Setelah ruang tengah hancur oleh amukan Zara yang kambuh, Arlan terus berusaha menenangkanya. Beberapa lama histeris hilang kendali karena delusi yang ia alami. Akhirnya Zara tertidur begitu saja dipelukan Arlan kemudian Arlan membaringkan Zara diranjang miliknya. Ketika ia menyadari Zara telah tertidur, nanar mata Arlan menatap mata Zara yang sembab, ia mengelusnya lalu menciumi kedua mata itu.
"Papa, Mama, Oma, Kakak!" Zara menceracau tentang semua anggota keluarganya.
Arlan yang duduk di tepian ranjang lalu meraih tangan Zara ketika mendengar igauan Zara.
"Iya sayang tidak apa-apa, aku di sini," bisik Arlan, mendekatkan mulutnya ke telinga Zara, sembari menggenggam tangan Zara dengan kedua tanganya.
"Tolang!" rintih Zara dalam tidurnya.
Arlan mendekatkan wajahnya pada wajah Zara yang gelisah di dalam tidurnya, terlihat kening Zara berkerut, meneteskan keringat. Arlan mecium kerutan kening yang gelisah itu.
"Aku di sini tidurlah sayang," Bisik Arlan lagi.
Arlan tertidur di tepian ranjang, tanganya menggenggam tangan Zara dengan posisi badan terduduk di lantai dan kepalanya bersandar pada tepian ranjang.
"Suara apa?" teriak Zara terbangun langsung menutup telinganya.
Suara teriakan Zara membangunkan Arlan. Ia membuka dan mengucek matanya sebelum menghampiri istrinya yang mulai histeris lagi.
"Ada apa sayang?" Arlan duduk di sebelah Zara.
Zara langsung melingkarkan kedua tangannya ke leher suaminya.
"Kamu kenapa bangun?" Arlan menempelkan keningnya pada kening Zara.
"Aku mendengar suara penjahat itu di sini." mata Zara berair menatap mata Arlan.
Arlan yang melihat wajah panik, dan gelisah istrinya langsung memeluk Zara.
"Aku sangat takut!" gumam Zara di pelukan Arlan.
Beberapa menit kemudian Zara melepaskan pelukannya dari Arlan, ia menutup telinganya dengan sorot matanya menulusuri seluruh ruangan.
"Dia ada di sini, dia ada di sini," gumam Zara mendengar suara-suara yang merupakan delusi yang ia alami.
"Tolong!"
"Aku sangat takut!" rintih Zara.
Zara menekuk kakinya hingga ke dada, ia menyudut di ranjang dengan tubuh menggigil. Arlan menghampirinya dan mengelus rambutnya.
"Jangang takut aku ada di sini." Arlan merentangkan tanganya yang disambut Zara.
Zara memeluk Arlan begitu erat dengan tubuh bergetar ketakutan.
"Tidurlah!"
"Aku akan manjagamu" Arlan melonggarkan pelukanya.
Zara menoleh ke arah Arlan dengan wajah datar, tetapi ia mempererat pelukan yang dilonggarkan Arlan. Arlan yang mengertipun mempererat pelukannya juga pada Zara.
"Baiklah!" Arlan tersenyum dengan menutup mata di mana dagungnya bersandar pada kepala Zara.
Mereka pun tertidur dalam pelukan satu sama lain.
***
Azan subuh membangunkan Arlan yang terlelap, ia terbangun di dalam kondisi Zara masih memeluknya erat.
"Sayang waktunya sholat subuh," Arlan menyibakan rambut yang menutupi wajah Zara.
Zara tidak juga membuka matanya. Arlan menciumi lagi mata yang tertutup itu.
"Ayo bangun kita sholat shubuh dulu!" Arlan melonggarkan pelukan yang dipererat Zara.
Zara bangun dari tidurnya, lalu ia mengusap mata yang baru terbuka.
"Ayo!" Arlan menggendong Zara yang masih tidak bisa berjalan ke toilet untuk berwudhu.
Zara di dudukan Arlan di closet yang tertutup, lalu Arlan membatunya untuk berwudhu, mecuci tangan, menuangkan air kemulut untuk berkumur-kumur, mebasuh tangan, mengusap kepala, dan mecuci kaki, dengan sabar Arlan membantu Zara meskipun terkadang Zara melihat sinis kepadanya ketika ia memegang kaki dan tangan Zara.
"Aku ini suamimu, jangan lihat aku seperti akan membunuhku!" ujar Arlan sembari membasuh kaki Zara.
