Ternyata tidak butuh waktu lama untuk kaki Lian sembuh. Hari ini, kakinya lumayan lebih enak. Bisa untuk belajar berjalan tanpa kruk dan melakukan aktifitas. Meskipun masih di perban. Tentunya hanya bisa di dalam rumah saja karena ia tidak bekerja. Hana pun mewanti-wanti untuk Lian tetap di rumah sampai benar-benar sembuh total.Sejak pagi, Saga sudah berkutat dengan laptopnya di ruang kerja. Sesekali lelaki itu juga akan menelepon Bi Ratmi untuk menanyakan kabar Ibu Mita. Ya, Saga seprotektif itu kepada ibunya sekarang.Sementara Lian sudah menguasai dapur juga sejak pagi. Ia memasak beberapa menu makanan. Niatnya mau mengirim sekalian untuk Ibu Mita, tapi mengingat jarak rumah yang lumayan jauh, nanti makanannya keburu dingin. Akhirnya, Lian memesankan healthy food saja dan memasak cukup untuknya dan Saga sarapan.Lian membuat udang asam manis, soup dan capcay. Tangannya lihai memotong, meracik dan mengaduk di atas panci. Ia kesana-kemari dengan lincah untuk menyiapkan beberapa piri
Pada akhirnya Lian harus menghangatkan masakannya. Oh sungguh jadi kerja dua kali. Ini semua karena Saga yang mengajaknya mandi bersama dan jadi pagi terlama mereka.Di sisi lain, Lian memang tidak mau melewatkan kesempatan ini. Seperti kata Anggi. Namun, agaknya sekarang ia menyesal. Seberapa keras pun Lian merayu Saga untuk keluar di dalam, hasilnya tetap sama saja. Zonk! Saga mengeluarkan benih-benih itu di luar. Lian menatap nyalang melihat para benih yang disia-siakan di lantai dan terhempas terguyur air, lalu masuk ke saluran pembuangan itu.Astaga! Padahal untuk menjadi anak, cukup satu saja berlomba masuk ke dalam rahimnya dan menemukan si telur. Mubazir sekali bukan?Ya sudahlah. Hari masih panjang. Semoga saja nanti Saga khilaf dan lupa memakai pengaman atau berpikir mengeluarkannya di dalam. Lian harus optimis."Kenapa melamun?" tanya Saga yang ternyata sudah menghabiskan isi piringnya.Lian mengerjap dan memberikan Saga senyum manis. "Mau nambah tidak? Udangnya masih, Ma
"Jadi, apa dalam waktu dekat ini kamu akan berhenti?"Masih mengatur napas akibat cumbuan mereka, Lian langsung mengerti apa yang dimaksud Saga.Ia menggeleng. "Berproses. Aku masih ada kontrak dengan brand sampai dua atau tiga tahun mendatang. Jadi, mungkin aku akan mengurangi kerjaan ku saja mulai sekarang. Bagaimana?" Kedua alisnya naik ke atas bertanya."It's good. Tapi, kamu masih tiga puluhan something. Perjalananmu mungkin masih panjang kan? Kamu pasti mempunyai hal yang belum kamu capai selama ini. Lagipula, biasanya orang akan rehat dari pekerjaannya, minimal lima puluh tahun. Tidak apa-apa?"Satu-satunya hal yang ingin ia capai sekarang hanyalah mempunyai anak dan memimpikan hidup jadi ibu rumah tangga yang bahagia. Namun, Lian tidak bisa mengatakan itu langsung kepada Saga sekarang bukan? Ia takut merusak suasana ini. Suatu hari, ia akan mengutarakannya dengan gamblang."Siapa bilang Mas? Aku memulai semua ini bahkan lebih muda
"Kamu masih punya waktu berapa lama lagi sebelum jadwal Saga vasektomi?""Satu minggu lebih.""Jadi?" Lian meraih Miko ke dalam pangkuannya dan mencium pipi gembulnya dengan gemas. Ia tahu maksud Anggi, sudah pasti soal misinya mendapatkan benih dari Saga. Yang sampai detik ini, selalu gagal."Kamu bisa menebaknya sendiri kan, Nggi," ucap Lian sibuk memberikan mainan pada Miko.Anggi terdengar membuang napas kasar. "Aku tidak dalam posisimu, tapi rasanya menjengkelkan juga. Apa Saga sungguhan sekeras kepala itu? Sampai kamu saja yang biasanya bisa membuat Saga jadi lelaki paling menurut sedunia, kini tidak termakan oleh rayuan dan permintaanmu?"Kedua bahu Lian terangkat. "Sampai detik ini, aku pun masih berusaha. Tapi ya bagaimana? Apalagi di situasi serumit sekarang dengan ibu Mita yang sakit, pekerjaan Saga yang tambah banyak, semangatku hilang-timbul terus, Nggi. Kadang mau menyerah saja dan pasrah, jika memang aku harus hid
