Share

Tekad Bulat Aurora

                “Pekerjaannya adalah merawat seorang tawanan, apa Nona Aurora bersedia?”

                Aurora menatap Ken dengan mata bulatnya. Pria jangkung itu pun tidak memalingkan wajah darinya.

                “Nona?”

                “Panggil Aurora aja!” pinta Aurora.

                “Ok,” angguk Ken. “Jadi, kamu bersedia?”

                Aurora tidak kunjung menjawab pertanyaan yang diberikan Ken, melainkan sekali lagi menatap berkeliling. Dia masih cukup takjub dengan dekorasi dan segala ornamen serta berbagai pajangan foto juga lukisan yang menghiasi dinding bangunan yang baru dimasukinya beberapa jam itu. Hanya satu kata, keluarga ini benar-benar sangat kaya. Sekilas, Aurora juga kembali mengingat ucapan Raanana yang mengaku teman ayahnya kala SMA bahwa perawat Theo sebelumnya hanya bertahan dalam hitungan bulan. Dari semua informasi itu, Aurora dapat menarik kesimpulan bahwa pekerjaan yang akan dilakoninya ini tidak mudah. Namun, bukankah Candra Akarsana tidak pernah menempuh jalan yang mudah dalam hidupnya? Semua demi anak-anaknya, Aurora salah satunya. Jadi, tidak ada alasan lagi bagi Aurora untuk mundur sekarang.

                “Aurora?”

                Aurora menarik napasnya, “Ya,” jawabnya. “Aku bersedia!” tambah Aurora seraya menatap Ken.

                Ken tadinya biasa saja, namun lama-lama tidak kuat juga menatap mata wanita yang penuh keberanian itu. Ken memalingkan wajahnya, “Sebelah sini!” katanya seraya berjalan mendahului Aurora.

                Di sepanjang perjalanan, Ken menjelaskan semuanya.

                “Tuan Muda tinggal di bangunan yang terpisah dari bangunan utama. Bangunan itu diberi pengamanan secara khusus. Ada empat ruangan terpisah yang mengelilinginya,”  papar Ken.

                Aurora mengekor di belakangnya, diam sambil terus memasang telinga.

                “Ini ruang pertama, ruang kontrol.”

                Ken berhenti di depan sebuah ruangan, di sana ada sekitar empat pria berpakaian hitam-hitam.

                “Kami mengawasi semua dari sini,” kata Ken.

                “Kalian juga memasang kamera di kamar pasien?” tanya Aurora.

                “Tidak! Kami sadar bahwa Tuan kami juga punya privasi. Hanya ada alarm di sana. Alarm itulah yang selama ini menjadi penolong perawat seperti kamu,” jelas Ken.

                Aurora mengeluarkan napas diam-diam, dia sedikit lebih tenang.

                Tanpa persetujuan, Ken melanjutkan langkahnya. Dia membuat Aurora harus berlari kecil mengejarnya.

                “Ini ruangan para perawat jaga,” ujar Ken saat tiba di sebuah ruangan yang lebih luas dari sebelumnya.

                “Apa bedanya mereka denganku?” tanya Aurora.

                “Mereka bekerja secara shif, seperti di rumah sakit. Sedangkan kamu, dua puluh empat jam. Mereka adalah tangan kananmu, tapi mengawasi kondisi pasien adalah tugas utamamu!”

                Aurora menelan ludahnya, tenggorokannya cukup kering juga mengikuti tur ini.

                “Ini ruangan para pelayan khusus Tuan Muda. Dan di sebelah sana adalah ruangan para penjaga yang dua puluh empat jam siap sedia untuk apa saja,” pungkas Ken mengakhiri turnya. “Ada pertanyaan?”

                Dengan mata berkeliling mencoba memahami setiap fungsi dari semua ruangan yang dia kunjungi, Aurora menangkap bahwa pasiennya benar-benar istimewa. Ya, tidak banyak pasien jiwa yang mendapat fasilitas semenakjubkan pria bernama Theo ini. Namun, dari empat ruangan yang ada, mengapa Ken tidak menyebutkan ruangan untuk Aurora?

                Ken menatap wanita di depannya. Dia pikir dari sekian banyak perawat Tuannya, hanya Aurora yang tampak cukup tenang.

                “Di mana?” ulang Aurora.

                Ken tidak menjawab, dia terus saja berjalan mendekati sebuah ruangan yang terlihat jauh lebih besar dan bagus. “Di sini,” ucapnya kemudian.

                Aurora menaikkan satu alisnya, “Ini berarti aku harus … ?”

                Ken mengangguk, “Ya, kalian satu ruangan. Hanya bersekat pintu.”

