"Tuan Ernest, bukankah kamu yang telah memintaku agar secepatnya ke Gail Group untuk mengantarkan berkas milikmu!" Rosalia mengerucutkan bibirnya lalu menyerahkan berkas yang ia bawa. Tapi, ia tidak menyerahkannya secara langsung pada Ernest, melainkan meletakkannya ke atas meja yang ada di hadapan Ernest. "Tugasku sudah selesai!" tanpa menunggu jawaban Ernest, Rosalia kemudian membalikkan tubuhnya. Berjalan menuju lift tempat beberapa saat yang lalu ia baru saja keluar dari lift tersebut.
"Siapa yang telah mengijinkanmu untuk pergi?" cetus Ernest dingin. Kedua alis tebalnya menyatu ke tengah, dan sesaat setelahnya ia melirik Ben lalu memberi isyarat agar Ben segera meninggalkan ruangannya."Baik, Tuan." Ben langsung pergi begitu saja melewati Rosalia yang justru kini telah menghentikan langkahnya. "Nona Rosalia, tolong jaga sikapmu. Sebaiknya Nona tidak memancing kemarahan Tuan di sini." Bisiknya, ketika ia berpapasan dengan Rosalia.Kata-kata Ben itu, membuat Rosalia mendelik gusar. "Hei, kapan aku memancing kemarahan Tuanmu?!" protesnya sembari berbisik pula.Ben tidak menjawab, ia hanya memasuki lift sambil melemparkan pandangan pada Rosalia. Senyuman lucu tampak di bibirnya. Senyuman yang memiliki arti 'Nona Rosalia, anda sangat menarik.'"Huftt!!" setelah pintu lift tertutup Rosalia pun membalikkan tubuhnya ke arah Ernest. Pria Dewasa berwajah rupawan itu kini tengah menatapnya tanpa ekspresi. "Apalagi yang kamu inginkan dariku?!" cetusnya sebal.Tidak ada jawaban dari Ernest. Ia malah dengan santainya beranjak dari kursi kerjanya lalu melangkahkan kakinya ke arah Rosalia."Temani aku makan siang!"Arogan, tidak ingin dibantah, itu yang Rosalia rasakan dari kata-kata yang baru saja Ernest lontarkan padanya. Seolah saat ini ia adalah Sekretaris Ernest yang harus mematuhi perintah Bosnya."Tuan Ernest yang terhormat, aku..." Kalimat Rosalia sontak terjeda ketika tanpa ia duga Ernest tiba-tiba menarik lengannya. Pria itu menyeretnya ke arah lift, lagi-lagi masih dengan memasang wajah datar. "Le-lepaskan!" dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk menarik lengannya dari genggaman Ernest, namun naasnya... Cengkeraman pria itu sangat erat pada lengannya.Akhirnya, ia pun pasrah di saat Ernest menariknya masuk ke dalam lift."Tuan Ernest, ini penyalah gunaan kekuasaan! Dan semoga kamu ingat, aku ini adalah calon istri dari salah satu keponakanmu!" jeritnya sebal."Itu tidak akan pernah terjadi selama ada aku!" celetuk Ernest. Ia diam-diam melirik Rosalia, dan hampir tersenyum tatkala menemukan Rosalia saat ini sedang menatap ke arahnya dengan wajah merah padam. "Cantik," bisiknya dalam hati.Sejak malam ia menyentuh Rosalia, Ernest sama sekali tidak bisa melupakan wajah manis Rosalia. