Reina tidak pernah membayangkan akan menikah dengan bosnya sendiri. Di hari pernikahan yang seharusnya diisi oleh lelaki lain, justru Arga-lah yang muncul di altar. Tak ada ungkapan cinta, hanya rahasia dan alasan yang tak pernah benar-benar diungkap. Namun, bagaimana jika pernikahan yang tidak pernah ada dalam rencana itu perlahan membawa mereka ke arah yang tak terduga? IG : 24th_cloud
View MoreSuasana ruang rawat inap itu dipenuhi keheningan. Hanya suara pelan mesin monitor denyut jantung yang terus berbunyi, menjadi latar dari pandangan kosong Reina yang duduk di kursi besi, menatap sosok sang Ayah yang terbaring lemah di ranjang. Jemarinya mengepal erat tas kecil di pangkuan, menyembunyikan kegelisahan yang terus tumbuh sejak kabar terbaru dari dokter semalam.
"Ayah ...." Suara Reina nyaris seperti bisikan. Ia tahu Ayahnya tidak tidur, hanya diam dengan mata terpejam, berusaha menenangkan pikirannya sendiri setelah sempat berdebat dengan putri satu satunya tentang pernikahan. "Reina," lirih suara Ayah menyahut, pelan namun penuh tekad. "Ayah minta satu hal saja ...." Reina menunduk. Ia tahu permintaan ini akan datang. Dan seperti yang ia duga, Ayahnya ingin satu hal yang paling tak ingin ia bicarakan saat ini. "Menikahlah dengan Revan."Reina menghela napas berat, menatap sang Ayah yang kini menoleh padanya. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan ada kilat harapan di matanya yang tak sanggup Reina abaikan. Ini bukan hanya tentang perjodohan. Ini tentang hati seorang Ayah yang ingin melihat anaknya 'berumah tangga' sebelum waktu memisahkan mereka. Revan-anak teman ayah yang pernah dikenalkan ke Reina dua minggu lalu.
"Kenapa harus Revan, Yah?" tanya Reina, suaranya bergetar. "Kenapa juga aku harus segera menikah?" "Apa ada hal lain yang seorang Ayah harapkan dari melihat anaknya menikah lalu berumah tangga? Ayah cuma ingin ada yang menjaga Reina sebelum Ayah pergi." Reina terdiam. Air matanya tertahan di ujung pelupuk. Revan… lelaki yang bahkan belum pernah benar-benar ia kenal secara dalam. Hanya satu dua kali bertemu sebagai kenalan keluarga. Tapi sekarang… dia akan jadi suaminya? Dalam waktu hanya tiga hari, persiapan pernikahan berlangsung begitu cepat seolah dikejar kejar oleh sesuatu. Gaun pengantin, venue, undangan keluarga terbatas. Semuanya diatur oleh kedua belah pihak, terutama Ayah yang tiba-tiba terlihat lebih sehat, seolah dipenuhi semangat sejak Reina menyetujui pernikahan itu. Namun di balik kesibukan itu, Reina tahu… dia menyetujui pernikahan bukan karena cinta. Tapi karena penasaran. Karena instingnya berkata bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Ayah dan keluarga besar calon suaminya. Dan jika pernikahan ini adalah satu-satunya jalan untuk menguaknya, dia akan menjalaninya. Walau dengan resiko luka di akhir nanti. . . Hari pernikahan datang lebih cepat dari yang Reina bayangkan. Dalam balutan gaun putih sederhana dengan renda tipis di lengan, Reina duduk di ruang tunggu, jantungnya berdebar keras. Tangannya dingin, meski ruangan cukup hangat. "Nona Reina akan segera memasuki pelaminan," ujar salah satu panitia dengan senyum ramah. Reina hanya mengangguk pelan. Ia tidak tahu apakah Revan akan tersenyum padanya atau hanya mencoba tersenyum ramah seperti biasanya. Tapi setidaknya, Reina mungkin akan menemukan sesuatu. Pernikahan ini akan membukakan semua pertanyaan yang selama ini menggantung di kepalanya. Musik mulai mengalun. Reina menunduk, lalu perlahan bangkit ketika sinyal diberikan. Suara langkahnya bergema lembut, menyusuri karpet putih menuju altar. Lampu kristal berkilau, para tamu berdiri menyambut. Namun semua menjadi samar saat Reina tiba di depan pelaminan… dan melihat sesuatu yang membuatnya terpaku. Bukan Revan. Bukan pria yang wajahnya sudah ia kenali sejak beberapa waktu lalu. Itu… Arga. Mata Reina membelalak, napasnya tercekat. Lelaki bertubuh tinggi dengan wajah datar dan sorot mata tajam itu berdiri tenang, mengenakan setelan jas putih yang sempurna. Arga. CEO tempat Reina bekerja. Atasan langsungnya. Pria yang selama ini tak pernah menatapnya lebih dari sekadar rekan kerja. "Ada apa?" bisik Indah-sahabat di belakang Reina bersama dengan bridesmaid lainnya. Reina ingin bertanya hal yang sama. 