Pintu berderit terbuka dan cahaya masuk. "Irina, kau tidur?"
Aku bergumam palsu, tapi Ibu malah menghidupkan lampu.
Aku menatapnya sambil menyipitkan mata. “Ya, baru saja bangun, Bu.”
Ibuku wanita bertubuh tinggi dengan ramput yang selalu dia cat warna cokelat. Dia terlihat seperti masih berusia empat puluhan, padahal umurnya lebih dari setengah abad (seandainya dia mewarisi itu kepadaku).
Ibu bersender pada kusen lalu menghela napas panjang dengan wajah yang tampak kesal. “Semua laki-laki sama saja: bajingan.”
Oh bagus, Ibu ingin curhat.
“Ya, aku setuju, tapi bisakah kita membicarakan hal ini besok? Aku baru saja—"
"Bosok, Ibu harus berangkat kerja pagi-pagi sekali," potongnya sambil menggeleng. “Ibu ingin kau mengantar adik-adikmu ke sekolah.”
Ya, itu akan merepotkan. Padahal sekarang ada Grab, tapi Ibu tidak mau adik-adikku berangkat sekolah diantar ‘Orang Asing’.
“Ok, Bu, aku akan mengantar mereka besok ke sekolah.”
Ibu memutar matanya, sedikit melebih-lebihkan. “Baiklah, Ibu rasa obrolan bisa dilanjutkan besok.” Aku bisa melihat Ibu kecewa karena malam ini aku tidak, dan tidak akan meledeni curhatnya.
"Selamat malam, Bu," kataku dan berharap Ibu segera pergi.
"Satu hal terakhir. Mungkin Ibu akan sibuk beberapa bulan ini, ya ... kau tahu, perusahaan mengurangi banyak pegawai. Hal itu membuat tugas Ibu menjadi lebih banyak. Apa kau tidak jadi mencari pekerjaan paruh waktu seperti yang pernah kau bicarakan? Menabung untuk beli motor?”
"Ya," jawabku singkat.
“Dan, Om Anton akan pulang dari tugas luar kotanya besok. Kalau dia tidak kecapean, mungkin kita akan makan malam di luar bersama.”
Hah? Siapa? Kita? Dan, siapa Om Anton? Dia mengajak makan malam bersama?
"Lebih baik aku dan adik-adik di rumah saja,” kataku.
“Tapi, sekali-sekali kita perlu menghabiskan waktu bersama. ”
Aku mengangguk dan berkata, “Ya, terserah Ibu saja.”
“Jika segala sesuatunya berjalan seperti rencana, kita bisa hidup lebih baik,” katanya, seolah itu adalah kemungkinan yang menggoda. Dua sampai tiga detik Ibu terdiam, lalu mendengus dan mematikan lampu. “Selamat malam, Sayang.”
Segera setelah Ibu pergi, aku menarik selimut sampai menutupi wajah. Betapa konyolnya hidupku. Beberapa menit yang lalu, aku diancam penjahat yang kampusnya sama denganku, dan sekarang, Ibu menyebutkan sebuah nama yang kemungkinan besar akan menjadi calon kuat ayah tiriku.
Aku merasa Adib berdiri di samping tempat tidur, tetapi aku tidak melepas selimut dari wajah.
“Kau tahu, jika kau ingin membunuhku, lakukan sekarang. Setidaknya aku berada di tempat tidur. "
Lalu sekonyong-konyong tempat tidur mendapat tekanan berat dan mataku terbuka lebar. Tak butuh waktu lama sampai aku merasakan suhu tubuhnya; Adib berbaring di sisiku, lalu dia menarik selimut, memasukkan kepalanya ke dalam.
“Jadi, itu ibumu, ya?”
Itu dia. Kami seperti dua orang bermasalah yang berbicara di balik selimut.
“Dia sedang marah dengan pacarnya?” Adib menduga.
“Itu bukan urusanmu.”
“Kau membutuhkan pekerjaan,” katanya, dan aku merasa dia sedang tersenyum menghina.
"Aku butuh hidup baru.”
“Kau percaya reinkarnasi? Kalau kau percaya, aku bisa membunuhmu dan kau akan mendapatkan kehidupan baru.”
Kali ini aku yang melotot ke arahnya. Adib cekikikan.
Kemudian, hening beberapa detik. "Aku tidak akan mengatakan apa pun kepada siapa pun. Jujur. Aku sudah cukup memiliki banyak masalah, dan aku tidak perlu menambahkan kau ke dalam daftar."
