Share

Putriku, Delia
Putriku, Delia
Author: Shafitri Dumpaku

1. Kematian Istri

Aku tersenyum menatap wanita yang tengah tertawa di ranjang. Kukecup penuh cinta keningnya, pipi chubby itu menyemburkan rona merah jambu. Tampak malu-malu saat dia mencubit mesra pinggangku.

Usai menggelitik perutnya, aku duduk bersandar ke kepala ranjang. Wanita yang masih bergeming di balik selimut, ikut menyenderkan kepalanya ke dadaku. Kuelus lengan putihnya yang mulus, lalu beralih menyeka peluh di dahinya.

Kami baru saja menyelesaikan sesi meneguk kenikmatan dunia yang dimulai sejak malam tadi dan berlanjut pagi ini. Wanitaku tersenyum, manis sekali. 

Tangan lembutnya mengelus rahangku, berakhir dia menarik leherku. Kami kembali saling meramu cinta dalam nikmat duniawi. Setiap gerakan lembutnya sungguh memabukan.

Ah, mesranya pagi ini.

Suara dering ponsel tak lantas mengganggu aktivitas kami. Namun, saat dering yang ke lima, aku sudah tak kuasa menahan amarah. Dengan gerakan cepat aku menyambar HP di nakas setelah melepaskan pagutanku dan Tisa.

"Siapa ini?!" ketusku.

Tisa terkikik geli di sampingku. Benar-benar dia, malah senang melihatku sengsara. Padahal tubuh ini sudah panas, ingin segera didinginkan.

"Assalamu'alaikum, Mas."

Bagai tertampar aku mendengar suara lirih nan lembut dari seberang. Buru-buru aku menempelkan jari telunjuk di bibir, mengisyaratkan Tisa agar diam. Wanita itu memanyunkan bibirnya, menggemaskan sekali.

Dengan jantung berdebar, aku berusaha menahan diri pada Tisa. Tanganku dingin, karena mendadak istri menelepon di saat aku tengah berada di ranjang bersama seorang wanita.

"Iya, Dik. Ada apa?" Sebisa mungkin, aku melembutkan suara. 

"Adel titip, Delia ya. Adel, mau pergi."

Alisku mengernyit mendengar sendu suaranya. Terdengar serak dan berat.

"Adik mau ke mana memangnya?" Susah payah aku menahan tangan Tisa yang mulai nakal. Menggerayangi rahang hingga dadaku.

"Adel sayang, Mas dan Delia. Tapi, Adel merindukan orang tua Adel, Mas."

Seketika jantungku berdentum keras mendengar suara Adel berubah ringan. Mataku membelalak, dengan gerakan cepat kuhentakkan tangan Tisa dari pahaku. Tubuh mendadak kaku saat meraih bokser di lantai, bergegas memakainya.

"Del, kamu kenapa? Kalau ada masalah, cerita ke mas ya."

Entah kenapa, perasaanku tidak enak saat mendengar isakan dari seberang. Lalu disambut suara ringan istri.

"Adel hanya mau pergi menemui papi sama mami, Mas. Sudah lama Adel memimpikan hari ini. Berjumpa dan tinggal bersama mereka."

Aku menggeleng kuat mendengarnya. Dadaku bergemuruh, jantung berdetak cepat. Ya Tuhan ... apa maksud wanita ini?!

Adel yatim piatu sejak usia sepuluh tahun. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa hari ini akan berjumpa dan tinggal bersama kedua orang tuanya?

"Adel, Sayang. Mas pulang sekarang ya, tolong tunggu, Mas. Jangan lakukan hal yang tidak-tidak, ya," tuturku lembut.

"Sebelum pulang, tolong, Mas jemput Delia di sekolah, ya. Tapi jangan bawa ke rumah dulu, bawa saja ke rumah nenek. Ah, Adel sudah dijemput, Mas."

Ya Tuhan ... apa maksud ucapan 'sudah dijemput' itu dan siapa yang menjemput Adel? Hendak ke mana dia?

"Tolong, tetap jadi ayah yang baik untuk Delia, ya. Katakan padanya, aku sangat mencintainya. Selamat tinggal, suamiku."

Suara dentuman keras menjadi akhir dari pembicaraan kami. Mataku membeliak menatap gawai. Tangan bergetar menyambar pakaian, lekas memakainya.

Dengan langkah terburu, aku keluar dari kamar hotel. Tidak peduli suara Tisa berteriak memanggil.

***

Jantung berpacu kala langkah mendekati rumah yang dipenuhi kerumunan warga. Beberapa mobil polisi berada di pekarangan rumah. 

Aku berlari menuju kamar setelah menerobos warga yang menghalangi di pintu utama. Kaki terpaku melihat istri sudah tak bernyawa di langit kamar. Lehernya dililit seutas tali tambang.

Mata Adel terlihat membeliak dengan mulut terbuka. Gaun merah marun yang selalu menjadi favoritku ketika kami hendak bermesraan, karena Adel terlihat cantik saat memakainya dilumuri darah. Tangan wanita itu terdapat sayatan besar.

Aku terduduk di lantai saat seorang Polisi hendak memaksaku menjauh. Tanganku meremas pinnggiran pintu kamar. Leher terasa dicekik melihat tetesan-tesan darah melumuri lantai berkeramik putih.

"Bapak siapanya korban?"

Aku mengusap kasar wajah yang dibanjiri peluh dan air mata. Dada sesak bak dihimpit batu berkilo-kilo beratnya, melihat istri sudah tak bernyawa dalam keadaan mengenaskan.

"Sa—" Mendadak suaraku tercekat. Susah payah membasahi kerongkongan, menelan payah saliva.

"Saya suaminya, Pak," cicitku akhirnya.

"Anda—" Ucapan lelaki berseragam polisi itu, terpotong dengan suara pelan seorang gadis.

"Ayah?"

Dadaku bergemuruh mendengar suara ringan itu. Dengan cepat aku mengusap air mata, lalu menoleh ke belakang.

Gadis berseragam abu-abu, menatap bingung. Matanya menerawang setelah menatapku lama. Netra bulat itu, berhenti pada satu titik.

Wajah tanpa ekspresi Delia membuatku khawatir bukan main. Apa yang sedang dilihatnya sangat berpengaruh pada psikis gadis itu. Bergegas aku berlari memeluknya yang berdiri tak jauh dari pintu. Sebisa mungkin menutup matanya dengan dada bidangku.

"Delia yang sabar ya, Nak." Suaraku tercekat, bergetar lirih.

"Putri ayah," lirihku mengecup kepalanya berulang kali.

***

"Sayangnya, kami tidak menemukan HP korban di mana pun, Pak."

Aku tercenung mendengar ucapan Polisi yang membantu mengevakuasi jenazah Adel. Bagaimana bisa, HP istriku tidak ditemukan padahal jelas-jelas aku dan Adel sempat berteleponan sebelum kejadian naas itu.

Mengingat suara dentuman keras mengakhiri panggilan kami saat itu, membuatku yakin kalau HP-nya jatuh setelah Adel melompat dari kursi. Kalau memang kejadiannya seperti itu, tidak mungkin HP Adel jatuh di tempat yang jauh. Harusnya masih berada di kamar atau di dekat tempat dia gantung diri.

"Baik, Pak. Sampai di sini saja introgasi kami. Terima kasih atas kerja samanya." Aku menerima uluran tangan Polisi tersebut.

Tidak mungkin aku mengaku sempat berkomunikasi dengan Adel sebelum dia meninggal. Bisa panjang ini urusan. Aku sudah ingin cepat keluar dari kantor ini dan mengakhiri semua pertanyaan mereka yang membuat jantungku berdentum keras.

***

"Ya, udahlah, Mas Arya. Namanya juga udah ajal."

Mendengar kalimat ringan Tisa, aku menyentak kasar napas ini. Bisa-bisanya wanita itu berkata demikian di tengah duka yang melandaku.

Walau aku telah berselingkuh dari Adel, bukan berarti aku tidak merasa kehilangan atas kematiannya yang mendadak ini. Rasa bersalahku makin besar padanya. Bahkan di hari kematiannya pun, aku sedang bergelut bersama mantan kekasihku yang dua tahun belakangan kembali menjalin kasih denganku. 

Saat ini aku duduk di ranjang kamar Tisa. Usai pemakaman, aku melarikan diri ke kontrakan wanita itu. Aku membutuhkan penenang.

Syok dan sedih masih membelenggu jiwa. Bahkan tubuhku masih bergetar. Keringan tidak kunjung usai mengaliri pelipis dan tangan. Bayangan jasad istri yang bergelantungan di langit kamar terngiang jelas tanpa bisa kuenyahkan.

Tisa membelai mesra wajah hingga dadaku dan itu berhasil membuat tubuh sedikit rileks. Senyuman manis Tisa yang memabukan serta harum mawar yang menguar dari tubuhnya, membuatku tenggelam dalam lautan api cinta kami.

