Perjalanan ke rumah Bramantyo hening dan singkat. Aku kira Andika akan menyelidikiku—mengajukan pertanyaan yang aku tidak tahu bagaimana menjawabnya dan mencoba menjebakku dengan itu sebelum sempat berbicara dengan Adib. Dia tidak melakukan itu. Sepenjang perjalanan dia hanya mendengarkan musik rock dan berkendara dengan tenang seolah tidak ada aku di kursi belakang.
Saat kami berhenti di luar gerbang besi tempa hitam, aku terpesona. Aku tahu Adib tidak mengkhawatirkan uang, tetapi bangunan luas di belakang gerbang lebih mirip gedung opera Paris daripada rumah. Rumah dua lantai didominasi warna putih dan jauh dari kebisingan jalan raya, rumahnya cantik seperti di dalam lukisan. Tiga anak tangga batu menuju ke pintu depan, tiang-tiang putih tebal yang menopang balkon di atas atap yang indah. Di depan rumah besar itu ada jalan masuk melingkar dari bata putih abu-abu, dan ada air mancur besar di tengahnya. Mobil Aqmal telah berhenti di depan air mancur, dan Andik
Adel datang untuk mengantarku ke kamar Mutiara. Sebelum dia mengantarku, Adel bertanya pada Adib tentang apa yang terjadi, dan karena aku tidak ingin mendengarkan cerita suram itu sekali lagi, aku keluar untuk mengambil ranselku.Ibuku tidak menjawab telepon, tetapi aku meninggalkan pesan bahwa aku sudah berada di rumah Rini dan aku ingin menginap. Tidak lupa aku sampaikan; Rini akan mengantarku ke kampus di pagi hari.Duduk di lantai rumah megah Bramantyo, aku berpikir tentang makan malam bersama keluarga Adib adalah sesuatu yang sangat kuinginkan beberapa hari yang lalu. Namun dalam lamunanku tentang peristiwa itu, Adib senang akan kehadiranku. Saat ini, di dunia nyata, aku rasa dia tidak senang kehadiranku di sini sama sekali.Aku seperti beban, baginya.Kata beban muncul di benakku, tetapi aku menolaknya. Aku bukan beban. Adib menyukaiku. Dia ingin bisa berkencan denganku, dia hanya tidak ingin … yah, ini, Aqmal
Adib ada di kamar tidurnya saat aku dan Adel tiba di sana. Seperti Mutiara, ada area tempat duduk saat aku pertama kali masuk kamarnya, tetapi tidak ada dinding penyekat ruangan. Tempat tidur Adib sangat besar—kurasa untuk seorang raja, tapi kelihatannya lebih besar. Kamarnya didekorasi dengan warna merah dan hitam lalu ada sedikit sentuhan warna perak. Di balik tempat tidur, dia memiliki meja dengan laptop dan berbagai barang berserakan di atasnya. Di sudut paling kiri, kursi berlapis kain hitam yang menghadap ke tempat tidur.Adel segera pergi untuk memberi kami privasi. Adib sedang berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit ketika kami masuk, tetapi sekarang dia sedang duduk di tepi tempat tidur."Kamar tidur ini seperti apartemen," kataku padanya, sambil tersenyum.Dengan kata-kata Adel segar di benakku, aku berjalan ke tempat tidur, melepaskan sepatuku dan naik ke belakangnya. Bersandar ke dalam, aku melingkarkan lenga
Dan bagi keluarga Bramantyo, makan malam adalah segalanya.Sebuah meja panjang berkilau yang dapat menampung lima orang di setiap sisi, dengan satu kursi di setiap ujungnya berada di tengah ruangan. Desain ruang makan rumah ini dipikirkan dengan serius—mungkin mereka punya seseorang yang mengerjakan itu—dan hiasan seperti dua tiang emas tempat lilin menyala dan rangkaian bunga bundar digunakan untuk mempercantik meja makan. Ruangan ini juga memiliki perapian dan lampu gantung besar yang berkilau.Sepertinya aku dan Adib yang terakhir tiba di ruang makan. Aqmal, tidak mengherankan, duduk di kursi yang letaknya paling strategis—berhadapan langsung dengan pintu masuk. Di ujung seberang meja Aqmal ada Andika—yang melirik ke arahku saat kami masuk, tetapi dengan cepat teralihkan oleh seorang wanita muda yang membungkuk untuk mengisi gelas airnya. Seorang pria yang tidak aku kenal duduk di kursi pertama di sebelah kiri Andika di samping Mutiara. Ada tiga
Setelah makan malam, Adib mengajakku berkeliling seperti yang dia janjikan. Di rumah ini ada kolam renang dalam ruangan (mungkin digunakan ketika udara terlalu dingin untuk berenang di luar), gym, sejumlah kamar, perpustakaan, ruang bioskop mini, dan begitu banyak ruangan lain yang sepertinya kosong. Ketika kami sampai di tempat tinggal para pelayan, suasana menjadi lebih ‘rumah’. Pada dasarnya, ruang pelayan seperti sebuah rumah di dalam sebuah rumah. Ada lorong terpisah di belakang dapur yang mengarah ke sani, dan seperti rumah, tempat ini memiliki ruang tamu, ruang makan, dan dapur. Di ujung aula ada empat kamar tidur dan dua kamar mandi.“Selain pelayan yang tadi aku lihat dan Asih, ada lagi, kah, pelayan lainnya?” aku bertanya kepada Adib.Adib mengangguk. “Pengasuh anaknya Aqmal, Risma.”“Pengasuh anaknya Aqmal?”Adib menjawab dengan mengangguk. "Aqmal memiliki seorang putri, namanya Tara."
