Dor-Dor-Dor
“Tamara! Kamu ngapain aja sih di dalem? Ini jam berapa? Kamu belum bikin sarapan buat aku!” Tamara yang baru meratakan busa sabun di tangannya mendengus kesal. Ia yang masih dalam bathub mengangkat kepalanya, “Bentar, mas! Aku hampir beres!” “Hape kamu dari tadi bunyi tuh! Berisik!” Tamara menggerutu pelan. Ia terpaksa bangkit dari bathub dan menyelesaikan mandinya cepat-cepat. Tak ada waktu mengerok bulu-bulu halus yang sudah mulai tumbuh di betis kakinya. Takkan ada waktu. Pagi ini seperti hari senin pada umumnya, pasti akan sangat membuatnya kewalahan. Begitu membuka pintu kamar mandi, Tamara melirik Reno, suaminya yang baru selesai memakai dasi. “Hidup gak cuma tentang badan kamu, Ra. Kamu harus urus suami, anak dan mertua kamu.” “Iya, mas, maaf.” Reno membuang nafas kesal sambil berjalan keluar kamar. Ia meninggalkan Tamara untuk memanaskan mobilnya. Tamara yang melihat punggung Reno baru saja pergi menutup matanya sedih. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di nakas. Ada banyak panggilan telpon dari rekan kerjanya di Bank. “Pagi-pagi udah bikin otak gue ngebul. Tunggu dulu ya, gue harus ngambil foto untuk story I*******m hari ini.” Tamara melakukan mirror selfie mengenakan bathrobe putih berlapis warna gold. Ia tersenyum memamerkan giginya yang rapi dan putih bersih, juga membiarkan rambut basahnya yang berwarna coklat tua. “Gue posting, tulisannya...” Tamara memutar kedua bola matanya ke atas, “Ah, Monday morn aja. Cukup.” Ia kembali fokus pada layar ponselnya, “Oke, beres.” Dengan senyum mengembang Tamara berhasil memposting satu story sebagai pembuka hari ini. Meski otaknya sangat ngebul, tapi kehidupan sempurnanya yang ia bangun di sosial media tidak boleh terlewat. Sebelum mendengar sindirian pedas Reno lagi, Tamara dengan cepat mengambil kemeja berwarna nude dengan blazer hitam, juga rok bahan selutut berwarna senada. Ia mengenakannya segera sebelum hari tenangnya akan berubah kacau setelah turun ke lantai satu. “Tamara! Mana minuman pagi mama?” Tamara menggeleng dan meraung kecil. Belum lima menit, suara mama mertuanya yang menagih minuman paginya segera terhidang membuatnya harus berjalan cepat sambil mengangkat telpon yang berdering panjang. “Halo, iya-iya gue kirim segera ya filenya. Oke. Target kita harus naik minggu ini. Gue bakal bikin strategi baru, lo tenang aja.” Mama melipat kedua tangannya menghadang Tamara yang baru menuruni anak tangga. Dengan hembusan nafas kecil, Tamara meminta mamanya untuk menunggu tanpa suara. “Gue tutup dulu telponnya ya. Biasa, ibu rumah tangga mau siapin sarapan dulu. Oke, see you in office.” Tamara berjalan cepat melewati mama, dengan wajah menahan kesal ia tersenyum pada mama, “Aku buatin sekarang ya, ma.” Mama berjalan ke arah taman samping rumah, “Kamu tuh kenapa gak berhenti aja sih kerja di bank? Kamu tuh cantik, Ra, kamu jadi model aja biar gak terlalu sibuk.” Sambil memotong buah lemon di meja ailen, Tamara melirik mama, “Jadi model sama sibuknya dengan kerja di bank, ma. Aku... bisa atur waktu kok.” “Terserah kamu.” mama menghilang dibalik pintu. Baru saja Tamara akan menyiapkan Chia Seed, ponselnya kembali berdering. Ada telpon dari Direktur Bank. Dengan cepat