“Aku harap kau mengatakan yang sebenarnya. Bukan hanya untuk aku, tapi untuk kau,” tambahnya.
“Ya, aku tahu. Aku tidak ingin berurusan dengan keluargamu,” kataku, dan aku keceplosan lagi.
Aku merasakannya, oh ... ya, sangat merasakannya; dia sedang memandangku dengan tatapannya yang dingin. Mata seorang pembunuh. Tapi Adib tidak langsung bereaksi seperti sebelumnya, dan setelah beberapa detik, dengan nada yang lebih lembut dia berkata, “Tidak ada yang bisa kau lakukan jika berurusan dengan keluargaku. Kau pasti mati.”
Aku tidak membalas ucapannya. Itu adalah peringatan, tetapi aku malah merasa lega. Ini mungkin perlu diverifikasi; bahwa pria yang berbaring di sampingku adalah seorang penjahat, tapi kok, tingkahnya tidak seperti yang aku harapkan. Walau aku juga tidak mau dia menjadi seperti yang aku harapkan—kejam.
"Jadi, sekarang apa lagi?" aku bertanya dengan tenang.
“Sepertinya kau harus geser sedikit. Punggungku sakit kena pinggiran ranjang.”
Mataku membelalak. "Apa? Kau tidak bisa tidur di sini!"
Dia tersenyum. Ternyata dia bercanda.
Untungnya, tak lama dari itu, pintu kamar mandi dibuka lalu ditutup dan keran menyala. Ibu sedang mandi. Kami langsung pergi keluar kamar, berlari di ruang keluarga menuju ruang tamu.
Aku membuka pintu agar Adib bisa keluar, tapi dia malah berhenti di muka pintu dan menatapku. Aku mengerti arti tatapan itu.
"Kau bisa mempercayaiku," kataku padanya.
Adib mengangguk dan berkata, "Kuharap seperti itu." Lalu dia melangkah ke luar rumah.
***
“Kak, Aku ingin roti.”
Aku melirik ke adik laki-lakiku, dia berdiri sambil memberikan sebungkus roti tawar kepadaku. “Tidak, Ando. Kita ke sini tidak untuk membeli roti.”
“Aku juga ingin roti,” kata adik perempuanku sambil menunjuk roti tawar yang dipegang Ando.
Dengan halus, aku mengambil roti tawar dari Ando, lalu meletekkannya kembali di meja pajangan. “Kita ke sini untuk membeli Indomie dan saus. Hanya itu yang harus kita beli.”
“Tapi kenapa Kakak membawa troli?” tanya Ando. Tentu saja baginya tidak masuk akal datang ke swalayan hanya untuk membeli mie instan dan saus menggunakan troli.
“Ini untuk adikkmu, Edit. Dia suka naik troli.”
“Tidak adil, aku juga ingin naik,” katanya menuntut.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Kau harus mengalah dengan adikmu. Lagian, sebentar lagi kita pulang.”
"Aku tidak ingin pulang. Di rumah sangat membosankan," keluh Ando.
“Kau bisa bermain Lego,” saranku. "Atau menggambar untuk digantung di pintu kulkas. Ada banyak hal yang bisa kau lakukan di rumah.”
“Itu semua membosankan,” balasnya.
Aku menggeleng. Entah kenapa anak kecil zaman sekarang pandai sekali berbicara. “Ayo kita ambil mie—“
“Mie, ya?”
Jantungku seperti akan melompat keluar dari dada saat aku mendengar suara Adib. Dia berdiri di belakangku. Sejak kapan?
“Dik,” sapanya kepada Ando, lalu dia melirikku sambil tersenyum meledek. “Tidak baik kalau terlalu sering makan mie instan.”
Aku tidak mempedulikan ucapannya, karena yang harus aku pastikan saat ini, dengan siapa dia datang. Pandanganku menyapu sekitar, mencari satu atau dua orang yang berpenampilan seperti penjahat.
Adib memperhatikanku, dan saat senyumnya layu, aku rasa dia tahu apa yang sedang aku pikirkan.
“Aku sendirian,” katanya, dan itu cukup untuk membuatku merasa lega. Adib memang penjahat, tapi dia bukan tipe yang suka berbohong.
Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa terhadap dia yang tiba-tiba muncul di mana pun aku berada. Mungkin kebetulan bertemu dengannya di sini. Namun kejadian kemarin membuatku sedikit trauma setiap kali melihatnya.
“Tapi aku tetap ingin roti, Kak,” kata Ando. Tentu saja adik laki-lakiku tidak tahu kalau sekarang aku merasa tidak nyaman.
