Suasana di kantin sangat ramai. Meja-meja telah penuh. Dari sekian banyak gerai yang menyediakan makanan yang berbeda-beda, tidak ada satu pun yang terlihat sepi.
Hal itu sangat berbeda dengan suasana perpustakaan yang tampak lengang. Tidak banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu di sana, hanya segelintir saja. Itupun tidak kesemuanya benar-benar berniat untuk membaca buku atau mencari referensi tertentu.
Ada saja mahasiswa yang duduk lesehan di pojokan sekadar untuk menghabiskan waktu kosong dengan tidur di dalam perpustakaan. Suasana yang tenang dengan suhu ruangan yang dingin, sungguh lokasi yang pas untuk terlelap.
Tidak sedikit pula yang hanya berkumpul dan menggosip, sambil melahap kudapan yang dibawa secara sembunyi-sembunyi agar tidak terlihat dari pantauan penjaga perpustakaan.
Pasalnya, sepinya perpustakaan sudah menjadi budaya yang sangat lumrah terjadi. Selain karena penjaga perpustakaan yang dinilai kurang ramah, bahkan cenderung galak, para mahasiswa memiliki kebiasaan yang unik. Mereka baru akan mengunjungi perpustakaan jika telah dekat dengan batas akhir pengumpulan tugas.
Tapi tidak demikian dengan Smith. Baginya, berada di sekeliling buku lebih menyenangkan dan berfaedah, ketimbang mendengarkan ocehan tidak berguna dari orang-orang yang saling memuji kelebihan masing-masing, ataupun mengolok-olok orang-orang yang dipandang sebelah mata.
"Ooo...." kata Janu yang terkejut karena tanpa sengaja ia memegang buku yang sama dengan yang hendak diambil Smith dari rak buku. Ia yang sebelumnya telah mengambil sebuah novel, yang kemudian ia baca sekilas isinya masih dengan posisi berdiri, tidak menyadari kedatangan Smith di sekitarnya.
Smith yang juga terkejut, langsung refleks menatap mata Janu yang indah seperti mata kucing. Ia sudah pernah melihat mata seindah itu, yakni pada seseorang yang tidak akan pernah bisa ia lupakan. Tapi sayangnya, orang tersebut tidak akan pernah bisa ia jumpai lagi. Mungkin karena itulah melihat mata Janu bisa membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Smith yang sempat tertegun beberapa detik, kemudian melepaskan buku yang ia pegang. Lalu, bergegas membalikkan badan untuk pergi dari Janu.
"Sas! Maksudku... Smith!" panggil Janu membuat Smith menghentikan langkah kakinya. Tapi gadis itu tidak membalikkan badan atau sekadar menoleh.
"Ini untukmu saja. Aku sudah mengambil novel lain sebelumnya," ujar Janu yang sudah berada di samping Smith. Ia menyodorkan buku yang baru ia ambil dari rak pada Smith sembari menyunggingkan senyum.
Tapi Smith yang sudah terlanjur biasa bersikap dingin kepada siapapun, hanya melihat buku itu sejenak. Lantas pergi begitu saja, tanpa mengatakan apa-apa.
Meninggalkan Janu yang tersenyum semakin lebar, tidak merasa kesal sedikitpun.
***
Janu memang seorang yang sangat sabar. Ia juga begitu dewasa dalam menyikapi segala hal.
Janu tidak hanya melihat satu masalah atau keadaan atau apapun itu dari satu sisi. Ia selalu berusaha untuk tetap melihat hal apapun dari sisi lainnya juga.
Dan itu membuat Janu menjadi seorang yang lebih maklum pada apa-apa di sekitarnya. Tidak mudah mengambil simpulan, termasuk dalam hal menilai orang lain.
Janu tidak hanya memiliki hati yang baik, tetapi juga fisik yang menawan. Ia memiliki postur tubuh yang tinggi dan gagah, badan tegap, serta wajah yang rupawan dengan senyum yang selalu terpasang.
