Seharian bersama David membuat Binar kenyang, terhibur dan berkecukupan. Hatinya tenang karena tidak memikirkan atasannya yang super menyebalkan. Urusan Presdir marah atau tidak, itu belakangan.Tak terasa, malam pun tiba. Binar diantarkan oleh David ke kamarnya."Lo senang, Queen?""Lo bilang apa, Kak?" Binar melototkan matanya. "Ah, sorry. Gue masih kebawa perasaan. Okay deh, gue ulangin. Lo senang nggak, Binar?"Binar tersenyum, "thanks, Kak.""Lo yakin nggak mau gue antar sampai kamar?""Nggak usah, Kak. Makasih!"David langsung menatap gedung apartemen tersebut. Saat ini pria itu berada di parkiran bersama Binar. Binar benar-benar tidak memberikan izin masuk, meskipun hanya sampai di lobby. Karena menurut Binar, itu tidak pantas. Selain David bukan siapa-siapa, tempat yang ia huni bukanlah miliknya."Tapi Lo hebat, Lo bisa tinggal di apartemen mewah ini. Kemarin Lo beli berapa? Atau Lo nyewa?" "Lo ngeremehin gue, Kak?""Maaf, bukan maksud buat Lo tersinggung. Maaf, bukan itu ma
“Na … na … na … nana ….”Suara merdu tersebut berasal dari gadis cantik bernama Queen Binar. Ia sudah rapi dengan pakaian hitam putihnya, ia terlihat sangat seksi namun tetap terlihat elegan. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja di PT Angkasa Group yang berada di ibukota Jakarta. Karena dirinya tinggal di kota Bandung. Hal itu mengharuskannya untuk naik kereta agar sampai lebih cepat.“Kenapa keretanya lama sekali?” gerutu Binar saat sudah sampai di stasiun, sementara sang ayah yang baru saja mengantarnya pun sudah langsung pulang ke rumah.Tak lama kemudian sebuah kereta berhenti tepat di depannya, ia harus menunggu karena mengutamakan yang turun terlebih dahulu. Tanpa ia sadari ada seorang laki-laki dengan gelagat aneh yang memerhatikan dirinya sejak tadi.Binar duduk di kursi miliknya, ternyata dia memesan kursi di sebelah jendela agar dapat menikmati pemandangan yang ada.Seseorang duduk di sebelahnya, laki-laki dengan gaya amburadul membuatnya menjadi merinding sendiri. Laki-l
Keringat dingin bercucuran di badan Binar, jantungnya berdetak tak beraturan. Belum lagi bekerja, ia sudah melakukan kesalahan. Rasanya ingin sekali dirinya pulang saat ini, akan tetapi ia tidak ingin mengecewakan keluarganya yang sudah terlihat bahagia saat mendengar kabar baik tersebut.Melihat Binar ketakutan, pria yang berada di hadapannya tersebut pun tertawa, “Apa kamu pikir atasan kamu adalah saya?”Binar menganggukkan kepalanya membuat dirinya semakin tergelitik. “Hei, nama saya Rayyan Andreas, panggil saja Rayyan. Saya hanya wakil, tapi Tama ‘lah yang berkuasa.”“Bagaimana ini, Pak?” Lirih Binar.“Kamu harus tanggung jawab,” katanya. “Ayo kita masuk!” titah Rayyan. “Pak, jangan dong. Saya takut. Apa saya pulang saja ya?”“Kamu mau kalah sebelum berperang? Jangan khawatir, Tama itu udah jinak, Cuma belum dipoles saja.” Rayyan tersenyum geli, ia tahu apa yang ada dipikiran Binar saat ini karena ini bukan pertama kalinya ia menghadapi para asistennya Presdir Tama. “Saya akan c
Binar bertanya seperti itu agar mendapatkan belas kasihan dari Presdir Tama, namun apa boleh buat? Pria dingin itu malah pergi dari ruangannya saat ini. Binar hanya bisa menghela napasnya, cobaan hidupnya sangat berat saat ini.“Tenanglah, Tama sudah jinak!” kata Rayyan menenangkan Binar.Binar celingukan melirik kanan dan kiri, melihat situasi supaya atasannya tersebut tidak mendengarkan pembicaraan mereka. “Kamu cari siapa?” tanya Rayyan.“Pak Presdir.”Rayyan cekikikan, “Sebegitu takutnya kamu dengan dia?”“Memangnya Pak Rayyan tidak takut?”“Saya hanya menghormatinya sebagai atasan, lagian dia aslinya lucu kok.”“Lucu?” beo Binar. “Agak lain lucu versi Pak Rayyan, ya! Ah, sudahlah. Tolong bantu saya untuk keluar dari sini, Pak!” titah Binar melanjutkan ucapannya sambil memohon.“Maaf, Binar. Bukan saya tidak ingin membantumu, tetapi ketika para calon asisten menandatangani surat kontraknya, itu tandanya mereka harus siap mental untuk menerima segala konsekuensinya. Lagian, kamu ke