"Selesai!" Arlan menurunkan lipatan celana piyama Zara.
ketika Arlan hendak menggendonya ke kamar, Zara langsung mendoronya.
"Pergi!" sungut Zara.
"Ini pasti karena aku membasuh kaki dan tangannya," gumam Arlan.
Arlan memegang kedua pipi Zara yang masih terduduk di closet dan berkata, "Lihat wajahku!"
"Aku ini siapa?" tanya Arlan tak lekat menatap wajah Zara.
"Siapa, ya?"
"Kamu siapa, ya?" Raut wajah Zara bingung.
"Masak lupa sama suami sendiri!" keluh Arlan.
"Suami!."
Zara mulai memegang wajah Arlan dan menggerakan jari-jemarinya di wajah Arlan.
"Iya, ya!"
"Kamu suamiku!"
"Arlan adalah suamiku!" seru Zara, kembali mengingat suaminya.
"Gendong!" rengek Zara, mengakat tanganya.
Senyum melingkar di pipi Arlan melihat tingkah Zara. Tangan Zara pun langsung diraih Arlan kemudian, ia berjalan ke kamar dengan Zara dipunggungnya.
"Kamu ini sering sekali melupakan wajah suamimu," Keluh Arlan.
"Suami, aku punya suami?" gumam Zara.
"Tentu, aku suamimu!" jawab Arlan.
"Iya suami!" Zara tersenyum.
Setelah mendudukan Zara di ranjang, Arlan membuka lemari. Ia mengambil mukena berbordir dengan brokat indah. Mukena yang merupakan mas kawin Zara, langsung ia kenakan ke tubuh Zara. Zara bingung sendiri dengan mukena yang ia kenakan.
"Kamu boleh melupakan wajah tampan suamimu ini, tetapi tidak boleh melupakan tata cara sholat," tegas Arlan dengan senyuman tersungging ke arah Zara yang tampak bingung.
"Hmm, sholat?" ucap Zara bingung.
"Sholat, Zara bisa Sholat." Zara tertawa tiba-tiba.
Arlan mengembangkan sajadah dan mulai melaksanakan sholat subuh, sedangkan Zara duduk di atas ranjang dengan tangan sibuk sendiri memainkan ujung mukena. Sesekali ia juga melirik Arlan, memperhatikan Arlan yang sedang menjalankan sholat Subuh.
"Arlan, suamiku!"
"Arlan sholat, Zara sholat, semua Sholat," gumam Zara memainkan ujung mukenanya.
Sholat subuh selesai ditunaikan Arlan, kemudian ia melipat sajadah dan menghampiri Zara.
"Suaminya sholat. Kamu sibuk sendiri memainkan mukena di sini." Arlan memegang gemas hidung Zara.
Tangan Zara menyentuh hidungnya setelah Arlan melapaskan jemarinya yang menjepit gemas hidung Zara. Kini wajah datar menatap bingung Arlan.
Cup.
Ciuman mendarat di pipi kanan Zara. Tangan Zara yang tadi menyentuh hidung pindah ke pipi kanan, sembari matanya tetap menatap bingung Arlan.
Cup.
Ciumam kedua pun mendarat di pipi kiri, lagi tangan Zara yang tadi di pipi kanan pindah ke pipi kiri.
Cup.
Kini ciuman Arlan mendarat di kening.
"Cukup sampai di sini hari ini!" ucap Arlan menempelkan keningnya ke kening Zara.
Mata mereka beradu menatap satu sama lain untuk beberapa saat, seakan membaca pikiran satu sama lain.
"Aku bakalan menyiapkan keperluan kerja sebentar, kamu istirahat aja dulu," ucap Arlan, membaringkan Zara diranjang.
Syukurnya meskipun sering mengalami delusi, halusinasi, ganguan emosi, dan lupa ingatan sejenak, Zara selalu mematuhi Arlan, jadi hal itu lebih mempermudah Arlan untuk beradaptasi dengan kondisi Zara.
***
Arlan dan Zara telah menikah selama tiga hari, semuanya dilalui Arlan dengan lapang hati. Arlan menghabiskan 3 hari ini bersama Zara di rumah. Sedikit banyak Arlan mulai memahami kondisi Zara, tatapi hari ini adalah hari pertama Arlan jadi dosen di sebuah Universitas ternama di Yogyakarta. Ia terpaksa harus meninggalkan Zara sendirian di rumah. Sebelum mendapatkan perkerja yang bisa bantu-bantu di rumah, Arlan mengerjakan semua perkerjaan rumah sendiri, merawat Zara, memasak dan termasuk bersih-bersih.
