Share

BAB 2 - Hidup Sempurna?

Kirana mengangguk.

Tamara melihat penampilan Kirana dari atas hingga bawah, lalu tertawa setelahnya.

“Kamu kenapa?”

“Menurut lo kenapa?” Tamara melipat kedua tangannya, “Gue pikir setelah tujuh tahun berlalu hidup lo berubah. Ternyata... sama aja.”

Kirana membetulkan kaca matanya, “Emang mau kamu aku berubah kayak gimana?”

“Ya minimal kayak gue lah. Hidup itu harus ada perubahan, Na. Lo masih aja begini.”

Kirana membuang nafas, “Mobil aku mau lewat, kamu bisa minggirin mobil kamu dulu gak?”

Tamara melotot, “Lo nyuruh gue? Berani banget lo!”

Kirana mendecek, “Kita gak lagi satu kampus, aku gak berhak patuh sama kamu. Awas!”

Tamara membuka lipatan tangannya. Ia marah sekali pada Kirana yang kini berani padanya, “Elo gak tahu siapa gue? Mobil gue berhak lewat lebih dulu dari pada mobil lo!”

Kirana menatap id card yang tergantung di leher Tamara, “Oh, Manager bank. Aku pikir kamu Direkturnya.”

Tamara yang kesal menarik id card yang tergantung di leher Kirana, ia membaca dengan seksama jenis pekerjaan apa yang digeluti musuhnya dari zaman kuliah ini, “Senior Editor?” ia menatap Kirana dengan remeh, “Oh lo editor buku? Yang tukang ngedit itu ‘kan?”

“Memperbaiki dan melengkapi buku penulis lebih tepatnya.”

Tamara memonyongkan bibirnya meledek, “Dari pada lo memperbaiki dan melengkapi buku orang lain, mending lo perbaiki dan lengkapi dulu deh hidup lo. Udah umur segini lo belum nikah ‘kan? Kasian.”

Ucapan Tamara yang lengkap dengan ekspresi meledek membuat Kirana jengah. Bertahun-tahun ia menjadi objek bully di masa lalu, dan kini ketika tak sengaja bertemu lagi ia tak sudi terus menjadi bahan bully Tamara, “Tamara denger ya, gak selalu apa yang kamu lihat dan denger soal orang yang belum menikah berarti hidupnya perlu di kasihani. Dan apa yang kamu tampilin di sosial media soal keluarga kamu yang sempurna, juga membuat kamu bahagia. Jangan-jangan hidup kamu yang harusnya di kasihani? Hm?”

Tamara lagi-lagi melotot marah, “Kirana! Lo berani ngomong gitu sama gue!”

Kirana tak menggubris gertakkan Tamara, ia masuk ke dalam mobil dan memencet klaksonnya dengan kencang.

“Ih, resek banget sih lo! Kali ini gue ngalah sama lo! Lain kali jangan harap!” Tamara juga masuk ke dalam mobilnya. Ia berusaha menstater ulang mobilnya, dan akhirnya ia bisa menepi ke pinggir dan membiarkan mobil Kirana lewat lebih dulu.

Begitu sampai di kantor, Tamara menyimpan tasnya dengan kasar di meja. Ia mengatur nafasnya dengan tenang sambil mengecek beberapa berkas yang sudah nangkring di mejanya.

“Ra, kok lo datengnya siang sih, tadi katanya mau langsung kesini.” Tita sahabatnya yang menjadi asisten pribadinya di Bank masuk nyelonong.

Tamara duduk loyo di kursi kerjanya, “Biasa lah.”

Tita duduk diujung meja, “Keluarga lo lagi?”

Tamara tidak menjawab.

“Keluarga sempurna lo itu emang pada bergantung ya sama lo, sampe semua sarapan dan kopi harus lo yang siapin?”

“Ya gitu deh. Lo udah kirim filenya ‘kan ke pak Dirut?”

Tita mengangguk, “Udah. Soalnya gue takut lo kena omel. Tahu sendiri filenya mau dipake sekarang buat rapat.”

“Thanks.” Tamara merubah posisi duduknya menjadi lebih tegap, “Eh, Ta, lo masih inget si Kirana gak?”

“Kirana temen kita yang cupu itu?”

Tamara mengangguk, “Gue ketemu dia barusan di jalan.”