ia mencuci tangan dan mengangkat telpon, “Halo, selamat pagi, pak. Oh baik-baik, saya kirimkan filenya sekarang, pak. Baik, mohon ditunggu.” Tanpa ingat harus menyiapkan minuman untuk mama, Tamara berlari menaiki tangga untuk mengirimkan file yang diminta pak Dirut. Ia yang baru mendapat jabatan beberapa hari ini menjadi Manager di Departemen Keuangan harus bisa bekerja cepat dan memprioritaskan pekerjaannya. “Tamara, mana kopi aku?” teriak Reno dari arah dapur, ia baru saja kembali dari garasi. Tamara menepuk jidatnya. Ia sedang mengotak-atik laptopnya di kamar karena tidak mendapati file yang diinginkan pak Dirut, “Iya, mas, bentar.” teriaknya balik. “Duh, kayaknya filenya ada di komputer kantor deh. Gue harus cepet-cepet kesana berarti.” Ia menutup laptop dan berlari ke arah dapur dengan ponsel ditangan untuk memberi kabar bahwa file yang ia janjikan untuk di kirim ternyata tidak ada di laptopnya pada asisten pak Dirut. “Kamu lelet banget sih. Ngapain aja dari tadi?” “Iya, mas, maaf.” sambil terus memainkan ponsel, Tamara berjalan ke arah dapur untuk membuatkan kopi, kakinya yang bertelanjang tak sengaja menginjak boneka barbie milik anaknya. “Aw!” Reno yang baru saja duduk di meja makan melirik Tamara kesal, “Kenapa lagi?” “Aku nginjek boneka barbie, mas.” Reno menggeleng tak peduli. Dengan wajah menahan marah ia membaca koran dan mengacuhkan Tamara yang merengut kesakitan. “Ra, cepet, jam berapa ini?” Reno sengaja melipat koran dengan kencang, membuat mama yang baru kembali melirik Reno dan Tamara silih berganti. “Kopi kamu belum jadi? Hm, minuman mama aja yang diminta dari tadi gak dateng-dateng.” Tamara menutup mata menahan sakit. Ia bangkit dan berjalan pelan menuju coffee maker. Ia memasukan kapsul Excelco dan menekan tombol maker. Selagi menunggu kopi siap, ia menyiapkan minuman mama. “Jangan cemberut terus. Menantu lain setiap pagi sibuk masak buat suami dan mertua dan nyiapin keperluan sekolah anaknya. Segini kamu masih mending, Ra.” sindir mama dengan penuh penakanan. “Kan mama udah bilang, berhenti kerja aja kalo kamu gak bisa ngatur dua hal, kantor dan keluarga kamu.” Tamara melirik Reno yang seolah tak peduli dengan perang kecil yang selalu terjadi setiap harinya, “Mas.” Reno melirik mama, “Ma, udah lah, masih pagi. Biarin aja Tamara kerja. Kalo dia dirumah, dia keenakan karena gak ngerjain apa-apa.” Mama langsung diam begitu mendapat ultimatum dari anaknya. Reno melirik Tamara, “Kamu gak perlu ikut promosi naik jabatan apapun lagi. Kamu tuh kerja ngejar apa sih? Uang dari aku kurang?” Tamara membawa dua gelas berisi kopi Ekspresso dan Lemon campur Chia Seed milik mama ke meja makan, “Aktualisasi diri, mas. Aku janji akan kurangin kerjaan aku dan lebih banyak waktu dirumah. Aku berangkat sekarang, ada file yang harus aku kirim ke Dirut segera.” Ia mengulurkan tangannya pada Reno dan mama untuk salim, “Aku berangkat.” Reno dan mama tak mengatakan apa-apa. Mereka menyesap minuman masing-masing membiarkan Tamara kembali menaiki tangga untuk siap-siap. Di depan cermin Tamara menatap dirinya yang cantik meski belum memakai makeup sama sekali. Wajah blasterannya begitu kentara karena bintik kecoklatan di pipinya tampak nyata. Dengan