Kedua insan itu bergandengan tangan di sepanjang jalan setapak lapangan Rampal. Tak banyak bicara, hanya diam sambil menikmati dinginnya Kota Malang. Kania menunduk sembari menatap kaki mungilnya. Sesekali dia melihat kaki tegas Erlan. Berbeda dengan Erlan yang sesekali mencuri wajah Kania. Tak henti dikaguminya wajah cantik itu.
"Kania cemong Mas?" tanya Kania tiba-tiba yang membuat Erlan kaget.
"Iya, jelek banget!" jawab Erlan spontan yang membuat Kania mendongak.
Dia bergegas mengelap mulutnya, "aduh kenapa gak bilang dari tadi sih, Mas?"
"Biarin, biar kamu jelek dan gak dilirik sama siapa-siapa!" jawab Erlan sekenanya.
"Gak adil Mas Erlan ih!" protes Kania.
"Terus apa, kamu mau tebar pesona sama tamtama remaja yang lagi korve itu?" tanya Erlan setengah cemburu.
"Siapa juga yang tebar pesona? Mas Erlan cemburu, ya? Dari tadi aku nggak lihat kemana-mana. Aku nunduk terus karena mau jaga pandangan. Aku jaga hatinya Mas Erlan. Mas kali yang nggak pernah jaga pandangan. Udah deh nggak usah drama, kalau kita jauhan Mas juga udah jajan matanya!" cerocos Kania seperti air mancur.
Erlan gemas dan menutup mulut Kania dengan telunjuk jarinya, "ceriwis kamu. Aku nggak semurahan itu!"
"Alah cowok dimana-mana sama!"
"Gender kamu, Ka!" jundu Erlan kesal.
"Abisnya Mas Erlan gitu. Itu buktinya mas-mas tentara yang di sana itu juga lagi lihatin aku, 'kan," ucap Kania sambil menunjuk gerombolan tentara yang sesekali mencuri pandang padanya.
"Heh, aku itu calon pemimpin mereka. Mana sempet aku ngeliatin cewek. Yang ada aku ngeliatin mereka, kerjanya bener apa nggak. Kamu itu oon apa gimana sih!" Erlan setengah membentak walau hatinya deg-degan. Bagaimana tidak, dia juga sering memandang perempuan lain, sebut saja Aruni.
Kania diam dan menunduk. Baginya, tak berguna berdebat dengan Erlan. "Ya udah mau dikata apa Kania selalu salah."
"Gak selalu sih," potong Erlan.
"Dari kemarin kamu manggil aku 'Erlan'," sambung Erlan sambil mesem.
Kania mesem, " itu aja?"
"Kamu juga mencintaiku, dan itu adalah kebenaran yang hakiki." Kania tertawa tanpa suara.
"Kok gitu, emang kamu gak cinta aku?"
"Enggak!" Kania menghindari Erlan sambil menjulurkan lidahnya.
"Dasar cewek gila!" umpat Erlan kesal.
---"Kenapa kamu ngeliatin bawah terus dari tadi? Kamu lagi kumat apa gimana!" sindir Erlan sambil menyenggol bahu Kania.
"Gak kok Mas. Kania cuma lagi merenung," jawab Kania pelan sambil menyeruput es jeruk perasnya.
"Merenung apa, sambil bikin gunung juga nggak? Jangan lupa dibuang ke WC."
"Apaan sih Mas nih, jorok banget. Aku cuma suka aja lihatin kaki Mas."
"Kenapa, kamu mau minta sepatuku, iya, 'kan?" tuduh Erlan tanpa ampun.
"Kaki Mas Erlan ini bakalan kemana, ya? Apa akan pergi jauh meninggalkanku? Apa kita akan selalu berjalan beriringan? Apa kita akan selalu berjalan bersama? Apa aku akan bersamamu ke tempat yang indah dengan kaki itu?" ujar Kania lembut. Mata indahnya menerawang ke lapangan yang luas.
"Yang jelas, kita akan selalu berpisah. Kamu dengan tugasmu dan aku dengan kewajibanku. Aku sudah tanda tangan kontrak Kania. Tubuhku saja ini bukan milikku. Aku tidak bisa memilih jalan hidupku, seperti kamu." Jawaban Erlan terdengar lugas.
"Aku ingin selalu berjalan bersamamu, walau tanah yang kita pijak tak sama. Dimanapun Mas berada, aku ingin kita berjalan di bawah langit yang sama."
"Doakan saja agar kakiku ini bisa selalu melangkah, Kania. Siapa tahu suatu hari bisa membawamu ke tempat yang indah," ucap Erlan sambil mematut senyum.
"Semoga Mas Erlan selalu bertugas di tempat yang aman, damai. Supaya kaki itu bisa terus melangkah menuju masa depan yang cerah."
"Dasar Kania culun. Mana bisa tentara milih tempat tugas. Sama kayak dokter, semua tentang pengabdian."