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa Rosalia memberikan mahkotanya kepada dirinya. Padahal bagi wanita Bangsawan sekelasnya, Rosalia seharusnya menjaga keperawanannya hingga ia menemukan pria yang akan menikah dengannya.Dan rasa penasarannya ini, membuat ia ingin mengenal Rosalia lebih dekat lagi. Ia ingin tahu apa alasan Rosalia hingga memilih dirinya untuk menghabiskan malam panas bersama.Casanova, julukan ini bukan tanpa alasan melekat pada dirinya. Ernest memiliki julukan ini karena ia suka melakukan petualangan cinta satu malam. Dan dalam melakukan hobbynya itu, biasanya ia tidak akan pernah lagi menemui wanita yang telah pernah ia kencani sebelumnya."Tuan Ernest, aku bersedia dipanggil olehmu setiap saat kamu membutuhkan wanita."Sudah berapa kali ia mendengar ucapan ini terlontar dari bibir para wanita yang pernah ia kencani. Dan walaupun wanita yang mengucapkan hal itu sangat cantik sekalipun, ia sama sekali tidak tergoda.Hal itu berbeda dengan Rosalia, pertama kali ia berhasil menjebol keperawanan gadis belia itu. Tubuhnya tiba-tiba terbakar oleh gairah yang sangat besar. Ia bahkan tidak ingin berhenti untuk menyentuh Rosalia. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia inginkan. Baginya wanita itu hanya barang sekali pakai, cukup nikmati sekali lalu lupakan."Apa sebenarnya yang kamu inginkan dariku?"Ernest tersentak, lamunannya tentang pertemuan pertamanya dengan Rosalia langsung buyar setelah ia mendengar pertanyaan itu."Aku hanya ingin mengajakmu makan siang," celetuknya tak peduli sembari menatap angka di atas pintu lift yang terus berkurang satu persatu."Tapi aku sedang tidak ingin makan siang!""Temani aku, atau... Apa sebaiknya aku telpon Carlisle lalu mengatakan bahwa Ayahmu telah menipunya?""Kamu...""Cukup temani aku makan siang jika kamu menginginkan agar aku tutup mulut." Seperti ia menyeret Rosalia memasuki lift, di saat lift berhenti di lantai pertama yang bertuliskan lobby, Ernest kembali menyeret Rosalia keluar lift. Sama sekali tidak mengacuhkan tatapan karyawan dan karyawatinya yang justru merasa bingung melihat apa yang ia lakukan terhadap Rosalia."Hei, bisakah kamu melepaskan tanganku? Apakah kamu tidak menyadari kalau semua karyawanmu sedang menatapku?" cicit Rosalia gemas.Baginya, Ernest boleh saja tidak peduli terhadap pandangan karyawan dan karyawatinya. Tapi tidak dengan Rosalia. Ia merasa jengah menerima semua tatapan dari bawahan Ernest itu yang seolah mengatakan 'Makhluk Aliens dari mana gadis itu? Mengapa pria seperti Tuan Ernest mau-maunya menggandeng gadis serampangan seperti dirinya?'Di depan pintu lobby, Ernest menghentikan langkahnya dan menatap Ben yang terus mengikutinya sejak ia keluar dari lift."Ben, aku akan menyetir sendiri!""Tuan tidak ingin kuantar?""Tidak perlu, tugasmu hanya pesankan menu makan siang di resto favoriteku sekarang!" usai menyelesaikan kalimatnya, Ernest segera mendorong Rosalia pada kursi di samping kursi pengemudi sedan mewah miliknya yang telah menunggunya di depan pintu lobby. Setelah itu, ia lalu masuk ke bagian kursi pengemudi dan menjatuhkan bokong rampingnya di samping Rosalia yang tengah menatapnya dengan wajah sebal."Hei! Aku... Aku belum mengatakan kalau aku setuju menemanimu... Mmm... Mmm..."Sesaat berselang Ernest tiba-tiba menjerit tertahan, karena saat ini tangan yang ia pergunakan untuk membungkam Rosalia, telah digigit oleh gadis belia itu.Gara-gara hal itu, Ernest yang semula ingin segera pergi dari halaman lobby Gail Group... Kini justru menatap tajam pada Rosalia."Rosalia Heart, haruskah aku menikahimu sebagai hukuman atas sikapmu ini?!""Maaf, kamu tidak bisa mengancamku, Tuan Ernest. Lagipula