Arlan bersih-bersih rumah setelah sholat subuh, setelah itu, ia harus melakukan hal yang paling sulit, memandikan Zara. Zara selalu kambuh ketika harus dimandikan, hal itu membutuhkan usaha dan waktu lebih, jadi Arlan mulai bangun lebih cepat dari pada biasanya agar tidak terlambat mengajar di kampus.
Setelah mengepel lantai, kemudian menyiapkan pakaiannya dan Zara. Arlan melangkah untuk menghampiri Zara untuk memandikannya."Zara, bangun!" ucap Arlan duduk di tepian ranjang."Mmmmm," Zara menepis tangan Arlan yang mencoba membangunkanya."Zara, aku harus pergi kerja!" bisik Arlan.Zara masih saja menutup matanya dan membelakangi Arlan."Zara, ayo mandi dulu!" seru Arlan.Zara langsung bangun dan menjauh dari Arlan sembari tangannya melempar tangan Arlan yang berada di bahunya."Pergi!" teriak Zara menepi ke ujung ranjang."Huuuuft!" Arlan menarik napas dalam-dalam.Arlan mendekati Zara berusaha memberi pengertian terhadap istrinya yang tampak gelisah itu."Kamu bisa mandi sendiri 'kan sayang!" seru Arlan.Lalu Arlan menggendong Zara ke kamar mandi dan mendudukanya di closet."Ma
TakTakTakSuara langkah Arlan terdengar begitu kencang dengan sepatu formal oxford shoes yang desainya timeless. Ikatan tali sepatu tertutup (closed lacing), dan tidak begitu lentur mengikuti tinggi tubuh Arlan yang ideal. Kemeja putih, dan Celana dasar hitam yang ia kenakan menambah pesona penampilan hari itu, membuat nanar mata para mahasiswi tak lekat padanya. Arlan dengan santainya terus melewati lorong koridor, memasuki kelas untuk pertama kalinya sembari tersenyum kepada semua mata yang menatapnya."Ya, Allah gantengnya!" seru gadis berkaca mata bulat kepada teman di sebelahnya."Apaan yang ganteng, Idah?" Tanya Renata, gadis berambut cat pirang kemerahan yang mengenakan kaos oblong berwarna pink soft, jeans gantung di bawah lutut, dan sneaker putih.Idah menggoyangkan kaca mata berulang kali. Membuka dan menutupnya memastikan apa yang dilihatnya."Lihat!" perintah Idah mel
Arlan melirik jam tangannya menunjukan pukul Pukul 12.00."Waktunya makan siang," Seru Arlan.Ia langsung menyusun semua buku, dan berkas di meja kerjanya, kemudian bergegas untuk makan siang di rumah bersama Zara."Di mana, ya!" Arlan lupa di mana menaruh kunci mobilnya.Arlan memeriksa berkali-kali saku celananya, tetapi ia tidak menemukannya."Apa ketinggalan di kelas, ya!" gumam Arlan pada dirinya sendiri.Sekarang ia beralih memeriksa tas punggungnya yang penuh dengan buku. Kening Arlan mulai berkerut karena ia sama sekali tidak ingat di mana menaruh kunci mobilnya."Bapak cari ini?" Renata datang dengan memegang kunci mobil Arlan."Kamu?" Arlan yang grasak -grusuk mencari kunci, berbalik badan mendengar suara Renata."Kenapa bisa ada padamu?" tanyaArlan meraih kunci mobilnya yang ada pada tangan Renata.
