Andin mendekati kebun sayur itu. Ia tertarik melihat warna-warni dari buah tomat. Ada yang masih hijau dan ada yang sudah merah. Ada bermacam-macam sayuran hijau.
“Ada lobak, kangkung, bayam, ada selada juga, ini komplit banget.” Andin mengabsen sayuran yang ada di situ. “Apa laki gue, presdir sayur lobak?”
Seorang pelayan wanita menghampiri Andin. “Nona muda,” sapanya dengan santun sambil menundukkan kepalanya.
Andin menoleh ke samping, di mana sang pelayan wanita yang usianya hampir setengah abad berdiri di sampingnya sambil menundukkan pandangannya. “Tanaman sayuran di sini banyak banget, apa ini untuk dijual?” tanya Andin kepada pelayan wanita yang bernama Bi Narti.
“Nggak, Nona. Ini untuk dimasak aja ,” jawab pelayan dengan sopan. Ia bernama Bi Narti, kira-kira berumur lima puluh tahun.
“Bi, boleh aku masuk ke rumah itu?” tanya Andin sambil menunjuk rumah bercat putih.
“Silakan, Nona. Itu tempat tinggal kami,” jawab Bi Narti. Ia mempersilakan Andin untuk bejalan lebih dahulu.
Andin duduk di kursi kayu berwarna coklat yang tampak mengkilat. Di sini adem banget, Bi,” kata Andin sambil menghirup udara segar dari pepohonan yang rindang.
“Iya, Non,” sahut Bi Narti yang berdiri di depan Andin.
“Kenapa, Bibi berdiri terus. Ayo duduk! Aku mau tanya sesuatu, boleh ‘kan?” Andin menatap Bi Narti yang tampak sungkan dengannya.
“Saya di sini aja. Silakan, Nona bertanya, saya akan jawab,” ucap Bi Narti. Ia masih berdiri sambil menundukkan pandangannya.
Andin berdiri, lalu mendekati Bi Narti. “Ya udah, kalo gitu, aku juga berdiri aja.”
“Jangan, Non. Saya hanya seorang pelayan, tidak pantas duduk bersama majikan,” ucapnya.
Andin menautkan alisnya. Ia tampak berpikir keras. “Apa sih bujang lapuk itu sering ngomelin kalian ya, Bi.?” tanya Andin.
“Maksud, Non?” tanya Bi Narti yang tampak kebingungan.
“Maksudku, apa Tuan sering marah-marah pada kalian?” Anin mengulang pertanyaannya sambil tersenyum.
“Nggak, Non! Tuan muda selalu baik pada kami,” sahut Bi Narti.
“Ya udah makanya duduk di sini!” Andin menarik pelan tangan Bi Narti untuk duduk di kursi.
Kemudian Andin duduk di tempatnya semula. Ia terus menatap Bi Narti yang tidak mau menatapnya.
“Bi, kenapa banyak sekali tanaman sayuran di sana?” tanya Andin.
“Itu, karena kami jarang ada kerjaan, kami minta izin sama Tuan untuk menanam sayuran di lahan kosong itu,” ucap Bi Narti. “Tuan pun mengizinkan, bahkan Tuan yang membeli bibit sayuran itu.”
“Terus, sayuran sebanyak itu, di kemanain? Itu kan banyak banget.” tunjuk Andin pada tanaman sayuran di samping rumah.
“Kami bawa pulang, Nona,” jawab Bi Narti.
“Apa aku boleh mengambilnya?” tanya Andin. Ia suka sekali makan sayuran.
“Silakan, Nona! Ambil sesuka Nona muda! Tidak perlu minta izin kepada kami, para pelayan,” sahut Bi Narti.
“Rumah bibi di mana? Tanya Andin.
“Dekat Nona, tidak jauh dari sini,” jawab Bi Narti. Ia terus menunduk, tidak berani menatap majikannya.
“Bibi kenapa terus menunduk? Bibi benci sama aku? Atau takut?” tanya Andin. Ia merasa tidak enak hati, melihat wanita tua di hadapannya begitu sungkan padanya.
“Iya, aku benci sama kamu. Menyebalkan dan suka bikin rusuh,” sahut Haidar yang tiba-tiba datang menghampiri Andin.
“Eh, aku nanya sama Bibi bukan sama kamu. Dasar bujang lapuk,” sergah Andin.
Bi Narti langsung bangun dan berdiri ketika mendengar suara tuannya. “Saya permisi Tuan,” ucap Bi Narti sambil menundukkan kepalaya. Lalu pergi meninggalkan majikannya.
