“Supaya kampusnya dekat dengan kantorku dan kamu nggak ketemu lagi dengan mantan pacarmu yang seperti preman pasar itu,” jawab Haidar dengan tegas sambil mencondongkan wajahnya ke telinga sang istri. “Sisil juga aku pindahkan,” lanjut Haidar sambil melenggang meninggalkan sang istri.
“Nih orang, ngatur-ngatur seenak jidatnya aja,” omel Andin sambil berjalan cepat menyusul suaminya.
“Om, nanti Sisil kena serangan jantung, tiba-tiba pindah,” ujar Andin. Ia berjalan cepat menyeimbangkan langkah panjang suaminya. “Om!” bentak Andin. Ia kesal dengan suaminya yang tidak merespons sedikit pun ucapannya.
Haidar menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghadap Andin. “Semua udah dibicarakan terlebih dahulu dengan Sisil dan biayanya aku yang nanggung,” jawabnya. “Aku nggak ngatur-ngatur orang lain, yang aku atur hanya kamu, istriku,” tegas Haidar, sambil menunjuk hidung lancip sang istri dengan jari telunjuknya.
“Istri? Kalo istri mah disayang-sayang, bukan dijitakkin tiap hari,” sahut Andin sambil mencebikkan bibirnya. Andin berjalan cepat menyusul langkah panjang suaminya.
Haidar menarik kursi dan mempersilakan istrinya duduk. Mereka hendak sarapan sekaligus makan siang.
“Duh romantisnya suamiku. Terima kasih, Sayang,” ucap Andin sembari menyunggingkan senyum manisnya.
“Nih berondong alot manis juga,” ucapnya dalam hati.
“Jangan kege’eran!” tegas Haidar. Lalu ia juga duduk di kursinya.
Seorang pelayan hendak menyendokkan nasi untuk Haidar, tapi dilarang oleh Andin. Ia mau belajar melayani suaminya. Suka atau tidak, mereka sudah menikah dan sudah seharusnya ia melayani sang suami.
“Biar aku aja, Bi!” ucap Andin dengan ramah sambil tersenyum manis pada wanita yang berumur hampir setengah abad itu. Lalu ia bangun dari duduknya, hendak melayani sang suami. Walaupun ia tidak berpengalaman, tapi dia sering meliahat bundanya melayani sang ayah ketika sedang makan.
Sang pelayan menganggukkan kepala. “Baik, Nona Muda,” ucap sang pelayan yang bernama Bi Narti, lalu pergi meninggalkan majikannya.
“Om, orang tuamu mana? Kok nggak kelihatan?” tanya Andin saat menyendokkan nasi ke piring suaminya. Sejak tadi ia celingukan untuk mencari mertuanya, tapi rumahnya tampak sepi, hanya para pelayan yang sedang melakukan tugasnya masing-masing.
“Di rumah,” jawab Haidar,singkat. Ia tidak mau banyak bicara saat sedang makan.
“Maksudnya masih di kamar?” tanya Andin lagi. Ia belum mengerti apa yang dimaksud suaminya.
“Di rumah mereka,” jawab Haidar dengan malas.
“Jadi, kita cuma tinggal berdua di rumah segede ini? Tanya Andin sambil memperhatikan setiap sudut ruangan.
“Kata siapa berdua? Ada banyak pelayan di sini. Mereka tinggal di rumah belakang,” sahut Haidar.
“Abis makan-”
“Makan! Jangan banyak bicara!” sela Haidar yang membuat ucapan Andin terhenti.
Ia menutup mulutnya rapat-rapat dan makan tanpa berbicara apapun seperti kebiasaannya di rumah yang makan sambil mengobrol bahkan kadang suka sambil bercanda.
Andin melirik suaminya yang makan dengan serius. “Gue jadi kangen suasana rumah,” ucapnya dalam hati.
Saat mereka sedang asyik makan, Mami Inggit datang dan menghampiri anak dan menantunya yang sedang makan siang. “Kalian ada di sini?” tanya Mami Inggit. Lalu ia duduk di depan menantunya.
“Semalam kami tidur di sini, Tante,” jawab Andin sambil tersenyum.
“Panggil Mami, jangan Tante!” ujar Mami Inggit. “Kamu ‘kan udah jadi menantu kesayangan Mami dan bakal calon ibu dari cucu-cucu Mami,” lanjutnya sambil tersenyum.
“Iya, Mi,” sahut Andin. “Mami, ikut makan bareng kita sekalian!” tawar Andin pada mertuanya.
