Share

Class Meeting

Class meeting.

Ujian akhir semester sudah selesai. Aku masih harus mengulang Matematika dan Fisika. Di tengah pekan remedial, class meeting tetap berlangsung.

Karena jam masuk sekolah lebih leluasa selama class meeting, aku baru tiba ke sekolah jam 8.30 pagi. Sebenarnya, hari itu tidak ada jadwal remedial ataupun aktiviras berarti, kecuali melihat pertandingan basket Kelas 10 (2) melawan Kelas 10 (3).

"Tolong bawain ke kelas," Ad memberikan tasnya padaku setelah mengeluarkan t-shirt dan celana basket. Dia berlari menuju lapangan basket mengikuti pemanasan dengan pemain lainnya.

"Hisshh," aku tetap membawakan tasnya, walau agak kesal.

Di depan Kelas 10 (2), Ralina dan teman-teman sekelas duduk berkerumun. Ada yang main sambung lagu dari kata terakhir pada lirik yang dinyanyikan. Ada yang lagi jual beli cemilan dari kelas sebelah. Ada juga yang berkeliaran kejar kejaran entah karena apa.

Di dalem kelas, mereka yang asik main uno duduk melingkar di pojokan. Dua orang tampak serius curhat (curahan hati). Ada yang fokus  main battle game di laptop. Selain itu, seakan tidak terganggu suara teriak dan cekikikan, ada juga yang merem melek sambil dengerin lagu lewat earphone. Tapi, hampir semua aktivitas di dalam dan di luar berhenti lima menit sebelum pertandingan.

Di lapangan basket.

Tim Kelas 10 (2) bertanding dengan kelas 10 (3). Ad dipilih jadi ketua tim. Pertandingan dimulai jam 9.00 pagi. Sorak sorai terdengar di sekitar lapangan dan koridor depan kelas. Aku di antaranya, ikut menyemangati agar Kelas 10 (2) menang.

Pertandingan cukup sengit. Selisih angka sedikit dan saling menyusul. Di akhir-akhir pertandingan, wasit sempat mengeluarkan peringatan untuk pemain dari kedua tim. Raut wajah mulai tegang, karena sisa waktu pertandingan tinggal sedikit.

Setelah 40 menit pertandingan berlangsung, Tim Kelas 10 (2) dinyatakan menang. Euforia kemenangan dan yel-yel dari Kelas 10 (2) masih berlanjut hingga pemain ke luar dari lapangan. Dari kejauhan ketengangan di wajah Ad berubah jadi kegembiraan.

"Kerennn euy," kataku.

Ad tergeletak di lantai koridor depan kelas.

"Sebelum pulang, makan dulu yuk!" kata Ad.

"Bakso yah," pintaku.

"Iyaaa.., bakso."

Jadi siangnya Aku, Ralina, dan lima teman lainnya dari kelas kami pergi ke warung bakso. Kami berangkat lebih dulu. Ad dan pemain lainnya masih di kelas. Mereka evaluasi pertandingan dan menyusun strategi selanjutnya.

"Masih belum nyusul juga," kataku.

Ralina sempat senyum-senyum.

"Bilang aja nggak mau jauh kelamaan. Gue SMS Tian deh," Ralina inisiatif menanyakan pada salah satu pemain.

Sekitar10 menit, beberapa orang tim basket menyusul ke warung bakso.

"Tian sama Ad, mana?" Tanya Ralina.

"Lagi ketemu anak 10 (5)," jawab salah seorang.

"Siapa?" Tanyaku.

"Anak yang tiap pagi sering nongkrong di parkiran itu," jawab yang lainnya.

Aku mulai gelisah. Perasaanku tidak enak. Aku ingat siapa yang dimaksud.

"Tian bales nggak?" Aku menoleh ke Ralina.

Ralina menggeleng, tapi tidak lama Tian telepon. Ralina bilang, Tian ingin bicara padaku. Selesai mendengar apa yang Tian sampaikan, segera aku kembalikan handphone milik Ralina.

"Ay, mau kemanaaa?" tanya Ralina.

"Ke sekolah."

Aku lekas memberi uang pas ke pedagang bakso. Ternyata Ralina menyusulku.

"Kenapa sih Ay?"

"Ad jatuh katanya."

Aku tambah gelisah ingin angkot ini bisa berjalan lebih cepat. Setiap detik yang berlalu menambah kalutku. Aku ingin tau bagaimana kondisi Ad.

Tian cerita sekilas. Mereka bertengkar dengan anak 10 (5) sebelum Ad jatuh dari tangga lantai 2. Lalu Ad dibawa ke ruang UKS. Hanya itu yang diceritakan. Aku tidak tau penyebabnya apa. Terutama bagaimana keadaan Ad sekarang.

