Share

Bab 14. Presdir Sayur Lobak

Andin mendekati kebun sayur itu. Ia tertarik melihat warna-warni dari buah tomat. Ada yang masih hijau dan ada yang sudah merah. Ada bermacam-macam sayuran hijau.

“Ada lobak, kangkung, bayam, ada selada juga, ini komplit banget.” Andin mengabsen sayuran yang ada di situ. “Apa laki gue, presdir sayur lobak?” 

Seorang pelayan wanita menghampiri Andin. “Nona muda,” sapanya dengan santun sambil menundukkan kepalanya.

Andin menoleh ke samping, di mana sang pelayan wanita yang usianya hampir setengah abad berdiri di sampingnya sambil menundukkan pandangannya. “Tanaman sayuran di sini banyak banget, apa ini untuk dijual?” tanya Andin kepada pelayan wanita yang bernama Bi Narti.

“Nggak, Nona. Ini untuk dimasak aja ,” jawab pelayan dengan sopan. Ia bernama Bi Narti, kira-kira berumur lima puluh tahun.

“Bi, boleh aku masuk ke rumah itu?” tanya Andin sambil menunjuk rumah bercat putih.

“Silakan, Nona. Itu tempat tinggal kami,” jawab Bi Narti. Ia mempersilakan Andin untuk bejalan lebih dahulu.

Andin duduk di kursi kayu berwarna coklat yang tampak mengkilat. Di sini adem banget, Bi,” kata Andin sambil menghirup udara segar dari pepohonan yang rindang.

“Iya, Non,” sahut Bi Narti yang berdiri di depan Andin.

“Kenapa, Bibi berdiri terus. Ayo duduk! Aku mau tanya sesuatu, boleh ‘kan?” Andin menatap Bi Narti yang tampak sungkan dengannya.

“Saya di sini aja. Silakan, Nona bertanya, saya akan jawab,” ucap Bi Narti. Ia masih berdiri sambil menundukkan pandangannya.

Andin berdiri, lalu mendekati Bi Narti. “Ya udah, kalo gitu, aku juga berdiri aja.”

“Jangan, Non. Saya hanya seorang pelayan, tidak pantas duduk bersama majikan,” ucapnya.

Andin menautkan alisnya. Ia tampak berpikir keras. “Apa sih bujang lapuk itu sering ngomelin kalian ya, Bi.?” tanya Andin.

“Maksud, Non?” tanya Bi Narti yang tampak kebingungan.

“Maksudku, apa Tuan sering marah-marah pada kalian?” Anin mengulang pertanyaannya sambil tersenyum.

“Nggak, Non! Tuan muda selalu baik pada kami,” sahut Bi Narti.

“Ya udah makanya duduk di sini!” Andin menarik pelan tangan Bi Narti untuk duduk di kursi.

Kemudian Andin duduk di tempatnya semula. Ia terus menatap Bi Narti yang tidak mau menatapnya.

“Bi, kenapa banyak sekali tanaman sayuran di sana?” tanya Andin.

“Itu, karena kami jarang ada kerjaan, kami minta izin sama Tuan untuk menanam sayuran di lahan kosong itu,” ucap Bi Narti. “Tuan pun mengizinkan, bahkan Tuan yang membeli bibit sayuran itu.”

“Terus, sayuran sebanyak itu, di kemanain? Itu kan banyak banget.” tunjuk Andin pada tanaman sayuran di samping rumah.

“Kami bawa pulang, Nona,” jawab Bi Narti.

“Apa aku boleh mengambilnya?” tanya Andin. Ia suka sekali makan sayuran.

“Silakan, Nona! Ambil sesuka Nona muda! Tidak perlu minta izin kepada kami, para pelayan,” sahut Bi Narti.

“Rumah bibi di mana? Tanya Andin.

“Dekat Nona, tidak jauh dari sini,” jawab Bi Narti. Ia terus menunduk, tidak berani menatap majikannya.

“Bibi kenapa terus menunduk? Bibi benci sama aku? Atau takut?” tanya Andin. Ia merasa tidak enak hati, melihat wanita tua di hadapannya begitu sungkan padanya.

“Iya, aku benci sama kamu. Menyebalkan dan suka bikin rusuh,” sahut Haidar yang tiba-tiba datang menghampiri Andin.

“Eh, aku nanya sama Bibi bukan sama kamu. Dasar bujang lapuk,” sergah Andin.

Bi Narti langsung bangun dan berdiri ketika mendengar suara tuannya. “Saya permisi Tuan,” ucap Bi Narti sambil menundukkan kepalaya. Lalu pergi meninggalkan majikannya.

Haidar mendekati Andin dan menarik tangannya. “Ayo kita pergi!” ajaknya.

“Pergi ke mana?” tanya Andin yang berjalan cepat mengimbangi langkah panjang suaminya.

