Home / Romansa / Pengantin Tuan Haidar / Bab 13. Bujang Lapuk

Share

Bab 13. Bujang Lapuk

Author: Nyi Ratu
last update Last Updated: 2021-01-31 12:37:14

“Supaya kampusnya dekat dengan kantorku dan kamu nggak ketemu lagi dengan mantan pacarmu yang seperti preman pasar itu,” jawab Haidar dengan tegas sambil mencondongkan wajahnya ke telinga sang istri. “Sisil juga aku pindahkan,” lanjut Haidar sambil melenggang meninggalkan sang istri.

“Nih orang, ngatur-ngatur seenak jidatnya aja,” omel Andin sambil berjalan cepat menyusul suaminya.

“Om, nanti Sisil kena serangan jantung, tiba-tiba pindah,” ujar Andin. Ia berjalan cepat menyeimbangkan langkah panjang suaminya. “Om!” bentak Andin. Ia kesal dengan suaminya yang tidak merespons sedikit pun ucapannya.

Haidar menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghadap Andin. “Semua udah dibicarakan terlebih dahulu dengan Sisil dan biayanya aku yang nanggung,” jawabnya. “Aku nggak ngatur-ngatur orang lain, yang aku atur hanya kamu, istriku,” tegas Haidar, sambil menunjuk hidung lancip sang istri dengan jari telunjuknya.

“Istri? Kalo istri mah disayang-sayang, bukan dijitakkin tiap hari,” sahut Andin sambil mencebikkan bibirnya. Andin berjalan cepat menyusul langkah panjang suaminya.

Haidar menarik kursi dan mempersilakan istrinya duduk. Mereka hendak sarapan sekaligus makan siang.

“Duh romantisnya suamiku. Terima kasih, Sayang,” ucap Andin sembari menyunggingkan senyum manisnya.

“Nih berondong alot manis juga,” ucapnya dalam hati.

“Jangan kege’eran!” tegas Haidar. Lalu ia juga duduk di kursinya.

Seorang pelayan hendak menyendokkan nasi untuk Haidar, tapi dilarang oleh Andin. Ia mau belajar melayani suaminya. Suka atau tidak, mereka sudah menikah dan sudah seharusnya ia melayani sang suami.

“Biar aku aja, Bi!” ucap Andin dengan ramah sambil tersenyum manis pada wanita yang berumur hampir setengah abad itu. Lalu ia bangun dari duduknya, hendak melayani sang suami. Walaupun ia tidak berpengalaman, tapi dia sering meliahat bundanya melayani sang ayah ketika sedang makan.

Sang pelayan menganggukkan kepala. “Baik, Nona Muda,” ucap sang pelayan yang bernama Bi Narti, lalu pergi meninggalkan majikannya.

“Om, orang tuamu mana? Kok nggak kelihatan?” tanya Andin saat menyendokkan nasi ke piring suaminya. Sejak tadi ia celingukan untuk mencari mertuanya, tapi rumahnya tampak sepi, hanya para pelayan yang sedang melakukan tugasnya masing-masing.

“Di rumah,” jawab Haidar,singkat. Ia tidak mau banyak bicara saat sedang makan.

“Maksudnya masih di kamar?” tanya Andin lagi. Ia belum mengerti apa yang dimaksud suaminya.

“Di rumah mereka,” jawab Haidar dengan malas. 

“Jadi, kita cuma tinggal berdua di rumah segede ini? Tanya Andin sambil memperhatikan setiap sudut ruangan.

“Kata siapa berdua? Ada banyak pelayan di sini. Mereka tinggal di rumah belakang,” sahut Haidar.

“Abis makan-” 

“Makan! Jangan banyak bicara!” sela Haidar yang membuat ucapan Andin terhenti. 

Ia menutup mulutnya rapat-rapat dan makan tanpa berbicara apapun seperti kebiasaannya di rumah yang makan sambil mengobrol bahkan kadang suka sambil bercanda.

Andin melirik suaminya yang makan dengan serius. “Gue jadi kangen suasana rumah,” ucapnya dalam hati.  

Saat mereka sedang asyik makan, Mami Inggit datang dan menghampiri anak dan menantunya yang sedang makan siang. “Kalian ada di sini?” tanya Mami Inggit. Lalu ia duduk di depan menantunya.

“Semalam kami tidur di sini, Tante,” jawab Andin sambil tersenyum.

“Panggil Mami, jangan Tante!” ujar Mami Inggit. “Kamu ‘kan udah jadi menantu kesayangan Mami dan bakal calon ibu dari cucu-cucu Mami,” lanjutnya sambil tersenyum.

“Iya, Mi,” sahut Andin. “Mami, ikut makan bareng kita sekalian!” tawar Andin pada mertuanya.

 “Mami belum laper. Makasih tawarannya, Sayang,” jawabnya sambil tersenyum. “Kalian jam segini udah makan siang?” tanya Mami Inggit sambil melirik jam di tangan kirinya.

“Sarapan sekaligus makan siang,” jawab Haidar sambil mengelap mulutnya dengan tisu. Lalu membuang tisu ke piring bekas makannya. Kemudian ia bangun dan pergi ke taman belakang.

Mami Inggit bingung dengan jawaban anaknya, tapi ia mengurungkan niatnya untuk bertanya pada sang anak karena Haidar sudah lebih dulu pergi. “Kita ke kamar kamu yuk!” ajak Mami Inggit pada Andin setelah selesai makan. 

