Haidar terkejut melihat bukit kenikmatan di depan matanya. Ia langsung menutup mata kembali. “Pakai bajumu dulu!” titah Haidar dengan suara meninggi.
“Aku udah pake baju, Om,” jawab Andin.
“Kamu nggak punya baju lagi?” tanya Haidar. Matanya masih terpejam, ia tidak berani membuka matanya. “Itu baju zaman kapan? Udah nggak muat dipake aja,” lanjutnya.
“Dasar kolot, ini tuh baju zaman sekarang,” jawab Andin. “Begini nih kalo orang zaman dulu, pikirannya terlalu kolot,” lanjutnya.
“Banyak baju model zaman sekarang yang bagus, tapi tetap sopan dan pantas dilihat,” sahut Haidar tidak mau kalah.
Walaupun kehidupan Haidar serba mewah, tapi ia tidak suka bermain wanita seperti kebanyakan pemuda sukses lainnya. Ia tidak suka melihat wanita yang terlalu mengumbar tubuh bagian sensistifnya. Lebih tepatnya ia hanya peduli dengan uang dan uang.
“Kan cuma di dalam kamar aja. Aku ini udah halal buat, Om, boleh dilihat, dicocol boleh, diobok-obok juga boleh, terserah Om aja. Tapi pelan-pelan ya!” ujar Andin.
“Nggak nafsu,” sergah Haidar. lengannya ia gunakan untuk menutup mata.
“Yakin, Om,” tanya Andin sambil menyingkirkan lengan Haidar yang menutupi mata. “Kalo yakin, buka dong matanya,” lanjut Andin.
Haidar merasa geram karena sang istri terus menggodanya. Ia bangun, lalu memegangi kedua tangan sang istri, Kemudian merebahkan Andin dengan paksa. Kedua tangan Andin, dikunci di atas kepalanya menggunakan tangan kiri. Tangan kanannya mulai menurunkan ritsleting celana Andin.
“Santai dong, Om, kita pemanasan dulu! Biar makin seru,” ujar Andin sembari tersenyum nakal.
Haidar langsung melepas tangan sang istri, lalu turun dari tempat tidur. “Dasar wanita jalang, kamu pasti sudah biasa melakukannya,” tukas Haidar, penuh amarah. Ia merasa kesal saat membayangkan sang istri pernah tidur dengan laki-laki lain.
Walaupun ia tidak mencintai istrinya, tapi ia kecewa karena sang istri tidak bisa menjaga kehormatannya sebelum menikah.
Andin turun dari tempat tidur, mendekati Haidar. Ia langsung menamparnya saat berhadapan dengan laki-laki bertubuh tinggi dan tegap itu.
“Jaga ucapan, Lo! Walaupun gue bukan wanita baik-baik, tapi gue bisa menjaga kehormatan sebagai seorang gadis.”
Emosi Andin memuncak, napasnya memburu mendengar ucapan suaminya. Ia bergegas mengambil baju di lemari. Kemudian masuk ke kamar mandi dan menutup pintu dengan keras, membuat Haidar terperanjat karenanya.
“Apa ucapanku salah? Kenapa dia begitu marah? Tapi, kelakuannya tidak seperti gadis terhormat.” Haidar menatap pintu kamar mandi sambil memegangi pipinya yang masih terasa panas karena tamparan sang istri.
Tidak lama kemudian, Andin keluar sudah mengunakan celana jeans dan kaus berwarna putih, lengkap dengan jaket kulit berwarna hitam kesayangannya.
Ia melirik sang suami sambil tersenyum kecut.
Kemudian ia membuka laci nakas di samping tempat tidur untuk mengambil kunci motor kesayangannya.
Sikap dan wajah Andin persis seperti bunda Anin, hanya saja Andin mudah baper dan mudah untuk dipengaruhi seperti ayahnya, Rey.
Haidar tidak berani untuk bertanya. Ia sadar kalo sang istri sedang marah besar padanya. Tatapan matanya terus mengikuti langkah Andin.
Andin keluar dari kamarnya setelah memakai sepatu kets berwarna putih sambil menutup pintu dengan keras.