“Tunggu, kau ingin mengajak Ibu makan malam dengan siapa?”Aneh rasanya mencoba menjelaskan hal ini kepada Ibu, tetapi karena aku harus segera pergi untuk makan malam di rumah Bramantyo (dan aku berasumsi Aqmal sedang menunggu kedatanganku), aku harus menjelaskannya dengan cepat.“Dengan sepupu Adib. Dia wali Adib, kurasa. Adib tidak tinggal bersama orang tuanya. "“Siapa yang membesarkannya?” Ibu bertanya heran.Sebenarnya itu pertanyaan yang bagus. Namun mengingat kembali sepertinya Adib tidak pernah diperlakukan seperti orang seusianya oleh Aqmal, aku sedikit keberatan untuk mengakuinya. “Oleh keluarga sepupunya,” jawabku. Ya, aku dalam misi berbeda kali ini—merayu Ibu agar mau memenuhi undangan Aqmal.“Sepupunya lebih tua darinya?”“Ya. Aku pikir usianya sekitar tiga puluh lebih.”Ibuku mengangguk-angguk menanggapi itu.“Ngomong-ngomong, I
Untuk beberapa alasan, alih-alih mengirim Adib, mereka mengirim seorang Sopir untuk mengemudikan mobil yang menjemputku. Aku pikir itu dilakukan Aqmal untuk membuat ibuku terkesan—apakah itu berhasil? Supir itu berdiri di depan pagar. Wajahnya berusaha dia tekan agar memunculkan kesan ramah padahal tetap saja garang—aku yakin dia salah satu anak buah Aqmal—bahkan hampir mengeluarkan air liur saat aku naik ke kursi belakang dengan gaun baru yang cantik.Aku merasa sangat bersemangat dalam perjalanan, dan pada saat sampai di sana, aku merasa seperti Cinderella. Sopir bahkan membukakan pintu untukku.Andika yang menunggu di depan pintu masuk rumah, membuka pintu. Adel berdiri di belakangnya.“Aku datang!’ kataku bersemangat—sebenarnya aku bicara pada Adel, tetapi Andika yang tersenyum.Adel menghampiriku dan, sambil tersenyum penuh kasih sayang, dia berkata, "Kamu sangat ... " Dia menghentikan ucapannya lalu pend
Aqmal mengirim mobil—beserta supirnya, tentu saja—untuk menjemputku dan Ibu ke sebuah restoran mewah di kota.Om Anton bersedia mengawasi adik-adikku untuk pertama kalinya, dan aku membayangkan mereka semua duduk di sofa, menonton sepak bola, dan minum bir. Ibu meyakinkanku bahwa dia sudah menyiapkan nasi dan lauk-pauk untuk mereka makan malam sebelum pergi, jadi tidak ada kemungkinan adik-adikku akan kelaparan."Ini sangat mengasyikkan," kata Ibu kepadaku, begitu kami sampai di restoran. Tentu saja baginya; ini malam yang menyenangkan. Kapan lagi bisa makan di restoran semewah ini.Sepanjang perjalanan ke sini, Ibu banyak menanyaiku tentang keluarga Adib—apa yang mereka suka? Apakah mereka tampak seperti keluarga kriminal? Seberapa kaya, sih, mereka?Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan budaya aneh keluarga Bramantyo, jadi aku hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan ibuku sesingkat dan sewajar mungkin
Tangan Adib bergerak di sepanjang lekuk punggungku yang telanjang, sentuhannya ringan, hampir seperti menggelitikAku tengkurap di tempat tidur, kepalaku bertumpu pada lenganku di atas bantal lembut dan empuk. Aku suka saat dia menyentuhku. Aku suka akan fakta; aku berbagi tempat tidur dengannya.“Kau akan membuatku tertidur,” kataku padanya sambil tersenyum santai.Sambil tersenyum, dia berkata, "Ini sudah lewat tengah malam; itu mungkin hal yang baik. ”Aku menghela napas saat tangannya berpindah mengusap seluruh punggungku, dan aku memalingkan wajah untuk melihatnya. Itu mengingatkanku pada malam saat dia menyelinap untuk memelukku. Aneh sekali, saat mengetahui dia tidak perlu menyelinap lagi.Dua minggu sudah berlalu dan aku merasa cukup mampu beradaptasi dengan keluarga iniAqmal sudah tidak terlalu mengawasi pergerakan Adib dan aku sekarang, membiarkan kami tenang. Aku t