“Mami belum laper. Makasih tawarannya, Sayang,” jawabnya sambil tersenyum. “Kalian jam segini udah makan siang?” tanya Mami Inggit sambil melirik jam di tangan kirinya.
“Sarapan sekaligus makan siang,” jawab Haidar sambil mengelap mulutnya dengan tisu. Lalu membuang tisu ke piring bekas makannya. Kemudian ia bangun dan pergi ke taman belakang.
Mami Inggit bingung dengan jawaban anaknya, tapi ia mengurungkan niatnya untuk bertanya pada sang anak karena Haidar sudah lebih dulu pergi. “Kita ke kamar kamu yuk!” ajak Mami Inggit pada Andin setelah selesai makan.
Andin bangun dari duduknya . Lalu mengkuti mertuanya, ia berjalan dibelakang sang mertua.
“Sayang, ayo cepetan!” Mami Inggit mengapit tangan Andin yang terlihat masih malu-malu.
Mereka berjalan beriringan, menantu dan mertua. Mami Inggit memutar kenop pintu dan mendorong daun pintu secara perlahan. Mereka masuk ke kamar utama yang sangat luas.
“Gimana? Kamu suka nggak?” tanya Mami Inggit pada menantunya.
“Ini kamar siapa, Mi?” tanya Andin. Ia amat kagum dengan keindahan dekorasi kamarnya. Warna putih dan ungu merupakan paduan yang manis dan elegan.
“Kamar kamu sama Haidar?” jawab Mami Inggit. “Kamu suka nggak?”
“Suka banget, Mi. Ungu warna kesukaanku,” jawab Andin. Ia masuk dan memeriksa setiap sudut ruangan.
“Syukurlah kalo kamu suka,” sahut Mami Inggit sambil memeluk menantunya.
Mami Inggit duduk di sofa yang ada deket jendela. Mereka berbicara sambil bercanda seperti seorang sahabat.
“Semoga kamu cepat hamil ya,” harap Mami Inggit. “Dulu Mami juga menikah muda, umur dua puluh tahun Mami udah nikah,” lanjutnya.
Andin hanya tersenyum mendengar ucapan sang mertua. Mungkinkah dia bisa bertahan dengan pernikahan ini. Alasan sang suami menikahinya hanya karena ingin mendapatkan harta warisan orang tuanya yang membuat ia tidak yakin untuk bertahan dengan pernikahannya.
Haidar masuk ke dalam kamarnya. Ia terkejut melihat kamar yang berubah hampir seratus persen.
Dari mulai sprei, gorden dan karpet berwarna ungu. Cat dinding yang semula berwarna abu-abu sekarang berubah menjadi warna putih dan ungu.
Kamarnya terlihat sangat manis dan berwarna. Haidar tidak menyukai warna-warna cerah, tapi tidak ada yang bisa menentang Nyonya Mannaf.
“Mi, ini kamar aku, bukan kamar dia,” protes Haidar pada maminya sambil menunjuk Andin. “Dia yang menumpang di sini! Kenapa sepertinya aku yang menumpang di kamar ini.”
“Haidar!” tegur maminya. “Dia istrimu! Dia juga berhak atas rumah ini beserta isinya. Hargai istrimu, sayangi dia! Kalo kamu mau harta warisan Mami dan Papi.
“Iya,” sahut Haidar memelas. “Aku lupa kalo dia istriku,” lanjutnya mencari alasan.
“Ya sudah, Mami pulang dulu. Nanti malam Papi nunggu kalian di rumah,” kata Mami Inggit yang tampak masih kesal dengan sikap Haidar pada istrinya. “Datanglah sebelum makan malam!” lanjutnya.
“Iya, Mi,” jawab Andin dan Haidar bersamaan.
“Semua gara-gara kamu!” tukas Haidar pada Andin setelah Mami Inggit pergi dari kamarnya.
“Kenapa? Aku nggak ngapa-ngapain?” tanya Andin yang merasa bingung dengan tuduhan sang suami.
“Gara-gara kamu kamarku jadi begini, bikin sakit mata,” tegas Haidar.
Andin tertawa terbahak, ia bisa mengerti dengan kekesalan suaminya. “Ini manis loh, Om,” ucapnya sambil tersenyum.
“Aku akan membuang semua boneka kelinci itu, membuat kamarku berantakan aja,” ancamnya.
“Jangan macam-macam! Kalo nggak mau aku laporin ke Mami Inggit.” Andin balik mengancam suaminya.
“Hey, anak kecil! Berani kamu mengancam saya?” bentak Haidar pada istrinya.
“Siapa takut! Aku nggak takut sama bujang lapuk kayak Om,” sergah Andin.