Haidar terperanjat kemudian menghela napas panjang. “Serem juga kalo lagi marah gitu,”
“Adek, kamu mau ke mana, Sayang?” tanya bunda Anin saat berpapasan dengan anaknya di tangga.
“Bersenang-senang, Bunda,” jawab Anin. Setelah mencium tangan kedua orang tuanya, ia pergi sambil bersiul.
“Anakmu tuh!” kata Anin pada Rey sambil menunjuk Andin, putrinya. Andin adalah anak kesayangan Rey, walaupun Andin tidak terlalu pintar seperti Aldin, tapi Rey selalu memanjakan putrinya. Bukannya Rey tidak sayang kepada Aldin, tapi putranya itu bukan termasuk anak yang suka dimanja.
“Sembilan puluh persen mirip kamu, Bun.” Rey melirik Anin sambil tersenyum.
“Tapi bapernya mirip kamu, Yah,” tukas Anin pada suaminya. Keduanya berjalan sambil bergurau. Pasangan yang sudah tidak muda itu, tetap terlihat romantis.
“As, lo nggak pulang?” tanya Anin pada Tyas yang sedang duduk santai di ruang keluarga.
“Pulanglah!” jawab Tyas. “Itu Andin mau ke mana? Dia udah jadi istri loh, kenapa kalian ngebiarin dia pergi?” lanjut Tyas.
“Untuk hari ini kita biarin dulu, mungkin dia belum siap menerima pernikahannya,” ujar Rey. ”Sebenarnya aku juga nggak tega menukar putriku untuk jadi pengantinnya Haidar, tapi mungkin ini jalan takdirnya, semoga mereka bisa melewati semuanya, aamiin.”
Tyas dan Anin pun mengaminkan harapan Rey.
“Ya udah, aku pulang duluan,” ujar Anin. Hari ini hari yang sangat melelahkan bagi keluarganya. Ada kebahagiaan yang dibalut kesedihan.
Haidar berjalan tergesa sambil memainkan ponselnya. ia terburu-buru untuk menyusul sang istri.
“Haidar, kamu mau ke mana?” tanya Tyas sedikit berteriak karena Haidar berjalan sangat cepat. Ia heran melihat pasangan pengantin itu, yang pergi di malam pertamanya.
“Apa mereka bertengkar?” Tyas bertanya-tanya di dalam hatinya.
“Eh … Tante, maaf, saya terlalu fokus pada ponsel.” Haidar menghampiri Tyas untuk berpamitan. “Saya mau pulang ke rumah, mau ganti baju,” ucapnya.
“Tapi, Andin … dia-”
“Saya udah bilang ke dia, supaya pulang ke rumah saya,” sela Haidar sembari tersenyum. Ia terpaksa berbohong karena tidak mau masalahnya dengan sang istri diketahui oleh orang lain.
Tyas merasa lega mendengar ucapan Haidar. “Syukurlah kalo mereka baik-baik saja,” ucapnya dalam hati.
“Maafiin sikap Andin ya, Nak!” ucap Tyas dengan tulus.
“Iya, Tante, nggak apa-apa. Saya permisi dulu ya,” ucapnya. Setelah bersalaman dengan Tyas, Haidar segera pergi.
Sebenarnya tujuan Haidar pergi adalah untuk menyusul sang istri. Andin pergi dalam keadaan emosi, ia takut terjadi apa-apa dengan istrinya.
Bukan karena cinta, melainkan karena takut sang papi tahu kalo ia menyakiti menantunya dan tidak jadi mewariskan semua hartanya pada Haidar.
Haidar segera berlari dengan langkah panjangnya. Ia melihat sang istri baru saja keluar dengan motor sport berwarna merah terang. Segera Haidar masuk ke dalam mobilnya untuk menyusul Andin.
“Gila tuh cewek!” Haidar menggelengkan kepalanya melihat sang istri mengendarai kuda besinya seperti seorang pembalap.
Haidar menambah kecepatan kendaraanya untuk mengimbangi laju motor istrinya supaya tidak kehilangan jejak. Melihat sang istri membawa motor dengan kecepatan tinggi, Haidar merasa khawatir.
Ucapan sang istri terus terngiang di telinganya. Ia merasa bersalah telah menuduh istrinya yang tidak-tidak tanpa bukti.
