Haidar menyambar handuknya. “Ngapaian kamu ke sini?” tanya Haidar. Ia marah karena malu kalo sampai sang istri tahu apa yang sedang ia lakukan.
“Om, ‘kan barusan udah mandi, kenapa mandi lagi?” tanya Andin sambil menutup matanya dengan kedua telapak tangannya karena ia melihat Haidar sedang mandi dibawah shower sambil membelakanginya.
“Bukan urusan kamu!” Haidar berjalan melewati Andin yang masih mematung di ambang pintu kamar mandi sambil menutupi matanya.
Cepat-cepat Haidar memakai piyama. Lalu menghampiri sang istri yang masih mematung di tempatnya. Ia menyentil kening istrinya.
“Lain kali ketuk pintu dulu sebelum masuk! Jangan asal nyelonong aja!” Setelah menyentil kening istrinya ia kembali ke tempat tidur.
“Lagian belum satu jam mandi, sekarang udah mandi lagi, ganti baju lagi,” ujar Andin sambil melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. “Eh iya lupa kalo Mr. Dolar mah bebas ye mau mandi tiap jam juga,” lanjutnya setelah naik ketempat tidur.
“Tidur! Jangan ngoceh terus!” titah Haidar sambil menyentil kening sang istri. Lalu merebahkan tubuhnya.
“Sakit tahu!” protes Andin. “Nikah baru sehari udah ngalamin KDRT.” Andin bangun dan menindih sang suami, ia duduk tepat di tempat jagoan Haidar bersembunyi.
Andin menyentil kening sang suami. “Sakit nggak?” tanyanya sambil menggertakkan gigi.
Haidar bangun dan segera menurunkan sang istri dari tubuhnya. “Iya, aku minta maaf.”
Haidar terpaksa mengalah pada sang istrI. Ia takut jagoannya kena gesekan dan bangun lagi. “Cepetan tidur! Udah hampir pagi.” Haidar memiringkan tubuh membelakangi istrinya.
“Belum sehari jadi istri, sudah sangat merepotkan,” ucap Haidar dalam hati.
“Selamat malam suamiku,” ucap Andin, lalu mencium pipi suaminya sekilas.
“Kamu jadi perempuan, gampangan banget sih? Asal cium orang aja,” kesal Haidar. Bukannya ia tidak mau dicium sang istri, tapi ia takut kalau jagoannya bangun lagi. Masa iya dia harus mandi lagi.
“Mulai malam ini setiap mau tidur, aku harus cium Om dulu, titik nggak pake koma. Om juga harus cium aku sebelum tidur. Kalo nggak, aku bakal bilang sama mertuaku kalo Om jahat sama aku,” ancam Andin.
Kemudian ia merebahkan tubuhnya. Masuk ke dalam selimut yang sama dengan sang suami.
Haidar berbalik menghadap sang istri. Kemudian ia mencium kening istrinya dengan lembut. “Selamat tidur anak kecil,” ucapnya dengan lembut sambil tersenyum.
Ia tidak mau kalau sampai Andin melaporkan semuanya pada sang papi jika ia tidak menuruti kemauan istrinya.
“Gitu dong, Om. Senyum terus sepanjang masa, biar awet muda,” ucapnya sambil mencubit gemas pipi suaminya. “Jangan marah melulu! Udah tua, sering marah, ntar tensi darah Om naik, terus Om stroke. Emangnya Om mau?” tanya Andin sambil mempraktekkannya. Tangannya ia bengkokkan dan lidahnya menjulur keluar.
Haidar mengusap wajah sang istri dengan telapak tanganya. “Jangan banyak omong, cepetan tidur!” Haidar membenarkan posisi bantal dan memejamkan matanya karena ia sudah sangat mengantuk.
Andin melirik Haidar. “Gue harus berusaha menjadi istri yang baik. Entah sampai kapan gue bertahan dengan pernikahan ini? Hanya Tuhan yang tahu karena jodoh ada di tangan-Nya. Yang penting berusaha ikhlas menjalani takdir gue,” ucapnya dalam hati.
Andin mengembuskan napas panjang, lalu memejamkan matanya. Ia sudah sangat lelah seharian ini.
