Ini hari yang sangat berat dan panjang.
Setelah meninggalkan kampus, aku harus menjemput adik-adikku di rumah nenek dan menjaga mereka sampai ibuku pulang bekerja. Tadi padi Ibu bilang akan pulang tengah malam, sebenarnya itu hal yang biasa, ibuku memang sering lembur, tapi hari ini ... ya Tuhan, aku sangat lelah. Aku berharap bisa tidur dengan nyenyak malam ini.
Semua aktivitasku dan ... Adib, hah, benar-benar menyiksaku.
Sebenarnya aku sempat berpikir tentang; apakah aku harus berbicara dengan Adib dan menyelesaikan masalahku dengannya? Jika aku bisa melakukan itu, hidupku akan kembali normal. Normal adalah kemewahan untukku saat ini. Aku sudah tidak mampu bermain kucing dan tikus dengannya, dan yang paling aku khawatirkan, masalah ini bisa menempatkan keluargaku dalam bahaya. Karena jika Adib dan keluarganya bisa membunuh tetanggaku, tentu saja hal itu bisa juga mereka lakukan kepadaku, atau parahnya, keluargaku. Dan mungkin saja di suatu tempat, saat ini, saat aku sedang mencuci piring bekas makan malam adik-adikku, mereka sedang menyusun rencana untuk membakar rumahku.
Aku menjatuhkan spons ke dalam wastafel, menopang berat tubuhku di tepinya, kepalaku menunduk. Aku harus berhenti memikirkan hal ini. Semua ini bisa membuatku gila dan sialnya, tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menghentikan semua ini.
Saat aku sedang merenungi kesialanku, sesuatu yang mengagetkan terjadi. Saat sekonyong-konyong sebuah dorongan di punggung membuat pinggulku membentur westafel, lalu dengan cepat seseorang menekuk kedua tanganku ke belakang dan menutup mulutku dengan telapak tangannya agar aku tidak menjerit.
Ini seperti jenis teror yang mampu membuatku tidak bisa bergerak karena sangking takutnya dan selama beberapa detik, waktu seakan berhenti.
Setelah sadar dengan apa yang sudah terjadi, aku mencoba melawan; memutar tubuh dengan maksud membenturkan kepalaku ke wajah si Penyerang. Namun sepertinya dia sangat ahli, seolah-olah sudah mengetahui apa yang akan aku lakukan bahkan sebelum aku memikirkannya. Dengan cepat dia mengubah posisi tangan yang menahan lenganku, mengunci leherku dan menekannya. Aku kembali terjebak dalam posisi yang lebih menyakitkan.
Tanganku meluncur ke lengannya, menekan kuku jari-jariku di kulitnya untuk melepaskan dekapannya di leherku. Tapi, semua usaha itu hanya membuat dia semakin mengencangkan cekeramannya, jadi aku berhenti melawan, atau dia akan mematahkan leherku.
Aku berusaha untuk tenang dan diam, agar dia berpikir aku bisa ‘bekerja sama’. Aku perlu melihat siapa yang sekonyong-konyong menyerangku, dan demi Tuhan, aku berharap itu Adib. Setidaknya dia sudah mengenalku, jadi akan aku coba untuk berbicara dengannya. Namun kalau itu bukan Adib, hanya suruhan keluarga Bramantyo, maka aku akan mati.
Aku menghitung sampai lima detik dan akhirnya berbicara, “Apa maumu? Tolong lepaskan, ini sangat menyakitkan.”
Aku langsung merasa lega ketika dia menjawab. Itu suara Adib, dia memintaku untuk tenang dan tidak berteriak. Aku mengangguk, dan tekanan di leherku mulai mengendur, lalu hilang sepenuhnya saat dia melepaskannya. Adib tidak mundur sama sekali bahkan setelah melepaskan cengkeramannya, dan sesaat, aku mengingat-ingat apakah ada pisau di dekat bak cuci. Aku akan menusuknya ... ah, tidak-tidak, itu ide buruk. Aku tidak bisa menusuk anggota keluarga Bramantyo. Hal itu hanya akan membuat keadaan semakin buruk. Diplomasi adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri semua ini.
“Jangan berteriak, oke?” pintanya tenang.
Aku mengangguk patuh (memangnya aku bisa apa lagi?).
Aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja. Aku baik-baik saja.
