"Rosi, kamu sudah siap?!"
Suara teriakan itu yang berasal dari Ibunya membuat Rosalia tergugu. Ia yang sedari tadi masih mencoba menghubungi Rose tetapi tidak membuahkan hasil, cepat-cepat memasukkan ponselnya ke dalam tas.Namun, tidak lama setelahnya, ia mendengar ponselnya berdering."Siapa yang menelponku!" Rosalia mengeluarkan kembali ponselnya, "Rose?" matanya berbinar kala melihat nama Rose tertera pada layar ponselnya. Dan sebelum ia sempat mengangkat panggilan itu, teriakan Ibunya kembali terdengar dari luar kamar."Rosi?!""Sebentar, Bu. Aku akan keluar sebentar lagi!" sahut Rosalia sambil berteriak juga.Tidak ingin Ibunya menjadi cemas, Rosalia terpaksa mereject telepon dari Rose. Ia memutuskan untuk mengirim pesan pada saudara kembarnya itu.[Nanti aku akan menghubungimu, Rose. Sekarang, aku harus pergi karena Ayah dan Ibu sudah menungguku.]Rosalia bergegas menyimpan kembali ponsel miliknya lalu pergi meninggalkan kamarnya.Ceklek!!"Kamu sudah siap?"Rosalia menganggukkan kepala pada Ibunya. Untung ia bertindak cepat dengan tidak mengangkat panggilan Rose. Kalau tidak, ibunya yang sudah berdiri tepat di depan pintu kamarnya pasti akan mendengar perbincangan mereka."Sudah, Bu," jawabnya sambil mencoba mengulas seraut senyum di bibirnya. Senyum yang sedikit dipaksakan, karena demi apapun sebenarnya ia sama sekali belum siap untuk menemui keluarga Gail. Terlebih lagi bertemu dengan kedua anak laki-laki Carlisle yang kemungkinan akan dijodohkan padanya."Bagus, ayo! Ayah sudah menunggu di bawah."Elizabeth meraih tangan Rosalia dan mengajak putri bungsunya itu untuk pergi bersamanya.Berselang satu jam, setibanya di mansion keluarga Gail, kedatangan Rosalia bersama kedua orang tuanya disambut oleh Carlisle Gail bersama istrinya. Dan juga kedua putra mereka yang merupakan CEO dari dua perusahaan besar yang berada di bawah naungan Gail Group.Oliver Gail, putra pertama Carlisle ini adalah CEO dari Gail Industries yang bergerak di bidang pembangunan perumahan. Sedangkan Edward Gail, putra kedua Carlisle ini merupakan CEO dari Gail Mart yang bergerak di bidang penjualan. Salah satu dari kedua putra Carlisle inilah yang tadinya akan dijodohkan kepada Rose.Sebenarnya, masih ada satu pria lajang lagi di dalam keluarga Gail, yaitu CEO dari Gail Group yang merupakan adik kandung Carlisle. Sayangnya, Rosalia tidak terlalu mengenalnya. Rose hanya pernah menceritakan tentang Oliver dan Edward padanya.Di ruang tamu mansion keluarga Gail, tidak banyak yang bisa Rosalia lakukan. Ia hanya duduk dengan canggung sambil sesekali melirik pada Edward dan Oliver yang juga tampak seolah terpaksa menghadiri acara malam ini."Sepertinya mereka juga membenci perjodohan ini." Rosalia tersenyum kaku kala netranya tanpa sengaja bersitatap dengan Oliver. Pria itu cukup tampan, hanya saja terlalu dingin. Sedangkan Edward, meski berwajah datar, tetapi masih tampak kekanakan. "Bukankah usianya dan Oliver hanya terpaut dua tahun?"Rosalia mengalihkan pandangan pada kedua orang tuanya yang tampak asik membahas tentang persyaratan yang ia berikan."Jadi Rose ingin melakukan perkenalan terlebih dahulu dengan kedua putraku sebelum dia memutuskan untuk memilih salah satu dari mereka?""Benar." Alston mengangguk canggung sambil melirik istrinya.Elizabeth yang mengerti arti dari lirikan suaminya itu langsung menimpali, "Selain itu... Ini juga berguna untuk memberi waktu kepada anak-anak agar mereka tidak menyesali pilihan mereka nantinya. Bagaimana pun, pertunangan ini kami yang atur, bukan atas keinginan mereka sendiri.”"Hahaha... Tenanglah, Elizabeth. Aku mengerti," tukas Carlisle yang melihat kecanggungan dari Alston dan Elizabeth.Mendengar pembicaraan kedua orang tuanya bersama Carlisle, Rosalia pun menghela nafas lega."Sukurlah.""Kalau begitu, bagaimana jika Rose tinggal bersama kami di mansion ini selama satu bulan? Dengan begitu, Rose bisa lebih mengenal Oliver dan juga Edward."Rosalia membeku mendengar usulan itu. Tanpa sadar, ia mengangkat wajahnya untuk menatap Carlisle."Apa ini?" umpatnya dalam hati. "Bagaimana mungkin aku bisa tinggal satu atap dengan kedua pria berwajah arogan