Share

Cemburu

last update Last Updated: 2021-04-13 22:29:46

           

          Semenjak kejadian di lift, terjadi perang batin dalam hati Marlo. Ada rasa baru bergejolak di hatinya yang berusaha ia lawan. Sebuah rasa aneh yang muncul untuk Kania selalu menyeruak. Bayangan Kania sesekali menyelinap di benaknya.

           Mereka sempat berpapasan beberapa kali di kantor semenjak terakhir ia mengantar pulang wanita itu. Kania seolah-olah tidak merasa terjadi sesuatu di antara mereka, bahkan cenderung dingin terhadapnya. Hal itu membuat Marlo kembali membangun dinding-dinding pertahanan diri. Ia tidak mau sampai terlena dengan pesona Kania, apalagi harus bertekuk lutut kepada wanita itu. 

            Marlo kini sedang menuju ruang rapat utama, ketika melihat dari sudut matanya, Kania dan Barry sedang berdiskusi di ruangan Barry. Ia berhenti sebentar di depan ruangan dengan dinding kaca itu, mengamati Kania yang sedang duduk di depan laptop andalannya. Mata wanita itu terpaku pada layar di depan, sementara bibirnya terus menerus bergerak, sesekali tangannya menunjuk ke arah layar. Sementara itu Barry lebih terlihat seperti terpesona kepada Kania daripada memperhatikan layar yang ditunjuk oleh wanita itu.

            ‘Dasar mata keranjang!’ gerutu Marlo dalam hati.

            “Bisa dibantu, Pak? Bapak mau bertemu dengan Pak CEO?” Suara sekretaris Barry membuat Marlo kembali tersadar.

            “Nggak papa, saya mau rapat.” Marlo bergegas meninggalkan wanita muda yang keheranan melihat dirinya terbengong di depan ruangan sang bos.

            Sambil berjalan menjauh, Marlo berkali-kali meraup muka dengan telapak tangan.

            ‘Parah, gue nggak bisa lihat bayangan Kania sekelebat saja,’ batin Marlo.

            Ia bergegas masuk ke ruang rapat, menyibukkan diri dengan materi-materi yang diberikan divisi humas kepadanya.

Hari ini moodnya sangat jelek, seluruh tim yang ikut rapat dengannya menjadi sasaran. Semua hal terasa salah dan tidak pada tempatnya.

***

Kania mencoba menjelaskan satu per satu permasalahan perusahaan. Satu jam lagi ia harus mendampingi sang CEO bertemu dengan pihak transportir produk. Kania mencoba menjelaskan dengan grafik dan angka, bahkan dengan beberapa gambar yang sengaja ia minta dari lapangan. Ia memastikan bahwa Barry paham betul akan situasi yang dihadapi oleh perusahaan. 

“Selama kamu ada mendampingi saya, yakin semua masalah bisa diselesaikan.” Barry bersedekap sambil mengamati rangkaian grafik, gambar, dan angka-angka yang tlah disusun oleh Kania.

“Kamu harus paham seluruhnya, sebelum pihak transportir membombardir kita dengan tuntutan mereka.”

“Ya, ya, ya, ... selama kau yang menjelaskan, aku paham, kok.”

Hubungan Kania dan Barry makin akrab hingga masing-masing sudah memanggil dengan nama saja, tidak formal seperti awal mereka berjumpa.

Sesuai janjinya, Barry selalu mengantar Kania pulang ke rumah. Pribadi Barry yang ramah dan rendah hati membuat Kania nyaman berada dekat dengannya. Barry tak sungkan untuk bersikap romantis, walaupun berkali kali Kania menyatakan bahwa dirinya memang tidak ingin mempunyai hubungan spesial dengan laki-laki.

“Gimana, sudah paham?” Wanita itu menatap sang CEO yang manggut-manggut mencoba menerima apa yang disampaikannya.

“Udah.”

