Mulutku menjadi kering dan pikiranku berpacu. Pestanya digrebek—dan apa yang akan terjadi sekarang? Aku akan dibawa ke kantor polisi, diintrogasi, tidak tahu bagaimana dan apa yang harus aku katakan, Aqmal dan Adib akan ditangkap—ini benar-benar bencana.
Kemudian si Perut Buncit menempelkan jari ke bibirnya, menandakan aku harus diam.
Sudah terlambat untuk memperingatkan mereka. Sudah terlambat untuk memberi tahu Aqmal … aku bahkan tidak tahu apa yang bisa aku katakan padanya, karena semua ini pasti tentang dia.
Polisi akan menangkapnya.
Seharusnya aku merasa lega karena Aqmal akan ditangkap, tetapi entah kenapa aku tidak merasakan itu.
Perut Buncit mengambil satu langkah ke depan dan aku mundur ke belakang beberapa langkah dengan cepat, dia bergerak masuk melewati pintu. Aqmal memandangnya, tetapi biasa-biasa saja. Apakah Aqmal tidak tahu kalau itu polisi?
"Itu dia, kau bajingan pe
Begitu kata-kata itu keluar, aku merasa bingung sendiri, bertanya-tanya apa yang baru saja aku putuskan.Aku hanya bisa melihat sekilas kemenangannya—dia memadamkan kilauan di matanya sebelum dia membuatku takut. Rekam jejaknya pada saat ini tidak memberikan rekomendasi apa-apa, dan aku bisa saja menggali kuburanku sendiri sekarang alih-alih terowongan pelarian.Dengan bijak, dia tidak memberi aku waktu lagi untuk memikirkannya. Begitu tangannya menyelinap di bawah kain tipis rok, menangkup pantatku dan menarikku ke arahnya, semua kemampuan untuk berpikir mengalir keluar dari diriku. Mengetahui semua yang sebelumnya dia lakukan kepadaku, seharusnya membuatnya tidak menarik di mataku, tidak menggairahkan, menjijikkan—tetapi entah bagaimana itu hanya membuatku mengetahui dia menginginkanku, meskipun hanya untuk sebuah permainan yang anehnya mendebarkan.Aqmal menundukkan kepalanya ke belahan dada yang tumpah keluar dari korset. Saat b
Aku menaiki tiga anak tangga di beranda, lalu melangkah memasuki pintu utama rumah baru kami, menuju ruang tamu.“Kau tahu, rumah ini memiliki kunci yang bagus. Tidak mudah diduplikat. Jadi kalau kau menguncinya dari dalam, aku tidak akan bisa masuk,” canda Adib dan aku tertawa. Tentu saja itu mengingatkanku saat dia menerobos masuk ke dalam rumahku dan berbaring di ranjangku jam tiga dini hari."Aku suka karpetnya," kataku padanya. "Itu terlihat lembut.""Dan jika kita menggunakan kunci ini di kamar juga, itu akan menjadi masalah bagiku ketika kau sedang merajuk,” candanya lagi.Aku berputar untuk melihatnya yang sejak tadi berdiri di belakangku, meletakkan tangan di pinggulnya, dan memberinya tatapan sebal. “Ini rumah pertama kita. Biarkan aku menikmati ini. Berhenti bercanda tentang kunci.”Dia memutar matanya, tetapi dia tersenyum. Aku menikmati kelembutan dalam dirinya sekali lagi—sudah lama se
Ibu selalu menasehati untuk tidak jatuh ke dalam perangkap “pria nakal”, dan aku mendengar nasehat itu hampir sepanjang hidup.Ibu pasti mengira aku telah memahaminya. Namun, saat aku meletakkan bantal di wajah lalu mentupi seluruh tubuh dengan selimut untuk menelepon Riko Meilando, pria nakal kaya raya yang terus-menerus mendekatiku selama beberapa minggu, itu tidak bagus, untuk ibuku, sudah pasti.Yang aku tahu, Riko sudah putus dengan Alia satu bulan yang lalu. Alia Mega yang cantik dan pintar. Seorang kutu buku yang ekspresi wajahnya terbatas pada variasi kebosanan dan kesombongan yang menyebalkan. Mungkin suatu hari nanti aku bisa mempermalukannya di depan teman-teman. Tentu saja, hanya jika aku bisa menangkap detik-detik momen cerobohnya.Tapi jujur, Alia punya mata yang bagus. Dan cara dia melihat saat tersenyum kepadaku …"Persetan!" gumamku, lalu menyibakkan selimut, mengayunkan kaki ke la