Sekarang yang perlu aku khawatirkan hanyalah adik-adikku yang sedang tertidur di ruang keluarga. Jangan sampai mereka bangun dan melihat Adib.
“Kapan ibumu pulang?” tanya Adib cukup tegas.
"Segera."
Adib memiringkan kepalanya ke samping, dia menatapku dengan ekspresi yang mengancam. “Aku sangat berharap kau tidak berbohong. Kau tahu, aku tidak suka dibohongi.”
Wajahku memerah dan entah kenapa aku merasa dia sangat konyol mengharapkan sesuatu dariku. “Aku tidak tahu kapan dia pulang. Seharusnya dia sedang di perjalanan, tapi tidak tahu kalau dia mampir ke suatu tempat ... ke kafe bersama teman-temannya misalnya?”
Dengan alis terangkat, dia berkata, "Ya, setidaknya kita tidak harus berpura-pura tidak tahu mengapa aku ada di sini, kan?"
"Aku tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun, bahkan aku tidak melihat apa pun, sungguh. "
"Jadi?" dia bertanya, merogoh sakunya dan mengeluarkan benda persegi panjang tipis.
Perutku seperti dipelintir ketika dia menunjukkan ponselku. Sial! Benda itu tadi aku cas di ruang keluarga.
“Tenang saja, aku tidak akan mengambilnya. Akan aku kembalikan setelah menghapus video yang kau rekam malam itu. Kau tahu, kau sudah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak pernah kau lakukan, bahkan pikirkan.”
Aku mengangguk tanpa menatap wajahnya. Aku benar-benar ketakutan. "Malam itu, aku hanya meihat kau keluar dari rumahnya.”
“Oh, ya? Bukankah itu hal yang membosankan untuk direkam? Aku pikir kalau kau memvideokan adik-adikmu akan lebih menarik. Ya ... “ Adib menghentikan ucapannya, lalu menunjuk ke arah ruang keluarga. Dan di kepalaku, bayangan adik-adikku yang sedang tidur tampak jelas sekali.
“Apa kau sedang mengancamku? Dan ... ayolah, aku tidak menceritakannya kepada siapa pun. Bahkan, aku tidak membangunkan tetangga, aku benar-benar tidak ingin terlibat,” kataku pelan.
Adib tersenyum lalu melangkah menuju meja makan. “Kenapa kau mengintip dari ruang tamu?”
Ah, sial! Jika aku mengatakan kalau aku sedang menunggu telepon kedua dari Riko, itu akan sangat memalukan, tapi aku tidak menyiapkan kata-kata untuk pertanyaan ini. “Aku sedang menelepon,” jawabku.
Adib mengernyit seakan tidak percaya dengan ucapanku. “Di ruang tamu?”
“Di kamar, tentu saja. Aku keluar setelah melihat api.”
“Ah.” Dia mengangguk penuh arti. “Dengan pacar? Si Riko, kan?”
Aku mengangguk dan merasa malu sekali.
“Dia idiot. Harusnya kau bisa mendapatkan yang lebih baik.”
Tentu saja aku tersinggung mendengar ucapannya, dia menghina pria yang sedang dekat denganku. “Yah, tapi ... setidaknya dia tidak melakukan kejahatan.”
Mata cokelatnya membesar dan dia melangkah ke arahku.
Otomatis aku melangkah mundur, pandanganku melekat kepadanya. Aku terpesona dengan kebodohanku sendiri. Itu benar-benar hal yang bodoh, bodoh, dan bodoh untuk diucapkan di saat seperti ini. Dengan gigih aku berusaha untuk tersenyum. “Apa kau tidak bisa bercanda?”
“Itu candaan menurutmu? Ingat, kau tidak melihat apa-apa malam itu!” Adib mengingatkanku.
Melihat reaksinya, aku ingin muntah karena takut, dan aku mengutuk diriku sendiri telah mengucapkan hal itu. Komentarnya tentang Riko membuatku lupa kalau dia seorang kriminal dari keluarga kriminal.
“Ya, aku mengerti,” jawabku pelan.
Saat sudah dekat denganku, Adib mencengkeram pergelangan tanganku. Aku meringis kesakitan karena cengkeramannya kuat sekali, dan kemudian lengan satunya mendorong pundakku sampai bokongku membentur wastafel.
