Makan malam yang begitu tidak nikmat di sebuah ruang makan keluarga kaya di Kota Suro. Sebut saja keluarga Anarta. Di antara mereka yang paling berwajah enggan untuk mendengarkan perdebatan papa dan mamanya adalah Wahyu.
Seorang laki-laki dengan usia yang sudah menginjak 30 tahun itu tampak malas mendengarkan obrolan mengenai siapa yang akan menjadi pimpinan di perusahaan keluarganya.
Wahyu Dwi Anarta adalah anak sulung yang seharusnya pantas untuk menjadi pewaris kekayaan keluarga. Namun karena sikapnya yang seakan abai dengan keluarga, membuat Yanuar, mamanya, meragukan kemampuan Wahyu dalam memimpin perusahaan.
Sikap Wahyu yang sering tidak peduli dengan keluarga dan kerap pulang malam membuat Yanuar ragu dengan kedewasaan anak sulungnya. Yanuar mengarahkan tatapannya kepada Wahyu yang masih menyantap menu malamnya.
“Yu, kamu jangan diam saja. Bagaimana pendapatmu jika kami menunjukmu menjadi pemimpin di perusahaan jahit? Kamu ini sudah besar. Jangan bisanya hanya bersikap cuek dengan kondisi keluarga. Belajarlah untuk memegang tanggung jawab besar,” ujar Yanuar dengan nada mengeluh.
Wahyu mendengar keluhan mamanya, tetapi dia masih enggan untuk menjawab perkataan Yanuar. Dia lebih memilih untuk melanjutkan menyantap steak daging yang ada di depannya.
“Kalau kamu tidak menjawab, mama angap kamu setuju dengan Keputusan kami. Besok kamu ikut mama membereskan berkas. Mama dan papa akan mengenalkanmu kepada seluruh karyawan. Mulai besok jabatan akan diserahkan kepadamu,” sambung Yanuar kesal.
Dengan wajah yang masam, Wahyu mengarahkan tatapannya kepada Yanuar. Meskipun dia sangat keberatan menerima keputusan mamanya, tetapi sangat mustahil untuk membantah apa yang sudah dikehendaki oleh Yanuar.
Siapapun yang menjadi bagian dari keluarga Anarta pun tahu, jika Yanuar adalah orang yang paling galak dan tidak bisa ditentang kemauannya. Yanuar adalah satu-satunya perempuan di keluarga Anarta, wajar jika dirinya lebih diutamakan kedudukannya dibanding anggota keluarga yang lain.
“Memangnya jika aku menolak, mama terima? Mama lebih galak daripada papa. Apapun keinginan mama harus dituruti. Jika tidak, mama akan marah kepada kami,” kata Wahyu.
“Mama begini juga karena sayang pada kalian. Mama mau yang terbaik untuk kalian, apalagi kamu, Wahyu. Kamu ini anak tertua yang menjadi penerus kekayaan keluarga,” balas Yanuar.
“Aku ikut kemauan mama saja. Jika menurut mama itu yang terbaik untuk aku,” kata Wahyu.
“Bagus. Besok kamu harus bangun pagi. Jam tujuh kita harus sudah berangkat,” ujar Yanuar dengan suara tegas agar anak sulungnya tidak bisa membantah.
Makan malam pun selesai. Mereka bertiga lekas menuju ke kamar masing-masing, tetapi tidak dengan Yanuar. Meskipun keluarganya kaya dengan harta melimpah, tetapi Yanuar tidak menyewa seorang pembantu.
Dia memutuskan untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Memang, Yanuar adalah seorang wanita tangguh yang bisa membagi waktu antara menjadi wakil perusahaan dengan statusnya sebagai ibu rumah tangga.
Semua pekerjaannya dalam membereskan meja makan sudah selesai tepat seiring dengan semakin larutnya malam. Yanuar memutuskan untuk beristirahat di dalam kamarnya sebab besok pagi dia harus mengantar anak sulungnya ke perusahaan milik keluarga.
Beberapa jam berlalu. Sorot sinar matahari sudah semakin naik. Yanuar pun terbangun karena suara berisik dari dapur. Dia mengeluh kesakitan di bagian kepala karena bangunnya pagi ini sedikit dipaksa.