Alih-alih menjawab Ando, aku menatap mata Adib dengan curiga. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Belanja."
Tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya—semua orang berhak berbelanja. Aku mengangguk lalu mendorong troli meninggalkannya tanpa sepatah kata pun.
Setelah mengambil Indomie dan saus, segera aku menuju kasir. Ando sudah tidak merengek minta dibelikan roti tawar, mungkin dia merasakan perubahan ekspresiku setelah bertemu Adib. Setelah sampai di meja kasir, pelan-pelan aku melirik ke belakang, dan sialnya, Adib mengantre tepat di belakangku. Dia mengenakan jins biru dan kemeja hitam. Untuk ukuran seorang pembunuh, dia terlihat tampan. Ah! Apa yang aku pikirkan! Aku tidak boleh memuji seorang penjahat seperti itu.
"Kakak siapa?" Ando bertanya kepada Adib, dan itu mengejutkanku.
“Teman kakakmu,” jawab Adib ramah.
Aku melirik sinis ke arahnya dan, oh ya ... “Kau tadi bilang mau belanja.” Aku menunjuk tangannya. “Kau tidak beli apa pun.”
Alis hitam lebatnya terangkat, lalu dia mengambil dua kantong Cha-Cha dari rak depan meja kasir, lalu bertanya kepada Ando, “Mana yang kau suka?”
Ando menunjuk kemasan yang warna kuning, lalu Adib memasukkan ke troliku dan mengembalikan Cha-Cha yang satunya. “Aku membeli sesuatu, kan? Dan, aku malas mengantre, jadi aku titip di trolimu,” katanya. Padahal sehabisku, giliran dia yang membayar. Namun aku biarkan saja, tidak mungkin aku berdebat dengannya hanya untuk sebungkus Cha-cha. Itu akan mempermalukanku.
Setelah menghitung, Petugas Kasir menyebutkan harga yang harus aku bayar. Aku hanya membawa uang lima puluh ribu, dan menurut perhitunganku tadi, harusnya lebih dari cukup. Tapi Petugas Kasir menyebutkan angka, Rp. 57.000,-
Sial!
“Bukankah saus itu sedang didiskon?” tanyaku kepada Petugas Kasir. Aku yakin kesalahan ada di saus itu (dan Cha-cha tentu saja).
“Masa berlaku promosinya sudah habis, Mbak,” katanya sambil melirik ke layar.
Dengan canggung aku merogoh kantung celana. Aku tahu uang yang kubawa tidak akan cukup. Apakah aku harus meminta uang Cha-Cha dari Adib? Ah, itu memalukan! “Kalau begitu, aku membatalkan sausnya,” kataku dan aku berharap ucapanku terdengar meyakinkan.
Petugas Kasir mengangguk, aku merasa lega, tapi ...
“Tambah ini,” kata Adib sambil meletakkan dua bungkus Cha-Cha di meja kasir. “Untuk adik-adikmu,” katanya sambil tersenyum dan aku benci sekali melihat wajahnya saat ini.
Aku diam saja, entah kenapa, aku hanya tidak ingin bicara, apa pun!
Tapi yang terjadi kemudian, Adib meraih dompet dari kantung belakang celananya, mengambil uang seratus ribu, lalu menyerahkannya ke Petugas Kasir. “Ambil kembaliannya,” katanya kepadaku setelahnya.
Oh Tuhan ... aku malu sekali!
***
“Kau harus mengundangku makan di rumahmu untuk berterima kasih,” kata Adib saat kami berjalan menuju area parkir. Dia menawariku tumpangan dan, sebelum dia memaksa atau melakukan tindakan aneh khas penjahat, aku menerimanya.
“Kau ingin makan di rumahku?” tanyaku.
"Ya, sejak pagi aku belum makan apa pun," katanya seolah aku akan percaya.
“Dengan adik-adikku?”
Adib melirikku dan bertanya, “Kau ingin berdua saja?”
“Bukan, bukan itu maksudku. Tapi ... aku takut kau punya selera tinggi dalam memilih makanan.” Aku berhenti di belakang mobil sedan merah (aku pernah lihat mobil ini tapi sebaiknya jangan dibahas). "Dan, apakah kau masih mengawasiku? Aku kan sudah berjanji tidak akan bicara kepada siapa pun.”
Adib tersenyum. “Ya, aku tahu dan percaya. Hanya saja ... aku ingin mengawasimu.”
Aku mengernyit. "Kenapa?"