Kemudian ia melenggang keluar dari kamarnya, meninggalkan Haidar yang sedang kesal padanya.
“Sekarang aku punya pasukan yang siap bertembur melawan bujang lapuk,” ucap Andin dalam hati sambil tersenyum.
Ia berkeliling menyusuri setiap sudut rumah suaminya. “Kok sepi ya? Para pelayan ke mana?”
Andin pergi ke halaman belakang. Ternyata ada sebuah rumah yang cukup besar dan asri. Ia mellihat banyak tanaman sayuran di samping rumah tersebut.
Andin mendekati kebun sayur itu. Ia tertarik melihat warna-warni dari buah tomat. Ada yang masih hijau dan ada yang sudah merah. Ada bermacam-macam sayuran hijau.“Ada lobak, kangkung, bayam, ada selada juga, ini komplit banget.” Andin mengabsen sayuran yang ada di situ. “Apa laki gue, presdir sayur lobak?”Seorang pelayan wanita menghampiri Andin. “Nona muda,” sapanya dengan santun sambil menundukkan kepalanya.Andin menoleh ke samping, di mana sang pelayan wanita yang usianya hampir setengah abad berdiri di sampingnya sambil menundukkan pandangannya. “Tanaman sayuran di sini banyak banget, apa ini untuk dijual?” tanya Andin kepada pelayan wanita yang bernama Bi Narti.“Nggak, Nona. Ini untuk dimasak aja ,” jawab pelayan dengan sopan. Ia bernama Bi Narti, kira-kira berumur lima puluh tahun.“Bi, boleh aku ma
“Aku masih mencintaimu …. Tapi, kita nggak mungkin bisa kayak dulu lagi. Aku udah menjadi istri orang lain,” ucapnya. “Hubungan kita cukup sampai di sini aja. Maafkan aku, udah nyakitin hati kamu.” Andin menunduk menyembunyikan kesedihannya.Bagaimanapun, ia masih sangat mencintai Roy. Walaupun semua keluarganya tidak menyukai Roy, tapi ia tetap berhubungan dengannya. Menurut Andin Roy pemuda yang baik, tidak pernah berbuat tidak sopan padanya.Roy memang terlihat seperti berandal karena pakaiannya yang tidak pernah rapi dan slengean. Sering berkumpul dengan anak-anak jalanan. Tapi, ia pemuda yang baik dan setia kawan.“Andin sudah sah menjadi istri saya. Dia calon ibu dari anak-anak saya,” kata Haidar. “Saya harap kamu nggak mengganggu hubungan kami.” Haidar menggenggam tangan istrinya, lalu menciumnya dengan mesra.Andin sama sekali tidak terbu
“Kenapa?” tanya Haidar, pura-pura polos.“Sakit tahu!” Andin mengerucutkan bibirnya sambil memukul lengan Haidar.Haidar tertawa melihat Andin mengerucutkan bibirnya. “Kamu jelek banget, mata sembab, pipi merah, bibir monyong,” kata Haidar yang membuat Andin menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi.“Tadi katanya cantik,” kata Andin sambil mengerucutkan bibir seperti siput.“Tadi ada debu di mataku, yang menghalangi pandangan. Tadi kamu terlihat sangat cantik, tapi kenapa sekarang menjadi jelek sekali,” tukas Haidar, lalu ia pergi melenggang begitu saja meninggalkan sang istri.“Om, tungguin!” teriak Andin sambil berlari menyusul suaminya.“Aww …!” Andin menghentikan langkahnya. Ia duduk di pasir pantai untuk melihat apa yang telah melukai kakinya.
