“Ya. Tentu saja. Keberaniannya patut diacungi jempol. Mari bersulang untuk keberanian nona Risa.” Para atasan yang tidak menyangka bos baru mereka akan mengangkat gelas di udara, buru-buru menyambut gerakan itu. “Terima kasih. Terima kasih banyak,” ujar Risa dengan wajah penuh senyum dan bangga, meski dalam hati sangat bingung dengan keberuntungannya sendiri. Apakah dia tiba-tiba kasihan kepadanya? “Ah, baiklah! Kalau begitu, kembalilah ke tempatmu. Benar-benar bikin kaget saja!” perintah seorang atasan yang ada di dekat Risa, buru-buru ingin menyingkirkan Risa yang bisa dilihatnya menahan rasa gelisah dari tadi dan tidak nyaman karena efek mabuknya. Kedua kaki wanita itu bergerak-gerak gelisah di balik punggung, dan rasa kasihan karena dipikirnya sedang dikerjai berlebihan, akhirnya menyentuh hati sang atasan. Dengan wajah dan nada riang, kedua pipi memerah lembut, Risa membalasnya sembari tersenyum , “terima kasih, Pak! Permi—“ Syok! Ketika Risa sudah memiringkan tubuhnya sam
“Ma-maaf, Pak Shiraishi. Ta-tangan saya?” bisiknya mendekat kepada sang pria. Shouhei menoleh, memberikan senyum dingin dan manis, langsung saja berkata, “kenapa? Bukankah jika sepasang kekasih adalah hal lumrah untuk duduk bersama?” Syok! Seketika saja Risa terbengong mendengarnya. Semua orang di ruangan itu sekali lagi dikagetkan dengan adegan di luar perkiraan itu. Semua mata menatap ke arah mereka berdua: tidak berkedip, tidak bergerak, dan tidak mengelurkan sepatah kata pun. Wajah-wajah mereka benar-benar diliputi kebingungan seperti orang bodoh. Adegan itu pecah ketika seorang atasan yang hendak memakan tempuranya, tergantung di depan mulutnya yang terbuka, jatuh dan mengenai sup miso di depannya. “Aduh! Kena sudah kemeja mahalku ini!” keluhnya dengan nada panik, buru-buru meraih tisu dan mengelapnya cepat-cepat. Spontan saja semuanya menjadi kikuk dan salah tingkah, pura-pura mengalihkan pandangan dan sibuk sendiri, bahkan ada yang pura-pura batuk dan berdeham agar mengh
Vera menoleh, lalu menaikkan sebelah alisnya. Mengamati reaksi Risa. “E-eh? Ti-tidak. Tadi mau bersin, tapi tidak jadi. Hachim! Udara malam ini cukup dingin, ya?” jawabnya ke arah Vera, bukan kepada sang bos yang bertanya kepadanya. “Jika tidak ikut karokean. Apa kalian berdua sedang menunggu seseorang?” Risa lega, sang bos sepertinya membiarkannya begitu saja. Sambil menggosok bawah hidungnya sambil memeriksa pesan di layar ponsel. Dia telah menghubungi Adnan untuk mengingatkannya menjemput dirinya di restoran itu, tapi sampai sekarang masih belum dibaca olehnya. Apakah sudah tidur? Vera dan Shouhei masih bercakap-cakap kecil dan remeh, sementara wajah Risa semakin masam karena sudah hampir 5 menit berlalu sejak sang bos datang menyapa, dia masih saja melirik mengecek layar ponselnya tanpa ada notif apa pun. Beberapa karyawan yang berlalu di samping mereka sudah pamitan satu per satu, dan ketika hanya tersisa mereka di ruangan, Vera yang merasa sudah bangga akrab dengan bos baru
“Aku sungguh minta maaf. Semalam aku ketiduran karena kelelahan,” ujar Adnan Selasa esok paginya, menghentikan mobil di depan pintu masuk kantor Risa. Sang wanita hanya menggeleng tidak enak hati. “Tidak apa-apa. Adnan memang sibuk. Tidur lebih awal itu lebih baik.” “Semalam, kamu pulang baik-baik saja, kan? Tidak ada kejadian yang aneh-aneh?” Sang wanita langsung menggelengkan kepala cepat-cepat, tidak mau membahas dan teringat tragedi sialannya semalam yang mabuk, lalu melakukan hal gila kepada bos barunya yang aneh. Adnan memasang tampang pura-pura cemas yang alami. Alasannya yang barusan juga hanyalah kamuflase belaka. Malam Minggu jelas dia punya waktu ‘istimewa’ bersama gengnya di tempat lain. Dia sengaja tidak membuka pesannya karena sibuk dengan hal yang lebih menarik tentu saja. Adnan tersenyum kecil, mengusap sisi kepala sang wanita. Risa menunduk malu dengan hati berdebar kecil. “Aku akan menjemputmu nanti. Bagaimana? Kita makan malam hari ini sebagai permintaan maafk