Dia hanya mengangkat bahu, membuka pintu bagasi dan memasukkan tas belanjaan ke dalamnya.
Untung, rencana ibuku untuk mengajak kami makan malam bersama Om Anton dibatalkan karena Ibu kerja lembur hari ini—tadi pagi setelah atasannya menelpon, Ibu buru-buru keluar rumah dengan wajah kesal. Ya ... sebuah kebetulan yang luar biasa. Jadi aku bisa menuruti permintaan Adib makan malam di rumahku.Aku menyarankan adik-adikku untuk menonton televisi selagi aku memasak makanan, dan Adib yang menjadi pahlawan hari ini, menemaniku di dapur—Ando sangat menyukainya.Kalau saja aku tahu Adib akan membayar semua belanjaanku, semestinya aku ambil juga roti tawar permintaan Ando. Ya ... walau terdengar sedikit tidak tahu malu, toh pada akhirnya aku malu juga tadi.Aku dan ibuku selalu berusaha untuk tidak membicarakan keadaan ekonomi keluarga kami di depan Ando. Entah kenapa dia pintar sekali, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya belum dia mengerti. Suatu hari Ibu pernah membicarakan tentang meminjam uang untuk membiayai kuli
Rencananya aku akan pulang ke rumah setelah semua kelas selesai. Aku tidak ingin bertemu Adib setelah kejadian kemarin, untung saja hari ini tidak ada kelas Bahasa Inggris—satu-satunya mata kuliah yang aku dan dia sekelas. Jadi ketika aku keluar kampus dan melihatnya sedang menunggu di depan kampus, itu adalah hal yang sangat mengejutkan.Dia duduk di dalam sedan merah dengan pandangan yang mengawasi, aku ingin bersembunyi, tapi lebih dulu dia membunyikan klakson.Adib menghidupkan mobil ketika langkahku sudah dekat.“Na,” dia menyapa dan untuk pertama kalinya memanggil namaku—Irina. Entah kenapa aku merasa tersanjung."Hei, Dib," balasku sambil melangkah mendekatinya.“Kau seperti terburu-buru. Ada apa?”Aku berhenti di depan jendela mobil pengemudi, menatapnya beberapa saat, dan bertanya, “Dan kau, ngapain di sini? Kau menungguku dan memanggilku dengan nama. Semua or
Aku mengenakan celana denim biru ketat dan rencananya akan memakai sepatu Converse hitam ber-lis putih, tapi sepertinya aku tidak bisa menemukan atasan yang tepat."Bukan yang itu juga," gumamku, lalu dengan kasar menggeser gantungan plastik di tiang di lemariku.Ada ketukan di pintu depan dan sontak aku terkejut, lalu meraih kemeja putih dan melepas gantungannya. “Biar aku saja yang buka pintu!” aku berteriak, dan berharap ibuku mendengarnya.Aku berhenti sejenak di meja rias untuk bercermin dengan cepat dan keluar dari kamar. Pintu kamar menutup di belakangku tepat saat ibuku membuka pintu depan, padahal aku sudah berusaha menghentikannya.Aku menghela napas, mengangkat tali tas kecil di pundakku dan menuju Adib yang berdiri di luar.“Aku ibunya Irina,” kata ibuku dengan senyum yang sangat antusias.Adib mengangguk, tangan dikeluarkan dari dalam saku lalu diangkat seti
Aku berhasil mengakhiri ‘kencan’ dengan sukses: tidak ada masalah, tidak ada rasa menyesal, dan aku tidak membiarkan Adib menciumku.Dia ingin menciumku, aku bisa melihatnya, tapi aku tidak ingin memberikannya—walau ingin. Itu terlalu beresiko untukku dan ketidakjelasan hubungan kami ... ya, itu juga salah satu alasannya.Aku buru-buru masuk rumah saat mobil yang dikemudikan Adib berhenti, menutup pintu depan dan bersandar, semua berjalan lancar tapi entah kenapa aku tidak merasa senang.Malam ini harusnya menjadi malam yang ‘normal’. Aku sudah beberapa kali makan malam dengan pria, dan tidak ada bedanya dengan malam ini. Namun sesuatu yang ‘lain’ tentang Adib secara tak terduga datang, dan hal itu membuatku ingin mengenalnya lebih dalam bahkan, ada sedikit perasaan bahwa aku menginginkannya. Secara fisik, itu akan sangat logis—aku manusia, dan dia pria yang sangat tampan—tapi aku takut menginginkan dia di level lain.
