Wahyu mendapat banyak tepuk tangan dan rasa salut dari para karyawan yang akan dipimpinnya. Banyak di antara mereka yang kagum dengan sosok diri Wahyu yang menjadi pengganti dari papanya.
Hampir sebagian besar dari mereka berharap, semoga Wahyu dapat menjadi pemimpin yang tangguh dan bertanggung jawab seperti Bapak Yuarta. Papanya itu diketahui memiliki rekam jejak yang baik sebagai pemimpin perusahaan jahit. Yuarta telah berhasil memimpin perusahaan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
Meskipun diakui, belum banyak progress yang bisa diselesaikan tepat waktu, tetapi kepemimpinan Yuarta di Jahitan Anarta cukup cakap dan dipuji banyak karyawan.
Wahyu merasa cukup tersanjung karena mendapatkan banyak apresiasi baik dari orang-orang yang ada di depannya. Dia pun setengah membungkukkan badannya untuk memberikan ucapan terima kasih kepada mereka.
“Terima kasih untuk sambutan baik dari kalian. Saya sangat senang karena kalian menyetujui keputusan saya. Saya juga meminta maaf karena Bapak Yuarta tidak bisa hadir kali ini karena masih harus mengurus laporan awal bulan dengan toko-toko kain,” kata Yanuar.
Yanuar pun membungkukkan badannya untuk menunjukkan rasa hormat kepada para karyawannya. Ia sekalian mengundurkan diri dari hadapan para karyawan yang telah hadir di acara penggantian pimpinan perusahaan pagi ini.
Yanuar mengajak Wahyu untuk menuju ke ruang utamanya sebagai pimpinan perusahaan. Setibanya di sana, Yanuar lekas menutup pintu agar tidak ada yang bisa masuk sembarangan ke dalam ruangan mereka.
“Dengar, Nak. Kamu sekarang sudah resmi menjadi pimpinan baru di perusahaan kita. Jangan sia-siakan kesempatan yang bagus ini. Papamu itu memiliki reputasi yang bagus, begitupula dengan perusahaan jahit kita,” kata Yanuar.
Wanita yang usianya tidak lagi muda itu mengarahkan pandangannya kepada si anak sulung. Sorot matanya menyiratkan harapan yang begitu besar kepada putra paling tua di keluarganya. Siapa lagi jika bukan Wahyu.
Laki-laki dengan rambut hitam pendek itu tampak tidak menanggapi ucapan mamanya dengan serius. Dia masih menunjukkan wajah dinginnya. Mata hitamnya yang terkesan abai itu beralih menuju kepada Yanuar.
“Apa hal pertama yang harus aku kerjakan sebagai pimpinan di perusahaan ini?” tanya Wahyu.
“Jika kamu sudah siap. Ada baiknya jika kamu memulai tugas rutinan untuk mengunjungi salah satu toko kain yang menjadi pemasok bahan utama di perusahaan kita. Papamu tidak mengeceknya hari ini, sebab keperluan hanya untuk memesan kain katun,” jawab Yanuar.
“Di mana alamatnya?” ucap Wahyu dengan suara datar.
“Jalan Kura Nomor 40,” balas Yanuar singkat.
Yanuar menaikkan sebelah alisnya setelah melihat putra sulungnya mengangguk. Ada yang aneh dari ekspresinya, tidak biasanya Wahyu berniat untuk mengerjakan urusan seperti ini.
“Ada apa dengan kamu? Tumben kamu niat melakukan pekerjaan seperti ini,” kata Yanuar.
“Mama jangan berpikir negatif dulu padaku. Aku hanya ingin belajar menyelesaikan tugasku sebagai pimpinan utama di perusahaan ini. Bukankah mama juga ingin jika aku berhasil membawa perusahaan kita menuju kemajuan,” ujar Wahyu.
Yanuar memiringkan senyumannya. Dengan alasan Wahyu yang terasa masuk akal tersebut, dirinya merasa bisa menerima perubahan sikap putra sulungnya. Yanuar tidak lagi menaruh rasa curiga kepada putranya yang paling tua tersebut.
