Share

PART 7

***

Setibanya di istana megah milik keluarga Varell Damington, pria bersurai kelam memasuki halaman rumahnya dengan langkah tenang. Pria itu tahu jika lambat laun perselingkuhannya dengan Lea akan tercium juga apalagi oleh keluarga Bella.

Ketika pria berjas hitam tampak memasuki rumah, seluruh tatapan penghuni rumah teralihkan ke arahnya. Ruang tamu yang biasanya sepi kini mendadak menjadi ruangan penuh lautan manusia dari keluarga Bella.

Varrell terus melangkah menghampiri keluarga besarnya, ia tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. 

"Apa kabar semuanya? Bagaimana kabarmu Ayah? Ibu? Kakak ipar?" sapa Varell dengan nada santai sembari menghempaskan bokongnya di sofa mewah, dimana keluarga besarnya tengah berkumpul.

Tak ada jawaban. Keluarga Bella terlihat masam ketika melihat kehadiran Varell Damington, apalagi ditambah dengan sikapnya yang seolah-olah tak terjadi apa-apa.

"Varrell, katakan pada kami, apa yang kaulakukan dibelakang Bella?" tanya Louis  Brandon, ayah Bella dengan tatapan murka.

Bola mata pria paruh baya itu menatap anak menantunya dengan tajam. Setiap gerak Varell terkunci rapat di bola matanya yang hitam.

"Ayah, apa maksudmu?" tanya Varell tenang, ia mengendurkan dasi yang melilit lehernya sedari tadi.

"Jangan kaukira kami tidak tahu apa saja yang kau perbuat di belakang kami," imbuh Sarah Brandon dengan tatapan tak kalah sadis. Wanita ini tak kalah murka dengan suaminya.

Varell mengangkat sebelah alisnya, ia menyandarkan punggung di sofa yang saat ini tengah ia duduki. "Apa? Apa yang ingin kalian ketahui dariku?"

Semua membisu, memilih agar Varell sendiri yang membuka mulut dan menceritakan segala perbuatan busuknya.

"Aku tidak akan menjawab jika tidak ada yang bertanya," tantang Varell sekali lagi. Kali ini seluruh keluarga Bella hanya bisa saling tatap, seakan saling berunding untuk siapa dulu yang akan mengajukan pertanyaan.

"Varell, aku dengar kau berselingkuh. Menurutmu, apa itu benar?" Louis memberanikan bertanya, kali ini nada suaranya sedikit ia rendahkan.

Varell menghela napas. Bola matanya yang tajam kini balik menghunjam manik mata ayah mertuanya. "Jika iya, memang kenapa?"

Baik ayah maupun ibu mertua Varell, mereka sama-sama terkesiap. Raut wajah mereka berubah lalu kembali berpandangan satu sama lain. Mereka merasa keberatan akan sikap kurang ajar menantunya.

"Kenapa? Ada pertanyaan lain?" Varell menantang dengan penuh berani. Pria itu kini bersedekap, menyabarkan diri atas penghakiman keluarga Bella  terhadap dirinya.

Baik Louis maupun Sarah, mereka tak menyangka jika anak menantu yang mereka banggakan justru mengakui perbuatan tengiknya dengan terang-terangan di hadapan mereka. 

"Kenapa? Apa kurangnya Bella?" Kali ini Ria Brandon, selaku kakak ipar Varell yang melontarkan pertanyaan.

Tatapan mata Varell tertuju penuh pada Ria. Wanita berambut cokelat dengan dandanan mewah itu kini terbingkai jelas di kedua bola mata Varell. "Boleh aku melempar pertanyaan ini pada Bella?"

Keluarga Bella terbungkam, hanya bisa menahan marah. Tatapan dingin Varell kini menyorot keberadaan Bella yang duduk di tengah-tengah mereka.

"Bella, apa kekuranganmu? Apa kau bisa menjawabnya?" Suara Varell lirih namun penuh dengan sarkasme.

Bella terdiam, ia menelan ludah dengan susah payah.  Sepertinya susah bagi wanita itu untuk intropeksi diri.

"Kenapa aku berselingkuh? Kenapa aku memilih Lea daripada dirimu? Kenapa aku melakukan ini semua? Seharusnya kau bertanya dulu pada dirimu sebelum kau mengumpulkan keluarga besarmu untuk menyerangku," singgung Varell berusaha untuk menekan emosinya.

Suasana ruang tamu terasa sunyi, meski dihuni banyak orang, tidak ada satu orang pun yang berani menjawab apalagi membantah ucapan Varell Damington.

"Aku memilih wanita itu karena secara emosional dia bisa mengerti keadaanku. Dia tidak pernah menuntutku dan juga bisa membahagiakanku. Bella, seharusnya kau berterimakasih kepadanya. Karena bujukannya-lah aku menunda keputusanku untuk menceraikanmu," ucap Varell menatap tajam ke arah Bella.

"Apa? Cerai?" pekik Sarah terkejut. Wanita selaku ibu dari Bella itu tak sanggup untuk membayangkan jika putrinya kelak akan menjadi janda.

"Ya, apa kalian keberatan?"

"Varell, kami tidak suka kau menyia-nyiakan Bella. Bagaimanapun dia putri kami yang telah kau pinang. Dia sangat mencintaimu, kenapa kau tega ingin menyia-nyiakan Bella demi seorang wanita jalang yang hanya ingin harta dan uangmu saja," tukas Louis tak kalah tajam.

"Tak masalah sejalang apapun dia, senakal apapun dia, aku lebih mencintai Lea daripada Bella. Apa kau tahu ayah mertua, jika putrimu yang bermartabat ini bahkan tidak bisa membuatku 'berdiri' lagi."

"Varell, cukup!" Ria menyela dengan kesal. Kuping wanita itu memerah mendengar segala pengakuan Varell yang menyudutkan keberadaan Bella. Sedang di sana, Bella hanya tertunduk lalu menangis tak berdaya.

Varrell mengembuskan napas panjang, ia lalu beranjak berdiri dengan tegap. "Jika kalian ingin putri kalian masih tinggal di sini, sebaiknya kalian tidak usah turut mencampuri urusanku. Aku, Varell Damington, sekali lagi aku melihat kalian berkomplot untuk menyerangku seperti ini, maka tidak menunggu esok hari maka keluarga kalian akan hancur."

****

Suara bel apartemen menyadarkan lamunan Lea sore itu. Pikiran wanita itu melayang-layang entah kemana. Menghela napas, Lea meletakkan mug kesayangannya di meja lantas beranjak menuju ke depan pintu.

Wanita itu tertegun ketika mendapati sosok Kevin berdiri di depan pintu apartemennya. Tersadar, Lea lantas menutup kembali pintunya. Namun sayang, Kevin cepat tanggap. Pria berwajah tampan segera menahan pintu lalu merangsek masuk.

"Lea, aku mohon! Beri waktu aku beberapa menit," pinta Kevin sembari menaut jemari tangan Lea Khalilea.

"Ada apa? Tidak seharusnya kau datang kemari," ucap Lea tak berkenan.

"Lea, siang tadi aku ...." Kevin merona merah, ia tidak sanggup melanjutkan ucapannya yang jelas saja membuatnya malu setengah mati.

"Aku tahu. Jangan bahas itu lagi," dengkus Lea lalu melepaskan tautan tangan Kevin. Wanita berwajah ayu itu melangkahkan kaki ke sofa kecil dan duduk merapat di sana.

"Lea, sebagai temanmu, aku sungguh tidak ingin kau menemui permasalahan seperti tadi. Aku-, aku merasa tidak rela ketika ada orang lain yang memperlakukanmu dengan kasar seperti tadi," ungkap Kevin turut duduk di samping Lea.

"Kevin, berhentilah mencampuri urusanku. Jika ada orang yang terluka dan melampiaskannya padaku, itu adalah urusanku dan bukan urusanmu," tukas Lea kurang suka. Wajah ayu itu terlihat tertekan, ia membuang pandangan ke sisi lain.