Kami kembali menyelami nikmatnya surga dunia. Meneguk manisnya madu. Sejenak aku melupakan kejadian menyeramkan serta memilukan tadi.

Beruntung aku sempat menitipkan Delia di rumah neneknya sebelum pergi ke sini. Jadi tidak perlu cemas akan keadaannya. Nenek dan keluarga bundanya serta keluargaku pasti tengah menghiburnya saat ini. Sedangkan aku akan menghibur diri di sini, bersama secawan madu milik Tisa.

***

Usai mengurusi empat puluh malam meninggalnya istri, aku duduk di ruang tamu bersama Tisa. Semua tamu termasuk keluargaku dan Adel sudah pulang, jadi aku leluasa mengajak Tisa ke rumah ini. Wanita itu terus merengek memintaku memperkenalkannya dengan Delia dan mempercepat rencana pernikahan kami.

Dua minggu yang lalu, akhirnya aku dan Tisa membicarakan ujung dari hubungan kami ini. Padahal dulu, saat masih ada Adel, aku kebingungan menentukan akhir kisah status kami yang faktanya hanya sepasang kekasih gelap.

Sementara kasus kematian Adel, tidak ditindaklanjuti. Pengacaraku sudah mengurusnya hingga tuntas. Jadi, aku dapat bernapas lega.

Namun, di sisi lain, aku merasa bersalah pada Adel. Padahal, belum juga genap seratus hari dia pergi meninggalkan, tapi aku sudah merancang pernikahan kedua dengan Tisa.

"Ayah."

Aku menghentikan aksi Tisa yang hendak membuka kancing kemejaku saat melihat Delia berdiri di ambang pintu pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. 

"Ya, ampun! Kaget aku!" Tisa mengelus dadanya melihat Delia yang memandangi kami.

Penampilan Delia yang memakai gaun tidur berwarna putih selutut, serta rambut hitam legamnya yang terurai membuat Tisa terlonjak. Apalagi gadis itu muncul tiba-tiba di tengah remangnya lampu.

"Itu putriku," bisikku di telinga Tisa yang sedikit menggeser duduknya, memberi jarak.

"Delia, sini, Sayang." Aku memanggilnya.

Gadis itu mendekat, menatap kami bergantian. Gegas aku memperkenalkan keduanya. Dengan tenang, Delia menyambut uluran tangan Tisa usai menyebut namanya.

"Tisa. Calon mama baru kamu, Sayang." Tisa tersenyum.

Aku berdeham sebentar untuk menetralisir rasa gugup kala tidak mendapati ekspresi berarti di wajah Delia. Gadis itu tampak biasa saja mengetahui ada wanita lain yang akan menggantikan peran bundanya.

Apa itu artinya, Delia sudah menerima Tisa sebagai pengganti Adel?

"Delia Azani ya, namanya? Wah, namanya cantik loh, sama kaya orangnya." Wanita ber-dress hitam sepaha itu, mencubit gemas pipi Delia.

Aku tersenyum melihat interaksi keduanya. Bibir Delia mengembangkan senyum tipis.

"Bunda yang kasih nama itu," katanya, kemudian beralih menatapku.

"Ayah, Delia mau ke kamar."

Aku mengangguk, membiarkannya pergi. Sementara Tisa mengerucut. Dia mengadu, katanya tidak suka saat Delia menyebut-nyebut bundanya di hadapan Tisa.

"Wajarlah, Sayang. Adel, kan, bundanya. Kamu harus dewasa ya, menghadapi sikap Delia." Kuelus rambut panjang Tisa.

"Oh, ya. Delia itu, anaknya pendiam, juga pemalu. Kamu harus pengertian sama sikapnya," kataku.

"Sebentar lagi, pasti juga Delia akan nyaman sama aku. Gimana, kalau kita pertemukan saja Delia dengan kedua anakku, Mas?"

Aku mengangguk setuju. Tidak ada salahnya juga, bila Delia bertemu dengan Fian dan Renisa.

Tisa seorang janda yang dua tahun lalu kebetulan melamar kerja di perusahaanku. Dia memiliki putra berusia sembilan belas tahun, dua tahun di atas Delia. Sedangkan, putrinya Renisa berusia tiga tahun. Tisa berpisah dari suaminya karena mendapatkan kekerasan rumah tangga.

Mungkin memang, sudah jodoh kami.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status