                Satu ruangan dengan pasien gangguan jiwa?

                “Kamu masih bisa mundur … .”

                “Nggak!” geleng Aurora.

                Diam-diam Ken mengamati wanita di depannya itu dengan lebih seksama. Benar apa kata Raanana, Aurora itu sama seperti ayahnya. Sangat kuat jika sudah bertekad. Ken memang tidak mengenal dekat siapa pria bernama Candra Akarsana itu, namun Ken mengenal pasien yang ada di balik ruangan ini. Tidak banyak orang yang mampu membuat Tuannya terdiam dan ayah Aurora berhasil melakukannya.

                “Kalian akan terus berdiri di sana?” celetuk sebuah suara.

                Ken dan Aurora yang tadinya sama-sama tenggelam dalam pikirannya masing-masing sontak menengok ke arah asal suara itu.

                “Kamu siap, Rora?”

                Aurora menatap orang yang baru saja mengejutkannya itu, “Iya, Dokter!”

                Ken dan orang yang dipanggil ‘Dokter’ itu saling melempar pandangan. Lalu, perlahan Ken membuka pintu ruangan besar dan bagus di depan Aurora. Seketika bau berbeda masuk ke dalam hidung perawat baru itu. Bau aromaterapi batin Aurora.

                Selama ini, Aurora memang hanya sekali bertugas di rumah sakit jiwa dan itu sudah sangat lama. Namun, seingatnya para pasien di sana memiliki ruangan yang benar-benar seperti isolasi. Sedangkan, pasien yang akan dia temui itu tidak tampak diisolasi meskipun ruangannya sengaja dibangun terpisah dari bangunan utama kastil. Percaya atau tidak, ruangan pria bernama Theo itu sama sekali tidak seperti ruangan pasien gangguan jiwa.

                Ruangan itu begitu luas, dengan satu kamar tidur yang besar dalam balutan dekorasi ruangan yang luar biasa mewah. Aurora menengok ke kiri dan ke kanan. Dia mencoba mencari ruangannya sendiri.

                “Di sana!” kata Ken seakan-akan menangkap maksud gerak-gerik Aurora.

                Ingin rasanya Aurora berkeliling sebentar di ruangannya, namun sepertinya Raanana menginginkan agar perawat baru ini terlebih dulu menemui pasiennya. Tentu saja, Aurora datang bukan untuk berlibur.

                Dan di sana, Aurora menangkap sebuah bayangan pria. Siluetnya tinggi tegap dan bergeming di depan jendela. Dia menelan ludah, sejenak dia diam sama halnya dengan dua orang di sampingnya.

                “Theo, ini Aurora!” kata Raanana memperkenalkan Aurora pada Theo.

                Aurora tidak berharap banyak dan pada kenyataannya Theo pun tidak merespon apa-apa.

                “Aurora yang akan menemani kamu mulai hari ini,” lanjut Raanana.

                Sama. Si Theo itu tetap diam. Aurora mulai berpikir bahwa ini adalah pekerjaan yang sulit. Dan dalam kondisi seperti ini, Raanana masih ingin Aurora berteman dengan Theo? Aurora benar-benar tidak paham.

                Sebuah senggolan mengenai siku Aurora. Ketika dia menengok, Raanana memberinya isyarat agar memperkenalkan diri. Aurora mengangguk paham.

                “Perkenalkan, nama saya … .”

                “Pergi!”

                Aurora mengatupkan bibirnya. Belum juga dia menyebutkan namanya, namun sudah dipotong oleh Theo.

                “Theo dia … ,” Raanana maju.

                “Raa, suruh dia pergi!” seru Theo lagi.

                “Tidak, Theo. Aurora tidak akan pergi.”

                “Dia akan pergi. Iya kan Aurora?” Theo membalikkan badannya dan menatap lurus pada Aurora.

                Seperti melihat seorang pangeran saja, Aurora bahkan tidak sanggup menguasai matanya. Dia menatap pasien gangguan jiwa yang sejak tadi diceritakan oleh Ken dan Raanana. Dia tidak terlihat terganggu sama sekali, justru secara umum orang lainlah yang terganggu olehnya. Seorang pria yang tinggi, gagah, dan tampan inilah tawanannya?

                “Kamu tidak akan pergi bukan Aurora?” tanya Raanana.

                Suara itu menyadarkan Aurora. Ditatapnya Raanana, wanita paruh baya itu sangat berharap melihat wujud tekad Aurora saat ini juga. Dengan menelan ludahnya, Aurora menatap bergantian Ken dan Raanana.

                “Tidak. Saya tidak akan pergi!”

                ****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status