“Mau mama antarkan? Letaknya tidak jauh dari sini. Lima kilometer sudah sampai di sana. Butuh waktu sebentar saja jika jalanan tidak macet,” kata Yanuar mencoba menawarkan bantuan kepada si sulung.
“Tidak perlu, Ma. Aku bisa ke sana sendiri,” ujar Wahyu.
Wahyu menciumi pipi Yanuar dan melepaskan pelukannya. Dia mengarahkan pandangan kepada mamanya yang sedang menatapnya dengan cemas.
“Mama tidak usah khawatir. Tunggu saja di sini. Jika urusan beres, aku akan lekas kembali,” sambung Wahyu yang dibalas dengan anggukan kecil dari Yanuar.
Wahyu menunjukkan senyum tipis di bibir. Setelah itu, dia melangkah menuju tempat mobilnya diparkir. Wahyu lekas masuk ke dalam dan mulai menyetir mobilnya menuju Jalan Kura Nomor 40.
Kali ini dia tidak buru-buru, jadi dia menyetir dalam keadaan yang santai. Kebetulan jalanan di Kota Minku sangat lengang. Tidak ada banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Mobil Wahyu pun sampai di lokasi setelah setengah jam.
Laki-laki dengan tubuh yang tinggi itu lekas turun dari mobil. Dia berjalan menuju toko kain yang ukurannya tidak seberapa besar, tetapi cukup untuk menampung beberapa puluh pekerja. Bangunannya dikelilingi dengan pagar tembok yang cukup kuat.
Wahyu menggeser pintu pagar dan lekas melangkah masuk. Tiba di depan bangunan utama toko kain, Wahyu disambut oleh pria pemilik toko kain. Pria itu sudah tua seperti papanya, usianya sudah menginjak kepala lima.
Setelah menyalami tangan pria itu, Wahyu berbincang sebentar dengannya. Sesekali terlihat keakraban di antara mereka, terbukti dengan adanya candaan yang saling terlempar di antara Wahyu dan pria pemilik toko kain.
“Saya panggilkan anak saya dulu, ya. Nanti dia yang akan mengantarkan kain-kain katun itu kepada Anda,” ujar pria pemilik toko.
Wahyu mengangguk. Baru pertama kali ini dia mengetahui jika pria dengan usia senja itu memiliki seorang anak. Tidak lama setelahnya, muncul-lah seorang gadis dengan rambut hitam yang digelung ke atas. Di tangannya yang mungil, dia membawa gulungan-gulungan kain katun untuk diberikan kepadanya.
“Terima kasih,” ucap Wahyu singkat.
Baru kali ini Wahyu melihat seorang gadis tanpa riasan sedikitpun di wajahnya. Gadis itu tampak tidak malu dengan wajah aslinya yang polos tanpa sentuhan make-up.
Cukup lama mereka saling memandang, ada sekitar lima menit. Gadis itu segera tersadar dan beringsut kembali menuju ke dalam. Wahyu pun tercengang dengan kepergian si gadis.
“Itu tadi anak gadis saya. Usianya sudah menginjak usia 29 tahun, sebentar lagi menuju 30. Tapi dia sama sekali tidak memiliki pacar. Saya juga heran kenapa,” ujar pria pemilik toko kain.
“Oh, ya? Kenapa bisa begitu?” tanya Wahyu.
“Dia anaknya susah membuka hati. Tidak tahu, kerjanya sehari-hari cuma membantu di toko dan pulang ke rumah. Jarang main sama teman-temannya,” kata pria tua itu.
“Nama putri Bapak siapa, Pak?” tanya Wahyu.
“Aprilia. Dia suka kalau dipanggil April,” ujar pria yang sedang berdiri di depan Wahyu.
Wahyu mengangguk. Karena merasa berat untuk menggendong gulungan kain katun, Wahyu pun berniat mengundurkan diri. Dia mengarahkan tatapannya kepada pria tua yang tersenyum ramah kepadanya.