Selain itu, Janu juga memiliki otak yang cemerlang. Ia bahkan selalu menjadi juara umum di sekolahnya dulu. Dan hal itu menjadi modal baginya untuk bisa mendapatkan pendidikan di universitas yang ia inginkan, dengan percuma alias tanpa biaya sepeser pun sampai lulus nanti.
Janu merasa sangat beruntung sebab dirinya bisa mendapatkan beasiswa dengan begitu mudah. Jika tidak, mungkin ia harus bekerja keras terlebih dahulu. Baru setelah memiliki cukup uang, akan melanjutkan pendidikannya.
Benar, Janu memang dilahirkan dari keluarga dengan latar belakang menengah ke bawah. Bahkan sejak kecil ia diasuh oleh pamannya karena kedua orang tuanya telah meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.
Meskipun demikian, Janu tidak pernah pesimis. Ia selalu berpikir positif dan semangat dalam menjalani hidup. Ia yakin semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mewujudkan cita-citanya. Ada banyak jalan untuk itu. Dan jalan tersebut hanya akan tersedia bagi mereka yang selalu berusaha pantang menyerah.
Janu sendiri memilih jurusan sastra lantaran ingin menjadi penulis hebat sebagaimana para sastrawan yang ia kagumi. Baginya, tulisan itu sangat ajaib. Tulisan bisa membawa pengaruh besar bagi pembacanya. Bahkan juga bisa mengubah hidup seseorang.
Pemikiran itu pula yang membuat Janu memiliki hobi membaca. Menurut Janu, buku adalah guru yang tidak pernah marah dan tidak pernah pula menuntut. Ia bisa mendapatkan banyak pengetahuan hanya dengan duduk manis.
Janu berharap suatu saat ia bisa menjadi orang bermanfaat, yang bisa menginspirasi orang lain melalui tulisannya.
Ia tidak menduga, jika jurusan yang ia pilih itu mengantarkan dirinya untuk memiliki teman satu kelas yang begitu unik seperti Smith.
***
"Si*lan!" umpat Smith sambil tengkurap dan membenamkan wajahnya ke bantal.
Jam telah menunjuk angka satu. Waktu yang sudah terlalu malam untuk masih membuka mata. Ah, tidak! Itu waktu yang terlalu pagi untuk bangun. Semestinya ia sedang terlelap nyenyak sekarang.
Hari ini Smith memang berbeda. Biasanya ia akan memaksa diri untuk tidur sebelum ayahnya pulang. Baginya malam yang indah adalah saat tidak melihat wajah ayahnya sebelum tidur.
Makanya ia selalu tidur lebih awal ketimbang muda-mudi pada umumnya. Kamarnya telah gelap, dan selimut telah melingkupi seluruh tubuhnya, meski baru pukul 21.00.
Tapi malam ini, matanya selalu menolak untuk dipejamkan. Kalaupun sempat tertutup, Smith lekas-lekas membukanya kembali.
Gadis itu telah duduk, berdiri, lalu berbaring lagi. Ia juga sudah berguling-guling ke kanan dan ke kiri. Tapi otaknya tidak juga mau diajak untuk berhenti berpikir.
Hal yang membuat Smith semakin dongkol adalah ia tidak berhenti berpikir hanya karena terus mengingat mata indah Janu.
"Apa-apaan aku ini? Konyol sekali!" ujar Smith sambil memukul-mukul kepalanya sendiri.
Smith tidak tahu mengapa dan bagaimana, tapi mata Janu yang sangat indah selalu terlintas dalam benaknya, baik saat ia membuka maupun menutup matanya.
Meski sebelumnya Smith telah melihat wajah Janu ketika pemuda itu meminjam pena padanya, ia hanya melihatnya sepintas lalu tanpa memperhatikan dengan teliti.
Dan ia sungguh menyesal telah menatap mata Janu yang sungguh enak dipandang itu.
"Lihat saja, aku akan mencolok matanya besok. Siapa suruh memiliki mata seperti itu," gumam Smith dalam batin.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Judul chapter diambil dari salah satu cerpen karya Ahmad Tohari yang berjudul Mata yang Enak Dipandang.
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.