Mereka tidur dengan nyenyak setelah melewati hari yang sangat melelahkan dan menyebalkan bagi keduanya.
Siang harinya Haidar terbangun lebih dulu. Ia mengejapkan matanya saat tangan dan tubuhnya sulit digerakkan. “Kenapa pegal sekali?” gumamnya sambil menoleh ke arah kanan.
Dan ternyata Andin menggunakan tangan Haidar untuk menjadi bantalan kepala. Kakinya berada di atas kaki sang suami, sementara tangannya memeluk erat tubuh kekar laki-laki yang baru sehari menikahinya.
“Bangun!” Haidar membangunkan Andin dengan cara menyentil keningnya, akan tetapi Andin tidak bangun juga.
“Kamu cantik, tapi menyebalkan,” ucap Haidar.
Haidar mengangkat kepala Andin dan memindahkannya ke bantal. Lalu menyingkirkan tangan dan kaki gadis cantik itu dari tubuhnya.
Kemudian Haidar membuka gorden jendela dan meregangkan ototnya sambil melihat ke luar jendela. “Sepertinya sudah sangat siang.”
Ia berbalik untuk melihat jam dinding yang ada di kamar itu. “Hah! Udah jam sebelas siang? Kenapa aku tidur begitu lama?” Haidar yang tidak pernah bangun siang hari, terkejut, kenapa bisa dia tidur sampai tengah hari.
Haidar bergegas masuk ke dalam kamar mandi setelah mengambil baju gantinya terlebih dahulu. Sepuluh menit kemudian ia keluar sudah menggunakan baju santainya. Celana pendek selutut berwarna abu muda dan kaus oblong berwarna putih.
“Anak kecil!” panggil Haidar. “Bangun!”
Andin tidak merespon sedikit pun panggilan Haidar.
Haidar menepuk pipi Andin untuk membangunkannya, tapi istrinya tidak bergerak sama sekali.
“Nih, perempuan, tidur apa mati? Susah banget dibanguninnya,” tukas Haidar.
Haidar tidak punya cara lain selain memencet hidung istrinya sampai terbangun. Setelah sekian detik akhirnya Andin terbanggun dan langsung menepis tangan sang suami dari hidungnya.
“Om, mau bunuh aku ya?” sergah Andin pada suaminya.
“Buat apa aku mengotori tanganku sendiri,” bantah Haidar. “Cepetan mandi, ini udah siang!”
Andin menyipitkan mata menatap jam dinding yang menggantung dekat lemari pakaian.
“Baru jam sebelas,” ucapnya. Kemudian ia memejamkan matanya. Sekian detik kemudian ia membuka matanya lagi. “Jam sebelas? Aku ada kuliah pagi, hari ini.” Andin segera banggun dari tidurnya, ia loncat dari tempat tidur. Lalu berlari mengambil baju di lemari dan langsung masuk kamar mandi.
Lima menit kemudian Andin keluar sudah memakai dres putih selutut, berlengan panjang dengan motif polkadot hitam.
Ia menghampiri suaminya yang sedang duduk di sofa sambil memainkan ponsel. “Om, kenapa bajuku dress semua? Aku kan berangkat kuliah pake motor, susah dong.”
“Nanti aku belikan mobil,” jawab Haidar dengan santainya.
“Aku nggak suka. Ayahku juga bisa membelikan aku mobil, tapi aku lebih nyaman pake motor,” sahutnya.
“Aku tahu ayahmu bisa membelikan kamu mobil mewah sekalipun, beliau juga pengusaha sukses,” sahut Haidar. “Aku percaya itu.”
“Pokoknya aku mau pake motor dan sekarang anterin aku pulang untuk ngambil baju dan keperluan yang lainnya.” Andin menarik tangan suaminya untuk segera bangun dari duduknya.
Haidar bangun dan berdiri. “Mulai minggu depan, kamu pindah kuliah. Dan untuk hari ini sampai satu minggu ke depan kamu nggak usah masuk kuliah dulu,” ujar Haidar.
“Kenapa harus pindah? Aku nggak mau jauh sama Sisil,” protes Andin.
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb