Suasana sore di butik terasa sangat panas. Bahkan pendingin ruangan seperti tidak berfungsi.
Ketegangan melingkupi batin para karyawan ataupun pengunjung butik. Melihat Smith bersitegang dengan ibu sambungnya.
Para pengunjung yang semula tidak begitu menghiraukan keributan kecil di sana, kini mulai mengabaikan pakaian yang menyita perhatian mereka, dan turut menyimak apa yang terjadi.
Ketika itu, Sheira, sang manajer butik memang sedang tidak bekerja. Ia mengambil cuti karena ibunya sedang sakit.
Itu sebabnya, Smith harus mengurusi sendiri masalah ibu sambungnya yang menyebalkan itu. Biasanya Smith tidak akan keluar ruangan jika Sinta, Sisil, atau ayahnya datang berkunjung. Ia juga meminta Sheira dan para karyawan agar tidak mengatakan keberadaannya.
"Smith, kau tidak boleh pergi jika ibumu sedang bica
Smith masih bisa tersenyum pada seluruh karyawan ketika berjalan masuk ke dalam ruangannya. Orang-orang di dalam butik pun tersenyum lebar, turut senang karena Smith telah memberikan pelajaran telak pada ibu sambungnya yang terlihat sangat kejam itu.Tapi Smith tetaplah gadis biasa, yang memerlukan dekapan dari orang tersayang untuk membantu membuat batinnya tenang kembali.Smith terlihat sangat tegar dan kuat untuk segalanya di hadapan semua orang. Namun, setelah ia masuk ke dalam ruangannya dan pintu telah terkunci, gadis itu tidak bisa lagi menyembunyikan segalanya.Smith merebahkan tubuhnya yang bergetar di atas sofa. Ia meringkuk sambil memeluk erat sebuah bantal berbentuk bunga.Gadis itu memejamkan mata erat-erat. Lekas-lekas diikuti rembesan air hangat dari kedua matanya. Smith menangis tanpa bersuara. Ia tidak menger
Pak Jono menelan ludah. Lidahnya seperti kaku hingga sulit untuk dipakai berbicara."Haaah, apa ini acara yang diadakan Lisa? Untuk apa dia mengadakan acara di rumah saat sedang sakit begitu? Melihat rumah ini, benar-benar membuatku semakin lelah," ujar Hendry yang terus mengoceh karena dongkol. Ia yang sudah sangat letih mengurus perusahaan, masih harus repot dengan masalah rumah tangga yang menurutnya sangat konyol."Tuan, apa Tuan belum tahu apa yang terjadi?" tanya Pak Jono kemudian dengan suara ragu-ragu. Wajah lelaki itu sampai pucat menahan takut."Katakan, apa yang terjadi? Mengapa keluargaku menjadi semakin aneh? Aku tidak habis pikir atas tingkah istri dan anakku. Belum juga seminggu aku tidak pulang, semuanya menjadi sangat berbeda. Bagaimana jika aku pergi selamanya? Aku benar-benar bisa gila," tukas Hendry sembari mengusap dahinya."Tuan, jangan bicara begitu. Kasihan Nona Smith jika Tua
Smith baru keluar dari dalam ruangannya setelah melihat merah di hidung dan matanya telah menghilang. Ia juga berdeham beberapa kali untuk menghilangkan serak dari tenggorokan."Siapa yang datang?" tanya Smith tanpa melihat wajah orang yang ia ajak bicara, khawatir kalau-kalau masih tersisa kesedihan di wajahnya."Tidak tahu, Nona. Dia belum pernah kemari sebelumnya. Saya pikir, dia datang secara khusus untuk mengunjungi Nona," ujar salah seorang karyawan sambil tersenyum-senyum. Smith juga melihat para karyawan lainnya memandang dirinya dengan senyum yang tidak biasa.Hal itu membuat Smith bertanya-tanya, mengapa seorang tamu sampai membuat karyawannya menjadi demikian? Aneh!Ini bukan kali pertama ia mendapat tamu. Orang-orang sering datang menemuinya untuk memesan baju dengan desain khusus. Smith memiliki dua perancang busana yang andal di butiknya, yang bisa memuaskan para pelanggan dengan desain yang dibuat.