Kania tersenyum puas, tidak sia-sia ia lembur kembali tadi malam menyiapkan segala sesuatu untuk sang CEO.

“Udah cukup, kok. Saya paham apa yang nanti akan kita sampaikan ke mereka.”

“Jadi kita berangkat sekarang? Masih ada waktu tiga puluh menit untuk pergi ke The Palace.” Kania segera merapikan laptop dan perlengkapannya.

Wanita itu lalu menghubungi sopir kantor melalui telepon, meminta untuk bersiap di lobby karena mereka akan segera berangkat ke The Palace, sebuah restoran hotel bintang lima tak jauh dari kantor.          

Barry sedang menerima laporan dari sang sekretaris saat Kania berhasil menyusulnya keluar ruangan membawa satu tas penuh berisi materi rapat.

“Pak, tadi Pak Marlo sepertinya ingin bertemu Bapak di ruangan, tapi tidak jadi, mungkin karena tidak ingin mengganggu Bapak tadi, sekarang beliau sedang rapat di ruang meeting utama.” Sekretaris Marlo melapor ketika mereka keluar ruangan.

“Saya nggak janjian sama Oom Marlo, nanti deh saya hubungi sendiri. Makasih ya Tasya.”

Tasya mengangguk.

Kania yang mendengar laporan sang sekretaris berpikir, apakah karena dirinya Marlo tidak jadi bertemu dengan Barry? Apakah Marlo masih marah padanya? Semenjak kejadian di lift, ia belum berbicara kembali dengan Marlo. Jujur perkataan lelaki itu saat di lift sangat membekas di hatinya. Sebegitu jelekkah dirinya di mata lelaki semacam Marlo?

Teringat tatapan jijik yang pernah di lempar kepadanya membuat hati Kania semakin terluka, walaupun terakhir mereka bersama tatapan seperti itu sudah hilang.

“Oi, kok bengong aja, ayo naik, tuh mobil sudah siap.” Barry menyenggol bahu Kania membuat wanita itu kembali fokus. Mereka sudah berada di lobby kantor.

Kania segera masuk ke kursi penumpang. Sekilas menatap CEO nya yang tampan. Bagaimana mungkin dua orang berbeda kepribadian ini bisa berkerabat? Batinnya membandingkan dua orang bosnya.

***

“Barry!”

Lelaki jangkung itu berhenti menoleh pada sang ibu yang duduk manis di kursi favoritnya di ruang keluarga.

“Kenapa, Ma?”

Barry mendekat, lalu duduk di kursi berbantal bulu angsa di samping ibunda.

“Habis pergi dengan Kania?” tanya wanita itu tajam.

“Iya, meeting di The Palace sama transportir. Mama tahu?”

Clarissa tersenyum jumawa. “Sudah Mama bilang, Mama akan tahu semua hal tentang kamu, Nak.”

Well done, kamu sudah berhasil mendekati Kania.” Senyum sinis wanita itu seolah mengkhianati wajah cantiknya.”Jangan terperosok terlalu jauh, Mama takut pesona Kania menjadi bumerang buatmu.”

Barry tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

“Ckckck ... hebat sekali Mama ini, selalu tahu, semuanya.” Sindir Barry. “Ma, aku sangat respek sama Kania. Mama tidak perlu mengatur aku harus bagaimana.”

Barry berdiri bersiap meninggalkan sang ibu sebelum kembali berkata. “Dan satu lagi Ma, jangan sentuh Kania seujung jari pun. Kalau sampai Mama menyakitinya, Mama akan menyesal,” pungkasnya.

Lelaki jangkung itu meninggalkan Clarissa sendiri. Bergegas naik ke tangga melingkar rumah mewah mereka menuju kamar.