itu?!"Dengan wajah memelas, Rosalia berpaling pada Ibunya. Beruntung, Ibunya juga terlihat tidak menyetujui usulan yang baru saja Carlisle lontarkan. Namun, sebelum Ibunya sempat memprotes, Ayahnya telah terlebih dahulu menegur Elizabeth."Rosi?"Rosalia memaksakan sebuah senyum pada Ibunya yang terlihat sangat sedih sekarang.Tadi pagi, Rosalia akhirnya tahu, bahwa Ibunya sempat mengusulkan pada Ayahnya untuk menunda perjodohan. Minimal, menunggu hingga Rose ataupun Rosalia selesai kuliah.Sayang, Ayahnya terlalu takut dengan ancaman Carlisle yang ingin menarik semua sahamnya dari perusahaan Keluarga Heart."Rose, bagaimana menurutmu?"Terkejut mendengar pertanyaan itu, Rosalia kembali menatap Carlisle."Emmm... Maaf, tadi Paman mengatakan apa?" tanyanya canggung. Tadi, selama beberapa saat, ia memang tidak lagi memperhatikan percakapan Ayahnya dengan Carlisle. Karena seluruh pikirannya telah tersita oleh usulan Carlisle sebelumnya."Hahaha... Alston, aku pikir Rose terlalu gugup bertemu dengan kedua putraku."Rosalia mengacuhkan ucapan Carlisle itu. Ia bahkan melirik Oliver, ingin tahu bagaimana tanggapan pria itu terhadap usulan Ayahnya. Namun, tidak ada yang berubah dari ekspresi pria dingin itu. Masih datar tanpa bisa ditebak."Rose, kamu mau kan tinggal bersama Paman dan Bibi di sini?"Rosalia kembali berpaling, tapi kini ia bukan menatap Carlisle. Ia justru menatap Charlotte, istri Carlisle yang baru saja bertanya padanya."Terima kasih, Bibi Charlotte atas tawarannya.” Ia mencoba tersenyum meski berat. “Jika Ayah serta Paman Carlisle sudah memutuskan, bukankah aku hanya bisa menurutinya?""Bagus, hahaha..." Carlisle dan Charlotte tertawa senang. "Aku akan mengutus supir untuk menjemput Rose besok pagi!" tukas Carlisle."Hmmm... Mengapa aku tidak diberitahu jika ada pertemuan di sini?"Kata-kata itu yang terdengar arogan, menghentikan percakapan penuh antusias Carlisle perihal rencana kepindahan Rosalia ke mansionnya. Dan membuat semua orang yang berada di ruang tamu sontak berpaling ke arah pintu mansion, di mana dua orang pria tengah melangkah tegap menuju ruang tamu.Mata Rosalia membulat hebat. "Dia?!" Rosalia yang mengenali kedua pria yang baru saja datang itu langsung membeku. "Mau apa dia ke sini?!"Ini sudah dua hari sejak terakhir Ernest datang menemui Rosalia di rumah peristirahatan milik Ayah mertuanya. Dan selama dua hari ini, suaminya itu sudah tidak pernah lagi mengganggu dirinya. Tidak menemuinya sama sekali. Membuat Rosalia menjadi bingung dan juga berpikir, apakah Ernest benar-benar telah menyerah padanya. "Ed, aku ingin kembali bekerja!" cetusnya di meja makan, saat ia sarapan pagi bersama Edward. Namun Edward hanya menatapnya dengan wajah seolah kurang yakin kalau ia sudah siap untuk bekerja. "Bagaimana tubuhmu, Rosi? Kau yakin ingin melakukan hal ini?"Rosalia mengangguk tegas, keseriusannya itu juga ia tunjukkan lewat tatapan matanya yang tertuju pada Edward. "Aku bosan, Ed," ungkapnya, mencoba menjelaskan alasan tentang mengapa ia memutuskan untuk pergi bekerja. Sesaat, ia sempat menangkap raut wajah Edward tiba-tiba tampak aneh. Seolah ada sesuatu yang sedang disembunyikan Edward darinya. Tapi apa? "Baik, tapi sebaiknya aku menghubungi Luis terlebih dahulu, b
Di dalam kamarnya, duduk bersandar di atas ranjang, Rosalia terus menunggu seandainya Ernest naik ke lantai dua rumah peristirahatan. Lalu menggedor pintu kamarnya sambil berteriak marah memanggil namanya. Tapi hal itu tidak terjadi sama sekali, terlalu hening, terlalu sepi, membuat ia ingin menangis. Tak lama, suara sedan terdengar di pekarangan rumah. Suara itu seolah bergerak menjauh, pergi menjauhi rumah peristirahatan. "Dia menyerah? Haha ... ternyata hanya begitu." Rosalia tertawa lirih, dan di penghujung tawanya, ia justru terisak pelan. Menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, meringkuk, dan terus terisak di sana hingga ia tertidur. 1 jam kemudian, gagang pintu kamar Rosalia tiba-tiba bergerak turun. Berselang beberapa detik, pintu itu yang ternyata tidak terkunci bahkan didorong perlahan dari luar oleh sesosok tubuh tinggi besar. Sesaat, pria ini melemparkan pandangannya ke arah ranjang. Menatap cukup lama pada Rosalia yang telah tampak pulas, baru kemudian melangkah perlah