“Tadi saat sedang menuju kampus, aku melihat pacarmu sedang berbicara dengan cewek lain. Mereka terlihat akrab.”Aku mendongak saat Rini meletakkan piringnya di atas meja kantin. “Maksudnya?”“Maksudku, Adib.” Dia meminum Teh Botol. “Aku melihatnya tadi, ya ... hanya ingin memberitahumu saja,” katanya kemudian.“Cewek lain ... siapa?” tanyaku sambil mengernyit.“Entah, aku tidak mengenalnya. Tapi dia cantik, seperti artis FTV.” Lalu dengan lagak kasihan yang dramatis, dia berkata, “Aku ikut perihatin. Semoga kau lekas mendapatkan pria lain yang bisa kau ajak ke pestaku.”Aku memutar bola mata dan melanjutkan menyantap makananku—mie ayam sepuluh ribu. Rini bicara lagi—dengan sinis yang sudah pasti—dan masih tentang Adib yang dia lihat sedang berbicara dengan cewek yang entah siapa.Lama-lama aku bosan juga mendengar ocehannya. Jadi aku celingak-celinguk menatap kant
Aku sedang dalam perjalan menuju kampus, dan kali ini aku yang melihat Adib sedang bersama Artis FTV. Kulitnya terlihat lebih gelap dari Adib—Jawa? Aku tidak bisa menebaknya dari jarakku sekarang, tetapi aku tahu dia cantik ... dan sedang tertawa sambil memukul pelan tangan Adib. Adib balas tersenyum, lalu mereka berjalan memasuki kampus.Apa yang aku lihat membuat kakiku tidak bisa digerakkan. Pikiranku meminta untuk mengikuti mereka, mendekat, dan pura-pura menyapa. Wanita itu mungkin hanya temannya, dan tidak ada yang aneh, kan, kalau Adib mengajaknya ke kampus untuk memperkenalkannya kepadaku?Tapi tubuhku sepertinya tidak menyukai kemungkinan itu. Kakiku tetap sulit digerakkan, pandanganku menatap gerbang yang baru saja mereka lewati, berdua. Hari ini mungkin aku tidak akan melihat Adib di kampus sampai kelas bahasa Inggris, dan semua itu membuatku merasa tidak nyaman.Aku lega saat Adib memasuki kelas sebelum bel, tetapi
Adel mengemudi selama hampir dua puluh menit dari kampus sampai toko kue milik Mutiara. Dia diam saja selama di perjalanan. Hal itu membuatku gugup. Namun ketika mobilnya berhenti dan kami melangkah menuju toko kue bercat hijau ..."Ini dia!" katanya ceria. Aku jadi tidak bisa menebak seperti apa dia sebenarnya, dan aku tidak bisa berhenti memikirkan siapa Adel: wanita yang diizinkan Adib mengenal semua orang yang tidak boleh aku kenal.Bel mungil emas yang tergantung di pintu berdentang saat Adel membukanya dan melangkah ke dalam. Seorang wanita berambut hitam, mungkin berusia akhir dua puluhan, mendongak dan tersenyum. Dari tatapannya, jelas dia mengenal Adel.“Kue Oreo?” tanya wanita itu yang aku tebak dia adalah Mutiara.“Wah! Siapa kau sebenarnya? Peramal? Kenapa kau tahu apa yang aku inginkan?” canda Adel, dan kedua wanita itu tertawa. Lalu dia merangkulku seperti seorang sahabat. “Ini temanku. Aku tidak tahu
Rini benar-benar mengadakan ‘Pesta Amerikanya’, dan aku tidak pergi, walau tadi dia memaksaku untuk datang.Sebaliknya, aku justru pergi ke bioskop bersama Adib. Ibuku tidak senang, karena sebelumnya dia mengharapkanku menjaga adik-adikku di rumah, jadi ... ya, dia harus membawa adik-adikku ke acara makan malamnya bersama Om Anton. Itu berarti ... untuk beberapa waktu, malam ini rumahku kosong. Dan aku memutuskan setelah selesai nonton, aku mengajak Adib untuk ke rumahku.Adib berdiri dengan sabar saat aku mengambil kunci rumah dari dalam tas dan menggemerincingkan kunci itu setelah mengeluarkannya. “Aku beritahu; ini yang disebut kunci. Benda ini yang harus kau pakai saat ingin memasuki rumah.”Dia tersenyum geli, melangkah ke belakangku dan melingkarkan lengan di pinggangku. Aku merinding saat bibirnya menyentuh tengkukku. Hal itu membuatku membuka pintu dengan cepat, melangkah terburu-buru, dan tersandung keset. Untun