Adib berdiri sangat dekat denganku, aku bisa merasakan suhu tubuhnya. Dan cara yang kuambil untuk mempertahankan diri adalah, cara yang selalu digunakan adik perempuanku ketika merasa takut: menutup mata.
“Lihat,” kata Adib, sedikit berbisik. “Bahkan hanya dengan menghampirimu, kau merasa terancam.”
“Ma-maaf. Tadi aku kelepasan.”
"Persis." Jari-jarinya menyentuh daguku dan aku kaget, mataku terbuka dan dengan cepat dan tepat bertemu dengan matanya. "Jika hal seperti itu terjadi lagi—“
"Tidak akan," kataku sambil menggeleng. Jari-jarinya masih di daguku. Aku menarik napas dengan gemetar, terganggu oleh sensasi aneh yang mengancam. Tapi, aku merasa dia hanya ingin memperingatkanku, seakan dia ... memaafkan aku.
Adib melepas genggamannya di lengan dan daguku. “Sepupuku,” katanya, “seperti kebanyakan pria di keluargaku, menggunakan ancaman agar orang lain mau menuruti perintahnya. Tapi aku ... “Dia menggeleng. “Aku tidak melakukan itu apalagi untuk membuat takut seorang perempuan. Harus kuakui, mengawasimu sejak kejadian malam itu rasanya tidak buruk juga. Entah kenapa aku menyukainya. Mungkin aku sudah menjadi seperti mereka, kau tahu, faktor keturunan? Dan hal baiknya, untukmu, aku memaafkanmu. Tapi harus kau ingat, jangan pernah ikut campur urusan keluargaku, kenapa? Karena jika yang melihatmu malam itu anggota keluargaku yang lain, kau pasti sudah mati. Keluargaku tidak pernah meninggalkan saksi. Tidak akan pernah.”
Aku memejamkan mata dan membuang napas. Entah kenapa aku ingin menangis setelah mendengar ucapannya.
Kata-kata terima kasih yang dramatis sudah berkumpul di kepalaku dan siap untuk diucapkan. Namun, ketika kata-kata itu sudah sampai di ujung lidah, suara seseorang membuka pintu depan terdengar olehku, dan juga Adib—tentu saja.
Dia tampak terkejut dan melotot ke arahku. “Sembunyikan aku!” katanya sedikit mengancam.
Tentu saja itu ide yang bagus. Aku yakin seratus persen yang membuka pintu adalah ibuku. Bayangkan kalau dia melihat salah satu dari anggota keluarga Bramantyo sedang bicara denganku di dapur. Matilah aku.
Aku meraih pergelangan tangan Adib, lalu berlari melewati ruang keluarga menuju kamarku (bagaimana bisa ibuku pulang lebih cepat di saat seperti ini?).
Kami berhasil masuk, tetapi kadang-kadang Ibu datang ke kamarku sekedar untuk menyapa. Kamarku kecil dan Adib tidak bisa bersembunyi di bawah ranjang karena tempat itu penuh dengan kardus. Lemari pakaian? Tempat bersembunyi klise yang sering dipakai di film-film? Tidak akan ada adegan seperti itu, lemariku kecil dan penuh dengan pakaian.
“Apakah dia akan masuk?” tanyanya, tatapannya menuju pintu.
"Mungkin saja," aku balas berbisik. “Sepertinya … kau bisa bersembunyi di situ.” Aku menunjuk ke sisi tempat tidur yang berseberangan dengan pintu.
Dia memandangku dengan tatapan yang mengancam dan berkata, “Jika kau mencoba memberi isyarat kepada ibumu atau mengucapkan sepatah kata ... “
“Tidak akan,” aku berbisik memotong ancamannya.
Setelah mematikan lampu kamar, aku naik ke tempat tidur, lalu menarik selimut menutupi tubuh. Aku menyaksikan, terpaku, saat seorang Adib Bramantyo bersembunyi di lantai samping tempat tidur yang sempit. Dia terlihat seperti monster yang bersembunyi di kamar di kehidupan nyata.