Aku berdiri di depan loker menatap kosong ke buku-buku di dalamnya. Aku merasa sangat mual. Sudah tiga hari sejak terakhir aku makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak.Kebakaran itu terjadi hari Jumat. Setelah sekian lama meringkuk di kamar tidur dengan tubuh yang gemetar, akhirnya aku mendengar tetangga samping rumahku—Pak Budi—berteriak kebakaran sambil memukul-mukul tiang listrik.Pada saat bantuan datang, tetangga lainnya mengetuk pagar rumahku dan meminta aku sekeluarga untuk keluar, karena takut api akan menyebar. Aku menyaksikan semuanya; saat semua orang saling membantu memadamkan api yang membakar mobil dan, setelah api padam, semuanya sudah terlambat, tetangga depan rumahku—namanya Aldi—ditemukan di dalam mobil dalam keadaan meninggal dunia (kata Pak Budi wujudnya sudah tidak dikenali).Aku gemetar hebat saat adik laki-lakiku yang berusia tujuh tahun memeluk kakiku, mendengarkan ibuku mengoceh tentang bagaimana kebaka
Ini hari yang sangat berat dan panjang.Setelah meninggalkan kampus, aku harus menjemput adik-adikku di rumah nenek dan menjaga mereka sampai ibuku pulang bekerja. Tadi padi Ibu bilang akan pulang tengah malam, sebenarnya itu hal yang biasa, ibuku memang sering lembur, tapi hari ini ... ya Tuhan, aku sangat lelah. Aku berharap bisa tidur dengan nyenyak malam ini.Semua aktivitasku dan ... Adib, hah, benar-benar menyiksaku.Sebenarnya aku sempat berpikir tentang; apakah aku harus berbicara dengan Adib dan menyelesaikan masalahku dengannya? Jika aku bisa melakukan itu, hidupku akan kembali normal. Normal adalah kemewahan untukku saat ini. Aku sudah tidak mampu bermain kucing dan tikus dengannya, dan yang paling aku khawatirkan, masalah ini bisa menempatkan keluargaku dalam bahaya. Karena jika Adib dan keluarganya bisa membunuh tetanggaku, tentu saja hal itu bisa juga mereka lakukan kepadaku, atau parahnya, keluargaku. Dan mungki
Pintu berderit terbuka dan cahaya masuk. "Irina, kau tidur?"Aku bergumam palsu, tapi Ibu malah menghidupkan lampu.Aku menatapnya sambil menyipitkan mata. “Ya, baru saja bangun, Bu.”Ibuku wanita bertubuh tinggi dengan ramput yang selalu dia cat warna cokelat. Dia terlihat seperti masih berusia empat puluhan, padahal umurnya lebih dari setengah abad (seandainya dia mewarisi itu kepadaku).Ibu bersender pada kusen lalu menghela napas panjang dengan wajah yang tampak kesal. “Semua laki-laki sama saja: bajingan.”Oh bagus, Ibu ingin curhat.“Ya, aku setuju, tapi bisakah kita membicarakan hal ini besok? Aku baru saja—""Bosok, Ibu harus berangkat kerja pagi-pagi sekali," potongnya sambil menggeleng. “Ibu ingin kau mengantar adik-adikmu ke sekolah.”Ya, itu akan merepotkan. Padahal sekarang ada Grab, tapi Ibu tidak mau adik-adikku berangkat
Untung, rencana ibuku untuk mengajak kami makan malam bersama Om Anton dibatalkan karena Ibu kerja lembur hari ini—tadi pagi setelah atasannya menelpon, Ibu buru-buru keluar rumah dengan wajah kesal. Ya ... sebuah kebetulan yang luar biasa. Jadi aku bisa menuruti permintaan Adib makan malam di rumahku.Aku menyarankan adik-adikku untuk menonton televisi selagi aku memasak makanan, dan Adib yang menjadi pahlawan hari ini, menemaniku di dapur—Ando sangat menyukainya.Kalau saja aku tahu Adib akan membayar semua belanjaanku, semestinya aku ambil juga roti tawar permintaan Ando. Ya ... walau terdengar sedikit tidak tahu malu, toh pada akhirnya aku malu juga tadi.Aku dan ibuku selalu berusaha untuk tidak membicarakan keadaan ekonomi keluarga kami di depan Ando. Entah kenapa dia pintar sekali, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya belum dia mengerti. Suatu hari Ibu pernah membicarakan tentang meminjam uang untuk membiayai kuli
Rencananya aku akan pulang ke rumah setelah semua kelas selesai. Aku tidak ingin bertemu Adib setelah kejadian kemarin, untung saja hari ini tidak ada kelas Bahasa Inggris—satu-satunya mata kuliah yang aku dan dia sekelas. Jadi ketika aku keluar kampus dan melihatnya sedang menunggu di depan kampus, itu adalah hal yang sangat mengejutkan.Dia duduk di dalam sedan merah dengan pandangan yang mengawasi, aku ingin bersembunyi, tapi lebih dulu dia membunyikan klakson.Adib menghidupkan mobil ketika langkahku sudah dekat.“Na,” dia menyapa dan untuk pertama kalinya memanggil namaku—Irina. Entah kenapa aku merasa tersanjung."Hei, Dib," balasku sambil melangkah mendekatinya.“Kau seperti terburu-buru. Ada apa?”Aku berhenti di depan jendela mobil pengemudi, menatapnya beberapa saat, dan bertanya, “Dan kau, ngapain di sini? Kau menungguku dan memanggilku dengan nama. Semua or