Share

BAB 5 - Mulai Berakting

Tamara menikmati sikap hangat ibu yang selalu memanjakan dan memperhatikan banyak hal kecil padanya. Kini saat makan berdua, matanya tak henti menatap ibu yang tengah menuangkan kembali bubur Udang ke mangkuk yang ada didepannya.

“Kamu laper banget ya?”

Tamara tersenyum, “Masakan ibu enak.”

Ibu ikut tersenyum, “Makasih sayang. Ibu seneng kamu suka.”

“Bu, aku mau ke kantor hari ini.”

“Loh, emang udah baikkan? Kamu udah gak pusing lagi?”

Tamara menggeleng, “Aku lupa ada janji sama penulis lain.”

“Oh, Erik ya? Erik apa kabar, sayang?”

Tamara melotot, “Hah? Eum, baik, bu.”

“Udah lama Erik gak ke rumah. Kamu ajakin ya nanti.”

“Iya, bu, nanti aku ajakkin.”

“Progress buku dia sekarang gimana? Bagus?”

Tamara menggaruk rambutnya, “Bagus kayaknya, bu.”

“Kok kayaknya?”

“Eum... soalnya aku lupa.”

“Oalah, sangking banyaknya penulis yang ada dibawah naungan kamu, kamu sampe lupa ya. Kasian anak ibu.” Ibu mengelus lembut punggung tangan Tamara.

“Hehe, iya bu.”

“Kalo kamu mau, ibu bisa bilang sama mbak Indah buat ngurangin penulis yang kamu urusin bukunya. Ibu gak tega liat kamu stress.”

Tamara membetulkan kacamatanya, “Gak usah bu, aku sanggup kok handel semuanya. Gampang lah.”

“Ya udah kalo itu mau kamu. Oyah, tadi pagi ayah bilang paket kamu udah dikirim. Kemungkinan empat hari lagi baru sampe.”

“Paket apa, bu?” tanya Tamara antusias, “Paket jaket winter edisi terbatas ya?”

Ibu mengernyit, “Jaket winter? Sejak kapan kamu suka?”

Tamara berpikir cepat untuk menjawab pertanyaan ibu, “Eum, aku gak sengaja liat di internet, bu, jaket winternya bagus yang dari Moscow.”

“Oh, kamu mau? Nanti ibu bilang ke ayah ya buat di beliin.”

“Iya, bu, yang warna pink ya.”

“Kamu... mau warna pink?”

“Emangnya kenapa, bu? Jelek ya?”

Ibu menggeleng, “Bukan. Kamu ‘kan gak suka warna pink, sayang."

Tamara melongo. Ia tidak tahu apa-apa soal Kirana, “Eum... terserah ibu deh warnanya mau apa, aku ikut aja.”

“Iya, nanti ibu liat-liat katalognya dulu terus kita beli samaan.”

Tamara mengangguk. Ia kembali menyantap bubur Udang yang rasanya enaaaak sekali. Ketika tiba-tiba ia teringat mengenai Kirana yang di teriaki Reno di rumahnya, membuatnya makan dengan buru-buru.

“Makannya pelan-pelan aja, sayang, nanti keselek.”

“Aku baru inget ada jadwal bimbingan pagi, bu. Jadi aku ke kantor sekarang ya.”

Ibu melihat jam tangan yang bertengger ditangannya, “Sepagi ini?”

Tamara mengangguk. Ia bangkit dan minum air putih hingga tandas, “Aku pergi ya, bu, daaah.”

“Eh, kamu lupa sesuatu.”

Tamara menatap ibu lalu melihat tas tangan yang ia bawa. Tas tangan usang keluaran sepuluh tahun lalu. Dengan seksama ia mengecek isian tas tangannya. Ada ponsel, dompet, kunci mobil dan parfum bayi. Cuma itu yang bisa ia bawa di kamar Kirana.

“Semuanya udah lengkap kok, bu.”

Ibu menunjuk pipi kanannya, “Cium ibu.”

Tamara melongo. Kedua pipinya bersemu merah dan panas. Ternyata pipi memerah bukan hanya karena jatuh cinta pada lawan jenis. Ia menghampiri ibu dan mencium kedua pipinya gemas, “Aku sayang ibu, banget.”

“Ibu juga sayang Kirana, banget.”

Mendengar nama Kirana, ia lupa, bahwa ibu mencium dan menyayangi Kirana, bukan dirinya. Senyumnya luntur.

“Hati-hati ya anak kesayangan ibu.”

Tamara tersenyum getir. Kehangatan yang ia rasakan rasanya ingin sekali ia miliki. Kalau bisa ia ingin menukarkan hidupnya dengan Kirana. Ia akan merelakan Reno, ibu mertua dan anak semata wayangnya.

“Aku pergi ya, bu.”

“Iya.”

Tamara berjalan ke arah garasi untuk memanaskan mobil Kirana. Ia tidak mau kejadian kemarin terulang. Selagi memanaskan mobil ia meraih foto polaroid yang tergantung dekat kaca spion dalam. Itu adalah foto keluarga Kirana. Melihat fotonya saja sudah membuatnya cemburu maksimal. Ia belum bertemu ayahnya saja sudah bisa merasakan cinta yang diberikan pasti sebesar cinta ibu.

“Lo beruntung banget Kirana, punya orang tua kayak mereka.”