Yanuar sangat merasa terganggu dengan kebisingan yang berasal di dapur rumahnya, lantas saja wanita dengan usia di atas 50 tahun itu menuju ke dapur. Emosinya memuncak ketika menyaksikan anak sulungnya bertengkar dengan si bungsu karena makanan.
“Grey, Wahyu! Kalian pagi-pagi begini sudah meributkan hal yang sepele. Masalah makanan saja sampai bikin gaduh begitu. Bisa tidak sih kalian itu melakukan hal yang benar sedikit,” ujar Yanuar dengan suara meninggi.
Yanuar semakin kesal manakala anak-anaknya tidak mengindahkan perkataannya. Berasa tidak didengarkan, Yanuar pun menghampiri kedua anaknya dan menjewer telinga anak-anaknya agar jera.
“Ampun, Ma. Sakit!” keluh Wahyu.
“Kamu juga, Wahyu. Sebagai anak pertama, seharusnya kamu bisa mengalah sama adikmu. Malu sama usiamu yang sudah besar, tetapi kelakuan masih seperti bocah,” ujar Yanuar.
Yanuar melepaskan jewerannya di telinga kedua anaknya. Tatapan mata Yanuar yang masih kesal memandang ke anak sulungnya. Dengan wajah yang kehabisan rasa sabar, Yanuar memukul pelan punggung Wahyu.
“Kamu siap-siap sana. Nanti kita akan berangkat ke perusahaan,” kata Yanuar.
Wahyu pun menuruti perkataan mamanya. Dia lekas menuju ke kamarnya untuk bersiap-siap. Sedangkan Yanuar, memutuskan untuk memasakkan si bungsu makanan pagi ini. Usai menyiapkan makanan, Yanuar pergi mempersiapkan dirinya.
Keduanya telah siap. Yanuar dan Wahyu memasuki mobil mereka. Pintu mobil pun digeser, kemudian tertutup secara otomatis. Wahyu mengemudikan mobil menuju perusahaan Jahitan Anarta yang berada di Jalan Kura Nomor 35.
Sekitar dua kilometer lagi, mereka sampai. Wahyu membukakan pintu untuk mamanya, Yanuar pun lekas turun dan menggandeng anak sulungnya menuju ke dalam perusahaan.
Setibanya di dalam perusahaan, Yanuar dan Wahyu lekas menuju ke ruang pimpinan. Di dalam, Yanuar memberikan tiga berkas kepada anak sulungnya. Setelah menerima beberapa berkas dari mamanya, Wahyu membaca dan menandatanganinya.
Dia sepakat untuk menjadi pemimpin perusahaan keluarga mulai detik ini. Yanuar melihat kepada wajah Wahyu yang tampak biasa-biasa saja. Anak sulungnya satu itu terlihat seperti tidak ada tekanan untuk menandatangani perjanjian menjadi pimpinan perusahaan.
“Sepertinya kamu sudah siap. Ayo ikut mama ke pangkal koridor utama. Di sana biasanya para karyawan berkumpul. Pagi ini saat yang bagus untuk memperkenalkanmu kepada mereka,” ujar Yanuar.
Wahyu lekas berdiri dan mengikuti langkah mamanya menuju pangkal koridor utama. Benar kata mamanya, di pangkal koridor utama perusahaan banyak sekali karyawan yang berkumpul. Mereka seperti sedang menunggu giliran mengisi presensi mereka.
“Maaf mengganggu waktunya sebentar. Hari ini saya mau perkenalkan putra sulung saya, Wahyu Dwi Anarta. Kemarin kami sebagai keluarga utama sepakat untuk menunjuknya sebagai pemimpin baru di perusahaan ini. Apalagi mengingat jika Bapak Yuarta telah menginjak usia senja,” kata Yanuar.
Yanuar berbicara demikian sambil mengedarkan pandangannya kepada seluruh karyawannya. Dengan senyum yang menghiasi bibir merahnya, Yanuar masih percaya diri untuk melanjutkan perkataannya.
“Sudah sepantasnya jika Bapak Yuarta selaku pimpinan perusahaan turun. Beliau sudah memasuki masa pensiun dan berhak untuk digantikan oleh anak sulungnya. Apakah dari kalian ada yang keberatan jika anak saya Wahyu menjadi pimpinan baru di perusahaan ini?” tanya Yanuar.