“Sepertinya urusan saya sudah selesai di sini, Pak. Saya pamit kembali ke kantor,” kata Wahyu.
Pria yang tidak lagi muda usianya itupun mengangguk. Dia membalas perkataan Wahyu dengan senyuman ramah. Setelahnya, Wahyu pun pergi meninggalkan toko kain sembari membawa gulungan-gulungan kain katun ke dalam mobil.
Ketika berada di dalam mobil, Wahyu langsung tancap gas menuju ke perusahaannya. Tidak butuh waktu yang lama, akhirnya dia sampai. Wahyu lekas turun, sedangkan gulungan-gulungan kain katun itu dibawa oleh karyawannya yang lain.
“Terima kasih sudah membantu saya, Pak,” ujar Wahyu ramah kepada seorang karyawannya.
Wahyu hanya melengkungkan senyuman tipis di bibir setelah mendengar ucapan April. Belum lama, lelaki itu sudah menggenggam tangan April dan mengelus-elusnya dengan lembut. Lantas diciumnya tangan April dengan kecupan yang sangat halus.“Aku akan kembali bekerja lagi setelah ini. Kuharap kamu masih mau menunggu,” kata Wahyu.“Pasti aku akan menunggu kamu di sini. Biar aku dan kamu bisa pulang bersama-sama,” ujar April.Percakapan mereka berdua terhenti setelah mendengar suara pintu yang dibuka. Rupanya Anara yang telah masuk ke dalam ruangan. Wahyu lantas saja mengalihkan pandangannya kepada sekretaris pribadi yang sudah membawa beberapa lembar kertas untuknya.“Selamat siang, Pak. Ini saya bawakan beberapa lembar dokumen untuk kamu baca,” kata Anara.“Berikan kepadaku. Aku akan mempelajarinya setelah ini,” kata Wahyu, memberi balasan.Anara tidak menjawab melainkan hanya memberi anggukan. Setelahnya, Anara memberikan beberapa lembar dokumen ke tangan Wahyu. Tentu Wahyu menerima lembar
April tertegun setelah mendengar bisikan dan suara lirih dari Wahyu. Betapa tidak sebab ucapan dari pria yang menjadi kekasihnya itu sangat menyentuh hati. Bahkan sebelum ini, belum pernah April menerima ucapan kasih sayang dari seorang laki-laki.Dengan bibir yang masih terdiam, April bahkan hampir tidak menyangka akan membalas seperti apa ujaran Wahyu. Bagi wanita itu, ungkapan semacam ini hanya sanggup untuk dia dengar.“Jadi tolong jangan kecewakan aku. Aku tidak sanggup apabila dikecewakan oleh orang yang paling aku sayangi,” kata Wahyu.April menoleh hanya untuk sekedar memandang pada Wahyu. Pria yang saat ini sedang mengarahkan pandangannya kepada April itu menunjukkan binar mata yang jernih. Seakan-akan menandakan bahwa setiap kata yang dia keluarkan adalah hal yang paling berarti.“Aku tidak akan membuat kamu kecewa, sayang. Aku akan usahakan apapun yang terbaik bagi kita berdua,” ujar April.“Jika memang seperti itu, aku akan senang mendengarkannya. Aku tidak akan meragukan