Haidar mendekati Andin dan menarik tangannya. “Ayo kita pergi!” ajaknya.
“Pergi ke mana?” tanya Andin yang berjalan cepat mengimbangi langkah panjang suaminya.
“Ketemu pacar kamu!” jawab Haidar. Suaranya terdengar tidak bersahabat.
“Mau ngapain?” tanya Andin kebingungan. Ia berjalan sambil menengadah menatap wajah suaminya.
“Kamu harus mengakhiri hubungan kamu dengan dia!” tegas Haidar.
“Om, bisa nggak sih ngomongnya lebih santai. Jangan kaku kayak gitu! Aku istrimu bukan klienmu,” kata Andin.
“Ini udah santai,” jawab Haidar.
“Serah lo dah!” ucap Andin sambil mendelikkan matanya pada Haidar.
Haidar menghentikan langkahnya. Ia menatap sang istri.
“Aku akan belajar berbicara lebih santai lagi, tapi kamu jangan panggil Om, kalo di luar!” ucap Haidar.
“Om maunya dipanggil apa?” Andin balik bertanya pada suaminya
“Terserah kamu,” jawab Haidar.
“Baiklah,” kata Andin sambil tersenyum penuh arti.
Andin dan Haidar berjalan sambil bergandengan tangan, masuk ke dalam rumah.
“Om, aku mau ambil ponselku dulu.” Andin masuk ke kamar tamu yang semalam ia tempati.
Haidar menunggu di depan pintu kamar. Ia terus menatap Andin yang terlihat cantik dan feminim, menggunakan baju terusan selutut berwarna putih, bermotif polkadot polkadot hitam.
“Ayo, Om!” Andin menggenggam tangan suaminya. “Ayo!” Andin menarik tangan Haidar yang masih diam mematung.
Haidar merasakan ada yang beda saat Andin menggenggam tangannya. Padahal dari tadi mereka jalan sambil bergandengan tangan. “Kenapa dadaku jadi berdebar-debar? Aku harus memeriksakannya segera,” kata Haidar dalam hati. Ia berpikir kalo ada yang tidak beres dengan kesehatannya.
Mereka berjalan keluar rumah menuju mobilnya sambil bergandengan, selayaknya pasangan pengantin baru yang sedang mesra-mesranya.
Kedua bodyguardnya sudah berdiri tegap di samping mobil Haidar yang sudah terparkir di depan rumahnya.
Mereka segera membukakan pintu mobil ketika Tuan dan Nonanya keluar. Kemudian Haidar dan Andin masuk ke dalam mobil. Para bodyguardnya segera menutup pintu setelah Tuan dan nonanya masuk.
Setelah memakai seat belt, Haidar melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju tempat Roy berkumpul bersama teman-temannya.
“Duh, berasa orang penting deh,” ucap Andin saat melihat spion ada mobil bodyguard suaminya yang mengawal mereka.
Walaupun ia terlahir di keluarga yang terbilang kaya raya, tapi Andin dididik dengan kesederhanaan.
Ia tidak tahu kalo sebenarnya sang ayah menyewa bodyguard untuk menjaganya. Tidak seperti bodyguard Haidar. Bodyguard Rey berpakaian santai dan menjaga keluarganya dengan sembunyi-sembunyi.
Satu jam kemudian mereka sampai di tempat yang dituju. Haidar menghentikan mobilnya di depan cafe tempat biasa Roy menghabiskan waktu bersama teman-temannya.
Andin menoleh pada suaminya. “Om, kok tahu, tempat nongkrong Roy?” tanya Andin.
“Jangan banyak omong! Ayo turun!” Haidar membukakan seat belt Andin.
Kemudian mereka pun turun dari mobil dan menghampiri Roy sambil bergandengan tangan.
“Hai, Roy!” Andin menyapa Roy yang sedang duduk membelakanginya.
Roy menoleh ke belakang. Ia menyunggingkan satu sudut bibirnya saat melihat kekasih hatinya berdiri sambil menggenggam tangan laki-laki yang sudah menjadi suaminya.
Teman-teman Roy segera pergi saat melihat ketegangan di antara Roy dan Andin.
“Boleh aku duduk?” tanya Andin.
Roy tidak menjawab pertanyaan Andin. Hanya tangannya saja yang mengisyaratkan untuk mempersilakan Andin dan suaminya untuk duduk.
Haidar menarik kursi dan mempersilakan Andin untuk duduk.
“Terima kasih, Sayang,” ucap Andin sambil tersenyum manis pada sang suami dan Haidar membalasnya dengan senyuman paling manis yang pernah ia tampilkan.