Di dalam kamar, ia segera merebahkan diri ke kasur empuk di tenga ruangan. Kamar ini dulu pernah ditempati olehnya sebelum sekolah di luar negeri. Kini ia kembali di sini. Desain kamar sudah dirubah menjadi kamar dewasa. Kamar besar dengan balkon terbuka, begitu besar kamarnya, tetapi terasa kosong. Sekosong hatinya selama ini. Berkali-kali ia mencoba mengisi hati dengan berbagai cinta ke banyak perempuan, tetapi rasa kosong itu masih ada. Sampai ia bertemu dengan Kania. Setelah bertemu wanita itu dalam beberapa hari ini hatinya tak lagi kosong, ada sebuah nama terukir di sana. Kania.

Kania yang cantik penuh pesona bukan hanya pintar, tetapi juga memiliki hati yang baik dan polos. Dirinya memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan wanita cantik itu. Ia tidak peduli harus melawan sang ibu. Ia jengah selama ini selalu tunduk dalam wewenang ibunya yang otoriter. Ia sudah dewasa, berhak menentukan apa yang terbaik buat dirinya sendiri. Jauh dari bayang-bayang ibunda.

Kania seorang single parent, tetapi hal itu tidak masalah bagi Barry. Besok ia akan mengantar wanita itu pulang ke rumah, lalu ia akan berkunjung, mencoba mendekati keluarga wanita cantik itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Lumpuh

    Marlo melirik rekan seperjalanannya yang sudah terlelap. Baru beberapa menit yang lalu mereka berpamitan dengan Anjani, Damar, dan Divia, tetapi Kania sudah lelap. Tangan kanan lelaki itu masih memegang erat setir mobil yang melaju pelan menuju gerbang tol. Antrian mobil cukup panjang. Sudah biasa terjadi di akhir pekan. Puluhan bahkan ratusan mobil bernomor plat Ibu Kota akan memadati jalur lingkar luar dari arah pinggir menuju dalam kota, bersiap untuk beraktivitas kembali keesokan hari setelah menghabiskan akhir pekan di luar kota.Tangan kiri lelaki berjaket kelabu itu berhasil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di tulang pipi Kania. Diam-diam ia memperhatikan wanita cantik yang tertidur di bangku sebelahnya. Dada Marlo sesak karena bahagia. Tak lama lagi mereka akan disatukan dalam pernikahan. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Dulu ia pikir jatuh cinta hanya dialami oleh orang yang lemah. Namun, kini ia sadar, cinta bisa sangat

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Setia

    Arifin Arsena memacu mobil jeepnya dengan kecepatan mendekati seratus kilometer per jam. Arus macet dari jalur pinggir kota menuju pusat, berlawanan arah dengan laju mobilnya, hingga dengan mudah ia memacu mobil kesayangannya membelah malam di hari Minggu. Lelaki paruh baya itu melirik arloji tuanya yang sudah menunjuk angka sepuluh. Perawakannya yang tegap, tinggi, dan gagah memang sangat pas duduk di kursi pengemudi mobil dengan roda besar itu.Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang didapat pertama kali dari jerih payah bekerja sebagai tangan kanan jutawan terkenal, Erlangga Hadinegoro. Sudah lama sekali, sejak pertama kali ia bertemu dengan lelaki tangguh, pengusaha kawakan pendiri Hadinegoro corp itu. Kala itu, Arifin yang mantan personil seragam hijau sedang dalam kondisi terpuruk. Ia diberhentikan dari satuan tugasnya karena sebuah kasus pidana. Bukan kasus tanpa sebab, ia tidak menyesal dikeluarkan. Satu hal yang diyakininya adalah kesetiaan dan pengor