ā¤Kau bukanlah objek ataupun benda apapun di dunia ini. Kau adalah bagian dari hidupku itu sendiriā¤AZEDā¤Setelah mandi Zara tidur lagi di sofa, sedangkan Arlan sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi.Arlan melangkah menjijit dengan jari kakinya ke arah Zara dengan masih mengenakan celemek di tubuh dan sendok di tangan, kemudian ia membungkukan tubuhnya ke arah Zara."Kamu sungguh tidur di pagi hari, Zara!" seru Arlan.Arlan mendekatkan mulutnya pada telinga zara dan berbisik, "Zara!"Zara menggaruk telinganya dengan mata masih tertutup.HukHukHukArlan pura-pura batuk mencoba membangunkan Zara dengan caranya, tetapi Zara tidak menggubrisnya. Arlan berdiri tegap di depan Zara dan meletakan sendok yang dia pegang di atas meja."Bangun tidak!" ancam Arlan sembari menggelitik Zara.Zara tetap dengan posisinya, tidak bergerak sedikit pun. Jari-je
Prilaku kekerasan salah satu gejala positif dari skizofrenia, merupakan masalah utama yang membuat penderitanya di bawa ke RSJ untuk penanganan medis, baik pada onset pertama maupun pada kondisi awitan akibat kekambuhan. Gejala ini berpotensi untuk melukai diri sendiri, lingkuangan, keluarga terdekat, dan orang lain. Individu skizofrenia biasanya mempunyai masalah emosi yang mengakibatkan penderitanya melakukan kekerasan, karena ada ganguan pada saraf yang terdapat di otak. Oleh karena, penderita Skizofrenia akan sulit hidup normal seperti yang lainya. Kekerasan inilah yang dialami Bik Dartih, pembantu baru Arlan. Belum cukup sebulan Bik Dartih berkerja, ia langsung mengundurkan diri karena mengalami kekekrasan dari Zara.Zara yang sudah bisa berjalan menghampiri Bik Dartih yang sedang membuatkan teh di dapur."Bik, ini apa?" tanya Zara memainkan gula di sebuah botol."Gula atuh, Non! Masak garem," seru Bik Dartih."Kalau ini,
"Pergi sana!" teriak Zara, matanya mulai memerah."Kamu marah sayang!" ucap Arlan mendekati Zara dengan emosinya yang buruk.Kemudian Arlan duduk di sebelah Zara yang berbaring membelakanginya, "Jangan marah lagi!""Nananana!" Zara menutup telinganya."Mengertilah sayang, aku harus pergi berkerja!" Arlan mengelus rambut istrinya.Sedangkan Zara terus mengabaikan suaminya yang akan pergi berkerja itu."Aku pergi dulu, ya!" Arlan mencium pipi Zara yang sedang berbaring."Arlan!" Rengek Zara, melempar bantal ke arah Arlan."Kamu boleh lanjutin marahnya nanti setelah aku pulang. Aku sudah terlambat!" Arlan terus melirik jam tangannya."Aku bilang, jangan pergi!" teriak Zara."Kalau aku tidak pergi, kamu mau apa!" goda Arlan, berlalu mentup pintu kamar."Oh, Iya kalau butuh apa-apa, kamu mintak sam
ā¤Jika hati mampu bicara, maka logika akan membisuā¤ Kau bukan sekadar cinta, tetapi amanah dan tanggung jawabā¤Sreeek ...Jantung Arlan langsung berdesir, merasakan sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi di rumah, dia langsung kembali ke kelas mengambil tas punggunya."Mohon maaf! Ujiannya online saja, ya!" Arlan bergegas mengambil tas punggunya dan meninggalkan bukunya di meja begitu saja dengan wajah sangat panik.Semua mahasiswa menatap wajah tampan yang panik itu, sambil berbisik-bisik, "Ada apa ya! Wajah Pak Arlan sangat panik!""Pak ada apa?" tanya Renata, melihat wajah lelaki yang ia cintai sangat pucat."Saya ada urusan!" jawab Arlan sekilas langsung berlalu.Arlan bergegas menuju mobilnya yang berada di pakiran, menembus keramaian mahasiswa yang lalu lalang di lorong kampus. Ia tidak mempedulikan setiap orang yang ditubruknya. Wajahnya terlihat begitu risau. Sesampai di pakiran, ia langsung melaju mobilnya
ā¤Cinta tak akan selalu begitu, karena perasaan manusia akan selalu berubah-ubah, tetapi tidak untuk sebuah komitmenā¤ Di dalam bangsal terlihat wajah panik Bik Dartih menunggu Arlan siuman. Ia duduk di sebuah kursi di samping hospital bed, tempat Arlan berbaring. Bik Dartih masih dengan wajah pucat, menanti Arlan siuman."Kenapa lelaki sebaik ini harus menikahi Nona Zara yang tidak waras Itu!" gumam Bik Dartih melihat hospital bed di belakang Arlan. Di mana Zara terbaring belum sadarkan diri dengan tabung oksigen di hidungnya. Arlan menggerakan jarinya, ia mulai siuman. Perlahan ia membuka mata dan memegang dahinya yang terasa begitu perih, karena telah memdapatkan beberapa jahitan. "Alhamdulilah! Akhirnya Den Arlan siuman," ucap Bik Dartih lega. "Bik Dartih!" Arlan memegang dahinya. Menyadari yang telah terjadi Arlan melihat sekelilingnya mencoba menemukan Zara, "Zara di mana, Bik?" tanya Arlan matanya masih berkedip setengah sadar."Ade