Pandangan Chea tidak lepas memandangi Kael yang sedang bernyanyi sambil bermain gitar di atas panggung. Secara kebetulan ketika Chea sedang ingin menikmati waktu me time-nya, dia tidak sengaja melihat kedatangan Kael di Cafe. Kael yang datang bersama dua temannya tapi Kael lekas meninggalkan kedua temannya dan menuju ke panggung. Chea sudah tidak tahu ke mana dua teman Kael itu. Fokusnya hanya tertuju kepada Kael.
Kael nampak menikmati ketika bermain gitar sambil menyanyikan lagu milik band Gigi. Beberapa kali, Kael melakukan kontak mata dengan para pengunjung hingga akhirnya menatap ke arah Chea. Sontak Chea tersenyum meski dirinya tidak yakin bahwa Kael menyadari keberadaannya.
Chea lantas memberikan tepuk tangan dengan semangat usai lagu Arman Maulana cs itu selesai Kael nyanyikan. Tidak hanya Chea yang memuji penampilan Kael dengan bertepuk tangan, pengunjung lainnya pun begitu.
“Terima kasih atas kesedian anda sekalian mendengarkan suara saya bernyanyi. Nggak terasa, saya udah nemein kalian di sore hari ini selama hampir satu jam. Jadi, udah semestinya saya pamit. Bye, semua,” ucap Kael mengakhiri pertunjukannya.
Satu jam? Chea bahkan tidak merasa bahwa Kael sudah bernyanyi seorang diri selama satu jam. Mungkin karena dia sangat menikmati penampilan Kael yang tidak hentinya membuatnya terpukau.
“Kamu kok di sini?” tanya Kael ketika menghampiri Chea.
“Mampir doang. Habis bosen kalo di rumah.”
“Ujiannya gimana?”
Lima hari terakhir ini, Kael sering menanyakan bagaimana ujian sekolah yang Chea jalani. Dan karena itu mereka menjadi sering berkirim pesan.
“Tinggal pasrah aja sih sama nilainya.” Chea mulai murung memikirkan nilai ujiannya nanti. Dia takut nilainya tidak meningkat dan membuat Kael digantikan dengan orang lain.
“Kael!” suara perempuan memanggil Kael.
Perempuan yang sepertinya seusianya Kael berjalan menghampiri mereka. Chea menatap gadis yang sengaja mengubah warna rambutnya menjadi agak blonde dengan sinis.
Jangan-jangan pacaranya Kael.
“Ditungguin juga.”
Chea menatap diam-diam perempuan yang tanpa sungkan merangkul pundak Kael yang duduk disebelahnya berdiri. Pemandangan tak mengenakan itu membuat darah Chea mendidih.
“Siapa, Kael?” Kael memajukan sedikit kursinya agar perempuan itu tak merangkulnya lagi.
“Oh ... ini Chea. Cewek yang aku ceritain.”
Chea tersentak dengan jawaban Kael saat memperkenalkan dirinya kepada perempuan itu. Dia mulai penasaran kira-kira Kael bercerita apa saja tentangnya kepada perempuan itu. Tapi, tunggu! Kenapa Kael menggunakan kata ‘aku’ saat berbicara dengan perempuan itu. Chea penasaran sedekat apa hubungan mereka sampai Kael menggunakan kata ‘aku’ kepada perempuan itu.
“Chea, ini Lily. Dia temen saya.”
Chea berusaha menutupi senyuman diwajahnya usai Kael menyebut perempuan bernama Lily sebagai teman. Dia merasa lega karena dugaannya salah tentang hubungan Kael dan Lily tapi jika melihat ekspresi Lily saat kata ‘teman’ disebut oleh Kael, perempuan itu nampak murung.
“Yuk! Nino sama Pak Bram udah nungguin lo,” ajak Lily.
“Chea, saya pergi dulu ya.”
Oh ... nggak bisa. Kael nggak boleh pergi sama cewek itu.
“Tu—tunggu, Kael!”
Kael menatap Chea begitupun dengan perempuan itu.
“Ini apa itu ...-” Chea menggaruk kepalanya tak gatal.
Dia memaksakan otaknya untuk berpikir cepat menemukan alasan agar Kael tetap bersamanya.
“Aku kehabisan uang untuk pulang. Tadi pas mau bayar minuman ternyata aku nggak bawa uang cash banyak. Jadi, anterin aku pulang ya?”
Masuk akal nggak sih? Ah... bodoh lah!
###
Kael berusaha untuk menahan tawanya mendengar alasan Chea yang memintanya untuk mengantarkan pulang. Chea bahkan tidak bisa melihatnya ketika berbicara kepadanya menandakan bahwa dia memang sedang berbohong kepadanya. Tapi, Kael tidak mengerti alasan Chea harus berbohong.