Haidar langsung berlari keluar kamarnya saat mendengar sang istri berteriak. Ia terlihat sangat khawatir. Kemudian masuk ke kamar di sebelah kamarnya.Haidar segera menghampiri Andin. “Ada apa?” tanya Haidar, ia terlihat sangat khawatir dengan istrinya.Andin menoleh ke belakang saat mendengar suara suaminya. Ia langsung memeluk sang suami. “Terima kasih,” ucapnya sambil terisak. “Om, memang suami terbaik.” Andin mencium bibir Haidar sekilas. Membuat Haidar diam mematung, seakan suplai oksigen ke jantungnya terhenti.“Woy! Kalemlah! Jiwa jomlo gue meronta ini,” kata Sisil. “Main sosor sembarangan!”Haidar mengerjap saat mendengar suara Sisil yang cempreng. “Untuk apa? Dari tadi ngucapin terima kasih terus,” tanya Haidar sedikit gugup. “Kenapa kamu nangis? Apa kakimu sakit lagi?” Haidar berusaha menutupi kegugupannya.“Terima kasih untuk semuanya.” Andin melepas pelukannya. “Dekorasi kamar ini persis
“Jangan berisik!” Andin membekap mulut sahabatnya.“Ngomong yang bener!” sergah Sisil.“Dia mau dijodohkan hanya demi harta. Papinya nggak mau menyerahkan harta warisannya pada laki gue, kalo dia nggak mau kawin,” jelas Andin.“Kenapa nggak mau sih? Kawin ‘kan enak,” kata Sisil dengan yakin.“Sok tahu, lo!” Andin menoyor kepala sahabatnya. “Emang lo udah ngerasain?”“Kata orang,” sahut Sisil sambil cengar-cengir.“Kalo dia udah dapat warisan, dia bilang, gue bakal ditendang dari rumah ini,” lanjut Andin. Entah ia harus senang atau sedih jika waktu itu telah tiba nantinya.“Tapi, gue lihat laki lo tulus. Tadi aja, dia sampai lari ngedenger lo teriak,” kata Sisil. “Masa sih dia sejahat itu.” Sisil tidak percaya
Suara tangisan Andin terdengar oleh Haidar saat ia keluar kamar hendak ke dapur untuk mengambil air minum.Haidar menghentikan langkahnya. “Apa yang harus aku lakukan supaya dia bisa melupakan kesedihannya?” gumamnya dalam hati.Kemudian Haidar kembali ke kamarnya untuk mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Setelah selesai menelpon ia keluar lagi dan pergi ke dapur.Ia duduk di meja makan sambil termenung. “Apa yang aku lakukan salah? Tapi, dia sudah sah menjadi istriku. Akan menjadi fitnah kalo dia terus berhubungan dengan pemuda itu,” gumamnya dalam hati.“Tuan muda, apa ada yang bisa saya bantu?” ucapan Bi Susi membuyarkan lamunan Haidar.“Buatkan saya susu hangat,” ucapnya. “Andin dan temannya tolong dibuatkan juga, nanti antarkan ke kamar!” titahnya pada pelayan rumah yang berumur empat puluh tahun.&nb
Andin berjinjit, lalu mencium pipi suaminya. "Terima kasih, Om," ucapnya, lalu pergi mendekati kandang kelinci itu. Haidar terkejut mendapat sebuah hadiah ciuman dari sang istri. Ia masih diam mematung, memegangi pipinya sambil tersenyum. Andin berjongkok di depan kandang sepasang kelinci kecil berwarna putih dan abu-abu. “Kamu lucu banget.” Andin mengambil kelinci berwarna putih. Ia mengelus-elus kelinci kecil itu. “Kamu suka?” tanya Haidar pada istrinya yang sibuk dengan dua anak kelinci yang baru berusia sekitar dua bulan. Andin menoleh pada Haidar dan tersenyum manis. “Suka banget, Om. Makasih banyak ya.” Senyuman indah tidak pernah pudar dari wajah cantiknya. Ia sangat bahagia mendapatkan binatang lucu kesukaannya. “Jangan senang dulu!” kata Haidar, “Itu nggak gratis.” Haidar berucap sambil melipat tangannya di depan dada. Wajah Andin berubah muram. “Aku harus bayar?” tanya Andin pada suaminya sambil mengerucutkan
“Ganti aja! Jangan bikin masalah terus sama laki lo!” omel Sisil. Ia takut kalau Haidar marah besar kalau Andin tetap memakai nama Joy untuk kelincinya.“Bodo amat ah. Kalo dia marah lagi, gue bakal minggat dari rumah ini dan minta cerai, supaya dia nggak bisa mendapatkan harta warisan papinya.” Andin tidak peduli dengan kemarahan suaminya. Ia malah berencana membuat ulah terus dengan sang suami.Sisil menoyor kepala Andin yang berjalan di sampingnya. “Jangan ngomong sembarangan, udah jadi janda baru tahu rasa lo!” omel Sisil pada sahabatnya yang koplak.“Biar janda, tapi ‘kan masih segel,” sahut Andin. “Janda tong-tong,” lanjutnya sambil tertawa pelan.“Mana ada yang percaya janda bersegel, perawan aja banyak yang udah buka segel,” sahut Sisil. Ia kesal dengan sahabatnya yang susah kalau dinasehati.“Lo masih segel nggak?” tanya Andin, menggoda sahabatnya sambil mencolek dagu Sisil.“Gue masih tong-tong, Cuy,” seru Sisil dengan bangga sambil mene