"Jadi aku juga harus gitu? Aku harus siap mengabdi dimana saja?" tanya Kania bingung.
"Gini deh kalau masuk kedokteran nyogok. Otaknya nggak nyampe, tapi maksa," sindir Erlan kejam.
Kania merengut kesal, "aku nggak nyogok. Masuk pakai jalur prestasi kok."
"Lhakok gak tahu dharma bakti dokter gitu!" ujar Erlan keras.
"Apa aku harus selalu naif kayak dokter di sinetron-sinetron gitu?" kata Kania gantung.
"Kalau kamu nanya ke aku, ya, jawabannya harus!" simpul Erlan sambil berdiri.
"Mas mau ke mana?" tanya Kania bingung.
"Pulang, lapar. Nginap di rumah pacar bukannya makmur malah sengsara. Udah jam sarapan nggak dimasakin. Pengen liburan malah terlantar. Tahu gitu mending aku ke luar negeri. Umroh kek, apa kek," omel Erlan sambil ngeloyor pergi.
"Pacar ...?" desah Kania terpesona.
"Mas Erlan tunggu!" sambung Kania sambil mengejar Erlan.
"Apa kamu? Sana tebar pesona sama taja-taja. Malas aku lihat mukamu!" kata Erlan kasar.
Kania tersenyum, "kalau nggak jahat emang bukan Airlangga namanya. Aku nggak yakin ada cewek lain yang naksir Mas selain aku."
Ada Wenda, Trisha, Sendy, Danila, dan Aruni, batin Erlan teriak merasa bersalah.
"Banyaklah, ngapain juga aku jujur sama kamu." Erlan berkata seolah jujur.
"Halah, gak percaya. Katanya Mas Erlan cuma cinta aku." Kania tak serta merta percaya, seperti biasa.
"Kata siapa. Kita, 'kan, backstreet," ujar Erlan sekenanya.
Kania menahan tangan Erlan, "jadi bener Mas Erlan sama Aruni-Aruni itu?"
"Dia kuajak di MPT, 'kan? Gimana sih kamu?"
"Duh, sakit juga denger langsung dari Mas."
"Salahmu kenapa bahas cewek lain, Bego!"
"Aku cuma asal," kata Kania dengan wajah memerah, menahan tangis.
"Asem, malah nangis," kata Erlan dengan suara rendah. Dia mendekati Kania yang menunduk dengan air mata yang mulai jatuh.
Erlan menyentuh bahu Kania lembut, "kamu yang bahas sendiri, 'kan? Jangan nangis dong, nanti aku dikatain cowok brengsek lagi. Dilihatin orang nih!"
"Hati Kania sakit, Mas. Kita emang sembunyi-sembunyi, tapi perasaanku sama, ingin jadi satu-satunya."
"Ya 'kan mereka yang naksir aku. Aku biasa aja. Cuma Kania cintaku," ucap Erlan manis. Dia memang seperti stoberi, asam tetapi manis.
"Bohong," ucap Kania manja.
"Kamu selalu jadi cintaku Kania. Cuma kamu yang bisa menerobos pagar yang kubuat sendiri. Kamu yang bisa menghancurkan asas-asas seorang Erlan."
"Nggak butuh omongan, butuhnya bukti."
"Nikah gitu? Nggak bisa sekarang kalau yang resmi, siri aja, ya?" tawar Erlan polos.
Kania mendongak sambil menahan tawanya. Tak tahan, akhirnya meledak juga. Bagaimana bisa Erlan berkata sepolos itu. Polos sekaligus manis. Bagaimana bisa Erlan berpikir bahwa bukti cinta satu-satunya adalah menikah. Bersama Erlan, Kania banyak tertawa dan menangis. Banyak berpikir juga, tentang masa depan dan masa lalu. Bagi Kania, Erlan adalah langit buminya.
---"Udah 2 hari kita bersama. Tinggal 2 hari lagi Mas Erlan harus balik ke Jakarta. Memulai hidup baru sebagai prajurit. Cepet sekali waktu berjalan, ya?" Kania menerawang lurus pada langit yang memerah senja.
Keduanya sedang ada di teras rumah Kania. Menikmati sore yang teduh ditemani dua cangkir teh melati dan setoples kue kacang, kue kesukaan Erlan dan juga Kania. Erlan yang gantian menatap wajah cantik Kania. Ditatapnya banyak-banyak wajah itu. Untuk disimpan saat mereka berjauhan nanti. Belum berpisah, Erlan sudah rindu.
"Aku sudah kangen kamu, Kania."
"Kita 'kan masih bersama, Mas."
"Tapi dua hari lagi kita pisah," sambung Erlan.
"Kalau gitu bawa Kania kemana-mana, masukin ke amplop terus disakuin. Sakunya Mas Erlan 'kan banyak," ujar Kania polos.
"Ha ha ha, lucu!" ujar Erlan sarkas.