Kael memandang Lily yang sejak tadi hanya berdiri di sampingnya. Gadis yang dia kenal sebagai sepupu dari temannya yang bernama Nino itu seakan memberi isyarat bahwa Kael harus menolak permintaan Chea.
“Pinjemin duit aja, Kael. Dia kan butuh uang buat pulang.”
Kael tidak sependapat dengan Lily. Dia justru ingin mengantarkan Chea pulang dibandingkan membiarkan Chea pulang sendirian.
“Kamu mau pulang sekarang?”
“Hm?” tanya Chea, “Kamu nggak bisa anterin aku pulang?” Chea berubah kecewa.
“Nggak. Maksud saya, kamu mau kan nunggu dulu? Saya harus ketemu sama pemilik Cafe ini. Saya anter kamu setelah saya ketemu sama pemelik Cafe. Gimana?”
“Oh ... bisa kok.”
Kael memalingkan wajahnya karena dia ingin tersenyum saat melihat ekpresi wajah Chea yang berubah dari terkejut ke senang.
“Kael, bukannya kita mau pergi bertiga sama Nino?”
“Kalian aja. Aku kan juga harus kerja setelah ini.”
Kael melihat ekspresi kecewa Lily. Lily memaksanya untuk ikut bersama dia dan Nino ke tempat Pamannya yang sedang membuat sebuah acara. Tentu saja dia tidak ingin hadir dalam acara keluarga yang bukan keluarganya meski Nino merupakan temannya sejak SMA. Dia merasa tidak nyaman karena tidak diundang dalam acara tersebut.
Dan juga ... dia tidak ingin terlalu percaya diri tapi sudah berulang kali Nino mengatakan kepadanya jika Lily menyukainya. Kael juga bisa merasakannya dari cara Lily yang selalu bersikap baik dan berusaha mengambil hatinya. Sayangnya, dia hanya menganggap Lily sebagai adiknya saja mengingat Lily adalah adik sepupu Nino.
Saat Lily datang kemudian merangkulnya di depan Chea beberapa menit lalu saja, Kael merasa tidak nyaman. Dia tidak ingin Chea salah paham dan mengira Lily adalah kekasihnya.
###
Empat puluh lima menit Chea masih menunggu Kael. Dia mulai merasa bosan karena belum pernah dalam hidupnya menunggu selama ini sendirian. Kael masih asyik berbincang dengan Lily dan dua laki-laki lainnya di meja lain. Entah apa yang sedang mereka berempat bicarakan hingga memakan waktu selama ini.
Chea selalu menunjukkan senyumannya ketika dia dan Kael bertemu pandang. Dia tidak ingin terlalu kepedean tapi sudah berkali-kali Kael memandang ke arahnya sejak bergabung dalam pembicaraan dengan ketiga temannya.
Chea melirik ponselnya. Pesan dari Kael masuk. Dia pun membuka pesan tersebut.
Kael :
Maaf, nunggu lama. Bentar lagi selesai kok.
Chea tersenyum karena mengetahui bahwa Kael mencemaskan dirinya yang sedang menunggu sendirian.
“Chea?”
Chea menoleh dan mendapati Mero berdiri di sampingnya.
“Ngapain di sini?” tanya Chea yang terkejut dengan keberadaan Mero.
“Masukin laundry-an nyokap,” jawab Mero ngasal.
Chea menatap sinis Mero ketika laki-laki itu menjawabnya dengan asal. Chea meletakkan tangannya dipelipisnya dan mendesah kesal. Kehadiran Mero akan membuat dia gagal pulang dengan Kael karena Kael bisa saja menyuruhnya pulang dengan Mero.
Mero langsung duduk di kursi yang berada di hadapan Chea tanpa meminta izin kepada Chea terlebih dahulu, “Lagian pertanyaan lo aneh. Sama siapa lo ke sini?”
“Gue sama temen.”
Chea memang tidak berbohong. Dia memang bersama Kael meski Kael sedang berada di meja berbeda dengannya.
Mero celingukan ke kanan dan ke kiri, “Mana temen lo? Belom dateng? Cewek atau cowok? Kalo cewek boleh lah kenalin ke gue.”
Suara seorang laki-laki berdeham ditengah pembicaraan Chea dan Mero. Kedua siswa SMA itu pun serempak menoleh ke sumber suara. Kael sudah berdiri di antara keduanya dengan tatapan tidak bersahabat.
“Ini temen lo?” Mero menggerakan sedikit dagunya saat menunjuk pada Kael.
Chea mengangguk. Lalu memberi isyarat agar Mero lekas pergi dari hadapannya dengan menggerakan tangannya.