Saga mengamati Lian yang sedang membereskan sampah makannya. Ia menatap perempuan itu tidak percaya. Sikap Lian aneh sekali hari ini. Ia tiba-tiba datang ke kantor —yang biasanya tidak pernah— membawakan makan siang. Lalu, Saga dibuat seperti orang yang dicurigai macam-macam. Kadang Lian menyunggingkan senyum manis, tapi juga kadang senyumnya mengandung makna lain. Tipis-tipis, tapi Saga bisa melihat ada hawa kesal yang Lian bawa ke sini. Entah itu untuk hal apa."Biar aku saja yang buang." Saga meraih sampah paperbag itu dari tangan Lian dan membuangnya di tempat sampah.Mata Lian tidak lepas melihat setiap gerakan suaminya. Susunan kata di kepalanya sudah sedemikian rapi dan siap untuk ia lontarkan.Namun, sebuah ketukan pintu terdengar dan menampilkan salah satu karyawan lelaki. Lian tahu lelaki itu berada di bagian perbendaharaan. Saga menerima beberapa dokumen dari lelaki itu dan menumpuknya di atas meja."Itu semua kerjaan kamu Mas
Hari berikutnya dan seterusnya Lian datang ke kantor Saga lagi membawa makan siang. Lian jadi lebih sering memperhatikan Saga dari hal kecil ke yang besar sekalipun. Seperti tadi pagi, Lian memasangkan dasi untuk sang suami, menyeterika baju dan membantu Saga menyisir rambut. Hal yang jarang atau bahkan tidak pernah Lian lakukan karena menganggap Saga bisa melakukannya sendiri. Agaknya memang ia selama ini kurang memperhatikan suaminya. Pekerjaan selalu menyita waktunya dari pagi ketemu pagi lagi. Hingga hal-hal kecil seperti itu tidak terjamah oleh Lian."Enak?" tanya Lian yang tersenyum karena Saga selalu lahap setiap kali ia memasak untuknya."Selalu enak," kata Saga di tengah kunyahannya."Ck! Lelaki memang murahan kalau soal makanan enak."Tawa Saga berderai. "Aku pikir, setelah kamu berhenti jadi model, kamu punya peluang untuk membuka restoran dengan menu seperti ini, Lian.""Itu berlebihan, Mas. Review-mu saja tidak objektif, bagaimana bisa aku percaya diri soal masakanku?""N
Lian rasa, hidup memang selalu penuh kejutan. Jika tidak, maka hidup hanya akan menjadi putih dan abu-abu saja. Monoton. Namun, kejutan kali ini sangat tidak lucu dan juga tidak akan berwarna apapun baginya. Justru aura galaplah yang akan menyelimutinya.Bagaimana mungkin ia bertemu lelaki ini lagi? Harusnya Lian sudah bisa memprediksi bahwa yang akan bertemu dengan Ine dan membahas soal rumah baru, tentulah Fahri. Karena Lian ingat bahwa yang dimau oleh Ine adalah real estate milik Fahri ini. Namun, ia tidak menyangka bahwa yang terjun langsung menemui klien adalah Fahri sendiri. Apa sesenggang itu, sampai harus menemui Ine langsung? Memangnya tidak punya karyawan? Perusahannya kan besar dan karyawannya mungkin lebih dari seratus orang.Oh no! Ini kacau!Ia menundukkan kepala dan menutup matanya. Lalu sedetik kemudian, ia mendongak dan menyunggingkan senyum tipis."Pak Fahri, kenal dengan Lian?" tanya Ine yang kini menatap Lian dan Fahr
Flashback On—Sore itu, Lian menangis di sudut kamar kosnya. Kamar yang menjadi saksi bisu, bagaimana perjuangannya masuk ke dunia modeling, bagaimana kerasnya persaingan dan industri, serta bagaimana ia mengetahui karakter orang-orang yang sesungguhnya. Semua perasaan sudah ia lalui dan lampiaskan di kamar yang hanya berukuran empat kali empat meter ini. Kebahagiaan, kehilangan, kesedihan, kekecewaan dan sebagainya.Di ruangan gelap itu, Ia menekuk kedua kaki dan menenggelamkan kepala di sana. Udara malam membelai gorden transparan dan menyalurkan energi dingin d setiap inci tubuh Lian. Saat ini, perasaannya teramat sedih, hancur, marah dan ... patah hati. Baru saja, ada seorang yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya. Orang itu mengatakan bahwa Lian tidak memiliki kepantasan sedikitpun. Lian adalah model rendahan dan tidak punya value. Dan juga orang itu mengatakan, Lian tidak punya apa-apa. Lian hanya seonggok manusia yang tidak terlihat dan t