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Memory

    Divia mengamati Damar yang sedang sibuk membongkar kotak kayu di ruang makan. Kedua tangan lelaki itu menarik tuas kecil di bagian depan kotak kayu yang sepertinya sedikit macet. Tiga kali hentakan kuat, akhirnya kotak kayu itu terbuka."Kotak apa itu?" tanya Divia sambil menjulurkan kepalanya melongok ke bagian gelap kotak kayu.Belum ada jawaban dari Damar. Tangan lelaki itu meraba raba ke dalam kotak."Kamu mau nunjukin apa, sih? Penasaran loh, aku!" Divia melipat kedua lengannya di depan dada.Akhirnya Damar meraih sesuatu dari dalam kotak. Ia mengangkat selembar kertas berwarna pudar. Ia tersenyum, lalu menyodorkan kertas berisi gambar itu ke arah Divia."Lihat ini," ujarnya.Divia semakin mendekat, meraih lembaran itu, lalu mengamatinya dengan seksama."Foto? Foto siapa ini? Wanita cantik ini jelas Ibu kamu." Divia mengamati tiga so

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Restu

    Barry keluar dari kamar mandi dengan wajah terlihat lebih segar. Handuk kecil melilit bagian lehernya. Lima menit yang lalu, pelayan sudah membawakan jus apel lemon ke kamar.“Ini, minum jusmu!” Clarissa menyodorkan minuman dingin berwarna terang dengan gelas tinggi ke hadapan Barry. “Masih pusing?” tanya wanita itu melihat dahi Barry berkerut.Barry mengangguk lalu menerima segelas jus buah dari ibunya. Menenggaknya dalam beberapa teguk. “Makasih, Ma.”“Hm, sekarang duduk, Mama mau ngomong.”Lelaki muda itu menurut, meletakkan gelas tingginya yang kini kosong ke meja, lalu duduk di ranjang. Ia mengusapkan handuk kecil beberapa kali ke dahinya yang sedikit basah.

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Tentang Clarissa

    Clarissa bergeming di tempat duduknya, sebuah sofa tunggal dari bahan beledu cantik, warnanya senada dengan nuansa kamar tidur yang keemasan, terkesan mewah dan glamor. Mata wanita cantik itu menerawang jauh. Kacamata berbingkai emas yang ia kenakan tidak dapat menyembunyikan matanya yang nanar. Ia baru saja menerima telepon dari salah seorang kepercayaannya.“Nyonya, lelaki itu sudah buka mulut. Sepertinya lelaki tua yang mengancamnya itu adalah Arifin. Nyonya ingat? Lelaki kepercayaan mendiang Tuan Hadinegoro dulu,” ucap suara serak di ujung telepon.“Kurang ajar! Bukannya lelaki itu ada di dalam penjara? ““Betul, Nyonya, Arifin menginterogasinya di dalam penjara. Sepertinya ia punya koneksi orang dalam, hingga bisa melakukan ancaman kepada orang kita.”“Kamu habisi saja lelaki itu di dalam penjara! Sekarang! Saya tidak mau si Arifin itu sempat menemukan bukti lain!” tegas Clarissa, suaranya

  • The Crown Prince, Sang Putra Mahkota   Anjani

    "Menurut kamu, Divia sudah tahu mengenai identitas Damar?" Kania melirik ke arah Marlo yang sedang menyetir di sebelahnya."Entahlah, mungkin sudah. Sepertinya hubungan mereka semakin akrab, aku mencium bau romantis di antara mereka."Sontak Kania tertawa terpingkal-pingkal, membuat Marlo melirik kekasihnya itu dengan tatapan tersinggung."Kok malah ketawa?"Kania buru-buru menahan tawanya sambil geleng-geleng kepala. "Sorry, Sayang, kamu bilang mencium bau romantis, mendengar kamu yang bilang seperti itu membuatku geli, Tuan Serius!"Akhirnya, Marlo mengulas senyum juga di bibirnya, memang benar yang diucapkan Kania. Dia orang yang serius, tak pernah kenal istilah cinta apalagi romantis. Namun, kebersamaan dengan Kania merubah semuanya. Indra perasanya menjadi semakin peka."Aku berkali-kali menggoda Divia soal hubungannya dengan Damar, tetapi dia selalu mengalihkan pembicaraan."

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status