Roy mencoba untuk tersenyum kepada pasangan pengantin baru itu. Padahal dalam hatinya ia merasa muak dan sakit hati dengan perlakuan perempuan yang ia cintai selama ini.
Roy menunggu Andin mengutarakan maksud kedatangannya. Walaupun sebenarnya ia tahu apa maksud perempuan yang masih ia cintai itu.
“Aku masih mencintaimu,” kata Andin.
“Aku masih mencintaimu …. Tapi, kita nggak mungkin bisa kayak dulu lagi. Aku udah menjadi istri orang lain,” ucapnya. “Hubungan kita cukup sampai di sini aja. Maafkan aku, udah nyakitin hati kamu.” Andin menunduk menyembunyikan kesedihannya.Bagaimanapun, ia masih sangat mencintai Roy. Walaupun semua keluarganya tidak menyukai Roy, tapi ia tetap berhubungan dengannya. Menurut Andin Roy pemuda yang baik, tidak pernah berbuat tidak sopan padanya.Roy memang terlihat seperti berandal karena pakaiannya yang tidak pernah rapi dan slengean. Sering berkumpul dengan anak-anak jalanan. Tapi, ia pemuda yang baik dan setia kawan.“Andin sudah sah menjadi istri saya. Dia calon ibu dari anak-anak saya,” kata Haidar. “Saya harap kamu nggak mengganggu hubungan kami.” Haidar menggenggam tangan istrinya, lalu menciumnya dengan mesra.Andin sama sekali tidak terbu
“Kenapa?” tanya Haidar, pura-pura polos.“Sakit tahu!” Andin mengerucutkan bibirnya sambil memukul lengan Haidar.Haidar tertawa melihat Andin mengerucutkan bibirnya. “Kamu jelek banget, mata sembab, pipi merah, bibir monyong,” kata Haidar yang membuat Andin menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi.“Tadi katanya cantik,” kata Andin sambil mengerucutkan bibir seperti siput.“Tadi ada debu di mataku, yang menghalangi pandangan. Tadi kamu terlihat sangat cantik, tapi kenapa sekarang menjadi jelek sekali,” tukas Haidar, lalu ia pergi melenggang begitu saja meninggalkan sang istri.“Om, tungguin!” teriak Andin sambil berlari menyusul suaminya.“Aww …!” Andin menghentikan langkahnya. Ia duduk di pasir pantai untuk melihat apa yang telah melukai kakinya.
Haidar langsung berlari keluar kamarnya saat mendengar sang istri berteriak. Ia terlihat sangat khawatir. Kemudian masuk ke kamar di sebelah kamarnya.Haidar segera menghampiri Andin. “Ada apa?” tanya Haidar, ia terlihat sangat khawatir dengan istrinya.Andin menoleh ke belakang saat mendengar suara suaminya. Ia langsung memeluk sang suami. “Terima kasih,” ucapnya sambil terisak. “Om, memang suami terbaik.” Andin mencium bibir Haidar sekilas. Membuat Haidar diam mematung, seakan suplai oksigen ke jantungnya terhenti.“Woy! Kalemlah! Jiwa jomlo gue meronta ini,” kata Sisil. “Main sosor sembarangan!”Haidar mengerjap saat mendengar suara Sisil yang cempreng. “Untuk apa? Dari tadi ngucapin terima kasih terus,” tanya Haidar sedikit gugup. “Kenapa kamu nangis? Apa kakimu sakit lagi?” Haidar berusaha menutupi kegugupannya.“Terima kasih untuk semuanya.” Andin melepas pelukannya. “Dekorasi kamar ini persis
“Jangan berisik!” Andin membekap mulut sahabatnya.“Ngomong yang bener!” sergah Sisil.“Dia mau dijodohkan hanya demi harta. Papinya nggak mau menyerahkan harta warisannya pada laki gue, kalo dia nggak mau kawin,” jelas Andin.“Kenapa nggak mau sih? Kawin ‘kan enak,” kata Sisil dengan yakin.“Sok tahu, lo!” Andin menoyor kepala sahabatnya. “Emang lo udah ngerasain?”“Kata orang,” sahut Sisil sambil cengar-cengir.“Kalo dia udah dapat warisan, dia bilang, gue bakal ditendang dari rumah ini,” lanjut Andin. Entah ia harus senang atau sedih jika waktu itu telah tiba nantinya.“Tapi, gue lihat laki lo tulus. Tadi aja, dia sampai lari ngedenger lo teriak,” kata Sisil. “Masa sih dia sejahat itu.” Sisil tidak percaya
