Share

Marlo dan Damar

            “Mama sudah bisa melihat. Kamu tertarik dengan Kania, benar?” Clarissa menyesap secangkir teh dalam cangkir keramik bermotif klasik. Teh Earl Grey kesukaannya itu disajikan dengan racikan yang pas. Barry membawakan untuknya beberapa waktu yang lalu dari London.

            Wanita paruh baya itu tak juga mendapat respons dari pemuda tampan, putra kesayangannya, aset besarnya.

            Barry masih asyik dengan gawai, sesekali tersenyum menanggapi ocehan beberapa sahabat di media sosial. Ibu jarinya terus berputar di layar ponsel pintar.

            “Barry, Sayang, kamu dengar Mama?”

Barry mendongak, memandang sang ibu yang tersenyum hangat padanya. Ia meletakkan ponsel pintarnya di meja rendah.

“Kamu tertarik pada gadis itu, kan? Kania, he?” Lelaki itu menatap sang Ibu, mencoba mencari tahu maksud dari pertanyaan wanita paruh baya di hadapannya.

“Apakah Mama keberatan?”

Clarissa tersenyum, wajahnya yang cantik tampak semakin elok, tak menunjukkan satu kerutan pun di usia akhir lima puluhan. Tentu saja Clarissa sudah terkenal sebagai wanita yang sangat cantik pada masa mudanya. Kini, sisa kecantikan itu tak pernah berkurang.

“Untuk sekarang ini, Mama mendukungmu mendekati Kania.” Ia melirik sang putra, sebelum melanjutkan. “Mama yakin kamu akan segera melupakannya jika tujuan Mama sudah selesai. Mama tidak peduli ke mana kamu akan mencampakkan kelak.”

Barry tahu, selera ibunya sangat tinggi. Kania memang cantik, tetapi bukan hanya kecantikan yang diincar oleh ibunda. Wanita itu tidak akan pernah mengizinkan dirinya mendekati wanita biasa.

“Mama berpikir aku akan mencampakkannya?” tanyanya dengan nada manis.

“Tentu, Mama paham sekali sifatmu, Nak. Gampang bosan.” Clarissa tersenyum sinis.

Barry mengembuskan napas, cukup kesal karena sang Ibu selalu merasa tahu betul siapa dirinya.

“Bisa saja aku berubah, Ma. Saat aku bertemu dengan orang yang tepat. Bisa saja orang itu Kania.”

Non sense!” kata Clarissa tegas. Clarissa tidak akan mempercayai Barry bisa berubah.

Selama putranya tinggal di London, Clarissa tidak pernah melepasnya begitu saja. Tentu saja ia selalu mengirim orang untuk melaporkan seluruh aktivitas Barry, setiap hari. Ia tahu siapa saja orang yang dekat dengan putranya, bahkan ia tahu semua kisah cinta sang putra. Ia tidak akan membiarkan Barry berhubungan dengan wanita biasa-biasa saja. Hanya kali ini saja ia berniat mendekatkan Barry dan Kania. Hanya demi satu tujuan. Setelah tujuannya berhasil, ia tak memerlukan Kania lagi. Ia akan segera membuang gadis itu, membuatnya jauh dari Barry.

***

Marlo meminta pelayannya untuk memanggil seseorang yang sedari tadi menunggu di ruang tamu. Pelayan pria paruh baya itu segera melaksanakan perintah sang tuan, menemui lelaki muda berbaju rapi yang sudah menunggu tuannya.

“Ditunggu di ruang kerja Pak Marlo, mari silakan,” ujar Berto, pelayan setia Marlo.

Lelaki muda itu mengekor sang pelayan, masuk melalui pintu kayu kokoh di lantai bawah bangunan besar bergaya Amerika. Beberapa tahun setelah mengenal Marlo, baru kali ini pemuda itu bisa singgah ke kediamannya. Rumah besar berlantai dua dengan pilar-pilar beton menunjukkan kelas soisal yang jauh di atas. Berto membukakan pintu untuknya.

“Damar, ayo kemari.” Marlo meminta lelaki muda itu mendekat. “Duduk!” perintahnya.

Lelaki muda yang dipanggil Damar itu patuh, segera duduk di kursi berlengan, seberang meja Marlo.

“Bagaimana, bisa menyesuaikan diri? Sudah belajar banyak?” tanya Marlo, seolah-olah tak sabar mendengar jawaban lelaki muda berparas tampan di hadapannya.

