Share

Risau

          Kania mempersiapkan sekeranjang penuh keperluan piknik hari ini. Sekotak roti lapis isi keju, ham, dan selada telah selesai dipotong siap untuk disantap nanti. Dua botol jus jeruk  dan jambu kesukaan Nadin sudah masuk ke dalam keranjang, begitu juga dengan toples minum air putih. Aneka biskuit dan makanan kecil yang bisa disantap Nadin maupun orang dewasa tak ketinggalan. Sebagai menu utama, Kania membuat spaghetti brulee. Tiga kotak alumunium foil berisi pasta yang sudah dipanggangg itu akhirnya masuk juga ke keranjang piknik.

           “Mama sudah siap?” Nadin muncul dari dalam kamar berjalan riang ke arah Kania yang sibuk di dapur.

           Gadis mungil itu sudah siap berangkat dengan legging dan kaus berwarna pink,terlihat girang  penuh semangat. Hari ini, sesuai janji Barry, mereka bertiga akan pergi piknik.

            “Siap tuan puteri ...,” ujar Kania membalas kegirangan anaknya. “Tapi tunggu sebentar, Mama ganti baju dulu, ya.”

            Kania menantang keranjang pikniknya sampai ke ruang tamu, meletakkan keranjang dari anyaman enceng gondok itu di atas meja kayu. Ia gegas menuju kamar, bersiap berganti pakaian.

            Kania menerima ajakan Barry untuk piknik bertiga. Sebenarnya lebih karena tidak tega melihat Nadin yang mengiba di depannya kemarin. Barry langsung mengajak Nadin tanpa sepengatahuan Kania, setelah sang putri setuju, baru lelaki itu menyampaikan kepada Kania. Akhirnya wanita itu tidak bisa menolak.

            Suara klakson mobil di depan menandakan sang penjemput sudah tiba. Nadin bergegas lari keluar, beberapa detik kemudian ia kembali ke dalam.

            “Mama! Oom Barry sudah datang, ayo, Ma!” teriak gadis keil itu tidak sabar.

            Ibunda Nadin segera manantang keranjang piknik yang sudah disiapkan. Berpamitan pada Bi Darni lalu segera keluar rumah diiringi si bocah kecil yang meloncat-loncat kegirangan.

            Kali ini Kania mengenakan celana denim pudar sepanjang mata kaki yang dipadu dengan kaus v-neck warna putih, rambut sebahunya ia urai lepas, dipercantik dengan sebuah bandana warna cerah. Tak lupa sebuah syal manis berwarna merah muda melingkar di leher jenjangnya.

“Cantik sekali, Bu,” seloroh Barry saat membukakan pintu penumpang untuk Kania dan Nadin.  Sejujurnya ia sangat terpukau melihat Kania di luar baju kerja sehari-hari, terlihat santai dan amat sangat cantik. 

Kania melirik masam ke arah Barry. Selama ini wanita itu selalu menjauhi berbagai macam hubungan pribadi semacam ini. Kali ini ia beniat tetap bertahan. Namun, tak dapat dipungkiri pesona sang CEO begitu kuat.

Setelah meletakkan keranjang piknik di bagasi belakang, Barry segera menuju ke kemudi. Mobil sport keluaran terbaru itu meluncur manis ke jalanan. Nadin dengan gembira melambaikkan tangan kepada Bi Darni yang mengantar sampai pagar.

“Dada ... Bi Darni!” seru Nadin di pangkuan Kania.

Bi Darni membalas lambaian gadis kecil yang sudah ia anggap sebagai cucu. Ia senang nona mudanya bersedia meluangkan waktu untuk bersenang-senang, dan berharap Pak Barry adalah laki-laki yang tepat untuk Kania.

***

Mobil Marlo baru saja tiba ketika mobil Barry mulai melaju. Lelaki itu keluar dari mobil yang ia parkir tepat di depan rumah Kania.

“Cari siapa, Pak?”sapa Bi Darni

“Kania ada, Bu?”

Bi Darni mengamat-amati lelaki jangkung yang ada di depannya, terasa cukup familier.

“Maaf, Pak, baru saja Non Kania sama Nadin pergi, mau piknik katanya.”

Lelaki berbaju kasual itu tertegun, ia sempat melihat mobil sport milik Barry. Apakah Kania pergi bersama Barry?

“Ooo, pergi sama yang barusan naik mobil warna putih itu, ya, Bu?”

“Iya, Pak. Em-bapak siapa? Nanti kalau Non Kania pulang biar saya sampaikan.”

“Oh, nggak usah, Bu, nggak papa, kok. Lain kali saja saya ke sini. Mari, saya permisi.”

Marlo segera kembali ke mobil dan meajukan mobilnya menderu membelaah pagi.

