Share

Dia dan Kamu

last update Last Updated: 2021-04-15 14:00:35

           

           Marlo melihat arloji di pergelangannya, waktu menunjukkan pukul 19.00. Ia masih mengamati wanita di lobby kantor. Wanita berkemeja putih dengan bawahan rok motif  kotak-kotak  jingga itu sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Senyum yang menawan dapat dipindai langsung oleh Marlo walaupun mereka berjarak setidaknya lima belas meter. Marlo sengaja tidak mendekat, memilih bersembunyi di balik bayangan pot tanaman tinggi.

            Lima menit berselang, seorang laki-laki datang mendekati wanita itu. Marlo bisa mendengar jelas percakapan mereka.

            “Maaf, ya, lama menunggu?”

            “Nggak papa, barusan terima telepon dari anakku,” jawab wanita itu. Marlo menangkap ada nada riang saat wanita itu menyebut anaknya.

            “Kania, ayo, sebelah sini, mobilku di sini.” Lelaki jangkung tampan itu menggamit lengan Kania, membawanya ke mobil sedan gelap. Mereka berdua menghilang di dalamnya. Beberapa menit kemudian mobil itu meluncur keluar zona parkir menuju ke jalanan.

            Marlo masih berdiri di tempatnya semula saat seorang menepuk bahunya dari belakang.

            “Ngeliatin siapa, Bos? Sampai sebegitunya,” Damar terkekeh di belakang Marlo.

            “Siapa? Bukan siapa-siapa?”

            Damar yakin sekali bosnya sedang mengamati Kania tadi. Namun, ia cukup heran pria galak itu tidak mengakuinya.

            “Mau pulang?” tanya Marlo

            Damar mengangguk.

            “Ayo temanin ngopi dulu.” Marlo menepuk punggung Damar memberi kode agar Damar mengikutinya ke kedai kopi terkenal tak jauh dari kantor.

            Mereka berdua menyusuri jalan dengan berjalan kaki sebelum sampai ke kedai kopi tersebut.

***

            “Mau langsung pulang, atau mau ke mana dulu?” tanya Barry, tangannya sibuk memegang kemudi.

            “Langsung pulanglah, kasian anakku sudah nunggu.”

            Barry tersenyum mengamati sekilas wajah cantik Kania dari spion depan. Kania selalu berbinar bila membicarakan anaknya. Mungkin melalui anak Kania akhirnya ia bisa mendapatkan hati Kania, pikir Barry.

            “Eh, berhenti sebentar beli kue, ya?” Barry tiba-tiba punya gagasan bagus.

            Mereka berhenti di sebuah toko roti ternama. Barry mengajak Kania untuk membeli sekotak kue.

             “Pilihin yang Nadin suka yang mana?” Barry membawa Kania ke depan etalase berisi kue dan desert segala rasa.

            “Nggak usah repot-repot, pakai bawain kue segala.”

            “Ayolah, please ....”

            “Mmm, kayanya yang cokelat itu dia suka, yang ada potongan stroberinya.” Kania akhirnya menunjuk kue mungil yang ia rasa akan disukai oleh Nadin.

            Barry segera meminta pramuniaga untuk membungkus kue tersebut dengan kotak cantik.

            Setelah mengurus pembayaran di kasir, mereka melanjutkan perjalanan.

            Dua puluh menit kemudian, sedan hitam itu sudah berhenti di depan rumah mungil milik Kania.

            “Mamaaa ...!” Terdengar pekik riang dari dalam rumah saat mereka memasuki pagar rumah yang terbuat dari besi tempa.

            Gadis kecil itu berlari dari dalam, menubruk sang ibu yang nyaris jatuh terjengkang.

            “Halo, sayangku,” sapa Kania. Ia menggendong bocah itu lalu menciumi dengan gemas pipi tembamnya.

            “Eh, iya, sayang, kenalin ini teman Mama, namanya oom Barry.”

            Nadin mengamati teman laki-laki ibunya, lalu tersenyum manis, memperlihatkan gigi depannya yang masih rapi.

            “Halo Oom Barry, namaku Nadin.” Nadin melambaikan tangan di depan Barry.

Sapaan ringan gadis kecil itu telah membuat Barry merasa gemas dan jatuh hati.

“Halo Nadin, kamu cantik sekali, ya, sama kayak Mama,” ujar Barry membuat pipi Kania semerah jambu.

“Nadin, Oom bawa oleh-oleh, lho, buat Nadin. Semoga kamu suka, ya.” Barry mengeluarkan kotak yang tadi dibeli. Kemasan kotak yang cantik, khas anaak kecil, membuat mata Nadin membulat sempurna, terlebih ada satu karakter kesukaan di kmasan cantik itu.

“Waw keren, sekali, Oom, Nadin suka.”

“Nadin, bilang apa sama Om Barry?”

“Terima kasih, Om.”     

            Barry tersenyum riang, ia merasa puas sekali melihat putri Kania sepertinya cukup menyukai apa yang ia berikan sebagai awal mula pertemuan. Ia berharap semuanya berjalan lancar hingga Kania bisa membuka hati.

***

            “Kamu pintar sekali, ya. Anak kecil jago makan sayur!” Barry mengangkat dua jempol sekaligus.