“Saya sudah berusaha sebaik mungkin. Sejauh ini saya bisa menyerap banyak ilmu. Kania mentor yang hebat.”

[Kania lagi, selalu wanita itu,] batin Marlo.

“Saya enggak bilang semua hal harus belajar dari Kania, kan?” katanya jengkel. “Masih banyak mentor yang lain juga.”

Damar tersenyum malu-malu. “Cuma Kania yang saya rasa paling tulus membimbing saya. Dia wanita jenius, tetapi rendah hati.”

Marlo tersenyum kecut. Ia pun teringat Barry. Kemarin di rapat direksi keponakannya seperti kerbau dicucuk hidung oleh Kania. Semua laki-laki tampak seperti orang tolol jika berhubungan dengan Kania, kecuali dirinya.

Tak dapat dipungkiri, Kania wanita yang cantik. Ia pandai merayu lelaki, buktinya Prasetya, Barry, Damar, entah siapa lagi lelaki di luar sana yang dibuat bertekuk lutut pada wanita itu.

Marlo pertama kali bertemu wanita itu lima tahun yang lalu, dalam suatu pesta kantor. Prasetya yang membawanya kepada Marlo, merekomendasikan wanita itu kepadanya dengan kata-kata yang berlebihan. Awalnya ia memang sedikit tertarik. Namun, rasa itu langsung hilang saat malam hari ia bertemu dengan dirinya di salah satu klub malam ternama. Saat itu Marlo pergi bersama Misty, sekretaris sekaligus kekasihnya. Dari Misty ia tahu mengenai Kania. Wanita liar yang suka berpesta, bahkan Kania sempat mempunyai anak di luar nikah dari hubungan liarnya dengan para pria. Marlo sudah bisa membayangkan seperti apa Kania. Ia tidak mau Damar terlalu dekat dengannya.     

“Jangan lengah! Kamu ingat tujuan utama kita, kan? Saya enggak mau kamu dipermalukan di depan mereka,” ujar Marlo ketus.

Damar mengangguk dalam. Ia berjanji tidak akan mengecewakan Marlo. Ia juga teringat akan sang Ibu, yang ia tinggalkan di kampung. Wanita itu sudah melarangnya untuk mengikuti ajakan Marlo, tetapi kala itu tekadnya sudah bulat. Kesedihan dan kekecewaan yang dipendam oleh sang Ibu selama dua puluh tahun lebih akan segera dibayar lunas.

 Marlo memperhatikan dengan seksama lelaki muda berambut cepak itu. Menurutnya, bocah itu punya potensi yang besar. Ia cepat sekali menyerap ilmu, intuisi bisnisnya juga cukup bagus. Sosoknya yang jangkung, senyumnya yang tulus mengingatkan akan seseorang di masa lalu Marlo. Seseorang yang begitu dirindukannya.  

Baru beberapa tahun menemukan bocah itu, memolesnya pelan-pelan, memberikan bekal yang terbaik baginya untuk menghadapi musuh dalam selimut. Marlo menyayangi bocah itu. Ia sudah menganggap Damar sebagai anaknya sendiri. Apa pun akan ia lakukan demi Damar.

Ponsel pintar milik Marlo berteriak nyaring. Seseorang menghubunginya melalui aplikasi hijau. Nama Prasetya muncul di layar itu.

“Ada apa?” Marlo menjawab suara di ujung telepon. Meskipun Prasetya jauh lebih tua dari dirinya, tetapi ia tak sungkan untuk berbicara kepada pria tua itu, layaknya bersikap seperti teman sebaya.  

“Kenapa harus dengannya?” tanyanya lagi, nada suaranya sudah naik.

“Kapan berangkat?”

“Nanti saya hubungi lagi, mungkin saya dan Damar juga akan ikut.”

Telepon dimatikan. Marlo meletakkan kembali ponselnya di atas meja.

Damar menatap Marlo dari seberang tempat duduknya. Pemuda itu menaikkan alis, sedikit penasaran dengan pembicaraan di telepon karena mencatut namanya. Namun, ia tidak berani bertanya.

Akhirnya Marlo membuka suara. “Kata Prasetya, Barry berencana melakukan kunjungan lapangan lusa bersama Kania.”

“Kamu ikut sama saya!” ujar Marlo.

“Persiapkan dirimu dengan baik. Saya nggak mau keponakan tololku itu mendapat kesempatan yang lebih baik daripada kamu.”

Damar mengangguk.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status