Wahyu masih mengarahkan pandangannya kepada April. Tak dia sangka jika perempuan itu akan memandangi minuman yang dia berikan. Tanpa sadar pula Wahyu melengkungkan senyuman di bibir karena ulah April yang terlihat menggelikan.“Minum saja, jangan hanya melihat pada bungkusannya. Aku jamin rasanya pasti enak,” kata Wahyu.“Ya, tentu. Sebentar lagi aku akan meminumnya,” ujar April, membalas kata-kata Wahyu.“Selamat minum es jeruk passionnya, sayang,” kata Wahyu, melembutkan suaranya untuk April.Wahyu lantas berpaling wajah dari April. Setelah tak lama, April lekas mendekatkan bungkusan es ke dalam mulut. April menyedot minuman dari sedotan plastik hingga terasa bahwa rasa jeruk dan buah passion terasa menyegarkan.April seakan ingin mencobanya lagi dan lagi. Baru sekali menyedot saja kerongkongannya sudah terasa dilegakan, apalagi kalau berulang kali. Rasanya tidak sia-sia jika Wahyu telah membelikannya minuman dengan rasa seperti itu.“Apa kamu menyukai es yang aku belikan untuk kamu
April terlihat masih sabar dalam menghadapi Wahyu. Ucapan kekasihnya yang baru saja dia dengar tidak dia masukkan ke dalam hati. Karena bagaimanapun Wahyu memang masih membutuhkan Anara dalam hal pekerjaan.“Aku tidak masalah jika kamu masih berurusan dengan wanita itu. Mungkin saja dia memang perempuan terbaik untuk menjadi sekretaris pribadi kamu,” kata April.“Benar seperti itu. Aku senang jika kamu bisa memahami kondisiku,” ujar Wahyu.“Iya, tak mengapa. Bukan masalah besar agar aku bisa mengerti kamu,” kata April.Wahyu lantas menunjukkan senyuman lebar di depan April. Tak menyangka jika April tidak ingin marah, melainkan membalas senyumannya dengan wajah yang penuh ketulusan.“Baiklah, berhubung sekarang aku tidak ada pekerjaan lagi. Tidak ada yang harus kuselesaikan secepat ini,” kata Wahyu.“Benarkah demikian? Jika memang begini, lebih baik kita pergi keluar sebentar dari ruangan ini,” ujar April, mencoba memberikan usulnya.“Kamu ingin cari udara segar?” tanya Wahyu.Secepatn
Anara menujukan pandangannya kepada April. Perempuan yang menjadi kekasih Wahyu itu saat ini sedang terlihat bingung. Mungkin saja April tidak memiliki niat apapun untuk menaruh rasa kecurigaan kepada Anara.“Apakah kamu tidak mengerti maksud dari ucapanku?” tanya Anara lagi, seakan-akan menunjukkan ketidaksabarannya terhadap April.“Aku tahu, tetapi aku tidak ingin memancing keributan denganmu. Lagipula agar apakah kamu bertanya kepadaku seperti itu?” ujar April, memberikan tanggapan atas pertanyaan Anara.“Sekedar ingin tahu. Apa kamu masih mau menunggu pasanganmu di dalam ruangan seperti ini,” kata Anara, menanggapi dengan kesal.“Jawaban dariku sangat jelas, bukan? Aku tidak bosan meski harus disuruh menunggu di ruangan kerja semacam ini,” ujar April, sedikit menegaskan ucapannya.Jelas terlihat di hadapannya bahwa kedua perempuan itu sedang terlibat dalam emosi yang terpendam. Wahyu menyadari baik Anara atau April sedang memendam rasa kesalnya agar tidak sampai terjadi keributan.