Malam hari, usai makan malam. Rosalia terus mengunci dirinya di dalam kamar, duduk termangu di atas ranjang sambil menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang sengaja ia tekuk. Hari ini ia jengkel sekali, sangat jengkel atas semua yang telah Ernest lakukan padanya. Dan ... bagaimana bisa suaminya itu merayunya, menggodanya, menyentuhnya dengan tangan yang pernah menyentuh Barbara sebelumnya, tanpa merasa bersalah pada dirinya? Ernest anggap apa dirinya? 'Itu karena kau juga sengaja membiarkannya melakukan hal itu padamu, Rosi! Kau ... selalu takluk ketika Ernest menyentuhmu. Kau selalu menyerah di bawah kecupannya. Pria itu menyadarinya, Rosalia Heart! Dia mengetahui kelemahanmu!'Rosalia memiringkan kepalanya, mencoba mengacuhkan semua jeritan yang diteriakkan hatinya padanya. Meski ia tahu kalau semua itu memang benar adanya. Yah, ia memang selemah itu di hadapan Ernest. Itu benar, dan ia tidak menampiknya. Ia juga sadar kalau ia tidak bisa melihat sekelilingnya karena h
Perlahan-lahan, Edward membalikkan tubuhnya. Dan ia sontak membeku saat telah berhadapan sempurna dengan Pamannya. Sebab wajah Ernest kini tampak sangat menakutkan. Beberapa saat yang lalu, Ernest hampir berhasil melepaskan satu-satunya kain yang masih melekat di tubuh Rosalia, namun konsentrasinya tiba-tiba terganggu oleh suara bel. Selama beberapa saat ia mencoba untuk mengacuhkannya, tapi naasnya ... suara bel kedua justru membuat Rosalia seketika membuka matanya. Istrinya itu menatap lekat ke arahnya, ia bahkan melihat ada kebencian di wajah Rosalia saat itu. Dan lebih sialnya lagi, suara bel kembali terdengar. Semakin sering, hingga Rosalia yang semula telah terpengaruh oleh sentuhannya, langsung mendorong tubuhnya. Istrinya itu bahkan segera memunguti semua pakaiannya dan bergegas berlari ke kamar mandi. Keributan itu tentu saja membuat Ernest meradang. Karena gara-gara suara bel, gairahnya yang semula telah berada di puncak, akhirnya langsung terjun bebas akibat penolakan Ros
Pukul 11 siang, Edward, Ben, dan juga Elio tampak memasuki lobby hotel. Ketika ketiganya telah memasuki lift, Edward yang sudah menahan kesabarannya sejak turun dari mobil, langsung membuka mulutnya. "Ini terlalu siang!" protesnya pada Ben, "Kau dengar? Rosi pasti sangat kelaparan sekarang," sungutnya. Ben tidak menanggapi celotehan Edward itu, melainkan melirik arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sekarang sudah pukul 11? Seharusnya saat ini Tuan sudah terbangun, 'kan? Dan juga sudah berbicara pada Nyonya, 'kan? Apa mereka baik-baik saja?" gumamnya pelan, ada keresahan di dalam nada suara Ben. Begitu pula kala ia melihat lampu lift yang menunjukkan pergantian lantai semakin mendekati lantai tempat di mana kamar Ernest berada. Tepat di saat lift tiba dan pintu lift telah terbuka, dengan wajah ragu ia keluar dari lift. Edward masih berkicau bak burung merpati yang belum diberi makan, namun Ben sengaja menulikan telinganya. Ia bahkan tidak mengerti sejak kapan Edwar
'Jangan!' erang hati Ernest, saat Rosalia tiba-tiba membuka piyama yang ia kenakan. Lalu mengusap tubuhnya yang memanas dengan menggunakan ... apapun itu, kini benda sialan itu sedang menari-nari di atas kulit tubuhnya. Membuat ia sontak menahan nafas ketika benda itu perlahan bergerak turun dan menyusuri perutnya. Menuju ke area ... "Bagaimana ini? Tubuh Ernest semakin panas, apa yang harus kulakukan sekarang? Dan di mana mereka?"Fiuh, Ernest menghela nafas lega. Karena bertepatan ia membuka matanya— di saat yang sama Rosalia tiba-tiba melemparkan pandangannya ke arah pintu kamar. Namun tangan istrinya itu masih mengusap perutnya, bahkan handuk yang Rosalia genggam di tangannya hampir menyentuh ... Ernest melirik benda lembut berwarna putih itu sambil kembali menahan nafas. Sebab, jika benda sialan itu sampai menyentuh miliknya, Rosalia pasti akan segera tahu kalau ia telah terjaga. 'Jangan ke sana! Ukh ....' Ia sontak merapatkan bibirnya kala jari kelingking Rosalia tiba-tiba me