“Astaga!”
Suara gesekan antara ban mobil dan aspal terdengar begitu ngilu. Haidar mendadak menghentikan laju kendaraannya karena motor Andin tiba-tiba berhenti di depan mobilnya.Andin turun dari motor, berjalan menghampiri mobil yang terus mengikutinya.“Keluar!” Andin memukul kaca mobil tanpa peduli siapa yang berada di dalam mobil tersebut. Ia begitu kesal karena mobil itu terus mengikutinya.Suasana hatinya yang sedang buruk membuat ia tidak bisa mengontrol emosinya. Ia tidak memikirkan kalau yang berada di dalam mobil itu adalah orang jahat.Haidar tersenyum kecil melihat Andin begitu berani menggebrak mobil orang yang tidak dikenalinya. kemudian ia turun dari mobilnya dan menatap tajam pada Andin.Andin tersenyum kecut sambil melipat tangannya di bawah dada saat melihat orang yang keluar dari mobil adalah suaminya sendiri. “Ngapaian, Lo, ngikutin gue?”&n
“Om, mau ngapain?!” Andin sedikit menggeser wajahnya saat wajah sang suami hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.“Aku cuma mau masang seat belt,” sahut Haidar.“Aku bisa sendiri,” sergah Andin. Ia mendorong tubuh sang suami agar menjauh. “Dasar tukang modus! Pake alasan pasang seat belt,” gerutu Andin sambil memasang seat belt.Haidar memundurkan tubuhnya. Segera ia melajukan mobil menuju rumah tanpa mempedulikan ocehan sang istri.“Kita mau ke mana?” Andin melihat ke luar jendela, memperhatikan jalanan yang bukan menuju rumahnya ataupun rumah Papa Mahendra.“Pulang ke rumahku,” jawab Haidar. Lalu ia kembali fokus pada jalanan di depannya.Andin memiringkan tubuh menghadap sang suami yang duduk di sampingnya sambil menyetir. “Tadi bilang rumah Om satu arah dengan rumah Sisil. Om bohong ‘kan? Tadi tuh sebenarnya lagi ngikutin aku, takut istrimu yang bohay ini dicoel orang.”
Haidar menjatuhkan Andin di tempat tidur. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju kamar mandi tanpa mempedulikan sang istri.“Abis manis sepah dibuang! Udah nyedot manisnya bibir gue, sekarang gue malah dibuang gitu aja,” oceh Andin. “Dasar Mr. Dolar tua, belagu, nyebelin, pokoknya semua yang jelek-jelek ada di lo, dasar tua bangka.” Andin terus mengumpati suaminya yang sudah masuk ke dalam kamar mandi.Haidar malas meladeni ocehan istrinya. Sebenarnya ia juga menginginkan berciuman lagi dengan sang istri, tapi gengsinya terlalu besar kalo ia harus menjawab ‘Iya aku mau berciuman lagi.’Haidar mencelupkam dirinya ke dalam bathup, berendam air hangat untuk mengendurkan otot-ototnya yang kaku. Badannya terasa sangat lelah, tapi rasa lelahnya terbayarkan oleh ciuman hangat dari sang istri.Ia memejamkan matanya sambil menghirup aroma terapi yang dituangkan ke dalam bathup. Bayangan adegan ciuman dengan sang istri
Haidar menyambar handuknya. “Ngapaian kamu ke sini?” tanya Haidar. Ia marah karena malu kalo sampai sang istri tahu apa yang sedang ia lakukan.“Om, ‘kan barusan udah mandi, kenapa mandi lagi?” tanya Andin sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangannya karena ia melihat Haidar sedang mandi dibawah shower sambil membelakanginya.“Bukan urusan kamu!” Haidar berjalan melewati Andin yang masih mematung di ambang pintu kamar mandi sambil menutupi matanya.Cepat-cepat Haidar memakai piyama. Lalu menghampiri sang istri yang masih mematung di tempatnya. Ia menyentil kening istrinya.“Lain kali ketuk pintu dulu sebelum masuk! Jangan asal nyelonong aja!” Setelah menyentil kening istrinya ia kembali ke tempat tidur.“Lagian belum satu jam mandi, sekarang udah mandi lagi, ganti baju lagi,” ujar Andin sambil melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. “Eh iya lupa kalo Mr. Dolar mah bebas ye mau mandi tiap