lemas ia memakai Fondation dan menaburkan bedak tipis-tipis di pipinya. Tak lupa polesan lipstik berwarna peach dan maskara yang menempel sempurna di bulu mata lentik tebalnya. Tamara membuang nafas perlahan, “Sabar, Ra. Hidup lo harus tetep terlihat sempurna sama orang-orang. Hari ini, Tamara Gasani siap mengendalikan dunia.” Sebelum pergi ia menyisir rambut panjangnya sebelum dikuncir kuda untuk membuat penampilannya tampak memukau. Ting! Ada notifikasi dari grup angkatan kuliahnya. Sambil berjalan keluar kamar Tamara membukanya, “List temen-temen angkatan kita yang belum nikah. Bayu, Andre, Kirana.” Tamara berhenti melangkah, “Kirana? Dia belum nikah? Kasian.” Untuk menghindari bertemu Reno dan mama mertuanya, Tamara sengaja berjalan melewati tangga lain dirumahnya yang terhubung langsung ke ruang samping garasi. Ia berjalan cepat untuk mengejar waktu. Saat memasuki mobilnya, Tamara langsung menstater mobilnya tanpa memanaskannya dulu. Ia begitu buru-buru sehingga melupakan itu. Di tengah jalan, mesin mobilnya mati tiba-tiba. “Eh, ini kenapa? Ah, sial! Pasti karena gak gue panasin dulu.”Tamara berusaha menstater ulang mobilnya beberapa kali. Ia tak sengaja melihat kaca spion dalam mobil dan melihat ada satu mobil yang berada tepat dibelakangnya.“Aduh, gue ngalangin jalan orang lagi.”Dor-Dor-DorKetika jendela mobilnya di gedor orang dengan kencang, ponselnya berdering kencang. Tamara tentu saja mengangkat telponnya dulu baru membuka pintu mobil. Ia keluar dari mobil dan berdiri berhadapan dengan perempuan berpenampilan seratus delapan puluh derajat berbeda dengan dirinya. Begitu matanya melihat sosok itu, matanya membulat kaget.“Ki- elo! Elo Kirana ‘kan?”Perempuan yang siap memaki Tamara karena mobilnya berhenti tiba-tiba dan menabrak kap mobil depannya itu melongo dan tak mengatakan apapun.Kirana mengangguk.Tamara melihat penampilan Kirana dari atas hingga bawah, lalu tertawa setelahnya.“Kamu kenapa?”“Menurut lo kenapa?” Tamara melipat kedua tangannya, “Gue pikir setelah tujuh tahun berlalu hidup lo berubah. Ternyata... sama aja.”Kirana membetulkan kaca matanya, “Emang mau kamu aku berubah kayak gimana?”“Ya minimal kayak gue lah. Hidup itu harus ada perubahan, Na. Lo masih aja begini.”Kirana membuang nafas, “Mobil aku mau lewat, kamu bisa minggirin mobil kamu dulu gak?”Tamara melotot, “Lo nyuruh gue? Berani banget lo!”Kirana mendecek, “Kita gak lagi satu kampus, aku gak berhak patuh sama kamu. Awas!”Tamara membuka lipatan tangannya. Ia marah sekali pada Kirana yang kini berani padanya, “Elo gak tahu siapa gue? Mobil gue berhak lewat lebih dulu dari pada mobil lo!”Kirana menatap id card yang tergantung di leher Tamara, “Oh, Manager bank. Aku pikir kamu Direkturnya.”Tamara yang kesal menarik id card yang tergantung di leher Kirana, ia membaca dengan
Tamara memarkirkan mobilnya di halaman depan kantor. Ia keluar menenteng segelas kopi yang sengaja ia beli untuk menemaninya.“Eh, bu Tamara, kok balik lagi?” tanya seorang satpam yang baru selesai berkeliling melakukan patroli malam.Tamara tersenyum, “Masih ada kerjaan, pak. Saya masuk ya.”“Oh iya, silakan, bu.”Tamara berjalan lunglai menuju ruangannya yang sudah gelap. Di beberapa ruangan depertemen Investasi dan Akuntansi masih ada yang bekerja. Mereka saling sapa hanya mengangkat tangan dan tersenyum.Dengan perasaan merasa bersalah karena tak sengaja Reno mendengar ucapannya, membuat Tamara takut ketika Reno menanyakan maksud ucapannya dirumah.“Ah, kenapa sih gue ngomongnya kenceng-kenceng tadi. Kan mas Reno jadi denger.”Tamara duduk menghidupkan kompter. Tidak, ia tidak akan bekerja seperti yang ia katakan pada pak satpam, ia hanya akan mencari tahu kehidupan Kirana dari sosial media. Sudah lima belas menit berselancar ia tak menemukan banyak postingan Kirana. Tama
Pintu terbuka saat ibu menghampiri kamar Kirana untuk membangunkannya, “Nak, bangun, sayang. Udah jam lima, kamu mau jogging ‘kan?”“Hmmm.”Ibu yang baru selesai membuka gorden dan jendela tersenyum menghampiri Kirana dan mengelus rambutnya dengan lembut, “Kamu pasti kecapekan ya? Ya udah gak usah jogging, libur dulu aja.”“Siapa yang suka jogging sih.” jawabnya sambil menutup mata.“Loh, kamu ‘kan udah sebelas tahun ini rutin jogging tiap pagi, sayang. Kamu lupa?”Kirana menggaruk pipinya dengan kasar, “Mimpi kali.”Ibu yang merasa ada yang berbeda dengan sikap Kirana mengelus rambutnya lagi, “Kamu kenapa, sayang? Ada masalah?”“Aduh jangan ganggu dong. Ini jam berapa coba. Alarm aja belum bunyi.”“Alarm kamu ‘kan suara ibu, sayang.”Kirana menjauhkan tangan ibu yang mengelus kepalanya, “Jangan ganggu, masih ngantuk.”Ibu menurut. Mungkin Kirana memang sangat kelelahan dan sedang stress. Apalagi sepulang dari kantor kemarin petang, ia langsung menangis mengadu mendapatkan ucapan tida
Tamara menikmati sikap hangat ibu yang selalu memanjakan dan memperhatikan banyak hal kecil padanya. Kini saat makan berdua, matanya tak henti menatap ibu yang tengah menuangkan kembali bubur Udang ke mangkuk yang ada didepannya.“Kamu laper banget ya?”Tamara tersenyum, “Masakan ibu enak.”Ibu ikut tersenyum, “Makasih sayang. Ibu seneng kamu suka.”“Bu, aku mau ke kantor hari ini.”“Loh, emang udah baikkan? Kamu udah gak pusing lagi?”Tamara menggeleng, “Aku lupa ada janji sama penulis lain.”“Oh, Erik ya? Erik apa kabar, sayang?”Tamara melotot, “Hah? Eum, baik, bu.”“Udah lama Erik gak ke rumah. Kamu ajakin ya nanti.”“Iya, bu, nanti aku ajakkin.”“Progress buku dia sekarang gimana? Bagus?”Tamara menggaruk rambutnya, “Bagus kayaknya, bu.”“Kok kayaknya?”“Eum... soalnya aku lupa.”“Oalah, sangking banyaknya penulis yang ada dibawah naungan kamu, kamu sampe lupa ya. Kasian anak ibu.” Ibu mengelus lembut punggung tangan Tamara.“Hehe, iya bu.”“Kalo kamu mau, ibu bi
Tamara menyikut Kirana. Ia memintanya untuk menjelaskan pada Reno bahwa mereka sedang membicarakan orang lain atau apapun yang masuk akal.“Eum... itu... kita lagi ngomongin tokoh novel, mas.” Tamara bicara buru-buru, karena nampaknya pikiran Kirana masih ruwet efek pertukaran badan mereka pagi ini.Reno menatap Kirana, “Kamu suka novel?"Kirana melirik Tamara lalu menatap Reno, “Iya, semenjak ketemu Tamara, eh Kirana, aku jadi suka novel, mas."“Kalian... beneran udah akur ‘kan?”Tamara dan Kirana saling tatap.Tamara tertawa, “Akur dong, mas. Kita udah baikkan ya?”Kirana mengangguk, “Kita udah baikkan, mas.”Reno mengangguk-angguk, “Syukur deh kalo emang udah baikkan. Ya udah, yuk, kita berangkat, Andin udah siap berangkat sekolah.”Saat Kirana hendak mengangguk, Tamara menarik lengan Kirana, “Kita ‘kan mau berangkat ke kantor bareng! Lo lupa ya?”Kirana menatap Tamara bingung. Beberapa menit lalu tidak ada pembicaraan itu perasaan.“Ayo ajak Andin berangkat sama kita aj
