Share

Persekongkolan

         

          Marlo melangkahkan kaki dengan ragu. Sebenarnya ia enggan sekali kembali ke rumah besar ini, walaupun ia sangat berhak berada di tempat tersebut. Jerih payah sang kakaklah yang membuat rumah megah bak istana itu berdiri. Banyak tahun telah ia lalui di rumah ini, banyak kenangan indah sekaligus sangat buruk berada di rumah ini.

            Marlo melepas kaca mata hitam, lalu memperhatikan halaman luas di sekelilingnya. Dilihat sekilas tak jauh berbeda dari terakhir kali ia berada di sini belasan tahun lalu. Mungkin karena beberapa pegawai rumah tangga yang sama masih berada di sini, kecuali Berto yang memilih mengikutinya.

            Memorinya kembali pada kejadian belasan tahun lalu, yang membuatnya pergi dari sini.

            Peringatan seratus hari meninggalnya Erlangga Hadinegoro dihadiri para kerabat dan kolega. Kumpulan orang berbaju warna berkabung memenuhi rumah mereka. Marlo mengenal hampir seluruh orang yang hadir.

            Di tengah-tengah ruangan tampak Clarissa yang tampil cantik dengan setelan hitam. Wajahnya terlihat dipoles make up tipis dan sengaja diberi kesan pucat. Marlo tahu betul cara Clarissa bermain drama untuk menarik simpati publik. Seorang janda muda yang ditinggal mati suami tercinta, meninggalkan seorang putra yang masih balita. Siapa yang tidak merasa kasihan dan prihatin.

            Satu per satu undangan meninggalkan rumah setelah acara selesai. Marlo terpaksa berdiri berdampingan dengan kakak iparnya, menerima ucapan belasungkawa dari para undangan yang meninggalkan lokasi.

            “Mulai sekarang kamu tidak perlu datang lagi ke kantor Mas Erlangga. Untuk apa? Sudah kamu fokus kuliah saja. Jangan sampai sia-sia abangmu menyekolahkan dirimu.”

Clarissa menghadang langkah Marlo yang akan kembali ke kamar di lantai atas.

            Saat itu usia Marlo baru menginjak delapan belas, awal masuk kuliah bisnis. Ia sudah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri favorit, semua karena hasil kerja keras dan bimbingan dari Erlangga dan Anjani. Namun, kini kedua orang yang sangat dikasihi itu telah pergi meminggalkannya seorang diri di dunia.

            Marlo mengamati sang kakak ipar dengan tatapan sinis. Ia tak pernah sudi berbicara dengan wanita culas itu.

            “Hak waris perusahaan Mas Erlangga jatuh ke tangan putraku, Barry. Sambil menunggu ia layak untuk mengambil alih, aku yang akan memastikan sendiri perusahaan kakakmu dijalankan dengan baik dan benar.” Clarissa tersenyum penuh kemenangan.

            Amarah di dada Marlo tersulut. Namun, ia sudah belajar untuk mengendalikan diri. Suatu ajaran dari Anjani yang sampai saat ini masih ia lakukan. Buku jari Marlo tampak memutih dalam genggamannya. Rasanya ia akan tega membunuh dengan kedua tangannya sendiri, wanita culas yang kini berdiri di hadapannya dengan topeng cantik.

            Tanpa memberikan jawaban atas pernyataan Clarissa, ia bergegas ke kamar. Marlo mengambil dua koper besar miliknya, menjejalkan semua barang yang ingin dibawa. Ia tak sudi harus tinggal satu atap dengan wanita yang telah menghancurkan keluarganya.

Sebuah ketukan di pintu terdengar.

            “Tuan muda Marlo, ini saya, Berto, susu anda sudah siap, Tuan,” seru suara dari balik pintu.      

            Marlo membukakan pintu untuk pelayan setia kakaknya.

            “Tuan muda mau ke mana?” Berto tampak khawatir melihat tuan mudanya terlihat kalut dan mulai berkemas.

            “Tuan, tuan mau ke mana?” Berto bertanya sekali lagi karena Marlo tak juga menyahut.

            Marlo akhirnya menghentikan kegiatan, menatap lelaki kurus yang membawa segelas susu untuknya.

            “Aku mau pergi dari rumah ini, Berto. Tak ada alasan lagi untuk bertahan di sini.”

            Berto memperhatikan tuan mudanya.

            “Aku akan tinggal di pinggir kota, ada satu rumah milik Nenek yang kosong. Jaga diri kamu baik-baik ya, Berto.”