“Wah berita bagus nih, lo harus update ke grup angkatan. Btw dia apa kabar?”

“Baik sih kayaknya. Lo tahu gak dia kerja apa sekarang?”

“Apa?”

“Editor senior di publiser buku.”

Tita melotot, “Dia kerja jadi Editor?”

Tamara mengangguk, “Norak.”

“Lo tahu gak dia kerja di publiser buku mana?”

“Kalo gak salah Publis Kata deh. Kenapa?”

“Bentar-bentar.” Tita memainkan ponselnya, ia menunjukkan layar ponsel pada Tamara, “Publis Kata itu kantor milik pak Priyowo Abdi, Konsulat Kehormatan Kedutaan Indonesia di Russia. Berarti si Kirana kerja di kantor bapaknya sendiri.”

Tamara melongo, “Berarti dia aslinya kaya banget dong?”

Tita mengangguk buru-buru.

“Tapi sayang... belum nikah. Gue gak jadi iri sama dia, tapi kasian.”

Tita melotot, “Ra, gue juga belum nikah. Lo kasian juga sama gue?”

Tamara menggeleng buru-buru, “Kalo lo beda. Si Kirana belum nikah pasti karena gak ada yang mau sama dia. Culun gitu, gak bisa rawat diri.”

“Tapi culu-culun begitu dia kaya, lebih kaya dari lo. Udah ah, gue mau mulai kerja biar cepet makan siang di kafe.”

“Eh-eh, tunggu, Ta. Fotoin gue dulu buat postingan di I*******m.”

Tita kembali untuk memotret Tamara, “Ra, kok di i*******m lo gak pernah keliatan lo foto bareng lagi sih sama si Reno?”

Sambil bergaya, Tamara melirik Tita sekilas, “Dia gak suka foto.”

“Gak suka foto? Apaan, seminggu tiga kali dia posting foto sendiri di akun pribadinya, kayak jadwal terapi.”

Tamara mati kutu, “Kita selalu menikmati waktu berdua, jadi gak sempet foto kalo lagi quality time.”

“Oh gitu ya.” Tita memberikan ponsel Tamara, “Nih, hapenya.”

“Thanks, Ta.”

“Yo. Lo jangan lupa lusa dateng ke acara nikahan si Adam. Ajak juga si Reno.”

Tamara diam. Ia hanya melihat punggung Tita menghilang dibalik pintu ruangannya. Bagaimana jika Reno tidak mau ikut ya? Bisa gawat. Ia lebih memilih untuk tidak datang sekalian daripada harus pergi sendiri.

“Apa gue tanya aja ya sekarang dia mau dateng atau enggak?” Tamara menggeleng, “Dia gak suka gue ganggu kalo di jam kerja. Nanti aja dirumah gue tanyain.”

***

Sepulang kerja Tamara membuang nafas pelan setelah memposting foto baru yang Tita ambil tadi pagi. Dengan caption yang meyakinkan bahwa ia bangga dengan jabatan barunya di Bank tempatnya bekerja, dan kehidupan keluarganya yang sempurna, ia tiba-tiba mengingat ucapan Kirana tadi pagi. Kirana tahu dari mana kalau hidupnya tidak bahagia ya?

“Ah, kenapa si cupu itu tahu kalo gue gak bahagia?” tangannya menutup wajahnya. Sadar ia berada di kafe dan bisa saja orang yang dikenalnya ada disini, Tamara buru-buru tersenyum dan merapikan penampilannya.

Ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar panjang. Ada panggilan telpon dari mama mertuanya. Dengan enggan ia mengangkat telpon itu.

“Halo, ma?”

“Kamu tuh dimana sih?”

“Aku... masih ada kerjaan, ma.”

“Kamu masih di kantor?”

Tamara menatap sekelilingnya, “Iya, aku masih di kantor.”

“Kamu harus pulang sebelum Reno pulang. Bawa ayam bakar kesukaan dia dari resto favoritnya.”

“Iya, ma.”

“Oyah, mama lagi pengen makan dessert. Kamu nanti mampir ya ke bakery buat beli Bolu gulung”

“Iya, ma.”

“Ya udah mama cuma mau bilang itu.”