Suara tangisan Andin terdengar oleh Haidar saat ia keluar kamar hendak ke dapur untuk mengambil air minum.Haidar menghentikan langkahnya. “Apa yang harus aku lakukan supaya dia bisa melupakan kesedihannya?” gumamnya dalam hati.Kemudian Haidar kembali ke kamarnya untuk mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Setelah selesai menelpon ia keluar lagi dan pergi ke dapur.Ia duduk di meja makan sambil termenung. “Apa yang aku lakukan salah? Tapi, dia sudah sah menjadi istriku. Akan menjadi fitnah kalo dia terus berhubungan dengan pemuda itu,” gumamnya dalam hati.“Tuan muda, apa ada yang bisa saya bantu?” ucapan Bi Susi membuyarkan lamunan Haidar.“Buatkan saya susu hangat,” ucapnya. “Andin dan temannya tolong dibuatkan juga, nanti antarkan ke kamar!” titahnya pada pelayan rumah yang berumur empat puluh tahun.&nb
Andin berjinjit, lalu mencium pipi suaminya. "Terima kasih, Om," ucapnya, lalu pergi mendekati kandang kelinci itu. Haidar terkejut mendapat sebuah hadiah ciuman dari sang istri. Ia masih diam mematung, memegangi pipinya sambil tersenyum. Andin berjongkok di depan kandang sepasang kelinci kecil berwarna putih dan abu-abu. “Kamu lucu banget.” Andin mengambil kelinci berwarna putih. Ia mengelus-elus kelinci kecil itu. “Kamu suka?” tanya Haidar pada istrinya yang sibuk dengan dua anak kelinci yang baru berusia sekitar dua bulan. Andin menoleh pada Haidar dan tersenyum manis. “Suka banget, Om. Makasih banyak ya.” Senyuman indah tidak pernah pudar dari wajah cantiknya. Ia sangat bahagia mendapatkan binatang lucu kesukaannya. “Jangan senang dulu!” kata Haidar, “Itu nggak gratis.” Haidar berucap sambil melipat tangannya di depan dada. Wajah Andin berubah muram. “Aku harus bayar?” tanya Andin pada suaminya sambil mengerucutkan
“Ganti aja! Jangan bikin masalah terus sama laki lo!” omel Sisil. Ia takut kalau Haidar marah besar kalau Andin tetap memakai nama Joy untuk kelincinya.“Bodo amat ah. Kalo dia marah lagi, gue bakal minggat dari rumah ini dan minta cerai, supaya dia nggak bisa mendapatkan harta warisan papinya.” Andin tidak peduli dengan kemarahan suaminya. Ia malah berencana membuat ulah terus dengan sang suami.Sisil menoyor kepala Andin yang berjalan di sampingnya. “Jangan ngomong sembarangan, udah jadi janda baru tahu rasa lo!” omel Sisil pada sahabatnya yang koplak.“Biar janda, tapi ‘kan masih segel,” sahut Andin. “Janda tong-tong,” lanjutnya sambil tertawa pelan.“Mana ada yang percaya janda bersegel, perawan aja banyak yang udah buka segel,” sahut Sisil. Ia kesal dengan sahabatnya yang susah kalau dinasehati.“Lo masih segel nggak?” tanya Andin, menggoda sahabatnya sambil mencolek dagu Sisil.“Gue masih tong-tong, Cuy,” seru Sisil dengan bangga sambil mene
“Permisi, Nona Muda. Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya pria yang memakai kaus lengan pendek berwarna hitam dan celana olah raga berwarna senada.Berbadan tegap, sorot mata yang tajam, alis tebal dengan rahang yang tegas. Ia memakai kaus yang pas di badan, sehingga otot lengannya yang besar terlihat menyembul yang membuatnya terlihat gagah dan kuat.Sisil menatap pria itu tanpa berkedip. “Calon laki gue, ada di sini,” ucapnya sembari tersenyum genit.Andin memukul bahu Sisil. “Nggak bisa lihat yang bening dikit,” omel Andin. “Kumat deh penyakit gatel, lo,” cibir Andin pada sahabatnya.“Sinyalnya kuat banget, Din,” kata Sisil. Tatapannya tidak lepas dari pria berbaju hitam itu.Andin mendelikkan matanya pada Sisil sambil mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. Kemudian ia menatap lagi pria berbadan tegap itu.“Bang, aku dan temanku mau ke taman belakang, tapi malah nyasar ke sini,” ucapnya sambil tersenyum. “Bisa tolong tunjukin jalannya!”