ini dilakukan dalam bahasa Jepang. Meski ada nada marah dalam suaranya, pemilik suara berusaha tetap menjaga ketenangan dirinya. “Iya. Itu benar, Tuan muda. Risa Abdullah akan segera menikah minggu depan.” Pria berkacamata tipis yang menyampaikan berita tersebut berwajah datar dan terkesan dingin dengan rambut disisir sangat rapi. Jas biru tua yang dikenaka
“Selamat pagi!” sapa seorang wanita berambut pendek kepada Risa yang baru saja duduk di kursi kerja. “Pagi!” balas Risa dengan senyum cerah. Tapi, begitu wanita tadi berlalu, wajahnya seketika ditekuk suram. Suasana kantor masih terbilang sepi, perempuan ini memang terbilang paling rajin jika terkait mengejar masa depannya. Sejak kecil, Risa selalu berusaha yang terbaik, termasuk juga masalah percintaan. Namun, Tuhan sepertinya berkehendak lain. Mau sekeras apa pun dia berusaha sama seperti dia belajar mati-matian dan mengejar karir, tetap saja kisah cintanya selalu gagal. Sekarang, ayahnya datang dengan proposal perjodohan demi menolong perusahaan mereka yang hampir bangkrut. Sebenarnya, Risa enggan melakukan perjodohan. Tapi, jika dia tidak melakukannya, maka seluruh karyawan perusahaan pasti akan terancam diberhentikan tanpa pesangon. Jika itu sampai terjadi, kemungkinan kerusuhan hebat akan menghantui perusahaan, sudah pasti rumah dan anggota keluarga mereka akan menjadi sasar
Malam hari, di sebuah kafe, Risa duduk di dekat jendela menunggu pria yang katanya akan datang bertemu dengannya. Tentu saja sekedar untuk melihat rupa satu sama lain dan saling mengenal singkat. Tapi, ini sudah lewat 15 menit, pria itu belum juga muncul. Padahal, Risa sudah berdandan cetar membahana agar membuat pria itu terpikat, memberikan kesan baik dan sopan—atasan pakaiannya berupa lengan panjang putih dengan bordiran indah dan rok biru plisket sebatas betis. Rasanya, semua usahanya akan meleleh seperti es krim yang tidak enak dimakan. Malam ini, dia juga berdandan tidak biasa. Wanita itu menghela napas berat. Sangat kecewa dan sedih. “Harusnya dia yang menunggu di sini, bukan aku,” gumam Risa, mengeluh dengan wajah cemberut. Seorang pelayan yang berjalan di dekatnya memberikan senyum sopan sambil membawa pesanan meja lain, Risa hanya membalasnya dengan senyum canggung. “Ya, ampun. Dia beneran mau menikah tidak, sih?” Risa menatap layar ponsel, memeriksa pesan singkat pria
Hari berikutnya, Risa menjalani kegiatan kantornya dengan hati berbunga-bunga. Wanita ini bagaikan terbang ke sana ke mari seperti manusia bersayap, sangat penuh tenaga dengan wajah terus tersenyum lebar. Ini membuat para rekan kerjanya kembali terheran-heran. “Dia kenapa lagi, sih? Bukankah kemarin dia terlihat seperti mau mati saja?” celutuk seorang wanita di depan meja Vera. Vera, teman Risa hanya memiringkan kepalanya bingung, menatap Risa yang sibuk menggandakan setumpuk dokumen sambil bersenandung riang di ruang fotokopi. Dari sejak datang ke kantor pagi ini, temannya itu sudah diberi banyak tugas, dan sama sekali tidak menolak atau mengeluh sedikit pun. Malahan, dia bertanya kepada yang lain apakah ada yang bisa dibantu olehnya? Sambil bersandar, sambil melipat tangan di kursi melihat kelakuan ajaib Risa. “Apa ini ada hubungannya dengan perjodohan yang disebutkannya itu?” Vera membayangkan kembali kejadian kemarin. Dia memang setuju jika Risa menikah cepat. Tapi, kalau m
Didesak dengan pesona pria berkacamata tipis itu, keduanya akhirnya membeli gelang tersebut dan kembali makan malam bersama. Pria berkemeja biru gelap tersebut menatap Risa yang makan dengan perlahan di depannya. “Kamu tidak suka?” Sang wanita menegakkan kepala. “Suka, kok. Sangat enak. Dagingnya benar-benar lembut.” Pria di depannya memiliki sikap yang sangat romantis, selain pintar dan begitu tampan. Bagaimana bisa dia makan seperti orang kesurupan? Malulah! Padahal dagingnya benar-benar bikin saliva Risa nyaris menetes-netes. Tapi, dia malah harus menjaga sikap di saat seperti ini. Bikin sakit hati saja! Dalam hati, Risa menangis kesal dan frustrasi! “Lantas, kenapa makannya hanya sedikit?” “Eng... itu... sayang sekali kalau kita harus berpisah dengan cepat,” cicitnya malu-malu, mata menghindari tatapan sang pria. Yah, sejujurnya bukan itu alasan utamanya. Selain menjaga image, dia kepikiran dengan perkataan Vera tadi siang. Adnan Budiraharja memang pria yang benar-benar se