'Ada apa ini?' Namun acara sudah dimulai. Suara penghulu mulai terdengar. Di tengah kekalutan, Reina menatap Ayahnya yang berada tepat di hadapannya. Ayah Reina tersenyum bahagia, seolah itulah yang benar benar Ayahnya inginkan, terlepas dari perasaan Reina. "Reina …" suara Arga terdengar sedingin biasanya. "Saya akan menjelaskan semuanya. Tapi sekarang … percaya saja dulu." 'Apa yang harus aku percaya? Bahwa pernikahan ini benar hanya keinginan sederhana Ayah? Atau tentang Revan yang pasti memiliki alasan yang kuat kenapa tiba-tiba gak muncul?' Reina menoleh cepat. "Kenapa Bapak?" bisiknya tajam. "Karena Revan gak datang, dan mau gak mau saya yang harus menggantikannya," jawab Arga tenang. Jantung Reina seakan berhenti berdetak. Bukan hanya pengantin yang berubah. Tapi seluruh jalur hidup yang dia pikir bisa ia prediksi—hancur begitu saja dalam sekejap. Dalam diam, akad berlangsung. Reina menjawab pelan, suaranya hampir tak terdengar. Saat para tamu bertepuk tangan, ia masih berdiri membeku, mencoba memahami semua. Kenapa... Arga?Arga dan Reina melangkah memasuki kantor dengan saling bersebelahan. Di depan sana terdapat seorang karyawan dan karyawati yang berjalan sembari bergandengan tangan dengan masing-masing tangan yang terbebas memegang handphone. Perhatian Reina tertuju pada gantungan handphone couple yang dipakai keduanya.Ya, Arga tidak melarang untuk pegawainya berpacaran sesama teman kerja. Ketika Arga menoleh ke arah Reina, Arga pun mengetahui apa yang menarik perhatian Reina."Ada hal yang kamu inginkan hari ini?" tanya Arga sembari menatap Reina saat mereka tiba di depan lift.Reina menekan tombol depan lift, lalu menoleh ke arah Arga. "Gak ada, Pak. Atau mungkin Pak Arga yang sedang ingin sesuatu?" Dengan mode sekretaris."Saya gak ingin apa-apa, cuma bertanya siapa tahu kamu lagi ingin sesuatu." Reina membalas perkataan itu dengan tersenyum.Ketika sudah berada di atas, tak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Arga langsung disibukkan dengan menandatangi beberapa dokumen, dan Reina memeriksa k
Sembari melihat-lihat toko toko yang menjual oleh-oleh, mulai dari makanan sampai pernak pernik, salah satu tangan Arga sibuk memegang handphone yang layarnya menampilkan wajah Reina. Karena Reina tidak ingin ikut, Arga pun melakukan video call, memperlihatkan apa saja yang ada di tempat jual oleh-oleh, sehingga Reina bisa melihatnya."Kenapa Bu Reina gak ikut?" tanya salah seorang karyawati yang menghampiri Arga, seorang diri. Menatap layar yang memperlihatkan Reina yang sibuk melihat-lihat pernak pernik yang tergantung di depan sana."Tiba-tiba Reina gak enak badan, jadi gak bisa ikut," jawab Arga santai."Terus, biar Bu Reina tetap bisa bawa pulang oleh-oleh tanpa perlu ikut, Pak Arga melakukan video call. Alih-alih gak peduli Bu Reina bawa pulang oleh-oleh atau nggak, Pak Arga justru melakukan hal yang gak ingin membuat Bu Reina bingung dengan harus memilih, pergi atau nggak. Orang asing akan mengira kalian memiliki hubungan lebih dari atasan dan bawahan lho," ucap karyawati itu y