            Nadin tertawa girang dipuji sedemikian rupa.

            Mereka bertiga duduk di ruang makan sederhana di rumah Kania. Bi Darni dan Kania memasak sup tomyam untuk orang dewasa dan cah sayur untuk Nadin, ditambah ayam goreng dan tahu bacem.

            Kania mengamati sang putri yang kian akrab dengan Barry, CEO-nya. Nadin telah kehilangan sosok ayah jauh sebelum lahir. Kania juga tidak pernah menghadirkan sosok ayah bagi gadis kecil itu. Sejak melahirkan Nadin, ia memang menutup diri dari pergaulan dengan laki-laki yang menjurus ke hal pribadi. Mungkin hal itu yang membuat Nadin merasa sangat senang dengan kehadiran Barry di rumah.

            Saat Barry memaksa untuk singgah ke rumah Kania dan berniat berjumpa dengan sang putri, ia tidak kuasa untuk menolak. Kini ia semakin sadar seharusnya ia tolak kenginan Barry itu. Ia khawatir satu saat Nadin terbiasa dengan sosok lelaki dewasa, sementara ibunya belum sanggup untuk menerima lelaki mana pun singgah secara permanen di hatinya.

            “Nadin, sudah larut malam, sekarang cuci tangan dan kaki, gosok gigi lalu bobok, ya.”

            “Mama, Nadin masih mau main sama Oom Barry ....” Gadis kecil itu merajuk, mulutnya mengerucut seperti terompet.

            Nadin baru mau masuk ke kamar ketika Barry menjanjikan untuk main kembali esok harinya. Barry berjanji untuk datang kembali menemui gadis cantik itu.

            Kini Kania dan Barry bersantai di beranda depan. Jam di dinding sudah menunjuk pukul 21.30.

            “Terima kasih, ya. Kamu sudah ngijinin aku main ke rumah.” Barry menarik kakinya .lurus dari tempat duduknya. “Putrimu luar biasa.”

            Kania tersenyum pasrah.

            “Yah, begitulah, dialah satu-satunya harapan hidupku. Harusnya tadi kamu enggak perlu berjanji padanya untuk datang lagi. Bisa repot dia nagih janji besok.”

            “Enggak papa, aku mau, kok, besok datang lagi.”

            Kania menggelengkan kepala. Ia tidak bisa membiarkan Barry terus terusan hadir di rumahnya.

            “Aku pamit dulu, ya. Sudah malam.”

            Barry beranjak dari duduk, ia berjalan mendekat ke arah Kania. Lelaki itu menyentuh bahu Kania sehingga mendongak menatap lelaki yang tingginya lebih dua jengkal di atasnya.

          Barry terlena dengan tatapan Kania yang sendu. Ia semakin mendekat. Saat jarak nya hanya sejengkal dari wajah cantik itu, tiba-tiba Kania berpaling. Wanita itu sengaja menjauh, membuat Barry tersadar.

            “Aku pulang, ya.”

            Barry berlalu, keluar melewati pagar besi, menuju mobilnya. Beberapa detik kemudian wajah tampan itu muncul dari balik kaca mobil, melambai ke arah Kania, lalu segera berlalu menembus malam.

            Kania menarik napas dalam-dalam, menghembuskan pelan. Ia berbalik masuk ke dalam rumah. Ia berjanji tidak akan tergoda lelaki untuk memulai suatu hal yang lebh bersifat pribadi.

***

            Damar mengamati bos yang seolah-olah larut dengan dunianya sendiri. Percuma lelaki itu mengajak ke kedai kopi kalau pada akhirnya ia hanya melamun seorang diri.

            “Mikirin apa, sih, Bos?” tanya Damar, tidak tahan untuk tidak bertanya.

            “Sudah kubilang, jangan panggil Bos.”

            Damar tersenyum, ia lebih suka memanggil Bos, lebih sesuai untuk lelaki itu. Marlo mempunyai aura kepemimpinan yang kuat ditambah sifatnya yang keras dan dominan. Hanya saja, beberapa hari ini Damar melihat ada sesuatu yang berbeda dari diri lelaki berjambang tipis itu. Seolah-olah ada mendung bergelayut di depan wajah kerasnya. Tingkat konsentrasi Marlo juga sedikit menurun.

            Kemarin pagi ada laporan keuangan yang lolos dari pengawasan Marlo. Hal itu baru terjadi kali ini. Damar curiga ada kaitannya dengan Kania.

            “Bos, ada Kania, tuh.”

            Marlo segera berdiri tegak, celingukan mencari orang yang barusan disebut oleh Damar.

            Damar terkekeh puas, ternyata kecurigaannya benar.

            “Brengsek!” Marlo memaki lelaki muda di depannya.

            Ia meraup mukanya dengan kedua telapak tangan. Mungkin sekarang ia sudah menjadi gila.

            Setelah mengambil ponselnya dari meja, Marlo segera berlalu meninggalkan Damar. Ia jengkel setengah mati karena bertingkah konyol di depan pemuda itu.

            “Lho, kok pergi, bos tungguin, dong, tunggu!” Damar segera beraanjak setengaah berlari mengejar Marlo.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Lumpuh

    Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Setia

    Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Memory

    Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Restu

    Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Tentang Clarissa

    Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Anjani

    "Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status