Sinta membanting tas mahalnya di sofa. Diikuti tubuhnya yang membuat sofa empuk premium itu bergoyang-goyang.Wajahnya yang kesal membuat Hendry bertanya pada putrinya tentang apa yang terjadi menggunakan bahasa isyarat. Dan Sisil hanya menggeleng karena memang tidak tahu apa yang dialami mamanya di luar sana, hingga pulang dengan wajah masam."Ada apa mama? Bukankah mama tadi keluar untuk berbelanja? Biasanya mama selalu senang setelah pulang dari belanja," tegur Sisil."Haaah, semua ini gara-gara Smith. Aku tidak mendapatkan baju yang aku inginkan, malah dipermalukan di depan orang-orang. Dia benar-benar sudah kelewatan," jawab Sinta masih dengar tubuh lemas menahan kesal."Smith? Kau dari butik Lisa? Mengapa tidak bilang? Aku bisa mengantarmu ke sana. Sudah lama aku tidak mengunjungi butik Lisa," tanya Hendry bersemangat."Haaah, setidaknya tanyakan dulu kenapa aku bisa kesal. Kau ini hanya memikirkan putrimu saja."Sinta mendengus. Ia semakin
Hendry diam. Ia tidak bertanya atau berkomentar. Lelaki itu merenungkan apa yang dikatakan Sinta. Hendry berpikir bahwa perkataan istrinya itu ada benarnya juga.Hendry sangat tahu bahwa hubungan Lisa dan Sheira begitu dekat. Mereka sudah seperti saudara kandung saja.Hendry selalu ingat bahwa Sheira adalah orang yang pertama kali melabrak dirinya ketika ketahuan menghianati Lisa. Di saat Lisa lebih memilih untuk diam dan menangis, Sheira datang ke kantornya dan memaki-maki Hendry di depan banyak orang. Bahkan juga menghadiahkan sebuah gamparan keras di pipi.Tapi sebenarnya Hendry juga tidak begitu yakin kalau Sheira memiliki perasaan padanya. Sebaliknya, selama ini Hendry justru merasa kalau perempuan dengan dua anak itu sangat membencinya jauh sebelum dirinya sukses. Jadi semua omongan Sinta, bisa jadi salah juga."Sisil, tolong ambilkan obat sakit kepala ayah. Tiba-tiba kepala ayah terasa pening sekali," u
Hendry memutuskan untuk menemui Sheira di rumahnya. Sebenarnya ia ragu untuk melakukan apa yang disarankan oleh istrinya. Tapi Hendry ingin mencoba segala cara agar putrinya bisa kembali manis seperti dulu lagi."Silakan."Sheira duduk di kursi kayu setelah meletakkan secangkir kopi pahit di atas meja, di depan Hendry tanpa menyuguhkan senyum."Terima kasih. Seharusnya kau tidak perlu repot seperti ini," kata Hendry memaksa untuk tersenyum.Hendry mengambil cangkir putih itu. Dan matanya terbelalak ketika ia mulai menyeruputnya.Hendry tidak pernah lupa dengan rasa itu. Kopi spesial buatan almarhum istrinya, Lisa. Kopi terbaik dengan takaran yang sangat pas sesuai seleranya.Dan ia juga selalu ingat betapa kasar sikapnya saat memaki Lisa hanya karena secangkir kopi. Padahal itu adalah kopi yang sempurna.Entah mengapa dulu Hendry selalu berusaha mencari-cari kesalahan istrinya itu. Batinnya baru akan puas setelah membentak, menca
Sheira baru bisa keluar rumah setelah ibu dan anak-anaknya tidur. Ia meminta asisten rumah tangganya untuk menjaga mereka selama ia pergi, dan lekas menelpon jika terjadi sesuatu.Sheira menyetir mobil merahnya keluar rumah masih dengan rasa kesal bercampur jijik pada Sinta. Ia bertekad untuk menuntaskan semuanya malam ini."Halo....""Eh, bangs*t, aku tunggu kau di kafe Hawla sekarang! Datang atau aku akan menghancurkan rumahnya!"Sinta yang sebelumnya mengangkat telpon sambil membuka-buka majalah fashion, kini mulai mengangkat pandangannya dan berpikir dengan dahi berkerut.Sinta sangat mengenal suara itu. Suara perempuan yang telah menampar suaminya. Perempuan paling kasar dengan cara bicara yang sangat buruk."Hei, si*lan! Apa kau mendengarku?" bentak Sheira dengan mulut terbuka lebar seperti hendak menelan ponselnya.Tut... Tut... Tut....Sambu
"Apa rencanamu sebenarnya? Apa kau ingin menguasai butik Lisa? Apa merebut Hendry darinya masih belum cukup? Kau memang kurang aj*r!" ujar Sheira yang menahan tangan Sinta yang hendak meminum kopi pesanannya.Sinta tersenyum lebar dan meletakkan cangkirnya. Ia bisa merasakan kemarahan Sheira yang sangat besar padanya melalui genggaman yang kuat."Aku akui, kau memang sangat cerdas. Tapi cerdas saja tidak cukup untuk mendapatkan apa yang kau inginkan. Kau harus sedikit licik hahaha," kata Sinta yang mendekatkan wajahnya ke wajah Sheira."Kau akan menerima akibat dari perbuatanmu. Lihat saja, cepat atau lambat, kau akan menerima karma dari kejahatanmu. Tuhan itu Maha Tahu."Sheira berbicara seperti ingin memakan Sinta. Tulang rahangnya terlihat lebih menonjol dengan gigi-gigi atas dan bawah yang merapat saat berucap."Ayolah, Sheira. Aku sudah terlahir licik. Dan tidak ada karma sampai hari ini.