Austin membuka mata, dan melihat Daniella yang sedang tersenyum di depannya. "Selamat pagi."Pria berkulit putih itu terlihat mencoba mengingat kembali, mengapa Daniella bisa berada di tempat tidurnya? Ah, dia baru ingat sekarang. Semalam setelah Anna pulang, dia meminta Daniella datang. "Kau belum pulang?" tanya Austin dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur. Daniella menggeleng dengan senyum yang tidak pernah terlepas dari bibirnya. Dia suka melihat Austin jika baru bangun tidur seperti ini. Ketampanan Austin terlihat begitu nyata. "Kau kelelahan? Jika iya kau bisa mengambil jatah liburmu hari ini, Daniella.""Denganmu di sini?" tanya Daniella dengan nada manja. Jari jemari wanita itu sudah menari, mengusap dada telanjang Austin dengan perlahan, yang mana membuat Austin langsung tersenyum kesenangan. Austin melenguh saat merasakan sentuhan lembut tangan Daniella. "Daniella, kau mau mencoba merayuku?""Tidak. Aku tidak perlu merayumu, Austin."Lagi-lagi Austin mel
"Dominic? Tidak. Bukan dia," sergah Anna cepat. Emily menghembuskan napas dengan lega. Setelah itu dia melihat Anna yang sedang menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Kenapa kau langsung terpikirkan tentang Dominic, Emily? Memangnya Dominic pria yang seperti itu?"Emily terlihat kikuk. Gadis itu tertawa hambar dan kembali berjalan menuju restoran. "Mana mungkin, Dominic tidak seperti itu. Aku saja sudah lupa kapan terakhir kali melihat Dominic berkencan dengan wanita. Dua tahun lalu, atau mungkin tiga tahun lalu, ya," jawab Emily mencoba mengingat-ingat. "Sudah selama itu?""Ya, kudengar ibunya sangat protektif. Semua wanita yang berkencan dengan Dominic harus sesuai dengan standar ibunya.""Standar? Mereka punya standar untuk seorang wanita?""Iya, kau tidak tahu, ya? Para orang-orang kaya seperti keluarga Williams itu punya standar khusus untuk calon pasangan hidup anak-anaknya. Misalnya dari segi pendidikan, kecantikan, dan yang paling penting dari keluarga pengusaha mana mereka b
Dominic menarik tangan Anna, dan membawa gadis itu berjalan ke belakang kantor. Menuju hutan pohon pinus, setelah rapat mereka bersama dengan orang-orang dari perusahaan jasa iklan berakhir. "Dom, kau mau membawaku ke mana?""Ikut saja."Anna tidak lagi berbicara. Dia hanya mengikuti Dominic yang masih memegang tangannya. Menyusuri jalanan bersalju, dan pepohonan yang menjulang tinggi. Sampai Anna melihat danau yang belum pernah dia lihat di depan matanya, dan itu membuat sorot mata Anna berbinar kagum. "Wah, kau tahu dari mana ada danau di sini?""Kau lupa, ya? Aku pemilik Sky Crystal," jawab Dominic dengan wajah sombongnya, dan sukses membuat Anna mencebik. "Aku tahu di mana saja letak-letak danau di sini. Kau tau ada air terjun di sini?""Air terjun?" tanya Anna dengan wajah tidak percaya. Dia tidak tahu jika di sekitar resort ada air terjun. "Kau tidak tahu?"Anna menggeleng pelan. "Ck, sayang sekali. Di musim semi nanti aku akan mengajakmu ke sana.""Memangnya di musim semi
"Kau melihat Anna, Emily?" tanya Austin pada Emily yang sedang duduk santai di depannya. Sudah beberapa jam sejak rapat berakhir, dia sama sekali belum melihat keberadaan Anna. Gadis itu hilang begitu saja, tanpa mengatakan apa pun. Emily hanya menggeleng. Mereka duduk bertiga bersama Harry di kantor Austin. Menunggu jam makan malam, dan berencana makan bersama nanti. "Dominic juga tidak kelihatan sejak tadi," gumam Austin. Namun, dia tidak terlalu memikirkan Dominic karena Dominic adalah seorang pria. Hanya Anna yang menjadi pikirannya sekarang. "Harry!" panggil Emily dengan nada manja. Gadis itu bergelanyut pada lengan Harry. "Kau tahu tidak, kemarin Anna menanyakan sesuatu denganku?""Apa?" Austin mengacak rambutnya kasar karena frustrasi saat dia diabaikan oleh pasangan yang sedang dilanda rindu di hadapannya itu. Jadi, Austin memutuskan untuk keluar mencari Anna. Namun, sebelum Austin melangkahkan kakinya keluar, perkataan Emily membuatnya mematung. "Dia bertanya padaku, k
