Share

HARI PERTAMA YANG MENEGANGKAN

“Dia Masih muda. Masih labil. Aku harus pahami keadaannya. Aku juga pernah ada di posisinya,” kataku pada diri sendiri. Aku menatap pantulan wajahku di cermin, baju pengantinku kini sudah berganti dengan baju piyama lengan panjang yang berbahan dasar kaos. Dari dalam cermin aku bisa melihat wajah Julian yang sedang membuka pintu kamar. Dia juga sudah berganti pakaian. Dengan senyum aneh dia berjalan ke arahku. Menatap mataku lewat pantulan cermin. Julian semakin mendekat dan aku tidak punya niat untuk berbalik meski hanya sekedar untuk menatapnya.

Julian meletakkan dagunya di pundakku. Aku bergerak untuk menggesernya namun dengan sigap dia menahan tubuhku. Aku hanya mendesah kesal.

“Kamu sudah mengirim surat pengunduran dirimu?” rungut Julian. Aku menggeleng lalu pura-pura sibuk menghapus make up dengan alkohol di wajahku.

“Kenapa?” tanya Julian masih dengan gaya manjanya.

“Karena aku tidak perlu mengundurkan diri. Aku bisa mengurus pekerjaan dan rumah sekaligus,” jawabku enteng.

“Bukan begitu,” rungut Julian. Dia lalu membalikkan tubuhku menghadap tubuhnya. Menatapku dalam-dalam hingga merasakan debaran aneh di balik dadaku. Padahal aku yakin, aku sudah cukup dewasa untuk merasakan cinta setelah menikah, bukan lagi remaja labil yang dia sendiri tidak paham apa yang diinginkannya.

“Lalu apa?” tanyaku. Aku menatap Julian kasar. Aku tidak ingin dia mempermainkan perasaanku. Aku tahu siapa Julian, dia pemuda brengsek yang tahu betul bagaimana mempermainkan hati perempuan sepertiku.

“Aku tidak ingin kau jatuh cinta pada orang lain,” jawabnya asal.

“Kalau jatuh cinta muda bagiku, maka diusia yang sama sepertimu aku pasti sudah menikah,” kataku kesal.

“Tetapi kau mudah membuat orang lain jatuh cinta,” rajuknya.

“Apa sih,” kataku kesal kemudian mendorong tubuhnya ke samping untuk memberiku jalan meninggalkannya yang masih manja.

Aku berjalan keluar kamar dan Julian masih setia mengekoriku. Dia mengdahuluiku saat aku melangkah ke dapur. Wajahknya di telungkupkan ke kulkas. Aku tersenyum melihatnya. Dia memang pemuda labil yang membujuk dengan cara merajuk.

“Minggir,” kataku. “Aku haus,” lanjutku.

“Kau harus berhenti kerja,” rengeknya.

“Baiklah,’ kataku. Jika tidak menuruti keinginannya, aku rasa aku akan mati berdiri karena haus. Aku mengambil air dari dalam kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas, belum juga puas minum, Julian sudah merebut gelas dari genggamanku lalu meneguknya hingga tandas. Aku menatapnya jengkel.

“Masa ambil air sendiri tidak bisa,” rungutku.

“Aku tidak bisa menahan haus saat melihat kau menenguk air minum dengan begitu seksinya,” jawab Julian asal. Aku kembali menatap jengkel ke arahnya. Julian menatapku intens, lalu memelukku dari belakang dan berbisik sesuatu di telingaku. Aku tidak bisa mendengar apapun, hanya rasa geli yang membuatku terus tertawa.

“Ku bantu kau ganti baju ya,” katanya dengan cengiran.

“Aku sudah ganti baju. Tidak kau lihat?” kataku penuh penekanan.

“Ganti lagi,” bujuknya kemudian.

“Apa yang kau inginkan?” tanyaku dengan tatapan jengkel.

“Boleh? Sekarang,” katanya dengan alis terangkat. Aku tersenyum melihatnya. Kadang aku merasa jiwa kekanak-kanakannya dapat mengimbangiku. Dunianya yang ceria akan menghapus duniaku yang kelam. Aku yakin dia akan memberikan banyak warna dalam rumah tangga kami.

Julian menatapku penuh permohonan. Dia suamiku dan wajar jika dia meminta haknya. Aku mengangguk. Julian langsung mengendongku masuk ke kamar. Meski dia kurus dan terkesan lemah ternyata dia cukup kuat untuk mengangkatku. 45 kilo._..._

Aku menggeliat. Membuka mataku perlahan saat mentari pagi masuk menyusup melalui jendela kamar pengantinku dengan Julian. Aku bahagia. Sangat bahagia. Hingga haris ini aku sambut dengan senyuman. Aku menatap ke arah samping, tempat Julian tidur semalam. Dia sudah tidak disana. Aku duduk mengumpulkan nyawaku lalu menguap. Aku menatap sekeliling kamar berharap Julian ada disana atau mungkin tiba-tiba muncul dari arah belakang memeluk erat pinggangku seperti semalam.

“Julian,” panggilku lembut. Aku berkeliling rumah mencari Julian namun tidak ada tampak batang hidungnya. “Apa dia kerja?” tanyaku pada diri sendiri. Tetapi ini hari pertama kami setelah menikah, minimal dia punya beberapa hari libur. Lagi pula kami belum bulan muda. Yang semalam terjadi anggap sebuah kecelakaan. Kami harus bulan madu untuk membuatnya lebih indah.

Aku lelah keliling rumah. Membuka setiap pintu di rumah ini. Meski aku baru sadar bahwa rumah ini terlalu luas untuk kami tinggali.

“Hadiah pernikahan dari mami Angel,” begitu kata Julian saat kami pertama kali tiba di rumah ini. Tiba-tiba hpku berdering. Ada nama Mami Angel tertera di layar hp tersebut. aku menekan tombol hijau dengan icon telfon.

“Iya mam...” jawabku.

“Ke rumah sebentar nak, Julian sedang mengamuk disini,” kata Mami Angel dengan nada suara bergetar.

“what?” tanyaku lalu langsung mematikan sambungan telfon. _..._

Aku menatap heran melihat kekacauan yang terjadi. Baru saja aku masuk ke dalam rumah sudah disungguhi guci pecah, piring, gelas dan masih banyak lagi lainnya. Mami Angel sedang duduk cemas di kursi ruang tami sambil memegangi dahinya yang berkeringat dingin. Di sampingnya tergeletak travel bag milik Julian. Aku mendekati Mami Angel lalu menyentuhnya dengan lembut.

“Kau sudah datang nak?” tanya Mami Angel.

“Ada apa mi?” tanyaku hati-hati. Mami menangis kemudian memeluk pinggangku. Aku membelai lembut rambut Mami Angel. Kepala Mami Angel telungkup di perutku. Dia terisak.

“Kenapa Julian mengamuk?” tanyaku.

“Entahlah. Dia pulang membawa travel bag. Saat mami memintanya kembali ke rumah kalian, dia langsung mengamuk dan bilang kalau Mami berkomplot membohonginya, mami nggak ngerti,” tangis mami pecah setelah menceritakan semua itu. Aku hanya diam, bingung dengan penjelasan Mami.

Julian dengan wajah angkuh menapaki tangga turun dari lantai dua rumahnya. Aku menatapnya penuh amarah, dia tertawa sinis membuat hatiku tiba-tiba perih. Aku melepaskan pelukan Mami Angel lalu melangkah menghadang langkah Julian yang hendak keluar rumah.

“Apa lagi?” tanyanya dengan gaya angkuhnya.

“Kita harus bicara, jangan seperti bocah.” Kataku. Dia menatapku tajam karena tersinggung dengan kata bocah yang baru saja aku ucapkan.

“Mana lebih baik menjadi bocah dari pada menjadi pelacur?” bentaknya penuh penekanan. Aku langsung melayangkan tamparanku ke wajahnya. Dia meringis dan menatapku penuh kebencian.

“Aku bukan perempuan nakal. Jika terjadi sesuatu yang buruk padaku. Aku menganggapnya itu sebagai sebuah takdir dan bukan buah dari perbuatan bodohku,” kataku dengan tangis yang hampir pecah.

“Tunggu saja gugatan cerai. Aku akan mengganti rugi setiap kerugian financial yang kau rasakan,” kataku lalu berbalik meninggal Julian.

Aku tidak menyangka jika pernikahanku berakhir seperti ini. Disaat aku mulai mencintai Julian dan berharap membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah. Warahmah. Akhirnya apa yang aku takutkan terjadi juga. Aku sudah menginjakkan bara api di depan rumah tanggaku. Aku takut melangkah lebih jauh karena bisa saja di dalam sana penuh dengan kobaran api. Aku akan mundur selangkah demi selangkah, melupakan semuanya. Dan yakinkan pada hidupku dan semua orang bahwa tanpa pendampingpun aku bisa hidup dengan sempurna._..._

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status