Share

Risau

last update Last Updated: 2021-04-18 19:24:07

          Kania mempersiapkan sekeranjang penuh keperluan piknik hari ini. Sekotak roti lapis isi keju, ham, dan selada telah selesai dipotong siap untuk disantap nanti. Dua botol jus jeruk  dan jambu kesukaan Nadin sudah masuk ke dalam keranjang, begitu juga dengan toples minum air putih. Aneka biskuit dan makanan kecil yang bisa disantap Nadin maupun orang dewasa tak ketinggalan. Sebagai menu utama, Kania membuat spaghetti brulee. Tiga kotak alumunium foil berisi pasta yang sudah dipanggangg itu akhirnya masuk juga ke keranjang piknik.

           “Mama sudah siap?” Nadin muncul dari dalam kamar berjalan riang ke arah Kania yang sibuk di dapur.

           Gadis mungil itu sudah siap berangkat dengan legging dan kaus berwarna pink,terlihat girang  penuh semangat. Hari ini, sesuai janji Barry, mereka bertiga akan pergi piknik.

            “Siap tuan puteri ...,” ujar Kania membalas kegirangan anaknya. “Tapi tunggu sebentar, Mama ganti baju dulu, ya.”

            Kania menantang keranjang pikniknya sampai ke ruang tamu, meletakkan keranjang dari anyaman enceng gondok itu di atas meja kayu. Ia gegas menuju kamar, bersiap berganti pakaian.

            Kania menerima ajakan Barry untuk piknik bertiga. Sebenarnya lebih karena tidak tega melihat Nadin yang mengiba di depannya kemarin. Barry langsung mengajak Nadin tanpa sepengatahuan Kania, setelah sang putri setuju, baru lelaki itu menyampaikan kepada Kania. Akhirnya wanita itu tidak bisa menolak.

            Suara klakson mobil di depan menandakan sang penjemput sudah tiba. Nadin bergegas lari keluar, beberapa detik kemudian ia kembali ke dalam.

            “Mama! Oom Barry sudah datang, ayo, Ma!” teriak gadis keil itu tidak sabar.

            Ibunda Nadin segera manantang keranjang piknik yang sudah disiapkan. Berpamitan pada Bi Darni lalu segera keluar rumah diiringi si bocah kecil yang meloncat-loncat kegirangan.

            Kali ini Kania mengenakan celana denim pudar sepanjang mata kaki yang dipadu dengan kaus v-neck warna putih, rambut sebahunya ia urai lepas, dipercantik dengan sebuah bandana warna cerah. Tak lupa sebuah syal manis berwarna merah muda melingkar di leher jenjangnya.

“Cantik sekali, Bu,” seloroh Barry saat membukakan pintu penumpang untuk Kania dan Nadin.  Sejujurnya ia sangat terpukau melihat Kania di luar baju kerja sehari-hari, terlihat santai dan amat sangat cantik. 

Kania melirik masam ke arah Barry. Selama ini wanita itu selalu menjauhi berbagai macam hubungan pribadi semacam ini. Kali ini ia beniat tetap bertahan. Namun, tak dapat dipungkiri pesona sang CEO begitu kuat.

Setelah meletakkan keranjang piknik di bagasi belakang, Barry segera menuju ke kemudi. Mobil sport keluaran terbaru itu meluncur manis ke jalanan. Nadin dengan gembira melambaikkan tangan kepada Bi Darni yang mengantar sampai pagar.

“Dada ... Bi Darni!” seru Nadin di pangkuan Kania.

Bi Darni membalas lambaian gadis kecil yang sudah ia anggap sebagai cucu. Ia senang nona mudanya bersedia meluangkan waktu untuk bersenang-senang, dan berharap Pak Barry adalah laki-laki yang tepat untuk Kania.

***

Mobil Marlo baru saja tiba ketika mobil Barry mulai melaju. Lelaki itu keluar dari mobil yang ia parkir tepat di depan rumah Kania.

“Cari siapa, Pak?”sapa Bi Darni

“Kania ada, Bu?”

Bi Darni mengamat-amati lelaki jangkung yang ada di depannya, terasa cukup familier.

“Maaf, Pak, baru saja Non Kania sama Nadin pergi, mau piknik katanya.”

Lelaki berbaju kasual itu tertegun, ia sempat melihat mobil sport milik Barry. Apakah Kania pergi bersama Barry?

“Ooo, pergi sama yang barusan naik mobil warna putih itu, ya, Bu?”

“Iya, Pak. Em-bapak siapa? Nanti kalau Non Kania pulang biar saya sampaikan.”

“Oh, nggak usah, Bu, nggak papa, kok. Lain kali saja saya ke sini. Mari, saya permisi.”

Marlo segera kembali ke mobil dan meajukan mobilnya menderu membelaah pagi.