Untuk kedua kalinya panggilan tersebut diputuskan secara sepihak. Belum lagi bekerja, kesabarannya sudah sangat diuji saat ini.“Udah? Gitu aja? Dasar kanebo kering! Dia pikir aku pembantunya? Argh!” Binar terus berbicara sendiri sampai ia kesal dengan dirinya sendiri.Binar pun melajukan motornya dan mengitari jalanan kota. Seperti biasa jalanan sangat macat dan ramai, apalagi jaraknya tidak dekat. Sudah bisa dibayangkan betapa lamanya di perjalanan saat naik motor dari bandung ke ibukota Jakarta.Beberapa jam kemudian Binar sampai di PT. Angkasa Group. Ini kali kedua dirinya berada di sana. Namun sekarang berbeda dengan yang kemarin, perasaan cemas dan khawatir pun melanda saat ini.Binar berlari hingga dirinya sampai di depan lift, namun ia enggan naik begitu pintu tersebut terbuka. “Kok nggak ada karyawan yang mau naik juga?” gumamnya.Akhirnya Binar pergi ke meja resepsionis lagi, “Mbak, maaf. Bisa bantu aku lagi, nggak?”“Naik lift?” tanyanya.“Iya! Bisa, ‘kan? Tolong dong, plea
Binar menggidik ngeri, terkadang ia merasa kantor ini adalah neraka, namun akal sehatnya mengatakan tidak ada neraka semewah ini. Lelaki itu menarik tangan Binar dan menutup pintu ruangannya kembali.“Kamu tunggu di sini!” titahnya.“Tapi, Pak —”“Saya tidak terima penolakan!” potongnya langsung.Dalam rumus Binar, wanita tidak pernah salah, namun kali ini ia malah terjebak dengan rumusnya sendiri. Binar berdiri sambil menghadap ke pintu, padahal Presdir Tama sudah pergi ke ruangan rahasianya untuk berganti pakaian.“Pak Presdir, apa saya juga akan ikut pergi?” tanya Binar dengan menutup matanya.Padahal dirinya sudah berbalik badan, namun rasanya itu masih kurang untuk menutup matanya. “Kacang … kacang … kacang … kacang berapa sekilo?” gumamnya sendiri.“Astaga, benar-benar dikacangin. Ya sudahlah!” gerutunya.Sekitar sepuluh menit kemudian, Presdir Tama sudah selesai berpakaian. Kini ia sudah sangat tampan dan gagah. Jiwa maskulinnya pun terpampang nyata.Lelaki itu berdehem dengan
"Pak Presdir mah kocak!" seru Binar sambil cekikikan. Cukup aneh memang bagi Presdir Tama karena dirinya tidak merasa sedang membuat lelucon saat ini. "Saya serius!" tegas lelaki itu dengan wajah dinginnya.Binar menelan saliva dengan susah payah, wajah atasannya tersebut sangatlah datar. Tida datar aja seram, apalagi tanpa ekspresi seperti itu, pikirnya."Saya tidak mengenal beliau, Pak Presdir. Kalau Pak Presdir tidak mengenalkan saya padanya, mungkin kami tidak kenal. Kalau Pak Presdir tidak mengajak saya pergi, mungkin kami tidak akan bertemu. Kalau Pak Presdir —""Kamu pikir ini lucu?" potong lelaki itu dengan cepat. "Katakan secara singkat!" lanjutnya."Maaf, Pak." Binar menundukkan kepalanya sambil mengutuk dirinya sendiri yang sudah lancang. 'Binar … Binar … sudah tahu atasan kamu itu kayak beruang kutub masuk freezer, bisa-bisanya kamu ngajak bercanda!' batin Binar mengumpat dirinya sendiri. Presdir Tama tidak menimpali lagi, akan tetapi dirinya menatap sang asisten dengan
"Hidup itu serba salah, ya? Lagi kerja, pengennya jadi pengangguran. Nanti giliran nganggur, pengennya kerja di gedongan!" Binar menggerutu sendiri karena ia dirinya hanya tidur satu jam saja setelah membereskan semua barangnya ke dalam apartemen yang kini menjadi miliknya. Meskipun hanya untuk satu tahun, namun tak dapat dipungkiri jika Binar sudah jatuh hati dengan tempat ini. Perpisahannya dengan orangtua memang serba dadakan. Namun tanpa sepengetahuan Binar, sebelum wanita itu sampai di rumah, Presdir Tama sudah menyuruh seseorang untuk mengatakan tujuannya pada orangtua Binar agar mereka tidak terkejut nantinya saat sang putri pulang untuk membawa barang-barangnya. "Ponselku di mana?" Binar mencari ponselnya yang ia taruh di sembarang arah. Setelah beberapa menit, akhirnya ia menemukan ponsel tersebut di bawah kolong kursi santainya. Binar pun mengambil ponselnya dan menekan nomor sang atasan tercinta. [Halo, selamat pagi, Pak Presdir!] Binar berniat untuk membangunkan sang a