Pintu berderit terbuka dan cahaya masuk. "Irina, kau tidur?"Aku bergumam palsu, tapi Ibu malah menghidupkan lampu.Aku menatapnya sambil menyipitkan mata. “Ya, baru saja bangun, Bu.”Ibuku wanita bertubuh tinggi dengan ramput yang selalu dia cat warna cokelat. Dia terlihat seperti masih berusia empat puluhan, padahal umurnya lebih dari setengah abad (seandainya dia mewarisi itu kepadaku).Ibu bersender pada kusen lalu menghela napas panjang dengan wajah yang tampak kesal. “Semua laki-laki sama saja: bajingan.”Oh bagus, Ibu ingin curhat.“Ya, aku setuju, tapi bisakah kita membicarakan hal ini besok? Aku baru saja—""Bosok, Ibu harus berangkat kerja pagi-pagi sekali," potongnya sambil menggeleng. “Ibu ingin kau mengantar adik-adikmu ke sekolah.”Ya, itu akan merepotkan. Padahal sekarang ada Grab, tapi Ibu tidak mau adik-adikku berangkat
Untung, rencana ibuku untuk mengajak kami makan malam bersama Om Anton dibatalkan karena Ibu kerja lembur hari ini—tadi pagi setelah atasannya menelpon, Ibu buru-buru keluar rumah dengan wajah kesal. Ya ... sebuah kebetulan yang luar biasa. Jadi aku bisa menuruti permintaan Adib makan malam di rumahku.Aku menyarankan adik-adikku untuk menonton televisi selagi aku memasak makanan, dan Adib yang menjadi pahlawan hari ini, menemaniku di dapur—Ando sangat menyukainya.Kalau saja aku tahu Adib akan membayar semua belanjaanku, semestinya aku ambil juga roti tawar permintaan Ando. Ya ... walau terdengar sedikit tidak tahu malu, toh pada akhirnya aku malu juga tadi.Aku dan ibuku selalu berusaha untuk tidak membicarakan keadaan ekonomi keluarga kami di depan Ando. Entah kenapa dia pintar sekali, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya belum dia mengerti. Suatu hari Ibu pernah membicarakan tentang meminjam uang untuk membiayai kuli
Rencananya aku akan pulang ke rumah setelah semua kelas selesai. Aku tidak ingin bertemu Adib setelah kejadian kemarin, untung saja hari ini tidak ada kelas Bahasa Inggris—satu-satunya mata kuliah yang aku dan dia sekelas. Jadi ketika aku keluar kampus dan melihatnya sedang menunggu di depan kampus, itu adalah hal yang sangat mengejutkan.Dia duduk di dalam sedan merah dengan pandangan yang mengawasi, aku ingin bersembunyi, tapi lebih dulu dia membunyikan klakson.Adib menghidupkan mobil ketika langkahku sudah dekat.“Na,” dia menyapa dan untuk pertama kalinya memanggil namaku—Irina. Entah kenapa aku merasa tersanjung."Hei, Dib," balasku sambil melangkah mendekatinya.“Kau seperti terburu-buru. Ada apa?”Aku berhenti di depan jendela mobil pengemudi, menatapnya beberapa saat, dan bertanya, “Dan kau, ngapain di sini? Kau menungguku dan memanggilku dengan nama. Semua or
Aku mengenakan celana denim biru ketat dan rencananya akan memakai sepatu Converse hitam ber-lis putih, tapi sepertinya aku tidak bisa menemukan atasan yang tepat."Bukan yang itu juga," gumamku, lalu dengan kasar menggeser gantungan plastik di tiang di lemariku.Ada ketukan di pintu depan dan sontak aku terkejut, lalu meraih kemeja putih dan melepas gantungannya. “Biar aku saja yang buka pintu!” aku berteriak, dan berharap ibuku mendengarnya.Aku berhenti sejenak di meja rias untuk bercermin dengan cepat dan keluar dari kamar. Pintu kamar menutup di belakangku tepat saat ibuku membuka pintu depan, padahal aku sudah berusaha menghentikannya.Aku menghela napas, mengangkat tali tas kecil di pundakku dan menuju Adib yang berdiri di luar.“Aku ibunya Irina,” kata ibuku dengan senyum yang sangat antusias.Adib mengangguk, tangan dikeluarkan dari dalam saku lalu diangkat seti
Aku berhasil mengakhiri ‘kencan’ dengan sukses: tidak ada masalah, tidak ada rasa menyesal, dan aku tidak membiarkan Adib menciumku.Dia ingin menciumku, aku bisa melihatnya, tapi aku tidak ingin memberikannya—walau ingin. Itu terlalu beresiko untukku dan ketidakjelasan hubungan kami ... ya, itu juga salah satu alasannya.Aku buru-buru masuk rumah saat mobil yang dikemudikan Adib berhenti, menutup pintu depan dan bersandar, semua berjalan lancar tapi entah kenapa aku tidak merasa senang.Malam ini harusnya menjadi malam yang ‘normal’. Aku sudah beberapa kali makan malam dengan pria, dan tidak ada bedanya dengan malam ini. Namun sesuatu yang ‘lain’ tentang Adib secara tak terduga datang, dan hal itu membuatku ingin mengenalnya lebih dalam bahkan, ada sedikit perasaan bahwa aku menginginkannya. Secara fisik, itu akan sangat logis—aku manusia, dan dia pria yang sangat tampan—tapi aku takut menginginkan dia di level lain.