Sial, aku terlambat! Mungkinkah Kania kini sudah menerima Barry? batin Marlo.

***

            Marlo berkendara dengan kecepatan tinggi tanpa tahu tujuan. Minggu pagi yang cerah, biasanya akan ia gunakan waktu untuk istirahat di rumah atau pergi bermain basket. Namun, kini tidak ada satu kegiatan pun yang menarik mood-nya  

Kenyataan bahwa Kania sedang bersama Barry membuat hatinya panas. Ia mengira Kania adalah wanita cerdas, tetapi kenapa justru sekarang ia meladeni Barry. Bocah tolol yang sok ganteng. Otak Marlo berputar-putar dengan satu nama, Kania.

Marlo menepikan mobil sebentar ke bahu jalan, lalu mencari ponselnya di saku.

Ia mencari satu nama untuk dihubungi.

            “Damar, lagi di mana kamu?” Tidak ada nada ramah dalam suara lelaki itu.

            “Lagi di apartemen, Bos,” jawab suara di ujung telepon.

            “Kamu siap-siap, saya jemput kamu sekarang. Tungguin saya di depan!”

            Itu adalah perintah, tentu saja Damar tidak sempat memprotes karena Marlo langsung menutup telepon.

***

            Nadin berlari-lari sambil membawa benang layang-layang. Angin yang berhembus sepoi-sepoi menerbangkan layang-layang berbentuk hati miliknya ke angkasa, meliuk-liuk indah bak penari.

 “Jangan jauh-jauh, ya, Sayang!” teriak Kania.

Wanita itu duduk bersila di atas sebuah alas duduk yang sudah disiapkan oleh Barry. Aneka makanan dan minuman yang dibawa telah di tata rapi di tengah alas duduk tersebut. Sekotak roti lapis sudah habis oleh mereka.

Barry yang duduk berselonjor kaki di seberang Kania melambai-lambaikan tangannya kepada Nadin.

“Nadin beruntung sekali punya ibu seperti dirimu.” Barry mengalihkan pandangaan epada wanita cantik di seberangnya. “Cantik, baik, jago masak.”

“Sudahlah hentikan omong kosongmu, aku nggak akan tergoda.” Kania tersenyum sambil melempar sebatang rumput kering ke arah Barry.

 “Terima kasih Kania, sudah mengijinkan aku ngajak kalian berpiknik.”

“Gimana aku nggak ngijinin? Nadin yang memaksa.”

“Jadi trikku sukses, kan? Ajak anaknya dulu baru emaknya.” Barry nyengir memperlihatkan gigi geligi yang rapi.

“Aku penasaran, seorang tampan sepertimu tidak punya kekasih? Kini malah menghabiskan waktu dengan emak-emak dan bocah kecil seperti kami.”

 “Duh, bilang aja mau nanya? Aku punya pacar atau belum?”

“Eh, siapa, nggak, aku nggak bilang gitu, ya ... kamunya aja ke-ge-er-an.”

Kania melemparkan lagi sebatang rumput kering. Kali ini Barry tidak mau tinggal diam, ia balas dengan melempar beberapa daun kering, membuat beberapa tersangkut di rambut Kania. Mereka terus bercanda hingga Nadin datang. Mereka melanjutkan dengan makan siang bersama. Orang lain yang melihat mungkin akan menyangka mereka adalah sebuah keluarga kecil yang bahagia.

***

Damar membisu di depan Marlo yang sedang jengkel. Seorang pelayan kafe mendekat untuk mengantar pesanan, segelas lemon squash dan sebotol minuman keras dosis rendah.  

“Kamu tahu ada hubungan Barry dengan Kania?”

Damar terlihat bingung sebelum menjawab. Apakah tampang Marlo yang kesal ini karena Kania?

“Emang kenapa, Bos?”

“Sudah bilang jangan panggil, Bos!”

“Ya, maaf, Oom Marlo,”

“Kamu, kan, sering ngobrol sama Kania. Dia pernah cerita tentang Barry?”

Damar menatap lekat sang paman, kini ia yakin kerabatnya ini memang sedang jatuh hati pada Kania.

“Setahu saya, dulu, waktu di kebun, Kania pernah bilang, kalau Barry dan dirinya tidak ada hubungan spesial. Dan saya percaya, sih.”

Damar menunggu reaksi lelaki berbaju kasual di depannya. Ia meneguk segelas lemon squash yang terhidang di meja. Pelayan kembali datang membawa dua piring penuh aneka seafood. Tadi saat Marlo menelepon dirinya sedang bersiap untuk makan siang. Ia terpaksa meninggalkan makan siangnya demi sang paman yang sedang risau.    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status