Sampai di depan gerbang, aku berlari ke ruang UKS. Tidak ada. Di sana hanya ada dua anggota eskul P3K yang sedang piket. Mereka bilang, Ad dibawa Wali Kelas ke puskesmas terdekat.

Mendengar itu, aku segera pergi dari sekolah mencari angkot kembali. Ralina masih menemaniku. Aku coba menghubungi Ad atau Tian. Hanya Tian yang bisa ditelepon. Katanya Ad sudah ke luar dari ruang dokter. Aku dan Ralina segera menyusul ke sana.

Ketemu. Aku melihat Ad. Tidak jauh dari loket pengambilan obat. Semakin dekat, langkahku mulai melambat. Aku menghampirinya perlahan. Kakiku agak lemas. Aku duduk di sebelahnya menyandarkan bahu ke kursi. Meluruskan kedua kaki. Sesaat coba mengatur nafas.

Aku melihat Ad tanpa bicara apa-apa. Tapi seakan membaca apa yang aku pikiran, Ad coba menenangkan dan minta maaf.

"Ay. Gue sama Tian duluan yah," Ralina pamit sekalian pulang diantar Tian.

"Makasih Lin. Kalian hati-hati," kataku.

Ralina memberi anggukan.

"Bye. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam."

Ad masih terlihat sedikit meringis menahan sakit.

"Dokter bilang apa?"

"Minum obatnya. Habisin antibiotics. Salepnya diolesin tipis aja diluka."

Aku pelototi Ad. Dia harusnya tau aku kesal dan marah.

"Kok bisa sih Ad? Ngapain ketemu orang itu?"

"Ada yang harus diomongin Ay. Ya jadinya ketemu."

"Terus berantem?"

"Ya gitu," jawabnya singkat.

"Ngaco!" Aku tinggalkan Ad dan berjalan lebih dulu ke luar puskesmas.

"Bentar Ay. Jalannya pelan-pelan. Gue susah nyusul," keluh Ad.

Lantas aku berhenti. Berbalik padanya. Ad berjalan agak pincang. Ada bekas luka goresan di lenggan juga lebam dan luka di wajahnya.

"Maaf," pintanya lagi.

"Salah orang. Nanti pulang minta maaf sana sama orang tua lo!"

Ad merunduk. Aku sesuaikan langkah untuk mengimbangi kecepatannya. Sesekali saat Ad tidak memperhatikan, aku melihat kembali luka-lukanya.

Selama perjalanan pulang ke rumah, Ad cerita tentang kejadian hari ini dan penyebabnya. Aku hanya tau keduanya bertemu di eskul basket. Selama semester terakhir ini Ad dan orang itu pernah berselisih, tapi bukan berkelahi. Di class meeting puncak perselisihan keduanya. Kata Ad, kemungkinan semester ini akan jadi yang terakhir orang itu di sekolah. Orang tuanya memutuskan untuk memindahkannya. Ada pelanggaran yang dilakukan dan tidak bisa ditoleransi sekolah. Ad tidak cerita mengenai pelanggaran yang dilakukan. Aku menduga, sepertinya pelanggaran serius sampai harus pindah ke sekolah lain.

Aku masih dengarkan Ad bercerita. Di balik itu, aku mulai mengerti. Dari kejadian hari ini dan kekhawatiran yang ada. Sepertinya candaan Ralina benar. Aku tidak ingin jauh darinya.

Aku dan Ad tumbuh bersama. Banyak waktu dihabiskan bersama. Kami tidak pernah lama berjauhan, sekalipun itu waktu libur dan akhir pekan. Aku mulai menerka. Jika kelak tidak bersamanya, bagaimana...?

"Gue yang sakit kenapa lo yang lemes. Mikirin apa sih?" Tanya Ad.

"Mikirin lo!"

"Boleh sih Ay, tapi jangan kelamaan. Bisa kebawa mimpi," katanya.

"Diiihhh...! Gue banyakin doa sebelum tidur."

"Nah! Bagus itu. Emang bener begitu," sahutnya. 

Saat tiba di area kompleks, aku temani Ad hingga ke pekarangan rumahnya.

"Udah sampai. Jangan main ke luar lagi ya dek. Makan, minum obatnya, terus istirahat. Jangan lupa siapkan mental dan hatimu," kataku sambil menepuk-nepuk bahunya.

"Iya Nenek! Makasih juga udah datang dan nganter sampai depan rumah," Ad tersenyum sambil menahan nyeri karena sudut bibirnya luka.

Baru saja hendak berbalik, Ad meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku merasakan sesuatu di telapak tangan. Saat aku buka untuk melihatnya, ada dua bungkus permen rasa caramel.

"Buat ngemil di jalan," katanya.

"Makasih. Gue pulang yah. Assalamualaikum," aku melambaikan tangan.

"Walaikumsalam," dia membalasnya. Tetap berdiri di tempat yang sama saat aku menoleh. Aku masih bisa lihat sekilas senyumnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status