Andin bangun dari duduknya . Lalu mengkuti mertuanya, ia berjalan dibelakang sang mertua.

“Sayang, ayo cepetan!” Mami Inggit mengapit tangan Andin yang terlihat masih malu-malu. 

Mereka berjalan beriringan, menantu dan mertua. Mami Inggit memutar kenop pintu dan mendorong daun pintu secara perlahan. Mereka masuk ke kamar utama yang sangat luas.

“Gimana? Kamu suka nggak?” tanya Mami Inggit pada menantunya.

“Ini kamar siapa, Mi?” tanya Andin. Ia amat kagum dengan keindahan dekorasi kamarnya. Warna putih dan ungu merupakan paduan yang manis dan elegan.

“Kamar kamu sama Haidar?” jawab Mami Inggit. “Kamu suka nggak?”

“Suka banget, Mi. Ungu warna kesukaanku,” jawab Andin. Ia masuk dan memeriksa setiap sudut ruangan. 

“Syukurlah kalo kamu suka,” sahut Mami Inggit sambil memeluk menantunya.

Mami Inggit duduk di sofa yang ada deket jendela. Mereka berbicara sambil bercanda seperti seorang sahabat.

“Semoga kamu cepat hamil ya,” harap Mami Inggit. “Dulu Mami juga menikah muda, umur dua puluh tahun Mami udah nikah,” lanjutnya.

Andin hanya tersenyum mendengar ucapan sang mertua. Mungkinkah dia bisa bertahan dengan pernikahan ini. Alasan sang suami menikahinya hanya karena ingin mendapatkan harta warisan orang tuanya yang membuat ia tidak yakin untuk bertahan dengan pernikahannya.

Haidar masuk ke dalam kamarnya. Ia terkejut melihat kamar yang berubah hampir seratus persen.

Dari mulai sprei, gorden dan karpet berwarna ungu. Cat dinding yang semula berwarna abu-abu sekarang berubah menjadi warna putih dan ungu.

Kamarnya terlihat sangat manis dan berwarna. Haidar tidak menyukai warna-warna cerah, tapi tidak ada yang bisa menentang Nyonya Mannaf.

“Mi, ini kamar aku, bukan kamar dia,” protes Haidar pada maminya sambil menunjuk Andin. “Dia yang menumpang di sini! Kenapa sepertinya aku yang menumpang di kamar ini.”

“Haidar!” tegur maminya. “Dia istrimu! Dia juga berhak atas rumah ini beserta isinya. Hargai istrimu, sayangi dia! Kalo kamu mau harta warisan Mami dan Papi.

“Iya,” sahut Haidar memelas. “Aku lupa kalo dia istriku,” lanjutnya mencari alasan.

“Ya sudah, Mami pulang dulu. Nanti malam Papi nunggu kalian di rumah,” kata Mami Inggit yang tampak masih kesal dengan sikap Haidar pada istrinya. “Datanglah sebelum makan malam!” lanjutnya.

“Iya, Mi,” jawab Andin dan Haidar bersamaan.

“Semua gara-gara kamu!” tukas Haidar pada Andin setelah Mami Inggit pergi dari kamarnya.

“Kenapa? Aku nggak ngapa-ngapain?” tanya Andin yang merasa bingung dengan tuduhan sang suami.

“Gara-gara kamu kamarku jadi begini, bikin sakit mata,” tegas Haidar.

Andin tertawa terbahak, ia bisa mengerti dengan kekesalan suaminya. “Ini manis loh, Om,” ucapnya sambil tersenyum.

“Aku akan membuang semua boneka kelinci itu, membuat kamarku berantakan aja,” ancamnya.

“Jangan macam-macam! Kalo nggak mau aku laporin ke Mami Inggit.” Andin balik mengancam suaminya.

“Hey, anak kecil! Berani kamu mengancam saya?” bentak Haidar pada istrinya.

“Siapa takut! Aku nggak takut sama bujang lapuk kayak Om,” sergah Andin.

Kemudian ia melenggang keluar dari kamarnya, meninggalkan Haidar yang sedang kesal padanya.

“Sekarang aku punya pasukan yang siap bertembur melawan bujang lapuk,” ucap Andin dalam hati sambil tersenyum.

Ia berkeliling menyusuri setiap sudut rumah suaminya. “Kok sepi ya? Para pelayan ke mana?” 

Andin pergi ke halaman belakang. Ternyata ada sebuah rumah yang cukup besar dan asri. Ia mellihat banyak tanaman sayuran di samping rumah tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Vera Ferdian
Aduuuuuh maaf ini tuts keyboard nya error .........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pengantin Tuan Haidar   PENGUMUMAN

    Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m

  • Pengantin Tuan Haidar   ( S2 ) Bab 157. I Love You, Biggie ( end )

    “Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah

  • Pengantin Tuan Haidar   ( S2 ) Bab 156. Kamu Saya Pecat!

    “Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr

  • Pengantin Tuan Haidar   ( S2 ) Bab 155. Ambyar

    "Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be

  • Pengantin Tuan Haidar   ( S2 ) Bab 154. Permainan Pengantin Baru

    Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den

  • Pengantin Tuan Haidar   ( S2 ) Bab 153. Benci

    Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status