Share

Adil

Ad.

Sebelum aku menceritakan tentangnya. Begitu saja ada satu helaian nafas. Seorang yang ku kenal lebih rumit dari pelajaran Matematika. Pelajaran dengan nilai terendahku.

Mungkin seperti memahami pelajaran Matematika di bangku sekolah ataupun kuliah. Memahami Ad, mengharuskanku menghadapi remedial tidak hanya sekali. Hampir tidak pernah berhasil memahaminya hanya dengan satu kali proses berpikir.

Adil Budi Winata.

Abjad nama yang sering ada di list absensi atas. Tapi, sepertinya tidak menjadi tekanan untuknya. Jika guru memanggil kami sesuai urutan absensi untuk menjawab soal, kebanyakan dijawab dengan benar dan tenang.

Tidak selalu akur berteman dengannya. Aku lebih akur dengan teman-teman perempuanku daripada Ad. Apalagi jika dia bersekongkol untuk jahil. Pertengkaran kami tidak bisa dihindarkan.

Saat itu, sudah memasuki Tahun 2000an. Era millennium sebutannya. Mungkin dari situ, kata Millennial muncul. Itu hipotesaku. Belum aku cari di g****e lho! Apalagi pakai literatur.

Tahun 2004.

Tahun yang membawaku membuka gerbang belia.

Setelah dinyatakan lulus Ujian Nasional dengan standarisasi nilai. Di sekolah, kami hanya rayakan begitu sederhana. Syukuran kecil-kecilan saja dengan teman satu kelas.

Masa Putih Biru.

Saat hari pertama aku masuk kelas dengan seragam putih biru, ada rasa canggung. Terlalu gugup. Sepanjang liburan, aku terus membayangkan seperti apa hari-hari di Sekolah Mengengah Pertama.

Mata pelajaran yang kudapat semakin beragam. Guru-gurunya lebih banyak. Pilihan ektra kulikuler juga. Selain itu, luas sekolahan yang lebih besar. Ada macam-macam ruang untuk pelajaran praktek. 

Sosialisasi satu sama lain juga mengalami perubahan. Istilah anak gaul masih kental. Panggilanku ke teman mulai berubah di semester ke dua. Hubungan senioritas dan junior juga lebih terlihat. Tidak menutup mata, di SMP pacaran sudah lumrah.

Temanku semakin bertambah. Dari teman yang dikenal sejak sekolah dasar dan teman yang baru dikenal. Aku sering berkumpul bersama mereka saat jam istirahat. Sambil makan camilan di depan kelas. Banyak sekali candaan. Suara cekikikan khas anak rejama baru gede. Ada si paling lucu, si paling atletis, si pendengar yang baik, si penghangat suasana. Sekolompok belia yang sedang senang-senangnya ngobrol, ngobrol, dan ngobrol. Keingintahuan tinggi terhadap hal-hal baru.

Ad dimana?

Ada di sekolah yang sama denganku. Beda kelas. Tepatnya, kelasnya ada di seberang kelasku. Aku sering lihat Ad hilir mudik di pandangan. Selepas jam pelajaran juga sering bertemu. Kami mengikuti kegiatan extra kulikuler yang sama. Tidak hanya satu, ada beberapa. Rasanya semua ingin dicoba.

Tentang Ad. Kenapa dia ada di cerita ini?

Aku punya sekelumit pandangan tentangnya. Di hatiku ataupun pikiranku. Aku ceritakan di bagian ini saja tidak cukup.

Di masa pubersitas itu, Ad pernah bilang "Kalau gue suka beneran gimana?"

Saat itu aku masih empat belas. Belum lama naik kelas. Mendengar pertanyaannya, aku kesulitan bicara. Tiba-tiba memandang saja tidak berani. Suhu di perpustakaan jadi terasa lebih panas. Tanganku juga mulai basah berkeringat.

"Pilih gue atau kakak kelas itu?" bertanya lagi padaku.

Aku ingin minta dia berhenti bicara. Tanganku lemas tidak bisa menulis lagi, padahal aku harus segera menyalin jawaban tugas matematika darinya.

"Kenapa harus kepikiran yang lain, kalau ada gue?"

Tapi bersama dengan Ad, ada yang belum tuntas di antara kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status