Sial, aku terlambat! Mungkinkah Kania kini sudah menerima Barry? batin Marlo.

***

            Marlo berkendara dengan kecepatan tinggi tanpa tahu tujuan. Minggu pagi yang cerah, biasanya akan ia gunakan waktu untuk istirahat di rumah atau pergi bermain basket. Namun, kini tidak ada satu kegiatan pun yang menarik mood-nya  

Kenyataan bahwa Kania sedang bersama Barry membuat hatinya panas. Ia mengira Kania adalah wanita cerdas, tetapi kenapa justru sekarang ia meladeni Barry. Bocah tolol yang sok ganteng. Otak Marlo berputar-putar dengan satu nama, Kania.

Marlo menepikan mobil sebentar ke bahu jalan, lalu mencari ponselnya di saku.

Ia mencari satu nama untuk dihubungi.

            “Damar, lagi di mana kamu?” Tidak ada nada ramah dalam suara lelaki itu.

            “Lagi di apartemen, Bos,” jawab suara di ujung telepon.

            “Kamu siap-siap, saya jemput kamu sekarang. Tungguin saya di depan!”

            Itu adalah perintah, tentu saja Damar tidak sempat memprotes karena Marlo langsung menutup telepon.

***

            Nadin berlari-lari sambil membawa benang layang-layang. Angin yang berhembus sepoi-sepoi menerbangkan layang-layang berbentuk hati miliknya ke angkasa, meliuk-liuk indah bak penari.

 “Jangan jauh-jauh, ya, Sayang!” teriak Kania.

Wanita itu duduk bersila di atas sebuah alas duduk yang sudah disiapkan oleh Barry. Aneka makanan dan minuman yang dibawa telah di tata rapi di tengah alas duduk tersebut. Sekotak roti lapis sudah habis oleh mereka.

Barry yang duduk berselonjor kaki di seberang Kania melambai-lambaikan tangannya kepada Nadin.

“Nadin beruntung sekali punya ibu seperti dirimu.” Barry mengalihkan pandangaan epada wanita cantik di seberangnya. “Cantik, baik, jago masak.”

“Sudahlah hentikan omong kosongmu, aku nggak akan tergoda.” Kania tersenyum sambil melempar sebatang rumput kering ke arah Barry.

 “Terima kasih Kania, sudah mengijinkan aku ngajak kalian berpiknik.”

“Gimana aku nggak ngijinin? Nadin yang memaksa.”

“Jadi trikku sukses, kan? Ajak anaknya dulu baru emaknya.” Barry nyengir memperlihatkan gigi geligi yang rapi.

“Aku penasaran, seorang tampan sepertimu tidak punya kekasih? Kini malah menghabiskan waktu dengan emak-emak dan bocah kecil seperti kami.”

 “Duh, bilang aja mau nanya? Aku punya pacar atau belum?”

“Eh, siapa, nggak, aku nggak bilang gitu, ya ... kamunya aja ke-ge-er-an.”

Kania melemparkan lagi sebatang rumput kering. Kali ini Barry tidak mau tinggal diam, ia balas dengan melempar beberapa daun kering, membuat beberapa tersangkut di rambut Kania. Mereka terus bercanda hingga Nadin datang. Mereka melanjutkan dengan makan siang bersama. Orang lain yang melihat mungkin akan menyangka mereka adalah sebuah keluarga kecil yang bahagia.

***

Damar membisu di depan Marlo yang sedang jengkel. Seorang pelayan kafe mendekat untuk mengantar pesanan, segelas lemon squash dan sebotol minuman keras dosis rendah.  

“Kamu tahu ada hubungan Barry dengan Kania?”

Damar terlihat bingung sebelum menjawab. Apakah tampang Marlo yang kesal ini karena Kania?

“Emang kenapa, Bos?”

“Sudah bilang jangan panggil, Bos!”

“Ya, maaf, Oom Marlo,”

“Kamu, kan, sering ngobrol sama Kania. Dia pernah cerita tentang Barry?”

Damar menatap lekat sang paman, kini ia yakin kerabatnya ini memang sedang jatuh hati pada Kania.

“Setahu saya, dulu, waktu di kebun, Kania pernah bilang, kalau Barry dan dirinya tidak ada hubungan spesial. Dan saya percaya, sih.”

Damar menunggu reaksi lelaki berbaju kasual di depannya. Ia meneguk segelas lemon squash yang terhidang di meja. Pelayan kembali datang membawa dua piring penuh aneka seafood. Tadi saat Marlo menelepon dirinya sedang bersiap untuk makan siang. Ia terpaksa meninggalkan makan siangnya demi sang paman yang sedang risau.    

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Lumpuh

    Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Setia

    Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Memory

    Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Restu

    Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Tentang Clarissa

    Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Anjani

    "Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status