Perlahan mata Reina terbuka dengan perasaan yang baru pertama kali ia rasakan sejauh ia hidup sampai hari ini. Saat melihat ke arah Arga yang sedang berdiri di depan jendela dengan matahari yang sinarnya sudah menyinari seisi Kamar, pikiran Reina langsung dipenuhi adegan tiap adegan tadi malam. Saat Reina memutuskan tak ada lagi jarak di antara mereka.Ketika Arga membalikan tubuh, Reina langsung memalingkan wajah, menatap ke arah lain. Reina terlalu malu untuk bertatapan dengan Arga. Arga berjalan ke arah ranjang, mendudukkan diri di samping Reina."Pagi, Re," kata Arga dengan nada lembut. Sembari menatap Reina yang masih menatap ke arah lain."Pagi, Mas.""Kalau bicara tuh lihat orangnya.""Gak mau!""Lho, kenapa?"Alih-alih mengatakan bagaimana perasaannya, bahwa ia sedang dilanda rasa malu, Reina menarik selimut, menutupi kepalanya."Kok ditutup gitu sih," ucap Arga yang mencoba membuka selimut yang menutupi kepala Reina.Akhirnya manik mata Reina bertemu dengan manik mata Arga ya
Kembalinya Reina ke Pantai, terlihat Arga yang sedang duduk di atas pasir tanpa alas bersama Baskara. Reina bukannya tidak ingin mengganggu Arga, hanya saja Reina belum siap jika pernikahannya itu diketahui seisi kantor dengan memilih duduk lumayan jauh dari tempat Arga.Dengan perasaan tidak jelas apa yang dirasa, pikiran yang selalu penuh dengan memecahkan teka teki rahasia yang disembunyikan Arga, Reina tatap langit malam dengan beberapa bintang yang membuatnya menjadi indah. Angin yang berhembus lembut itu menggoyangkan rambut Reina yang seperti menari-nari.Ketika Arga menoleh ke arah lain, bukan lagi langit, Arga baru menyadari kehadiran Reina yang duduk sendirian, tidakkah merasa kesepian?Arga berdiri dari duduk, ingin menghampiri Reina, namun saat hendak melangkah ia terdiam. Ada seorang laki-laki menghampiri Reina, bahkan duduk di samping Reina."Ternyata benar kamu, Reina," kata lelaki berwajah sedikit bule itu sembari menatap Reina dari samping."Kak Jovian!" Dengan wajah
Selesai berbicara singkat dengan Samuel, Arga menemukan Reina yang sudah terduduk di sofa. "Kamu mau sarapan apa?" tanya Arga sembari berjalan ke arah Reina. Lalu, mendudukkan diri di samping Reina."Sepertinya aku harus kembali ke Kamar aku dulu deh, Mas. Soalnya kan koper aku di sana.""Ya sudah, nanti kamu ke sini lagi.""Iya." Seraya tersenyum.Tiba-tiba Arga menyandarkan kepalanya di bahu Reina. "Sebentar, Re. 5 menit saja." Arga memejamkan kedua matanya.Sesungguhnya ada yang ingin Reina tanyakan soal Samuel, namun Reina memilih diam. Reina hanya merasa bahwa Arga tidak akan mengatakan semuanya, dan Reina lagi-lagi harus menemukan jawabannya sendiri.Reina melangkah masuk ke dalam lift, lalu ada seorang pria paruh baya dengan rambut yang sudah setengah memutih menyusul masuk ke dalam lift. Berdiri di depan Reina yang tentu tidak peduli dengan kehadiran orang asing itu. Tapi, tunggu. Reina yang menatap pria paruh baya itu dari belakang, seperti mengenalnya."Pak Samuel?" panggil
Melangkah masuk, dan mereka disuguhi kelopak-kelopak bunga mawar yang dibentuk love serta handuk berbentuk bebek saling berhadapan di atas kasur. Bukankah terlihat seperti Kamar yang dipersiapkan untuk pengantin baru?"Apa memilih Kamar ini gak terlalu mencolok untuk saya yang hanya sekretaris? Kalau karyawan lain tahu mereka pasti akan berpikiran yang nggak-nggak.""Kita akan menggunakan Kamar ini bersama.""Pak! Ini terlalu beresiko." Arga tidak tahu jika Reina sangat tidak ingin hubungan tak biasa di antara mereka diketahui orang lain."Saya jamin gak akan ada yang tahu, sekali pun ada yang tahu mereka gak akan berani menyebar luaskan." Padahal Arga hanya ingin bermalam bersama istrinya.Reina menggelengkan kepala dengan wajah serius. "Saya gak mau mengambil resiko.""Jujur, Re. Kenapa kamu sangat gak ingin pernikahan kita diketahui orang lain?" Arga pun mulai terlihat serius."Kalau suatu hari pernikahan ini berakhir gak akan ada yang tahu bahwa orang yang pernah bersama Pak Arga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments