Hidup di hutan selama satu tahun penuh memberiku banyak pelajaran. Tentang arti kelaparan yang sesungguhnya, atau selera makan yang mau tak mau harus berubah demi melanjutkan hidup. Yang jelas, tahun ini dan selanjutnya aku tak lagi ingin hidup dalam kungkungan rimba.
Sepintas suara bariton itu kembali terngiang, seakan-akan memanggilku untuk mendekat.
"Hai, Grace!"
Lekas kugerakkan tungkai kaki lebih cepat, berharap mampu menghindar sejauh mungkin. Agar suaranya tak lagi berputar dalam telinga, setidaknya biar kujauhkan diri dari segala bayang tentang pria yang baru kukenal.
"Grace, tunggu!"
Kini suaranya kian jelas terdengar, seolah-olah ia benar-benar tak jauh dari tempatku berada. Lantas, kuhentikan langkah sekejap saat tiba-tiba sebuah telapak tangan meraih bahuku erat. Genggamannya terasa begitu kuat mencengkeram.
"Ini aku, Jonathan."
Kuembuskan napas kasar, saat wajahnya telah berada tepat di hadapan. Sama persis dengan bayangan yang datang saat membersihkan diri di kamar mandi petang tadi. Harus kuakui, kedua bola mata dengan warna cokelat hazel itu membuatku tak mampu berkedip. Seakan-akan keluar mantra atau sihir dari manik indahnya yang membuatku diam tak berkutik.
"Hei! Kau melamun?"
Sontak, kugelengkan kepala kasar. "Enggak kok, Jo. Sorry, kukira tadi siapa, takut ada cowok jahat yang lagi iseng."
Lantas tawanya menggema bersamaan dengan tertutupnya kedua kelopak mata, menyembunyikan iris mata hazel yang memabukkan.
"Maaf-maaf, Grace, tapi kau membuatku geli. Ayo, kutraktir makan malam di kafe sana!"
Kukerutkan kening mendengar ucapannya yang masih disertai gelak tawa. Membuatku sedikit berpikir untuk mencerna kembali apa yang tengah dibicarakan, bahkan tentang geli yang katanya kuciptakan. Lantas ditariknya lenganku, melewati beberapa motel hingga sampai di sebuah kafe. Kami pun duduk saling berhadapan.
"Apa yang membuatmu geli?"
"Tentu saja kau, Grace. Em, maksudku adalah ucapanmu tadi." Dibukanya buku menu, lantas memindai banyak daftar makanan dan minuman.
"Apa ada yang salah?" tanyaku, mengerutkan kening.
"Tentu saja banyak! Kau pergi ke area di mana beberapa gadis sesusiamu menjajakan diri, tapi tak ingin digoda cowok iseng. Bukankah itu aneh? Seolah-olah hanya sebuah alasan untuk tujuan lain, 'kan?"
Kini, giliranku yang tersentak. Ucapannya memang tak ada yang salah, bahkan mengenai perkataanku yang hanya sebuah alasan untuk tujuan yang lain itu memang benar adanya. Apalagi ditambah kehadirannya yang tak kasat mata sedari tadi, yang membuatku sedikit banyak merasa terganggu.
"Kau benar, Jo." Kutatap meja, ada perasaan aneh yang kembali datang. Cemas.
"Kau mau pesan apa?" tanyanya tanpa memedulikan pembenaranku.
"Sama denganmu." Kubuang pandangan ke arah lain, saat tatapannya bersirobok denganku.
"Apa yang benar menurutmu?"
"Semua yang kaukatakan."
"Semua?" tanyanya ragu. Kulirik, ia tengah memangku dagu pada jemarinya yang saling bertaut.
"Iya, mangenai Rose maksudku."
"Jadi, kau benar-benar mengamatinya hingga petang tiba?"
"Tentu saja!"
Kulirik, ia menyeringai sebentar sebelum akhirnya pergi dari hadapan, mungkin memesan minuman dan makanan ringan pada salah seorang pramusaji. Ada yang salah denganku. Ah, gila!
Namun, bukankah ini kesempatan yang bagus? Esok adalah tenggatku untuk kembali menyesap darah pemuda, bukan? Mengapa harus pusing mencari pemuda lain jika ia dengan senang hati mendekat?
Kuulas senyum simpul saat Jo kembali datang sembari membawa beberapa botol minuman beralkohol rendah. Cuaca dingin yang tak mempengaruhi, tak serta merta membuatku menolak untuk menemaninya menghangatkan badan.
"Double?" Kuanggukkan kepala menjawab penawarannya. "Kau sedang apa di sekitar sini, Grace?"
"Aku hanya ingin jalan-jalan, biasa cari udara segar." Lagi, ia terbahak menyembunyikan iris cokelat hazelnya yang menawan. "Kali ini katakan padaku, apalagi yang lucu?"
"Seorang gadis jalan-jalan cari udara segar di sekitar sini itu amat mustahil, Grace. Logikanya, gadis berparas cantik sepertimu bagai ikan tuna grade A di antara banyak tuna yang mulai busuk. Para kucing sudah pasti memburumu terlebih dulu."
"Kau salah satunya?" Kini, tawanya terhenti bersamaan dengan batuk yang tiba-tiba menyergap.
"Aku hanya sedang melihat-lihat, Grace."
"Dan sekarang kautemukan ikan tuna segarmu?" tanyaku, sedikit mengerlingkan mata.
"Kau sedang menggodaku? Ah, ayolah, kau orang baru di kota ini 'kan? Esok kuajak kau berkeliling kota. Agar tak lagi tersesat saat berjalan mencari udara segar."
Kukulum senyum menawan, sebelum akhirnya menenggak habis segelas bir penuh yang dituang Jo barusan. "Bukan ide yang buruk."
Setelah penat membawaku berkeliling kota, kau akan segera istirahat dan terpejam untuk selamanya, Jo.
Malam itu, kami menghabiskan waktu berdua, menenggak habis sembilan botol bir serta beberapa porsi makanan. Tak pernah kurasakan sajian ini sebelumnya, tetapi demi mendapat mangsaku esok, semua rela kulakukan.
Kulirik jam pada salah satu dinding kafe. Sudah terlampau dini bahkan hampir pagi, sedangkan Jo belum juga tersadar dari mabuk yang membelenggu. Beruntung kafe ini beroperasi hampir dua puluh empat jam penuh, jika tidak sudah pasti kami akan terlantar di jalanan.
Ah, sebenarnya apa peduliku? Bisa saja kutinggal pria ini sendiri, tetapi karena ia mangsa yang harus kuhabiskan malam nanti, menjaganya adalah hal yang penting saat ini.
"Di mana kau, Jean?" Lantas, kutatap ia dalam-dalam saat tangannya meraih jemariku.
"Aku Grace, Jo."
"Mengapa kau tak hadir dalam tiap malam-malamku, Jean?"
Entah mengapa, mendengarnya menyebut nama yang bukan milikku membuat hati terasa perih. Segenggam kesal terasa memenuhi rongga dada, membuatku sedikit sesak untuk sekadar menarik napas.
"Kau perlu minum air, Jo. Minumlah dulu agar lekas sadar!"
"Aku tak bisa menjalani hari tanpamu, Jean. Kembali-lah padaku," pintanya.
Sekali lagi ia menyebut nama itu, aku tak akan segan menyesap seluruh darahnya nanti malam! Kukepalkan tangan saat ia meraih botol air mineral untuk menyadarkan diri.
"Terima kasih, Jean."
Kugebrak meja sembari berdiri, sebelum akhirnya keluar dari kafe dengan sedikit mengentakkan kaki. Cukup! Aku kumangsa kau nanti tanpa rasa segan sedikit pun. Tak ada ampun bagimu, Jo!
Kususuri jalanan pulang menuju apartemen dengan tergesa. Bukan karena takut dan ingin lekas sampai. Hanya saja, aku ingin meluapkan amarah yang tiba-tiba memuncak. Ada rasa tak biasa dalam dada, tapi aku pun tak tahu apa namanya.
Dalam perjalanan pulang itu, beberapa pasang mata tampak menatapku penuh curiga. Berjalan seorang diri di hari sedini ini, membuat siapa pun akan berpikir yang tidak-tidak. Tak terkecuali seorang pria bertubuh tambun yang kini mencoba menggodaku dengan kerlingan mata.
Jika saja semua darah itu sama untuk hidup seorang monster sepertiku, akan kusesap tiap darah pria tua kurang ajar sepertinya. Dasar, tua-tua keladi! Kau harus mendapat apa yang kau mau!
Kesian ya si Grace, dah tua tapi nggak pernah cemburu. Wkwkwk. Salam Hisap 💚
Kubuka mata pelan sembari memecing berulang. Seberkas cahaya putih membuatku harus menutup mata lagi untuk beradaptasi."Kau sudah sadar?"Suara Jonathan terdengar begitu dekat nan cemas. Aku mengangguk meski belum tahu pasti di mana diri ini merebah."Kau pingsan dua hari."Aku menanap. Dua hari katanya? Saat membuka mata itulah aku melihat sosok Jonathan dan Jean. Aku .... "Di mana Hard? Bagaimana dengan Nathalie?"Jean mendekat, lalu menggenggam jemariku kuat. "Tenang, Grace. Semua sudah berakhir sesuai rencana kalian."Kulihat Jonathan juga tersenyum ke arahku. Senyum yang membuatku merasa tenang dan aman. "Mana Hard?""Kita tak melihatnya selama ini. Mungkinkah dia kembali ke dunia bawah tanah?"Aku memberengut. "Lalu bagaimana bisa diriku ada di sini? Siaap yang membawaku kemari?""Seorang p
Udara dingin merasuk hingga ke tulang belulang saat kami telah saling berhadapan. Jarak kami masih sangatlah jauh, tetapi melihat kekuatan para iblis itu tak begitu menyusahkan. Sepertiku, pasti tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.Mereka terlihat banyak, menggerombol di ujung padang pasir dekat dengan pintu masuk ke dunia bawah tanah. Aku mulai gusar, tapi Hard makin terlihat kian membara."Jangan pikirkan jumlah, Grace. Kita menang banyak. Bahkan, Pangeran dari Neraka pun memihak."Kulirik para jenderal perang. Mereka telah siap dengan wujudnya masing-masing. Lekas, kuubah diri menjadi jati diri yang sebenarnya. Sementara Hard, tiba-tiba jubahnya bersinar seterang bulan yang menguasai malam. Aku bahkan tak pernah tahu jubah itu bisa menyala dalam gelap.Hanya dalam sekejap mata, Nathalie telah berada di hadapan Hard. Ia melirikku sebentar. "Kau akan meneruskan ini atau akan memberikan Grace s
Hari telah tiba. Matahari di ujung peraduan tampak malu-malu untuk menerik, menghangati bumi. Atau, bisa jadi ia enggan untuk sekadar melihat kerusakan yang akan terjadi.Ini hari terakhir, sebelum esok tiba. Malam nanti, bulan purnama akan bersinar terang untuk yang ke 6500 usai pertempuran pertama.Aku dan Hard masih di dalam mobil, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Sayangnya, sudah lebih dari dua jam ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Ke mana pangeran itu?"Hard menggeleng. Aku mengalihkan pandang ke arah luar. Lantas, tercium aroma gairah yang begitu lembut nan menggoda, tetapi juga kuat nan tajam. Entahlah, aku tak bisa mendeskripsikannya.Jauh di ujung jalan sana, kulihat ada seorang pria yang tampaknya melihat ke arahku. Ia mengulas senyum. Ah, bukan. Seringai, ia melempar seringai padaku. Salah satu tangannya diangkat, telunjuknya melambai.
"Sabarlah. Kita hanya harus menyelesaikan ini agar semua usai."Aku mengangguk. Ya. Kita sudah sejauh ini setidaknya harus usai setelah ini. Lima hari lagi. Dan semua akan berhenti. Entah aku atau Nathalie yang mati."Kalian tak perlu ikut bersama kami. Cukup diam di sini. Lindungi aku dengan cara melindungi kalian sendiri. Jangan pergi ke mana pun seorang diri."Akhirnya Jonathan mau mendengarkanku. Begitu pula Jean. Beruntung aku punya keterikatan yang mematikan. Jika saja tak ada ikatan itu, mungkin mereka masih akan bersikeras untuk ikut."Turki adalah negara yang aman. Tak ada iblis murni di sini. Jangan pernah menyahut saat ada yang memanggil kalian. Tak ada yang mengenal nama kalian di sini. Jadi, jika ada yang memanggil nama kalian dengan sangat jelas, bisa kupastikan mereka suruhan Nathalie."Jonathan dan Jean mengangguk, lantas saling berpandangan dalam diam. "Haruskah
Perempuan ini, dia terus menatapku tanpa henti. Tatapan yang mengunci, seolah-olah akulah mangsanya yang terakhir. Sedangkan pria di sampingnya, ia malah menatap nyalang, seakan-akan akulah musuh bebuyutan."Aku tau, masing-masing dari kalian punya motif tersendiri. Jadi aku meminta bertemu hanya untuk meyakinkan, bahwa Grace memanglah gadis yang diramalkan."Keduanya mendesis bersamaan. Pasangan ini memang tampak serasi. Satunya cantik dengan bagian bawah tubuhnya bak ular, sedangkan yang satu pun terlihat lebih tampan dari iblis kebanyakan. Tubuhnya penuh sisik dengan jambul di kepalanya. Perpaduan manusia dan ular yang menarik."Kalian tau, kekuatan kami tak sebanding dengan banyaknya pasukan yang telah disiapkan di barat gate. Banyak dari mereka punya kekuatan yang lebih daripada kami," ucap Damballa."Aku tak meminta kalian untuk bertarung berdua. Kita bersama. Ada banyak, mungkin lebih dari dua
"Kau yakin, mereka aman di sana?"Hard mengangguk. Diembuskannya asap sisa pembakaran sigaret yang terjepit di antara kedua jemarinya. Ia tampak tenang, seperti biasa."Kalau mereka berontak? Menyusul ke Turkmenistan, apa yang bisa kita lakukan?"Kali ini, tatapan teduh Hard menatapku dalam nan lekat. "Kau tau, Grace. Meski Jonathan punya kekuatan sepertimu, dia tetap manusia biasa seperti pada umumnya. Sedangkan yang akan kita hadapi nanti adalah peperangan sesama iblis yang tak punya belas kasih. Jika Jonathan mati di sana, tak berguna lagi peperangan ini tercipta.""Lantas, untuk apa separuh kemampuanku ditransfer padanya?"Hard terdiam. Ia meraih bahuku setelah meletakkan sigaret di asbak. "Itu bukan keinginan kita. Itu kerja alam. Timbal balik dari penyatuan kalian berdua."Aku menghela napas panjang, lantas melihat ke sekitar. Lantas, tersentak saat sad