Share

Bab 8. Wanita Murahan

Haidar terkejut melihat bukit kenikmatan di depan matanya. Ia langsung menutup mata kembali. “Pakai bajumu dulu!” titah Haidar dengan suara meninggi.

“Aku udah pake baju, Om,” jawab Andin.

“Kamu nggak punya baju lagi?” tanya Haidar. Matanya masih terpejam, ia tidak berani membuka matanya. “Itu baju zaman kapan? Udah nggak muat dipake aja,” lanjutnya.

“Dasar kolot, ini tuh baju zaman sekarang,” jawab Andin. “Begini nih kalo orang zaman dulu, pikirannya terlalu kolot,” lanjutnya.

“Banyak baju model zaman sekarang yang bagus, tapi tetap sopan dan pantas dilihat,” sahut Haidar tidak mau kalah. 

Walaupun kehidupan Haidar serba mewah, tapi ia tidak suka bermain wanita seperti kebanyakan pemuda sukses lainnya. Ia tidak suka melihat wanita yang terlalu mengumbar tubuh bagian sensistifnya. Lebih tepatnya ia hanya peduli dengan uang dan uang.

“Kan cuma di dalam kamar aja. Aku ini udah halal buat, Om, boleh dilihat, dicocol boleh, diobok-obok juga boleh, terserah Om aja. Tapi pelan-pelan ya!” ujar Andin.

“Nggak nafsu,” sergah Haidar. lengannya ia gunakan untuk menutup mata.

“Yakin, Om,” tanya Andin sambil menyingkirkan lengan Haidar yang menutupi mata. “Kalo yakin, buka dong matanya,” lanjut Andin.

Haidar merasa geram karena sang istri terus menggodanya. Ia bangun, lalu memegangi kedua tangan sang istri, Kemudian merebahkan Andin dengan paksa. Kedua tangan Andin, dikunci di atas kepalanya menggunakan tangan kiri. Tangan kanannya mulai menurunkan ritsleting celana Andin.

“Santai dong, Om, kita pemanasan dulu! Biar makin seru,” ujar Andin sembari tersenyum nakal.

Haidar langsung melepas tangan sang istri, lalu turun dari tempat tidur. “Dasar wanita jalang, kamu pasti sudah biasa melakukannya,” tukas Haidar, penuh amarah. Ia merasa kesal saat membayangkan sang istri pernah tidur dengan laki-laki lain. 

Walaupun ia tidak mencintai istrinya, tapi ia kecewa karena sang istri tidak bisa menjaga kehormatannya sebelum menikah.

Andin turun dari tempat tidur, mendekati Haidar. Ia langsung menamparnya saat berhadapan dengan laki-laki bertubuh tinggi dan tegap itu.

“Jaga ucapan, Lo! Walaupun gue bukan wanita baik-baik, tapi gue bisa menjaga kehormatan sebagai seorang gadis.”

Emosi Andin memuncak, napasnya memburu mendengar ucapan suaminya. Ia bergegas mengambil baju di lemari. Kemudian masuk ke kamar mandi dan menutup pintu dengan keras, membuat Haidar terperanjat karenanya.

“Apa ucapanku salah? Kenapa dia begitu marah? Tapi, kelakuannya tidak seperti gadis terhormat.” Haidar menatap pintu kamar mandi sambil memegangi pipinya yang masih terasa panas karena tamparan sang istri.

Tidak lama kemudian, Andin keluar sudah mengunakan celana jeans dan kaus berwarna putih, lengkap dengan jaket kulit berwarna hitam kesayangannya.

Ia melirik sang suami sambil tersenyum kecut. 

Kemudian ia membuka laci nakas di samping tempat tidur untuk mengambil kunci motor kesayangannya.

Sikap dan wajah Andin persis seperti bunda Anin, hanya saja Andin mudah baper dan mudah untuk dipengaruhi seperti ayahnya, Rey.

Haidar tidak berani untuk bertanya. Ia sadar kalo sang istri sedang marah besar padanya. Tatapan matanya terus mengikuti langkah Andin. 

Andin keluar dari kamarnya setelah memakai sepatu kets berwarna putih sambil menutup pintu dengan keras.