Kevin terdiam, perlahan ia meremas jemari Lea dengan lembut dan perhatian. "Seperti yang aku katakan tadi, Lea, berhentilah memasuki rumah tangga orang lain. Bekerjalah di tempatku dan aku bisa memberikan beberapa uang untukmu."

"Kevin ...."

"Lea, dengarkan aku sekali lagi. Ini demi hidupmu, ini demi masa depanmu. Lea, kau dengan wanita itu sama-sama memiliki perasaan sebagai perempuan. Tidak pernahkah kau membayangkan bagaimana jika kau berada di posisinya?" ucap Kevin mencoba menasehati.

Lea terdiam, ia tertunduk pasrah. Sepertinya ia mulai lelah dengan kebawelan Kevin padanya. Lea akui, hanya pria itulah yang tidak merasa jijik berdekatan dengannya setelah tahu yang sebenarnya.

"Lea, aku peduli padamu." Kevin kali ini berkata sedikit berbisik, kedua tangannya menangkup pipi tirus Lea dan menghadapkan ke arahnya. Mereka bertatapan cukup lama.

"Kevin, aku mohon ...."

"Lea, aku juga mohon padamu. Dengarkan dan pertimbangkan ucapanku, Lea. Aku tahu, tidak ada cinta untuk Varell di matamu."

"Kevin, kau salah. Aku benar-benar mencintainya Varell. Aku sangat mencintainya, jika tidak mana mungkin aku bertahan," sanggah Lea pelan.

"Tidak!" Kevin menggelengkan kepala. "Kau tidak mencintainya. Kau punya alasan sendiri untuk mendekatinya. Kau punya tujuan lain selain harta dan menumpang hidup. Lea, aku selalu dekat denganmu, aku selalu tahu apa saja tentang dirimu. Lea, berhentilah pura-pura. Jangan siksa hidupmu seperti ini."

Lea terdiam, ia tertunduk. Wanita itu merasa kalah ketika Kevin dengan leluasa membeberkan segala perasaan yang tersembunyi dalam benaknya.

"Lea, aku tidak berpura-pura. Aku-, aku benar-benar mencintaimu. Kumohon, berhentilah mengganggu Varell. Hiduplah bersamaku tanpa rasa takut. Lea, aku berjanji, aku akan menerima dirimu apa adanya. Siapa dirimu, seperti apakah kelakuanmu, aku takkan memperdulikan itu. Lea, aku hanya mohon padamu. Berhentilah, mari hidup bahagia bersamaku."

Kevin berbisik sembari menatap dua bola mata Lea yang perlahan berair dan meneteskan airmata. Rasa bersalah kini menghunjam dada Lea. Ia tahu, apa yang ia lakukan adalah salah. Namun, ia terjebak terlalu dalam hingga sulit baginya untuk bangkit apalagi untuk meninggalkan.

"Aku tidak akan memaksamu meninggalkannya sekarang tapi coba dan coba. Memang tidak akan se-instan itu tapi aku yakin kau bisa kembali  ke kehidupanmu yang normal," ucap Kevin memberi semangat. Pria itu menghapus air mata Lea dengan lembut.

Perlahan Kevin mendekatkan wajahnya, kehendak hati ia ingin sekali menenangkan hati wanita pujaannya tersebut. Tanpa Kevin sadari, bibirnya perlahan menaut bibir lembut Lea.

Ciuman singkat itu terasa begitu manis hingga akhirnya Lea tersadar dan mendorong tubuh Kevin agar sedikit menjauh. "Aku, aku belum bisa meninggalkan Varell. Belum, belum bisa."

Wajah Kevin terlihat kecewa tapi ia segera menghela napas dan merangkul bahu Lea dengan lembut. "Aku tahu. Kau pun sudah cukup dewasa untuk berpikir. Lea, jika kau membutuhkan bantuanku jangan segan untuk datang kepadaku. Aku dengan senang hati mengulurkan tanganku padamu. Lea, jangan pernah lupa, jangan pernah lupa bahwa masih ada pria ini yang akan menunggu  dengan setia kepulanganmu. Lea, aku akan tetap berdiri di sampingmu."

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status