“Ketemu pacar kamu!” jawab Haidar. Suaranya terdengar tidak bersahabat.

“Mau ngapain?” tanya Andin kebingungan. Ia berjalan sambil menengadah menatap wajah suaminya.

“Kamu harus mengakhiri hubungan kamu dengan dia!” tegas Haidar.

“Om, bisa nggak sih ngomongnya lebih santai. Jangan kaku kayak gitu! Aku istrimu bukan klienmu,” kata Andin. 

“Ini udah santai,” jawab Haidar.

“Serah lo dah!” ucap Andin sambil mendelikkan matanya pada Haidar.

Haidar menghentikan langkahnya. Ia menatap sang istri. 

“Aku akan belajar berbicara lebih santai lagi, tapi kamu jangan panggil Om, kalo di luar!” ucap Haidar.

“Om maunya dipanggil apa?” Andin balik bertanya pada suaminya

“Terserah kamu,” jawab Haidar.

“Baiklah,” kata Andin sambil tersenyum penuh arti.

Andin dan Haidar berjalan sambil bergandengan tangan, masuk ke dalam rumah.

“Om, aku mau ambil ponselku dulu.” Andin masuk ke kamar tamu yang semalam ia tempati.

Haidar menunggu di depan pintu kamar. Ia terus menatap Andin yang terlihat cantik dan feminim, menggunakan baju terusan selutut berwarna putih, bermotif polkadot polkadot hitam.

“Ayo, Om!” Andin menggenggam tangan suaminya. “Ayo!” Andin menarik tangan Haidar yang masih diam mematung.

Haidar merasakan ada yang beda saat Andin menggenggam tangannya. Padahal dari tadi mereka jalan sambil bergandengan tangan. “Kenapa dadaku jadi berdebar-debar? Aku harus memeriksakannya segera,” kata Haidar dalam hati. Ia berpikir kalo ada yang tidak beres dengan kesehatannya.

Mereka berjalan keluar rumah menuju mobilnya sambil bergandengan, selayaknya pasangan pengantin baru yang sedang mesra-mesranya.

Kedua bodyguardnya sudah berdiri tegap di samping mobil Haidar yang sudah terparkir di depan rumahnya.

Mereka segera membukakan pintu mobil ketika Tuan dan Nonanya keluar. Kemudian Haidar dan Andin masuk ke dalam mobil. Para bodyguardnya segera menutup pintu setelah Tuan dan nonanya masuk. 

Setelah memakai seat belt, Haidar melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju tempat Roy berkumpul bersama teman-temannya. 

“Duh, berasa orang penting deh,” ucap Andin saat melihat spion ada mobil bodyguard suaminya yang mengawal mereka. 

Walaupun ia terlahir di keluarga yang terbilang kaya raya, tapi Andin dididik dengan kesederhanaan. 

Ia tidak tahu kalo sebenarnya sang ayah menyewa bodyguard untuk menjaganya. Tidak seperti bodyguard Haidar. Bodyguard Rey berpakaian santai dan menjaga keluarganya dengan sembunyi-sembunyi.

Satu jam kemudian mereka sampai di tempat yang dituju. Haidar menghentikan mobilnya di depan cafe tempat biasa Roy menghabiskan waktu bersama teman-temannya.

Andin menoleh pada suaminya. “Om, kok tahu, tempat nongkrong Roy?” tanya Andin.

“Jangan banyak omong! Ayo turun!” Haidar membukakan seat belt Andin.

Kemudian mereka pun turun dari mobil dan menghampiri Roy sambil bergandengan tangan.

“Hai, Roy!” Andin menyapa Roy yang sedang duduk membelakanginya.

Roy menoleh ke belakang. Ia menyunggingkan satu sudut bibirnya saat melihat kekasih hatinya berdiri sambil menggenggam tangan laki-laki yang sudah menjadi suaminya.

Teman-teman Roy segera pergi saat melihat ketegangan di antara Roy dan Andin.

“Boleh aku duduk?” tanya Andin.

Roy tidak menjawab pertanyaan Andin. Hanya tangannya saja yang mengisyaratkan untuk mempersilakan Andin dan suaminya untuk duduk.

Haidar menarik kursi dan mempersilakan Andin untuk duduk.

“Terima kasih, Sayang,” ucap Andin sambil tersenyum manis pada sang suami dan Haidar membalasnya dengan senyuman paling manis yang pernah ia tampilkan.

Roy mencoba untuk tersenyum kepada pasangan pengantin baru itu. Padahal dalam hatinya ia merasa muak dan sakit hati dengan perlakuan perempuan yang ia cintai selama ini.

Roy menunggu Andin mengutarakan maksud kedatangannya. Walaupun sebenarnya ia tahu apa maksud perempuan yang masih ia cintai itu.

“Aku masih mencintaimu,” kata Andin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status