            Di luar perkiraan, Berto ternyata segera membantunya berbenah. Lelaki berkumis tipis itu memaksa Marlo menghabiskan segelas susu, sementara dirinya merapikan semua barang sang tuan mua, lalu dimasukkan rapi ke dalam dua koper.

            “Tuan muda tunggu di sini, saya juga akan beberes sebentar, saya ikut ke manapun tuan muda pergi.” Tanpa menunggu jawaban dari Marlo lelaki kurus yang lebih tua dari Marlo itu segera melesat pergi ke luar kamar.

            Mereka berdua pergi dari rumah besar itu tanpa menoleh ke belakang. Marlo tahu Clarissa tertawa bahagia di belakang sana. Namun, ia berjanji akan mengabdikan hidupnya kelak untuk membalas apa yang perempuan itu telah perbuat kepada keluarganya.    

           

“Tuan muda Marlo ...,” Sebuah suara familiar muncul dari balik pintu raksasa, membuyarkan memori yang baru saja dikenangnya.

Seorang wanita paruh baya dengan baju pelayan muncul, wajahnya semringah melihat tuan mudanya kembali.

“Tuan muda, tuan muda Marlo ...,” Wanita itu mendekat seolah-olah ingin memeluk Marlo, tetapi cukup sungkan, tidak mau dianggap lancang memeluk sang majikan.

“Bi Yani!” seru Marlo. Kini ia yang justru mendekat dan memeluk erat wanita paruh baya itu, wanita yang dulu sering mengasuh dirinya ketika kecil.

Air mata wanita berambut kelabu itu tumpah dengan sendirinya. Ia memeluk erat momongannya dulu.

“Bi Yani sehat?”

Wanita itu melepaskan pelukan, lalu buru-buru mengangguk.

“Tuan muda meninggalkan kami semua tanpa pamit. Bi Yani senang sekali bisa melihat tuan muda lagi, sudah dewasa sekarang.”

“Iya Bi, aku minta maaf, ya.”

Suara Marlo terdengar lembut tidak seperti biasanya.

“A-a-ayo tuan muda silakan masuk, saya buatkan minum, ya? Nyonya besar sedang ada di dalam. Mau saya sampaikan?”

“Udah, Bi, nggak usah repot-repot. Biar saya masuk sendiri saja, ya, Bi.”

***

            “Barry, Mama sudah bilang, kan? Jangan kamu bawa perasaanmu.” Nada suara Clarissa meninggi.

            “Berkali-kali perasaanmu itu membuat kita semua rugi!”

            Barry tak menjawab amarah sang ibunda. Mereka sedang berselisih paham mengenai Kania. Seorang mata-mata Clarissa melaporkan bahwa Barry singgah di rumah Kania cukup lama, bahkan ada foto-foto mereka saat berkumpul bersama di rumah Kania, termasuk foto Barry bersama Kania dan Nadin. Clarissa marah besar, ia tidak mau Barry benar-benar jatuh hati pada wanita dari kalangan bawah itu.   

            “Namanya perasaan itu tidak bisa dibawa-bawa, Ma! Itu datang dengan sendirinya.” Barry akhirnya bersuara. “Ma, apa salahnya jika aku bersama Kania? Kania terpelajar dia juga bisa menempatkan diri dengan baik.”

            “Omong kosong! Tidak ada ceritanya anak Mama bersama dengan seorang gembel, apalagi janda.”

            “Ingat Barry, kamu harus patuhi kata-kata Mama, buat Kania jatuh cinta padamu, silakan, buat ia memberikan semua informasi yang kita perlukan bagi perusahaan. Setelah itu segera tinggalkan dia. Pecat dia kalau perlu.” Clarissa menarik napas sebelum melanjutkan. “Jika tidak kamu tahu apa yang dapat Mama lakukan dengan tangan Mama, kan? Kamu masih ingat Savitri? He?”

            Barry seketika membisu, mukanya memucat. Nama Savitri rupanya sangat berarti baginya.

***

            Di sudut ruang tamu, Marlo mendengar dengan jelas setiap kata yang keluar dari mulut Clarissa. Sebuah persekongkolan kembali dilakukan.

            Dasar, wanita brengsek! Marlo memaki mantan kakak iparnya dalam hati.

            Ia tidak menyangka perseteruan mereka akan melibatkan Kania.

            Marlo segera berbalik arah, niatnya untuk datang ke rumah tersebut sudah hilang. Kini ia harus mencari cara supaya Kania tidak terlibat terlalu jauh. Dan yang paling penting, jangan sampai Kania terluka.

(to be continue)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status