aku sudah tahu jika kamu tidak termasuk ke dalam perjodohan yang telah diaturkan oleh Kakekku dengan keluarga Gail," balas Rosalia. Ia tersenyum penuh kemenangan, namun hanya sesaat hingga akhirnya senyuman itu sontak sirna oleh jawaban yang diberikan Ernest untuknya."Kamu salah, Rosalia Heart. Sebenarnya, aku-lah kandidat pertama yang seharusnya dijodohkan dengan Rose!" pungkas Ernest.Ini sudah dua hari sejak terakhir Ernest datang menemui Rosalia di rumah peristirahatan milik Ayah mertuanya. Dan selama dua hari ini, suaminya itu sudah tidak pernah lagi mengganggu dirinya. Tidak menemuinya sama sekali. Membuat Rosalia menjadi bingung dan juga berpikir, apakah Ernest benar-benar telah menyerah padanya. "Ed, aku ingin kembali bekerja!" cetusnya di meja makan, saat ia sarapan pagi bersama Edward. Namun Edward hanya menatapnya dengan wajah seolah kurang yakin kalau ia sudah siap untuk bekerja. "Bagaimana tubuhmu, Rosi? Kau yakin ingin melakukan hal ini?"Rosalia mengangguk tegas, keseriusannya itu juga ia tunjukkan lewat tatapan matanya yang tertuju pada Edward. "Aku bosan, Ed," ungkapnya, mencoba menjelaskan alasan tentang mengapa ia memutuskan untuk pergi bekerja. Sesaat, ia sempat menangkap raut wajah Edward tiba-tiba tampak aneh. Seolah ada sesuatu yang sedang disembunyikan Edward darinya. Tapi apa? "Baik, tapi sebaiknya aku menghubungi Luis terlebih dahulu, b
Di dalam kamarnya, duduk bersandar di atas ranjang, Rosalia terus menunggu seandainya Ernest naik ke lantai dua rumah peristirahatan. Lalu menggedor pintu kamarnya sambil berteriak marah memanggil namanya. Tapi hal itu tidak terjadi sama sekali, terlalu hening, terlalu sepi, membuat ia ingin menangis. Tak lama, suara sedan terdengar di pekarangan rumah. Suara itu seolah bergerak menjauh, pergi menjauhi rumah peristirahatan. "Dia menyerah? Haha ... ternyata hanya begitu." Rosalia tertawa lirih, dan di penghujung tawanya, ia justru terisak pelan. Menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, meringkuk, dan terus terisak di sana hingga ia tertidur. 1 jam kemudian, gagang pintu kamar Rosalia tiba-tiba bergerak turun. Berselang beberapa detik, pintu itu yang ternyata tidak terkunci bahkan didorong perlahan dari luar oleh sesosok tubuh tinggi besar. Sesaat, pria ini melemparkan pandangannya ke arah ranjang. Menatap cukup lama pada Rosalia yang telah tampak pulas, baru kemudian melangkah perlah
Malam hari, usai makan malam. Rosalia terus mengunci dirinya di dalam kamar, duduk termangu di atas ranjang sambil menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang sengaja ia tekuk. Hari ini ia jengkel sekali, sangat jengkel atas semua yang telah Ernest lakukan padanya. Dan ... bagaimana bisa suaminya itu merayunya, menggodanya, menyentuhnya dengan tangan yang pernah menyentuh Barbara sebelumnya, tanpa merasa bersalah pada dirinya? Ernest anggap apa dirinya? 'Itu karena kau juga sengaja membiarkannya melakukan hal itu padamu, Rosi! Kau ... selalu takluk ketika Ernest menyentuhmu. Kau selalu menyerah di bawah kecupannya. Pria itu menyadarinya, Rosalia Heart! Dia mengetahui kelemahanmu!'Rosalia memiringkan kepalanya, mencoba mengacuhkan semua jeritan yang diteriakkan hatinya padanya. Meski ia tahu kalau semua itu memang benar adanya. Yah, ia memang selemah itu di hadapan Ernest. Itu benar, dan ia tidak menampiknya. Ia juga sadar kalau ia tidak bisa melihat sekelilingnya karena h