Ada jeda sunyi beberapa menit dari selesainya Yanuar melontarkan pertanyaan. Seluruh karyawannya memandang satu sama lain, seolah mempertimbangkan pendapat. Beberapa di antaranya berkasak-kusuk membicarakan sosok diri Wahyu.
Meskipun begitu, mereka tidak terlihat keberatan jika Wahyu menggantikan posisi papanya sebagai pimpinan di perusahaan jahit ini. Yanuar menangkap sinyal positif dari wajah mereka, sebagai wakil perusahaan, Yanuar pun lekas mempertanyakan kepastian pendapat dari para karyawannya.
“Ada yang keberatan? Saya butuh persetujuan dari kalian. Pendapat kalian sangat berarti untuk kemajuan perusahaan ini,” kata Yanuar.
Sontak para karyawan yang bekerja di perusahaan jahit milik Anarta itupun menggeleng. Dari wajah, sepertinya mereka tidak ada yang menolak jika Wahyu menjadi pimpinan baru. Detik itu juga, Wahyu sebagai anak sulung dari Yanuar dan Yuarta ditunjuk menjadi pimpinan baru di perusahaan jahit milik keluarganya.
Wahyu mengangguk-angguk sambil tersenyum dengan kepuasan. Dirinya tak pernah sangka jika tempat duduk pilihannya akan disukai oleh April. Bagi perempuan itu, posisi duduk di sini sangat membuatnya betah.Tatapan mata Wahyu masih tertuju kepada sang kekasih. Tidak sedikitpun berpindah dari wajah manis April. Tampaknya Wahyu ingin memandangi April saja sampai jenuh kali ini.“Oh, ya. Kamu ajak aku ke sini karena untuk menghilangkan rasa lelah. Tidak sia-sia kurasa, karena setelah berada di dalam kedai ini aku menjadi sedikit lebih baikan,” kata April.“Memang aku mengajakmu kemari karena berencana untuk menyenangkan hatimu. Barangkali saja di cuaca panas seperti ini es krim bisa meredakan hati kita,” kata Wahyu.“Es krim jenis apa yang akan kamu pesan?” tanya April.Wahyu lantas mengerutkan kening. Ucapan yang sengaja dibuat sebagai pertanyaan oleh April terlihat sedikit membuat Wahyu menjadi berpikir. Sampai membuat Wahyu harus mencari-cari buku menu di kedai ini.“Kamu mau pesan es kr
Wahyu hanya melengkungkan senyuman tipis di bibir setelah mendengar ucapan April. Belum lama, lelaki itu sudah menggenggam tangan April dan mengelus-elusnya dengan lembut. Lantas diciumnya tangan April dengan kecupan yang sangat halus.“Aku akan kembali bekerja lagi setelah ini. Kuharap kamu masih mau menunggu,” kata Wahyu.“Pasti aku akan menunggu kamu di sini. Biar aku dan kamu bisa pulang bersama-sama,” ujar April.Percakapan mereka berdua terhenti setelah mendengar suara pintu yang dibuka. Rupanya Anara yang telah masuk ke dalam ruangan. Wahyu lantas saja mengalihkan pandangannya kepada sekretaris pribadi yang sudah membawa beberapa lembar kertas untuknya.“Selamat siang, Pak. Ini saya bawakan beberapa lembar dokumen untuk kamu baca,” kata Anara.“Berikan kepadaku. Aku akan mempelajarinya setelah ini,” kata Wahyu, memberi balasan.Anara tidak menjawab melainkan hanya memberi anggukan. Setelahnya, Anara memberikan beberapa lembar dokumen ke tangan Wahyu. Tentu Wahyu menerima lembar
April tertegun setelah mendengar bisikan dan suara lirih dari Wahyu. Betapa tidak sebab ucapan dari pria yang menjadi kekasihnya itu sangat menyentuh hati. Bahkan sebelum ini, belum pernah April menerima ucapan kasih sayang dari seorang laki-laki.Dengan bibir yang masih terdiam, April bahkan hampir tidak menyangka akan membalas seperti apa ujaran Wahyu. Bagi wanita itu, ungkapan semacam ini hanya sanggup untuk dia dengar.“Jadi tolong jangan kecewakan aku. Aku tidak sanggup apabila dikecewakan oleh orang yang paling aku sayangi,” kata Wahyu.April menoleh hanya untuk sekedar memandang pada Wahyu. Pria yang saat ini sedang mengarahkan pandangannya kepada April itu menunjukkan binar mata yang jernih. Seakan-akan menandakan bahwa setiap kata yang dia keluarkan adalah hal yang paling berarti.“Aku tidak akan membuat kamu kecewa, sayang. Aku akan usahakan apapun yang terbaik bagi kita berdua,” ujar April.“Jika memang seperti itu, aku akan senang mendengarkannya. Aku tidak akan meragukan