Anara langsung menghentikan langkah kakinya ketika sudah sampai di dekat Wahyu. Walaupun Anara tahu bahwa kekasih pimpinannya masih berada di dalam ruangan yang sama, namun Anara lebih memilih bersikap abai.April menyadari bahwa kehadirannya tidak dianggap oleh sekretaris pribadi Wahyu. Walau begitu, April bersikap biasa saja dan mencoba memahami perilaku yang dipilih Anara. Mungkin bukan tanpa alasan bahwa wanita itu mengabaikan dirinya.Tetap saja pandangan April masih mengarah kepada Anara. Wanita yang terlihat lebih mempesona dari dirinya itu seperti sengaja tidak mempedulikan April. Namun ada yang aneh, seperti fokus Anara yang ternyata lebih dalam kepada Wahyu.April mencoba untuk tidak terlalu menaruh rasa curiga kepada Anara, karena bagaimanapun wanita itu adalah sekretaris pribadi laki-lakinya. Sebuah kemungkinan yang tidak akan terjadi seperti apapun kondisinya jika Anara akan menjalin hubungan dengan Wahyu di belakang dia.“Pak Wahyu, ini sudah saya siapkan laporan untuk k
Sayangnya, Anara lebih memilih untuk tidak jatuh terlalu dalam karena pujian yang diberikan oleh Wahyu. Meski hatinya teramat senang saat ini, tetapi Anara memendamnya dengan cepat.Kedua matanya tertuju kepada Wahyu yang sekarang sedang memandang ke arahnya. Namun apa boleh buat jika Anara mengambil sikap biasa saja di hadapan sang atasan. Senyum lebar yang sempat kentara akhirnya dia hilangkan.“Aku tidak pernah gagal dalam membawa kepuasan bagimu, Pak,” kata Anara, sedikit membanggakan dirinya.“Ya, memang. Karena itulah tidak heran jika aku mengangkatmu menjadi sekretaris pribadiku,” kata Wahyu, menyetujui ucapan Anara.“Kalau seperti itu, jika kamu sudah setuju denganku kapan akan membuat angket pertanyaan untuk pekerja kita,” kata Anara.“Belum aku tentukan. Mungkin setelah ini sehabis jam makan siang?” tanya Wahyu, menimbang usulan dari Anara.“Aku akan ikut membantumu, Pak. Hubungi saja aku jika kamu membutuhkan aku,” kata Anara, menawarkan bantuan kepada Wahyu.Tanpa berpikir
Anara tidak lagi melanjutkan percakapan singkat dengan Wahyu. Melainkan pandangan matanya tertuju kepada April yang sedang menunggu mereka berdua selesai bicara.“Jadi kamu mengajak perempuanmu datang ke sini, Pak?” tanya Anara.Sepertinya Anara menyadari jika April adalah kekasih Wahyu. Bahkan kehadiran April membuat sedikit rasa cemburu di hati Anara menjadi lebih terasa.Anara kemudian mengalihkan pandangan dari April menuju ke Wahyu. Seolah-olah meminta penjelasan yang lebih lanjut kepada pria yang menjadi atasannya.“Aku memang mengajak kekasihku ke kantor. Berharap dia dapat menemaniku sampai aku selesai bekerja,” kata Wahyu, memberi penjelasan kepada Anara.“Kenapa tidak bilang dulu padaku? Bukankah kita bisa bicarakan ini sebelumnya,” ujar Anara, terlihat tidak terima.“Untuk apa? April adalah pasanganku, perihal aku mengajaknya atau tidak itu terserah aku. Tidak perlu aku berbicara padamu,” kata Wahyu, mengungkapkan ketegasan kepada Anara.“Tapi jika begini, aku jadi tidak en
Sementara itu Anara terlihat berbeda. Penampilan yang selalu elegan dan berkelas menjadikannya terlihat sebagai perempuan yang percaya diri. Wanita dengan pakaian formal mengenakan jas abu-abu itu berjalan mendekati Wahyu, pimpinannya.Sesampainya Anara berada di depan Wahyu, lekas langkah kakinya terhenti. Betapa mata indahnya itu tertuju langsung kepada sang pria yang menjadi pemimpin perusahaan ini. Bibir Anara tidak memperlihatkan senyuman, tetapi kegusaran yang melanda.“Pak Wahyu, saya sudah menunggu kamu untuk datang. Tetapi kenapa baru sampai di kantor jam segini,” kata Anara, memperlihatkan kekesalan yang dia rasakan.“Jam segini apa? Ini baru satu menit sebelum jam kerja dimulai. Kamu jangan memburu-buru aku seperti itu dong,” kata Wahyu, menunjukkan respon sederhana.“Bagaimana tidak saya cemas, Pak? Sedangkan banyak urusan yang harus saya selesaikan dengan kamu. Namun apa yang saya dapatkan, kamu malah baru datang dan terlihat abai,” kata Anara, masih tidak terima jika Wah