“Supaya kampusnya dekat dengan kantorku dan kamu nggak ketemu lagi dengan mantan pacarmu yang seperti preman pasar itu,” jawab Haidar dengan tegas sambil mencondongkan wajahnya ke telinga sang istri. “Sisil juga aku pindahkan,” lanjut Haidar sambil melenggang meninggalkan sang istri.“Nih orang, ngatur-ngatur seenak jidatnya aja,” omel Andin sambil berjalan cepat menyusul suaminya.“Om, nanti Sisil kena serangan jantung, tiba-tiba pindah,” ujar Andin. Ia berjalan cepat menyeimbangkan langkah panjang suaminya. “Om!” bentak Andin. Ia kesal dengan suaminya yang tidak merespons sedikit pun ucapannya.Haidar menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghadap Andin. “Semua udah dibicarakan terlebih dahulu dengan Sisil dan biayanya aku yang nanggung,” jawabnya. “Aku nggak ngatur-ngatur orang lain, yang aku atur hanya kamu, istriku,” tegas Haidar, sa
Andin mendekati kebun sayur itu. Ia tertarik melihat warna-warni dari buah tomat. Ada yang masih hijau dan ada yang sudah merah. Ada bermacam-macam sayuran hijau.“Ada lobak, kangkung, bayam, ada selada juga, ini komplit banget.” Andin mengabsen sayuran yang ada di situ. “Apa laki gue, presdir sayur lobak?”Seorang pelayan wanita menghampiri Andin. “Nona muda,” sapanya dengan santun sambil menundukkan kepalanya.Andin menoleh ke samping, di mana sang pelayan wanita yang usianya hampir setengah abad berdiri di sampingnya sambil menundukkan pandangannya. “Tanaman sayuran di sini banyak banget, apa ini untuk dijual?” tanya Andin kepada pelayan wanita yang bernama Bi Narti.“Nggak, Nona. Ini untuk dimasak aja ,” jawab pelayan dengan sopan. Ia bernama Bi Narti, kira-kira berumur lima puluh tahun.“Bi, boleh aku ma
“Aku masih mencintaimu …. Tapi, kita nggak mungkin bisa kayak dulu lagi. Aku udah menjadi istri orang lain,” ucapnya. “Hubungan kita cukup sampai di sini aja. Maafkan aku, udah nyakitin hati kamu.” Andin menunduk menyembunyikan kesedihannya.Bagaimanapun, ia masih sangat mencintai Roy. Walaupun semua keluarganya tidak menyukai Roy, tapi ia tetap berhubungan dengannya. Menurut Andin Roy pemuda yang baik, tidak pernah berbuat tidak sopan padanya.Roy memang terlihat seperti berandal karena pakaiannya yang tidak pernah rapi dan slengean. Sering berkumpul dengan anak-anak jalanan. Tapi, ia pemuda yang baik dan setia kawan.“Andin sudah sah menjadi istri saya. Dia calon ibu dari anak-anak saya,” kata Haidar. “Saya harap kamu nggak mengganggu hubungan kami.” Haidar menggenggam tangan istrinya, lalu menciumnya dengan mesra.Andin sama sekali tidak terbu
“Kenapa?” tanya Haidar, pura-pura polos.“Sakit tahu!” Andin mengerucutkan bibirnya sambil memukul lengan Haidar.Haidar tertawa melihat Andin mengerucutkan bibirnya. “Kamu jelek banget, mata sembab, pipi merah, bibir monyong,” kata Haidar yang membuat Andin menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi.“Tadi katanya cantik,” kata Andin sambil mengerucutkan bibir seperti siput.“Tadi ada debu di mataku, yang menghalangi pandangan. Tadi kamu terlihat sangat cantik, tapi kenapa sekarang menjadi jelek sekali,” tukas Haidar, lalu ia pergi melenggang begitu saja meninggalkan sang istri.“Om, tungguin!” teriak Andin sambil berlari menyusul suaminya.“Aww …!” Andin menghentikan langkahnya. Ia duduk di pasir pantai untuk melihat apa yang telah melukai kakinya.