Wahyu masih mengarahkan pandangannya kepada April. Tak dia sangka jika perempuan itu akan memandangi minuman yang dia berikan. Tanpa sadar pula Wahyu melengkungkan senyuman di bibir karena ulah April yang terlihat menggelikan.“Minum saja, jangan hanya melihat pada bungkusannya. Aku jamin rasanya pasti enak,” kata Wahyu.“Ya, tentu. Sebentar lagi aku akan meminumnya,” ujar April, membalas kata-kata Wahyu.“Selamat minum es jeruk passionnya, sayang,” kata Wahyu, melembutkan suaranya untuk April.Wahyu lantas berpaling wajah dari April. Setelah tak lama, April lekas mendekatkan bungkusan es ke dalam mulut. April menyedot minuman dari sedotan plastik hingga terasa bahwa rasa jeruk dan buah passion terasa menyegarkan.April seakan ingin mencobanya lagi dan lagi. Baru sekali menyedot saja kerongkongannya sudah terasa dilegakan, apalagi kalau berulang kali. Rasanya tidak sia-sia jika Wahyu telah membelikannya minuman dengan rasa seperti itu.“Apa kamu menyukai es yang aku belikan untuk kamu
April terlihat masih sabar dalam menghadapi Wahyu. Ucapan kekasihnya yang baru saja dia dengar tidak dia masukkan ke dalam hati. Karena bagaimanapun Wahyu memang masih membutuhkan Anara dalam hal pekerjaan.“Aku tidak masalah jika kamu masih berurusan dengan wanita itu. Mungkin saja dia memang perempuan terbaik untuk menjadi sekretaris pribadi kamu,” kata April.“Benar seperti itu. Aku senang jika kamu bisa memahami kondisiku,” ujar Wahyu.“Iya, tak mengapa. Bukan masalah besar agar aku bisa mengerti kamu,” kata April.Wahyu lantas menunjukkan senyuman lebar di depan April. Tak menyangka jika April tidak ingin marah, melainkan membalas senyumannya dengan wajah yang penuh ketulusan.“Baiklah, berhubung sekarang aku tidak ada pekerjaan lagi. Tidak ada yang harus kuselesaikan secepat ini,” kata Wahyu.“Benarkah demikian? Jika memang begini, lebih baik kita pergi keluar sebentar dari ruangan ini,” ujar April, mencoba memberikan usulnya.“Kamu ingin cari udara segar?” tanya Wahyu.Secepatn
Anara menujukan pandangannya kepada April. Perempuan yang menjadi kekasih Wahyu itu saat ini sedang terlihat bingung. Mungkin saja April tidak memiliki niat apapun untuk menaruh rasa kecurigaan kepada Anara.“Apakah kamu tidak mengerti maksud dari ucapanku?” tanya Anara lagi, seakan-akan menunjukkan ketidaksabarannya terhadap April.“Aku tahu, tetapi aku tidak ingin memancing keributan denganmu. Lagipula agar apakah kamu bertanya kepadaku seperti itu?” ujar April, memberikan tanggapan atas pertanyaan Anara.“Sekedar ingin tahu. Apa kamu masih mau menunggu pasanganmu di dalam ruangan seperti ini,” kata Anara, menanggapi dengan kesal.“Jawaban dariku sangat jelas, bukan? Aku tidak bosan meski harus disuruh menunggu di ruangan kerja semacam ini,” ujar April, sedikit menegaskan ucapannya.Jelas terlihat di hadapannya bahwa kedua perempuan itu sedang terlibat dalam emosi yang terpendam. Wahyu menyadari baik Anara atau April sedang memendam rasa kesalnya agar tidak sampai terjadi keributan.