Haidar terperanjat kemudian menghela napas panjang. “Serem juga kalo lagi marah gitu,” 

“Adek, kamu mau ke mana, Sayang?” tanya bunda Anin saat berpapasan dengan anaknya di tangga.

“Bersenang-senang, Bunda,” jawab Anin. Setelah mencium tangan kedua orang tuanya, ia pergi sambil bersiul.

“Anakmu tuh!” kata Anin pada Rey sambil menunjuk Andin, putrinya. Andin adalah anak kesayangan Rey, walaupun Andin tidak terlalu pintar seperti Aldin, tapi Rey selalu memanjakan putrinya. Bukannya Rey tidak sayang kepada Aldin, tapi putranya itu bukan termasuk anak yang suka dimanja.

“Sembilan puluh persen mirip kamu, Bun.” Rey melirik Anin sambil tersenyum.

“Tapi bapernya mirip kamu, Yah,” tukas Anin pada suaminya. Keduanya berjalan sambil bergurau. Pasangan yang sudah tidak muda itu, tetap terlihat romantis.

“As, lo nggak pulang?” tanya Anin pada Tyas yang sedang duduk santai di ruang keluarga.

“Pulanglah!” jawab Tyas. “Itu Andin mau ke mana? Dia udah jadi istri loh, kenapa kalian ngebiarin dia pergi?” lanjut Tyas.

“Untuk hari ini kita biarin dulu, mungkin dia belum siap menerima pernikahannya,” ujar Rey. ”Sebenarnya aku juga nggak tega menukar putriku untuk jadi pengantinnya Haidar, tapi mungkin ini jalan takdirnya, semoga mereka bisa melewati semuanya, aamiin.”

Tyas dan Anin pun mengaminkan harapan Rey.

“Ya udah, aku pulang duluan,” ujar Anin. Hari ini hari yang sangat melelahkan bagi keluarganya. Ada kebahagiaan yang dibalut kesedihan.

Haidar berjalan tergesa sambil memainkan ponselnya. ia terburu-buru untuk menyusul sang istri.

“Haidar, kamu mau ke mana?” tanya Tyas sedikit berteriak karena Haidar berjalan sangat cepat. Ia heran melihat pasangan pengantin itu, yang pergi di malam pertamanya.

“Apa mereka bertengkar?” Tyas bertanya-tanya di dalam hatinya.

“Eh … Tante, maaf, saya terlalu fokus pada ponsel.” Haidar menghampiri Tyas untuk berpamitan. “Saya mau pulang ke rumah, mau ganti baju,” ucapnya. 

“Tapi, Andin … dia-”

“Saya udah bilang ke dia, supaya pulang ke rumah saya,” sela Haidar sembari tersenyum. Ia terpaksa berbohong karena tidak mau masalahnya dengan sang istri diketahui oleh orang lain.

Tyas merasa lega mendengar ucapan Haidar. “Syukurlah kalo mereka baik-baik saja,” ucapnya dalam hati.

“Maafiin sikap Andin ya, Nak!” ucap Tyas dengan tulus. 

“Iya, Tante, nggak apa-apa. Saya permisi dulu ya,” ucapnya. Setelah bersalaman dengan Tyas, Haidar segera pergi.

Sebenarnya tujuan Haidar pergi adalah untuk menyusul sang istri. Andin pergi dalam keadaan emosi, ia takut terjadi apa-apa dengan istrinya.

Bukan karena cinta, melainkan karena takut sang papi tahu kalo ia menyakiti menantunya dan tidak jadi mewariskan semua hartanya pada Haidar.

Haidar segera berlari dengan langkah panjangnya. Ia melihat sang istri baru saja keluar dengan motor sport berwarna merah terang. Segera Haidar masuk ke dalam mobilnya untuk menyusul Andin.

“Gila tuh cewek!” Haidar menggelengkan kepalanya melihat sang istri mengendarai kuda besinya seperti seorang pembalap.

Haidar menambah kecepatan kendaraanya untuk mengimbangi laju motor istrinya supaya tidak kehilangan jejak. Melihat sang istri membawa motor dengan kecepatan tinggi, Haidar merasa khawatir. 

Ucapan sang istri terus terngiang di telinganya. Ia merasa bersalah telah menuduh istrinya yang tidak-tidak tanpa bukti.

“Astaga!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status