"Dom, sepertinya akan turun hujan salju lagi. Kita harus cepat kembali." Dominic menatap langit yang mulai menggelap di atas mereka. Setelah beberapa menit duduk dalam diam karena Anna mendiamkannya begitu saja, akhirnya Dominic setuju untuk kembali. "Ayo, dan maaf untuk yang tadi," ucap Dominic pada akhirnya. "Ah, sudahlah. Lupakan saja! Pria mesummu sepertimu memang susah," decak Anna yang masih pura-pura kesal. Sebenarnya dia hanya merasa malu tadi. Itulah sebabnya, Anna tidak banyak bicara sejak Dominic menciumnya. "Kau menikmati pemandangan di sini?" tanya Dominic sembari berjalan. Tanpa izin terlebih dahulu, Dominic mengambil tangan Anna, menggenggamnya dengan lembut dan memasukkan tangan mungil itu ke dalam saku mantelnya. "Udaranya mulai sedikit dingin," ucap Dominic dengan melirik ke arah Anna sesekali. Anna hanya mengangguk dan mengulum bibirnya. Dia cukup terpukau dengan perlakuan Dominic. Ternyata pria seperti Dominic tahu cara bersikap lembut. "Kau baik-baik saja
"Apa?" "Kau tidak dengar, ya? Aku cemburu malam itu. Kenapa harus Austin yang mengangkat panggilan dariku," jelas Dominic. Sekarang dia tidak akan menutupi perasaannya lagi. "Kau mabuk, ya!" Anna berusaha melepaskan tangan Dominic yang masih memegang pinggangnya. "Aku sadar, Anna.""Kali ini aku tidak suka dengan candaanmu, Dom. Kita tidak punya hubungan apa pun. Jadi, kenapa kau harus cemburu?"Jika mendengar perkataan Anna itu kemarin, mungkin Dominic akan mundur dan menyadari jika mereka tidak memiliki hubungan yang spesial. Namun, sekarang Dominic tidak akan melakukan itu. "Setelah malam itu kau masih bilang kita tidak punya hubungan apa pun?"Anna bergeming. Tiba-tiba saja darah gadis itu berdesir saat dia mengingat malam sebelum Dominic kembali ke New York. "Kita tidak—“Anna langsung menghentikan ucapannya, saat Dominic menarik pinggang dan mengecup bibirnya. Mata gadis itu membulat sempurna, saat Dominic tidak hanya sekadar mengecup. Pria itu menciumnya cukup lama, men
Anna tidak menjawab. Namun, gadis itu memberanikan diri, menyentuh bibir Dominic lantas mengecup bibir milik pria itu sesaat. Merasakan hal itu, Dominic tidak mau hanya diam saja. Jadi, dia mulai mengambil alih, menyentuh kepala Anna, membenamkan tangan besarnya di antara rambut cokelat milik Anna. Menarik tengkuk gadis itu dan mulai mengecup bibirnya. Sementara itu, Anna memejamkan matanya, dia berusaha menikmati setiap sensasi aneh yang baru pertama kali dirasakan. Tangan mungil milik Anna terulur merengkuh tubuh Dominic yang besar dan mempersempit jarak di antara mereka, membiarkan tubuh mereka saling menempel satu sama lain, tanpa peduli dengan apa pun lagi. Kali ini mereka mencoba melupakan segalanya. Membuang perbedaan yang nyaris membuat mereka tidak berani melangkah selama beberapa hari ini.Ah, kegilaan ini benar-benar membuat Dominic tidak bisa lagi berpikir waras, dia ingin terus menyentuh setiap inci tubuh Anna. Selama ini dia tidak pernah menginginkan seorang wanita,
"Selamat pagi!".Anna membuka mata dan dia tersenyum kecil saat melihat Dominic sedang memerhatikan dirinya dengan senyum lebar. "Kau sudah bangun, Dom? Maaf aku kesiangan karena sedikit lelah."Dominic menaikkan salah satu alisnya saat mendengar kalimat permintaan maaf dari Anna. Dia tidak mengerti dengan maksud perkataan gadis itu. Kenapa harus meminta maaf? Anna menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, lalu berniat untuk segera turun. Dia sudah hampir terlambat untuk membuatkan Dominic sarapan. Namun, saat Anna menurunkan kakinya dan ingin berjalan, gadis itu terdiam dan terlihat mengernyitkan kening saat rasa sakit menjalar di area inti miliknya. "Ck, lagi pula kau mau ke mana, sih?" decak Dominic. Pria itu lantas berdiri setelah hanya diam memerhatikan Anna sejak tadi. Dia menghampiri Anna dan kembali mendudukkan gadis itu di atas ranjang. "Masih sakit?" tanya Dominic dengan wajah khawatir. "Em, sedikit ... jam sarapanmu hampir terlambat, Dom. Aku harus memasak.""Diam dan