Perlahan-lahan, Edward membalikkan tubuhnya. Dan ia sontak membeku saat telah berhadapan sempurna dengan Pamannya. Sebab wajah Ernest kini tampak sangat menakutkan. Beberapa saat yang lalu, Ernest hampir berhasil melepaskan satu-satunya kain yang masih melekat di tubuh Rosalia, namun konsentrasinya tiba-tiba terganggu oleh suara bel. Selama beberapa saat ia mencoba untuk mengacuhkannya, tapi naasnya ... suara bel kedua justru membuat Rosalia seketika membuka matanya. Istrinya itu menatap lekat ke arahnya, ia bahkan melihat ada kebencian di wajah Rosalia saat itu. Dan lebih sialnya lagi, suara bel kembali terdengar. Semakin sering, hingga Rosalia yang semula telah terpengaruh oleh sentuhannya, langsung mendorong tubuhnya. Istrinya itu bahkan segera memunguti semua pakaiannya dan bergegas berlari ke kamar mandi. Keributan itu tentu saja membuat Ernest meradang. Karena gara-gara suara bel, gairahnya yang semula telah berada di puncak, akhirnya langsung terjun bebas akibat penolakan Ros
Pukul 11 siang, Edward, Ben, dan juga Elio tampak memasuki lobby hotel. Ketika ketiganya telah memasuki lift, Edward yang sudah menahan kesabarannya sejak turun dari mobil, langsung membuka mulutnya. "Ini terlalu siang!" protesnya pada Ben, "Kau dengar? Rosi pasti sangat kelaparan sekarang," sungutnya. Ben tidak menanggapi celotehan Edward itu, melainkan melirik arloji mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. "Sekarang sudah pukul 11? Seharusnya saat ini Tuan sudah terbangun, 'kan? Dan juga sudah berbicara pada Nyonya, 'kan? Apa mereka baik-baik saja?" gumamnya pelan, ada keresahan di dalam nada suara Ben. Begitu pula kala ia melihat lampu lift yang menunjukkan pergantian lantai semakin mendekati lantai tempat di mana kamar Ernest berada. Tepat di saat lift tiba dan pintu lift telah terbuka, dengan wajah ragu ia keluar dari lift. Edward masih berkicau bak burung merpati yang belum diberi makan, namun Ben sengaja menulikan telinganya. Ia bahkan tidak mengerti sejak kapan Edwar
'Jangan!' erang hati Ernest, saat Rosalia tiba-tiba membuka piyama yang ia kenakan. Lalu mengusap tubuhnya yang memanas dengan menggunakan ... apapun itu, kini benda sialan itu sedang menari-nari di atas kulit tubuhnya. Membuat ia sontak menahan nafas ketika benda itu perlahan bergerak turun dan menyusuri perutnya. Menuju ke area ... "Bagaimana ini? Tubuh Ernest semakin panas, apa yang harus kulakukan sekarang? Dan di mana mereka?"Fiuh, Ernest menghela nafas lega. Karena bertepatan ia membuka matanya— di saat yang sama Rosalia tiba-tiba melemparkan pandangannya ke arah pintu kamar. Namun tangan istrinya itu masih mengusap perutnya, bahkan handuk yang Rosalia genggam di tangannya hampir menyentuh ... Ernest melirik benda lembut berwarna putih itu sambil kembali menahan nafas. Sebab, jika benda sialan itu sampai menyentuh miliknya, Rosalia pasti akan segera tahu kalau ia telah terjaga. 'Jangan ke sana! Ukh ....' Ia sontak merapatkan bibirnya kala jari kelingking Rosalia tiba-tiba me