Mero pun langsung menyadari bahwa keberadaannya tidak diperlukan sehingga memilih untuk meninggalkan Chea dan Kael.
“Yuk, balik!” ajak Chea.
###
Pandangan Kael tidak lepas memandang Chea yang berdiri tepat di depannya. Berdiri bersamanya dan para penumpang KRL yang tidak kebagian tempat duduk. Dia sudah menjelaskan kepada Chea bahwa jika mereka naik taksi, Kael akan merogoh uang empat bahkan bisa lima kalo lipat lebih banyak dibandingkan naik KRL. Mungkin karena kepepet atau alasan yang tidak bisa Kael duga, gadis itu menyanggupi naik KRL.
“Kamu pertama kali kan naik KRL?” tanya Kael.
Chea tersenyum tak percaya, “Sering kalik sama temen-temen.”
Kael berdeham menutupi rasa malunya karena salah menilai Chea, “Habis kalo saya liat kamu lebih sering naik taksi.”
“Aku naik taksi bukan karena nggak mau naik KRL. Tapi pengen lebih privasi aja dan kamu kan tahu kalo masuk ke kompleks rumahku jauh jalan kakinya dari stasiun.”
“Cowok tadi temen kamu?”
Saat melihat Chea berbicara dengan seorang laki-laki, Kael sudah mulai penasaran tentang laki-laki itu.
“Iya.”
“Kamu bilang ke saya kalo dateng sendirian kenapa ada temen kamu?”
“Aku aja nggak tahu kalo dia di sana.”
“Terus kenapa nggak pulang sama dia?”
“Kan kamu bilang mau anterin aku pulang.”
Kael menahan senyumannya ketika mendengar bahwa Chea lebih memilih pulang bersamanya.
“Oh ...iya, makasih udah bantu aku bilang ke Ayah kalo aku nggak mau kuliah Kedokteran.”
“Saya cuman bantu aja kok.”
Chea kemudian bersenandung. Menikmati perjalanan KRL yang masih setengah jam lagi sampai di Stasiun terdekat kompleks rumahnya.
Kael hanya memandangi wajah gadis di depannya dan tanpa sadar, seulas senyuman menghiasi wajah Kael ketika memperhatikan Chea yang sedang bersenandung.
Pukul tiga sore lewat dua belas menit. Tanggal tiga di bulan kesebelas. Pertama kalinya, hati Kael berdebar karena seorang gadis dan gadis itu adalah Chea.
“Jadi, setelah aku tahu kamu menghilang. Aku sempet lihat kamu di Singapura ...,” Chea menggeleng mengingat peristiwa itu, “Aku pasti udah gila karena halusinasi kamu ada di sana karena terlalu khawatirin kamu.” Kael meletakkan cangkir latte panas di atas meja, “Singapura? Di Stasiun Jurong East?” Chea terkejut ketika Kael mengetahui di mana dia melihat Kael saat masih berada di Singapura. Kael tersenyum melihat Chea yang terkejut, “Itu emang aku lagi. Kamu nggak lagi berhalusinasi.” Alis Chea menyatu karena keningnya yang berkerut. “Aku emang ke Singapura untuk cari kamu dan nggak sengaja aku malah lihat kamu sama sepupumu. Awalnya aku mau langsung temuin kamu tapi ternyata masih ada yang ngenalin aku sebagai K jadi aku nggak jadi nemuin kamu karena takut malah jadi berita baru,” jelas Kael. Chea memberikan pukulan ke Kael membuat Kael merintih terkejut. “Kok dipukul sih?” tanya Kael. “Habisnya kamu buat aku kayak oran
Hari bahagia Zafri dan Shena pun tiba. Keluarga kedua belah pihak beserta tamu undangan yang hadir menyaksikan penyatuan cinta mereka yang diadakan di sebuah taman. Beberapa tahun belakangan ini konsep outdoor memang sedang menjadi trend untuk pasangan pengantin muda seperti mereka. Garden party. Zafri terlihat tampan dan gagah dengan setelan tuxedo putih yang pernah diperlihatkan Shena di obrolan grup mereka bertiga. Bedanya rambut Zafri disisir rapi dihari istimewa Zafri. Shena tak ingin kalah dari Zafri. Dia terlihat cantik dan anggun dengan mengenakan gaun yang warnanya senada dengan Zafri. “Permisi,” ucap seseorang. Sosok pria mengenakan setelan jas hitam menghampiri Chea. Parasnya tampan dengan sepasang mata cokelat menatap Chea dengan lembut. “Saya Richard,” ucapnya mengulurkan tangan kepada Chea. Sedikit ragu Chea menyambut uluran tangan pria itu, “Chea.” “Iya saya tahu. Kamu sepupunya Shena kan?”
