Share

Touch Me then Marry me
Touch Me then Marry me
Penulis: kikie azure

[PAGE 1] FIRST TIME HE TOUCH MY BODY

"Mana pilihan kamu?" tanya seorang Ibu-ibu berparas awet muda nan cantik yang saat ini tengah duduk didepan anak tunggalnya sambil menatap tajam.

"Serius nih ma pilihan buat Jeje cuman itu aja?" tanya balik Jeanica, ia tak kalah cantik dari Ibunya

"Je.. umur kamu itu udah dua puluh tujuh! Ini waktunya kamu menikah." Sosok bernama Helena atau biasa di panggil Helen itu semakin menekankan kata menikah pada kalimat yang barusan ia lontarkan. "Mama ni ya di umur dua tujuh udah rawat kamu, waktu itu umur kamu udah tiga tahun. Nah kamu? Umur segini belum nikah-nikah!" cercanya lagi.

Jeje memandang masam, jujur ia juga ingin menikah seperti para karyawannya. Hanya saja ia lebih menyukai karirnya yang hingga akhirnya bisa sesukses sekarang.

"Sekarang hari Rabu.. Mama tunggu info kamu satu minggu lagi. Putuskan, kamu mau ikut balik ke Jakarta, mau menikah dengan pacar kamu atau mau mama titipin ke sahabat mama. Oke?"

Jeje tak merespon. Ia memandang kepergian Helen yang mulai berjalan menjauh darinya, memasuki mobil dan kemudian hilang begitu saja pergi ke tempat yang dituju. Ia kembali memasuki tempat kerjanya yang tak lain adalah miliknya sendiri, beberapa karyawannya tampak sibuk sedang melayani para pengunjung. Yah, Jeje adalah seorang designer yang lebih fokus mendesign dress maupun gaun pengantin. Ada beberapa yang berupa baju dan celana juga. Karya-karya sudah mendunia, tak jarang ada artis maupun aktor menggunakan dress yang ia keluarkan dengan harga jutaan.

Jeje menekan layar handphone-nya, mengirim suatu pesan yang ia tujukan pada orang yang sudah menemaninya hampir setahun ini.

Jeje : pulang kerja jam berapa?

Semenit, lima menit, setengah jam. Tak ada balasan. Hingga akhirnya lebih dari satu jam sebuah teks tertera di layar HP-nya.

Nicolas : Habis magrib sayang, kenapa?

Jeje : Aku mau ketemu, kangen.

Nicolas : Oke, aku jemput di rumah kamu ya jam tujuhan.

Jeje : iya...

Ia kembali meletakkan handphone-nya pada saku dress yang ia kenakan. Dipandanginya hasil jerih payahnya diusia yang masih terbilang muda untuk menjadi seorang pengusaha sukses. Rumah tingkat yang ia beli hasil dari jerih payahnya bertahun-tahun bisa ia gunakan sebagai pameran dress-dress karya buatannya sendiri di lantai satu, sedangkan di lantai dua khusus untuk ruang istirahatnya. Jeje adalah bos yang baik, sehingga ia juga memperbolehkan para karyawannya yang jumlahnya belasan orang termasuk para penjahit dan pramuniaga tersebut untuk menginap jika pulang terlalu malam karena banyak pesanan.

"Murung aja, Je?" sapa Vella, ia adalah salah satu pegawai Jeje. Vella dan Jeje bisa dibilang sahabat dekat, mereka sudah berteman sejak kuliah semester awal. Vella juga orang kepercayaan Jeje yang saat ini memegang masalah keuangan di tempat Jeje.

"Iya Vel," dengusnya.

"Ngapain ibu Negara kesini?" tanya Vella sambil sedikit menggoda. Jeje selalu memanggil mamanya dengan sebutan ibu Negara, sehingga Vella suka mengikuti.

"Nyuruh gue balik ke Jakarta," ceritnya.

"Hah? Kenapa?"

"Tau kan berita di TV yang kemarin ada pembunuhan berantai, target para cewek-cewek muda dilingkungan kita?"

"Oh yang korbannya ada empat cewek kemarin?" tanya Vella lagi.

Jeje mengangguk. "Gara-gara itu, mama gue khawatir. Jadi gue disuruh balik ke Jakarta. Kalau gue nggak balik kesana, gue harus secepatnya nikah sama si Nico."

"Nikah?" Vella terbelalak.

Jeje mengangguk. "Kalau nikah kan gue ada yang jaga. Kalau gue balik, gue nggak mau soalnya nanti gue bisa LDR sama Nico."

Vella mengangguk tanda mengerti. "Iya sih, kalau lo balik Jakarta nanti lo LDR sama Nico."

"Nggak ada pilihan lagi?" tanya Vella.

"Ada.. jadi gue mau dititipin di rumah sahabatnya ibu Negara."

"Tapi kalau lo ke Jakarta, ini butik siapa yang jaga?" tanya Vella lagi.

Jeje hanya mengangkat bahu, ia juga tidak mengerti dengan jalan pemikiran orang tuanya yang memang bisa di bilang protektif terhadapnya. "Dijual mungkin, pindah ke Jakarta."

"Hufth.. apa lo tinggal di rumah temen ibu Negara aja?"

Jeje menggelengkan kepala. "Nggak enak kali, Vel.. sungkan."

"Iya sih..."

Pembicaraan mereka terus berlanjut, seiring berjalannya waktu sesuai dengan janji pacarnya, malam itu Nico berada didepan rumah Jeje. Rumah sekaligus butik yang masih menyala terang benderang pertanda masih buka. Saat malam tiba, pengunjung semakin banyak berdatangan yang mayoritas memang adalah kaum wanita.