Sambungan telpon terputus. Tamara menyimpan ponselnya dan mengaduk coffe latte pesanannya yang belum tersentuh sama sekali. Ia sedang tidak mood minum kopi, tapi aromanya cukup menenangkan pikirannya yang ruwet.

“Tamara?”

Tamara mengangkat wajahnya menatap orang yang berdiri di depan mejanya, “Elo?”

Kirana melirik sana-sini mencari seseorang.

“Lo cari siapa?”

“Keluarga sempurna kamu itu dimana?”

Tamara melongo, “Eu... itu... mereka dirumah.”

Kirana menatap gelas yang hanya ada satu di mejanya, tanpa izin ia menarik kursi dan duduk menatap Tamara, “Aku mau kok duduk disini kalo kamu butuh temen.”

“Apaan sih lo, sotoy! Gue gak butuh temen.”

“Aku pikir yang gak berubah dari dulu cuma aku. Kamu juga ternyata sama aja kayak dulu.”

Tamara mengernyit, “Maksud lo?”

“Dari dulu kamu tetep aja nyolot tiap ngomong sama aku.”

Tamara membuang nafasnya, “Soalnya lo emang nyebelin buat gue.”

Kirana menunduk.

“Lo kenapa? Udah tiba-tiba duduk depan gue, lo malah nunjukin muka jelek lo itu sama gue.”

Kirana menatap Tamara, “Aku... lagi mikir apa yang kamu lakuin sampe Tuhan bisa kasih segalanya buat hidup kamu.”

Tamara diam, ia tidak paham dengan maksud ucapan Kirana.

“Selama empat tahun kamu selalu bully aku di kampus. Kamu juga beberapa kali dipanggil menghadap Wakil Dekan karena kamu ribut sama mahasiswa lain. Kamu sering bermasalah sama siapapun, bikin huru-hara. Tapi kamu di kasih semua yang kamu mau sama Tuhan. Pernikahan, anak, keluarga bahagia dan kerjaan yang keren. Sedangkan aku yang selama ini gak pernah bikin masalah, selalu berusaha baik sama orang-orang, masih harus nahan diri untuk gak marah sama Tuhan yang gak berniat ngasih jodoh buat aku.”

Tamara menatap wajah Kirana yang lesu. Ia pikir Kirana akan bilang apa padanya. Ia tak menyangka temannya yang ia benci karena selalu dirasa memiliki sisi lain yang selalu membuatnya iri akan mengatakan itu padanya, “Lo ngomong apa sih.”

Kirana menatap Tamara, “Kamu bener, hidup aku perlu di kasihani. Di usia dua sembilan aku bahkan gak punya pacar. Hidup kamu sempurna, Ra.”

Tamara tersenyum bangga, “Kan gue bilang apa. Lo perlu edit dan lengkapin hidup lo sendiri.”

“Apa yang kamu lakuin, Ra, bisa sampe punya kehidupan yang sempurna?” tanyanya penuh harap. Kirana benar-benar lelah mendengar cemoohan banyak orang padanya yang belum juga bertemu jodohnya di usia matang.

“Hah?” Tamara menyentuh lehernya, “Gue gak tahu. Gue cuma tahu hidup gue sempurna karena Tuhan sayang sama gue.”

Kirana menjatuhkan kepalanya diatas meja sambil terisak menangis. Tamara yang melihat itu bingung harus menunjukan respon seperti apa. Ternyata hidup musuhnya ini begitu menyedihkan. Ia tidak jadi mengeluh dengan hidupnya yang pura-pura sempurna memiliki suami, anak dan mertua, meskipun mereka sering membuatnya menangis juga.

Tamara menyentuh pundak Kirana, “Jangan nangis disini. Jangan rusak momen santai gue yang udah sempurna.”

Kirana mengangkat wajahnya dan menatap Tamara, “Maaf.” Ia bangkit dan pergi begitu saja.

Tamara yang melihat Kirana jalan buru-buru meninggalkannya yang sedang malas pulang, membuang nafas pelan, “Lo gak tahu aja, Na, belum menikah mungkin adalah posisi terbaik dari pada lo nikah tapi sama orang yang salah.”

“Orang yang salah?”

Tamara melotot. Ia mengangkat wajahnya dan melihat Reno berdiri tepat disebelah kursinya, “Mas, aku bisa jelasin.”

Reno membuang muka dan pergi meninggalkan Tamara

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status