Setelah dirasa cukup, Tamara menstater mobil dan melajukannya dengan kecepatan penuh untuk bisa cepat sampai dirumahnya. Ia ingin sekali melihat Kirana yang terjebak dalam badannya, di teriaki dan di bentak Reno dan mamanya yang menyebalkan.

Di depan rumah keluarganya, dengan perasaan campur aduk antara kesal, marah dan bingung, Tamara berjalan cepat setelah memarkirkan mobilnya diluar pagar. Ia berharap Kirana masih ada disini dan belum berangkat ke kantor.

“Harusnya dia masih ada disini.”

Tamara berhenti melangkah saat melihat Kirana menahan lengan Reno did depan garasi, “Kita anterin Andin dulu aja, mas. Aku udah janji tadi sama dia.”

Reno melirik Kirana, “Kamu serius? Arah sekolah Andin beda sama arah ke kantor kita. Pasti bakal makan waktu yang lama di jalan.”

Kirana memegang lengan Reno, “Ayolah, mas, sekali ini aja. Karena hari ini kamu yang ngajak kita berangkat bareng, mau gak mau kamu pasti telat sampe kantornya. Aku janji, besok hal kayak gini gak akan terulang lagi.”

“Ada apa sih sama kamu? Tumben-tumbenan kamu mau nganterin Andin ke sekolah?”

Kirana mati kutu. Ia pikir itu adalah rutinitas harian Tamara, karena itu yang biasa Tamara katakan di sosial media.

“Kamu beneran kerasukan arwah baik?”

Kirana melepaskan tangan Reno, “Mas, kamu kok ngomong gitu?”

“Soalnya kamu aneh hari ini. Kamu tiba-tiba masak, tiba-tiba baik sama Andin. Bukan kamu banget.”

“Aku...” Kirana melirik ke samping kanannya. Ia mendapati Tamara berdiri menatap mereka. Matanya melotot, “Tamara?”

Reno mengikuti kemana mata Kirana melihat. Ia menatap Kirana yang berdiri mematung tak jauh dari tempat mereka bicara. Ia melirik Tamara yang berdiri disampingnya, “Kamu ‘kan yang Tamara, dia Kirana?”

Tamara dan Kinara melotot bersamaan.

Tamara menghampiri mereka, “Hai Na, eh Tamara, maaf gue kesini pagi-pagi. Mas Reno, maaf ganggu waktu kalian.”

Reno terpaku menatap Kirana, “Kamu ada perlu sama Tamara?”

Tamara mengangguk.

“Tumben. Aku pikir kalian... gak deket.”

Tamara memberi kode pada Kirana untuk bicara dengan Reno.

“Eum, aku... baru ketemu Ta, eh Kirana kemaren. Kita jadi sering komunikasi, mas.”

Reno mengangguk mengerti.

“Aku minta waktunya buat ngobrol sama Ta, eh Kirana sebentar.”

“Boleh. Aku ke dalem dulu.”

“Iya, mas.”

Tamara yang terjebak dalam tubuh Kirana menarik tubuh Kirana dan bersembunyi dibalik pohon bunga Asoka.

“Tamara?”

“Iya, ini gue.”

Kirana memegangi pipi dan lengan Tamara.

“Jangan pegang-pegang gue!” hardik Tamara.

“Ra, aku—"

“Ini pasti gara-gara elo ‘kan! Elo pake ritual apa sampe badan kita bisa ketuker kayak gini? Hah?”

Kirana menangis, “Aku gak mungkin ngelakuin itu, Ra. Itu gak mungkin terjadi juga ‘kan?”

“Terus kenapa badan kita ketuker gini? Lo bisa jelasin?”

Kirana menggeleng, “Aku juga gak tahu.”

“Elo yang muji-muji gue ‘kan kemaren? Bilang kalo hidup gue sempurna. Elo pasti baca mantra-mantra aneh biar bisa ngerasain jadi gue!”

Kirana menatap Tamara nanar, “Kamu pikir aku pengen ini terjadi? Menurut kamu emang ada cara yang bisa bikin badan kita ketuker cuma karena aku pengen ngerasain hidup kamu yang sempurna?”

Tamara diam. Benar juga ucapan Kirana. Kalau sebuah harapan bisa menukarkan sebuah badan, sudah dari dulu hal seperti ini terjadi lumrah di dunia ini.

“Gue gak bisa jadi elo selamanya, Na! Cariin cara gimana kita bisa balik ke tubuh masing-masing.”

“Ya aku pasti cari caranya, tapi gimana? Yang bisa kita lakuin sekarang cuma jalanin kehidupan kita yang terjebak ini.”

Tamara mendecek, “Lo bilang gitu pasti karena seneng ‘kan bisa jadi gue?”

Kirana tertawa sumbang, “Kamu pikir aku seneng harus masak pagi-pagi buat suami dan mertua kamu yang rewel? Sedangkan kamu ngerasain hidup enak dimanjain ibu aku?”

Tamara melotot mendengar fakta yang Kirana sebutkan. Ia malu ketahuan memiliki kehidupan tidak sempurna yang sering ia sembunyikan dari siapapun.

“Ibu aku? Maksud kamu apa, Ra?” Reno tiba-tiba berdiri didekat mereka.

Tamara dan Kirana terlonjak kaget karena takut Reno mendengar semua obrolan mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status