"Jeje mana?" tanya Nico, ketika turun dari mobil dan langsung berpapasan dengan Vella sehabis beli lalapan bersama staff lainnya.

"Jeje... itu tuh," tunjuknya saat melihat Jeje kini dengan sangat anggun dan modisnya berjalan kearah mereka.

Tampak di mata Nico kini pacarnya itu sedang menggunakan dress berkancing sampai bagian perut berwarna biru dongker, sedangkan bagian bawah dress menggambang layaknya rok anak SD. Rambut Jeje tergerai rapi, wajahnya hanya ia beri sedikit makeup agar tidak tampak pucat.

"Vel, gue tinggal dulu ya."

Vella mengangguk.

"Yuk Vel," pamit Nico, dokter tampan berusia tiga puluh tahun. Nico memang lebih tua tiga tahun di banding Jeje. Mereka pertama kali bertemu saat Jeje yang tiba-tiba masuk rumah sakit karena Typus, saat itu Nico yang merawatnya hingga terjadilah cinta lokasi diantara mereka.

Ya siapa yang tidak jatuh cinta dengan Jeje? Badannya tinggi semampai, langsing berkaki jenjang, kulitnya putih bagaikan susu, halus bagaikan sutra, wajahnya tidak bisa jika hanya di bilang cantik, ia sangat cantik dengan mata bulatnya, bulu mata panjangnya, hidung mancung dan bibir tipisnya, di tambah dengan dagunya yang lincip alami ia tampak seperti member girlband Korea.

Nico duduk di kursi kemudi, Jeje duduk disebelah dan mereka mulai pergi meninggalkan rumah Jeje. Wajah Nico tampak lelah dan kusut, mungkin karena dua hari ini ia tidak pulang ke rumah akibat banyaknya pasien berdatangan.

"Aku mau beli pizza," pinta Jeje sambil menengok manja pada pacar disebelahnya.

"Aku mandi dulu ya, kita ke rumah ku dulu. Habis itu berangkat beli pizza," kata Nico dengan penuh kasih sayang. Nico sangat mencintai Jeje, walau mereka jarang bertemu akibat jadwal padat Nico.. Nico selalu perhatian dan memang posesif pada Jeje karena ia sadar jika banyak cowok diluar sana yang mengincar Jeanica.

"Iya.. ke rumah kamu dulu." Jeje mengangguk mengiyakan karena bukan kali pertama ia pergi ke rumah Nico kemudian bertemu dengan kedua orang tua Nico. Selama hampir satu tahun pacaran, bisa di bilang Jeje sering main ke rumah Nico, bahkan ia sering berbelanja dengan Mama Nico yang profesinya juga sebagai dokter. Yup, keluarga Nico semuanya dokter. Mamanya dokter mata, papanya dokter paru dan kakak Nico yang perempuan adalah dokter kecantikan. Hanya saja kakak Nico yang bernama Nikita itu sudah punya rumah sendiri sehingga di rumah hanya ada Nico dan orang tua Nico.

Tak seberapa lama mengemudi, Nico sampai didepan rumah. Ia memarkir mobilnya didepan gerbang karena memang mereka akan keluar lagi membeli pizza saat Nico sudah mandi. Dua dewasa itu memasuki rumah dengan santainya, padahal Jeje sangat deg-degan karena ia ingin memberitahukan perihal pernikahan pada pacarnya itu.

Rumah Nico dua lantai, lantai satu bagian utama ada ruang tamu, yang jika belok ke kanan terdapat ruang keluarga. Jeje duduk disalah satu sofa empuk panjang menghadap kearah telivisi. Nico menyalakan tombol power hingga televisi dirumahnya menyala.

"Mama Papa kamu mana?" tanya Jeje sambil melihat kearah Nico.

"Oh.. mama papa lagi pelatihan di luar kota," jawab Nico dengan entengnya, membuat mata Jeje terbelalak.

"Sampai kapan?" tanyanya sedikit grogi.

"Minggu depan baru pulang hari Rabu."

Jeje menelan ludahnya. "Berarti kita cuman berdua?"

Mendengar pertanyaan Jeje, Nico spontan tertawa terbahak-bahak. "Iya sama siapa lagi? Udah deh.. aku mandi dulu ya, nggak usah mikir macam-macam," jelas Nico kemudian pergi ke kamar mandi.

Pikian Jeje tak karuan, jika ia tau Nico sendirian di rumah ia tak akan pernah mau diajak ke rumah Nico. Mereka memang berpacaran cukup lama, namun baru kali ini Jeje bisa satu ruangan dengan Nico dan hanya berdua. Saat berkencan, mereka lebih sering untuk ngopi di kafe, nonton film atau jalan-jalan. Jeje berusaha tenang, ia yakin Nico tidak akan berbuat macam-macam padanya. Ya, selama hubungan mereka berdua terjadi hal paling maksimal yang Nico lakukan adalah berciuman bibir dengan Jeje.

Jeje memencet-mencet tombol remote mencari-cari saluran yang ia inginkan sampai pada akhirnya sebuah acara TV yang ia suka muncul dilayar. Sambil menunggu Nico dan menenggelamkan rasa khwatirnya, ia mencoba serius menonton acara Running Man tersebut. Tak lama menonoton, ia langsung tertawa terbahak-bahak seakan-akan kekhwatirannya hilang begitu saja.

"Hahhaaha...," tawanya sendiri sampai terpingkal-pingkal saat sebuah adegan yang ia rasa lucu masuk ke dalam otaknya dan tawanya meledak.

"Serius amat, nonton apa?" tanya Nico tiba-tiba duduk tepat di sebelah Jeje.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
jamilshop jamilah
kalimat sebelah jeje ini emang ending episode 1 ka ?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status