Wanita berambut pendek yang bernama Aisyah Giandra itu langsung gagap dibanjiri keringat dingin, “Ka-Ka-Ka-Kak Risa?” “Halo! Icha, kan, nama panggilanmu? Boleh bicara sebentar?” Risa tersenyum lebar. Wajah sangat cerah menahan amarah. Namun, lawan bicara yang melihatnya seperti itu sudah merasa tidak enak hati. “Bu-bukan saya, Kak! Saya tidak bermaksud seperti itu! Sungguh!” pekiknya panik, wajah pucat kelam. Mata Risa mendatar malas, mengomentarinya dengan nada cuek, “tidak bermaksud begitu bagaimana?” Wanita berambut pendek dan berjaket biru itu menelan saliva kuat-kuat. “Jelaskan kepadaku, atau kamu akan menyesalinya hari ini juga!” ancam Risa serius. *** Di rooftop gedung perusahaan beberapa saat kemudian. “Sungguh, Kak! Saya tidak ada maksud buruk! Bu Sari bilang, katanya itu tidak akan menimbulkan masalah apa pun! Makanya saya cuma mengikuti perintahnya saja!” Icha berlutut di depan Risa yang duduk di bangku panjang sambil memeriksa isi ponselnya. Wanita muda itu tam
Kalimat itu adalah potongan dari kalimat pernyataan klarifikasi dari bos baru mereka. Walaupun bermakna kuat dan sangat sopan, tapi sekali baca semua pasti akan paham kalau bos mereka sangatlah marah mengetahui gosip yang beredar dalam semalam. Ada sebuah tautan yang dikirim ke grup, dan Risa langsung menekannya. Tautan itu mengarah menuju forum web perusahaan. Isinya benar-benar sangat mencengangkan dan membuat orang berdecak kagum. Sebuah postingan klarifikasi resmi diterbitkan atas nama akun resmi perusahaan. Isi forum bukan hanya mengenai pernyataan tegas dari Shouhei. Pernyataan mengenai foto-foto itu juga dibenarkan oleh Sekretaris Gina dan Pak Sudirman yang ada pada saat itu. Yang lebih luar biasa lagi adalah adanya rekaman CCTV dari ruangan tersebut. Pengambilan dari sudut yang kebetulan pas, memperlihatkan Risa yang berjalan pelan dan sedikit kikuk gara-gara terlalu lama berdiri tiba-tiba jatuh keseleo begitu saja. Raut wajah Risa di layar juga sangat alami, spontan ter
“Dengan hasil permainan semalam, kamu pantas mendapatkan hadiahnya. Ini adalah kopi latte kesukaanmu, dan kotak kue ini isinya ada berbagai rasa. Aku tidak yakin kamu suka rasa apa, jadi aku belikan saja beberapa yang paling enak di toko. Ke depannya, nanti beritahu aku saja kamu mau kue apa, ya?!” Risa tidak membalasnya, hanya tertawa aneh dengan nada dingin menyindir mendengar suaranya yang mendayu penuh bujukan, mencoba menarik lepas lengan yang ditahan oleh Bu Sari, tapi tidak juga dilepaskan. Jadilah keduanya ada aksi tarik-menarik yang membuat suasana menjadi tegang seketika. Risa melotot, tapi Bu Sari tidak mau kalah, akhirnya baru lepas setelah Vera datang melerai keduanya karena telah menjadi tatapan semua orang. “Aduh! Bu Sari! Repot-repot sudah bawa kue begini! Apa ini hadiah Risa untuk semalam?!” seru Vera, ada nada menyindir dalam suaranya, memaksa kedua orang tadi terpisah di kedua sisi tubuhnya. Mendapati Vera ikut campur, Bu Sari mendengus kesal, tapi langsung mena
“Apa maksudmu? Bukankah semua sudah selesai dengan luar biasa? Mereka tidak menggosipimu lagi, kan? Tinggal dua wanita itu saja yang akan bermasalah!” Mata Vera berkobar ketika mengatakannya. Suara Risa terdengar menciut kecil, sudut-sudut matanya berkilau oleh air mata, wajah memelas sedih bak anak kecil. “Ini tidak sesederhana yang kamu pikirkan, Vera....” “Apanya yang tidak sesederhana yang aku pikirkan?” Kedua alis Vera langsung naik, tampak baru menyadari sesuatu, lalu kedua tangan menarik kedua bahu Risa untuk ditegakkan, “atau, jangan-jangan, kamu ini sedang stres, ya? Takut calon suamimu mendengar gosip yang tidak-tidak? Tenang saja! Ada aku yang akan menjadi saksinya! Kamu tidak perlu berbicara yang berbelit-belit! Kamu bilang, dia akan datang menjemputmu sore nanti sekaligus mengenalkan kita semua kepadanya, kan? Ini adalah kesempatan bagus untuk menjernihkan masalah dari pihakmu sendiri! Dengan begitu, baik kamu dan Pak bos akan merasa sama-sama lega!” Risa termenung mem