Selama di mobil, Tamara hanya menjadi pendengar semua percakapan Kirana dan Andin. Ia membuang nafas berkali-kali karena merasa iri. Andin yang tinggal bersamanya selama ini tidak pernah bisa seceria ini saat bersama Kirana. Kenapa dengan Kirana ia bisa tertawa lebar begini, ya? Padahal mereka baru saja bertemu beberapa jam.“Aduh, mami capek banget.” Kirana memegangi perutnya sambil terus tertawa.Andin juga tertawa, “Andin juga capek banget."Kirana tersenyum. Ia mengelus rambut Andin dan melirik Tamara, “Eum... Tamara, kamu kenapa diem aja?”Tamara melotot. Ia memperingatkan Kirana dengan memonyongkan mulutnya agar Andin tidak melihat. Meski masih kecil Andin ini pintar dan pemerhati sekali. Jangan sampai Andin membocorkan ini pada Reno, mama, atau suster Tina.“Eh, eum... maksud aku, Kirana.”“Mami tadi kok bisa salah manggil? Tamara ‘kan nama mami.”Kirana tersenyum, “Iya, mami lupa, soalnya udah capek ketawa terus sama kamu.”Andin tersenyum, ia melirik Kirana yang berpe
Tamara berjalan cepat dari parkiran menuju gedung publiser buku milik ayahnya. Ayah Kirana maksudnya. Ia tersenyum menahan tawa karena masih tidak menyangka akan menikmati momen ini. Ia yang sebenarnya bingung harus melakukan apa saat melakukan bimbingan dengan para penulis yang ada dibawah naungannya, merasa ini adalah momen langka yang mungkin hanya akan terjadi beberapa hari saja, maka ia akan menikmati ini tanpa stress yang berarti.“Selamat pagi, mbak Kirana.” sapa satpam membuka pintu utama gedung.Tamara diam beberapa detik. Ia nyaris tak berhenti melangkah karena yang di sapa adalah Kirana, bukan dirinya. Untungnya refleksnya cukup baik. Ia terus mengatakan pada diri sendiri, bahwa ia adalah Kirana saat ini.“Eh, pak, pagiii.”“Mbak Kirana seger banget hari ini. Lagi seneng ya?” goda pak satpam.“Lumayan. Meskipun agak bingung, tapi aku seneng hari ini.”Pak satpam mengangguk, “Ya sudah mbak, silakan masuk, mas Erik sudah tunggu di atas.”“Erik? Erik siapa, pak?”Pak
Erik terus memperhatikan cara Tamara membaca naskahnya di tablet. Tamara terlihat kebingungan dengan kalimat-kalimat yang sudah disusun rapi dan menjadi sebuah opening epilog novel miliknya. Tamara menaruh tablet dimeja dan menatap Erik, “Kayaknya aku... belum bisa bimbingan hari ini.”“Aku ‘kan udah bilang tadi.”“Ya udah kamu pulang aja sana."Erik tersenyum, “Kamu ngusir aku?”Tamara menggeleng. Ia tidak mau mengusir Erik, tapi bingung harus bersikap seperti apa menghadapinya. Ia tidak bisa duduk tenang karena akan selalu meliriknya. Kalau disuruh pulang, ia pasti akan sedikit beristirahat dari fantasi liatnya.Ingatlah, Tamara sudah menikah. Pikiran orang dewasa yang sudah menikah sudah pasti mengarah ke sana, apalagi lelaki dihadapannya begitu tampan dan merupakan tipe idealnya. Tidak seperti Reno, yang merupakan lelaki asli dari Indonesia berwajah Batak campuran Jawa.Erik menaik turunkan tangannya di depan