“Tadi saat sedang menuju kampus, aku melihat pacarmu sedang berbicara dengan cewek lain. Mereka terlihat akrab.”Aku mendongak saat Rini meletakkan piringnya di atas meja kantin. “Maksudnya?”“Maksudku, Adib.” Dia meminum Teh Botol. “Aku melihatnya tadi, ya ... hanya ingin memberitahumu saja,” katanya kemudian.“Cewek lain ... siapa?” tanyaku sambil mengernyit.“Entah, aku tidak mengenalnya. Tapi dia cantik, seperti artis FTV.” Lalu dengan lagak kasihan yang dramatis, dia berkata, “Aku ikut perihatin. Semoga kau lekas mendapatkan pria lain yang bisa kau ajak ke pestaku.”Aku memutar bola mata dan melanjutkan menyantap makananku—mie ayam sepuluh ribu. Rini bicara lagi—dengan sinis yang sudah pasti—dan masih tentang Adib yang dia lihat sedang berbicara dengan cewek yang entah siapa.Lama-lama aku bosan juga mendengar ocehannya. Jadi aku celingak-celinguk menatap kant
Aku sedang dalam perjalan menuju kampus, dan kali ini aku yang melihat Adib sedang bersama Artis FTV. Kulitnya terlihat lebih gelap dari Adib—Jawa? Aku tidak bisa menebaknya dari jarakku sekarang, tetapi aku tahu dia cantik ... dan sedang tertawa sambil memukul pelan tangan Adib. Adib balas tersenyum, lalu mereka berjalan memasuki kampus.Apa yang aku lihat membuat kakiku tidak bisa digerakkan. Pikiranku meminta untuk mengikuti mereka, mendekat, dan pura-pura menyapa. Wanita itu mungkin hanya temannya, dan tidak ada yang aneh, kan, kalau Adib mengajaknya ke kampus untuk memperkenalkannya kepadaku?Tapi tubuhku sepertinya tidak menyukai kemungkinan itu. Kakiku tetap sulit digerakkan, pandanganku menatap gerbang yang baru saja mereka lewati, berdua. Hari ini mungkin aku tidak akan melihat Adib di kampus sampai kelas bahasa Inggris, dan semua itu membuatku merasa tidak nyaman.Aku lega saat Adib memasuki kelas sebelum bel, tetapi
Adel mengemudi selama hampir dua puluh menit dari kampus sampai toko kue milik Mutiara. Dia diam saja selama di perjalanan. Hal itu membuatku gugup. Namun ketika mobilnya berhenti dan kami melangkah menuju toko kue bercat hijau ..."Ini dia!" katanya ceria. Aku jadi tidak bisa menebak seperti apa dia sebenarnya, dan aku tidak bisa berhenti memikirkan siapa Adel: wanita yang diizinkan Adib mengenal semua orang yang tidak boleh aku kenal.Bel mungil emas yang tergantung di pintu berdentang saat Adel membukanya dan melangkah ke dalam. Seorang wanita berambut hitam, mungkin berusia akhir dua puluhan, mendongak dan tersenyum. Dari tatapannya, jelas dia mengenal Adel.“Kue Oreo?” tanya wanita itu yang aku tebak dia adalah Mutiara.“Wah! Siapa kau sebenarnya? Peramal? Kenapa kau tahu apa yang aku inginkan?” canda Adel, dan kedua wanita itu tertawa. Lalu dia merangkulku seperti seorang sahabat. “Ini temanku. Aku tidak tahu