Chea asyik dengan ponselnya mencari tahu perkembangan berita Kael yang sudah tiga hari ini menghebohkan jagat hiburan. Media nampaknya mulai mecari tahu alasan Kael mundur dari dunia yang sudah membesarkan namanya. Mulai dari Kael akan menikah dengan seorang gadis dan hidup di pinggir kota, Kael yang mengidap sebuah penyakit dan masih banyak kabar miring tentang Kael. Tapi pihak agensi Kael lekas membantah semua kabar tersebut dan membuat Chea merasa lega meski belum mengetahui keberadaan Kael. “Chea, kamu dengerin aku?” tanya Shena kesal dengan mendorong tubuh Chea pelan. Chea menatap Shena yang berdiri di sampingnya dengan terkejut. Mereka sedang berada di Stasiun. Chea melihat Shena yang kesal karena sudah mengabaikannya. “Ha?” tanya Chea mungkin sebelumnya Shena sempat mengatakan sesuatu tapi tak dia hiraukan karena sibuk dengan ponselnya. Shena memasang wajah gondok, “Kamu masih cari tahu tentang Kael?” Chea enggan menjawab dan ha
Singapura. Sudah hampir sebulan Chea menjadi tutor Karina dan dalam kurun waktu sebuan, Karina bisa dia taklukan. Gadis yang sedang memasuki fase mencari jati diri itu sudah mulai mendengarkan ucapannya. Hadir tepat waktu saat jadwal mereka bertemu untuk belajar. Tidak jarang hadir lebih dulu dibandingkan Chea. “Kak, aku boleh minta sesuatu?” tanya Karina dengan wajah ragu. “Apa?” Karina mulai menimbang-nimbang permintaan yang ingin dikatakan gadis itu kepadanya. Nampaknya sebuah hal yang serius. “Kak, aku kan ikut pameran dan lukisan aku menang.” “Waaah. Selamat, ya,” ucap Chea yang bahagia dengan prestasi Karina. “Tunggu dulu! Masalahnya, yang ambil hadiah harus sama orang tuanya. Kakak bisa nggak wakilin aku sebagai Kakak aku? Nanti aku akan bilang kalo orang tua aku lagi tugas di luar jadi Kakak yang ngegantiin. Mau ya?” “Kenapa kamu nggak bilang aja sama Tante Dewi kalo kamu menang? Beliau pasti seneng deh
Singapura. “Chea! Makan!” teriak Tante Monic memanggilnya untuk lekas keluar dari kamar. Chea pun keluar dan menghampiri Tante Monic yang sudah duduk bersama Paman Joe, suami Tante Monic. Hidangan makan malam sudah tersaji siap untuk mereka santap. Shena tidak ikut bergabung makan malam dengan mereka karena lembur bekerja. Akhir-akhir ini Shena sering lembur bahkan akhir pekan pun Shena masih harus bekerja. “Gimana Karina?” tanya Tante Monic sembari mengambilkan nasi untuk suaminya. Chea menghela nafas. “Tante kan udah bilang kalo anaknya susah diatur. Kamunya ngeyel mau jadi tutor dia.” Tante Monic memang sudah mewanti-wanti karena tidak ingin Chea menjadi terbebani dengan sikap Karina. “Udah terlanjur juga. Lagipula anaknya udah mulai nurut kok,” jawabnya kemudian menyantap makan malamnya. Saat mengunyah masakan Tante Monic tiba-tiba saja Chea rindu masakan Bu Nur. Masakan Tante Monic tidak buruk. Dia bahkan
Bu Nur masih enggan melepaskan Chea yang kini berada dalam dekapan pelukannya. Siang ini adalah hari keberangkatan Chea ke Singapura. Chea mampir ke Restoran askara untuk berpamitan kepada wanita yang sudah seperti Ibu baginya selama kurun waktu setengah dekade dalam hidupnya. Derai air mata tentu tak absen hadir di tengah keduanya yang sudah seperti pasangan Ibu dan anak itu. Padahal Chea sudah bertekad untuk tidak menangis saat berpamitan dengan Bu Nur. Dia bahkan sempat meledek Bu Nur yang menyambutnya dengan mata berkaca-kaca. Ketegarannya runtuh saat Bu Nur memeluknya seakan memintanya untuk tidak perlu pergi padahal beliau juga yang menyuruhnya untuk menenangkan diri ke Singapura. “Bu, udahan pelukannya. Nanti Chea ketinggalan pesawat,” kata Zafri mengingatkan. Bu Nur pun akhirnya melepaskan pelukannya, “Kamu hati-hati ya. Jaga diri baik-baik. Jangan lupa telpon Ibu. Oke?” Chea mengangguk, “Makasih ya Bu udah baik sama aku selama ini.” “