"Kalau gitu, Mas Erlan merem deh. Aku akan kasih hadiah," kata Kania yang membuat Erlan deg-degan.
"Ha - hadiah apa?" tanya Erlan terbata.
Apa sesuatu itu yang sangat intim?
Kania tersenyum penuh goda, "merem aja."
Suaramu lembut bagai kapas Kania. Mau kamu apakan aku ini? Aku berada di titik terlemah. Batin Erlan tak kuasa.
Kania memegang tangan Erlan lembut dan meletakkan di wajahnya. Di pipinya. Di rambutnya. Di hidungnya. Di telinganya. Di dagunya. Di dahinya. Di anak rambut telinganya. Di matanya. Dan di bibirnya.
"Ketika Mas membuka ataupun menutup mata, ingatlah rupa dan bentuk wajahku. Wajah tirusku, pipi halusku, rambut tebalku, hidung bangirku, telinga kecilku, dagu lancipku, anak rambut berantakanku, dahi halusku yang selalu berkeringat, mata bulatku, dan bibir tipisku. Ingatlah dan rindukan aku. Ingat rasanya." Kania membuat Erlan tak mampu berkata-kata.
Kania membuka mata dan membuat Erlan membeku, "aku juga akan menyimpan Mas dalam kenanganku."
"Mata tajammu," ucap Kania sambil memejamkan matanya. Gantian Erlan yang menatapnya dalam.
"Bulu mata tebalmu, lentik walau seorang lelaki."
"Rambutmu yang tak pernah tebal. Seperti landak mini."
"Rahang tegasmu. Hidung bangirmu. Bibir tipismu. Tajam sekali suka mengejekku." Tangan Kania menelusuri wajah hingga pundak Erlan.
"Pundak tegasmu yang selalu kuat. Dada bidangmu yang selalu tegas berdegup ...." Erlan tak lagi kuasa menahan napasnya. Juga hasrat mudanya.
"Setop Kania!" Kania tersentak dan membuka matanya. Dia bingung melihat napas Erlan yang tertahan.
"Kenapa, Mas?" tanya Kania takut-takut.
"Udah azan magrib. Salat dulu yuk?" Erlan ngeloyor masuk ke dalam rumah.
Sementara itu, Kania masih bingung menatap ulah Erlan. Katanya ingin mengenangnya. Katanya ingin hadiah. Kok sepertinya dia tak suka. Malah masuk rumah dengan pandangan aneh. Seperti menahan apa begitu.
"Astagfirullah ... ampun Ya Tuhan. Nikah sekarang boleh nggak sih?" bisik Erlan di balik pintu kamarnya.
Jujur, dia tak sanggup menahan hasrat cintanya yang menggebu. Perasaan cintanya pada Kania yang makin dalam. Apalagi saat menatap wajah Kania yang sangat cantik tadi. Perasaannya yang membuncah tadi bahkan ingin membuatnya memperkenalkan Kania pada kedua orang tuanya saat ini juga. Dia ingin menikahi Kania, kalau bisa sekarang juga.
"Setelah Erlan dilantik nanti, kita harus kenalkan pada gadis pilihan keluarga, ya? Bunda ingin menimang cucu."
Sesaat kemudian, pandangan menggebu Erlan menjadi padam. Saat mengingat perkataan ibundanya beberapa waktu lalu. Benarkah jalan hidupnya juga telah ditentukan? Benarkah kisah cintanya bersama Kania harus dikubur?
***Bersambung..."Terimalah hukumanmu, Kania! Ha ha ha!"Seorang lelaki tegap cekikikan sendiri sambil tengkurap. Wajahnya terlihat sangat puas. Keringat membasahi kulit putihnya. Sementara itu, si wanita terlihat lemas dan kesal. Tangan mungilnya terasa hampir putus. Itu karena hukuman yang diberikan si lelaki alias Erlan setiap malam. Hukuman itu adalah Kania harus memijat punggung Erlan sampai lelah."Kenapa sih pacaran sama Mas Erlan gini amat," keluh Kania pelan.Erlan mendongak dan melihat Kania, "kenapa kamu mau yang lebih?""Eng ... enggak kok Mas," ucap Kania terbata. Dia takut Erlan melakukan hal yang lebih apalagi mereka sering berdua di rumah."Kok takut gitu. Gak level kali aku sama kamu, Ka," ejek Erlan seolah membaca pikiran Kania."Gak level kok cinta sih," alih Kania sambil duduk dan menyilangkan tangannya di hadapan Erlan. Wajahnya terlihat lelah namun manis."Terpaksa," sahut Erlan sekenanya."Padahal Mas Erlan bisa
"Melihatmu memperlakukan gadis itu, pasti dia sangat spesial ya?""Emangnya gue gimana?""Lo nggak bisa sembunyikan itu dari gue, Lan. Bahkan, untuk kita yang nggak terlalu dekat, kalian itu kentara banget.""Hati gue emang milik dia, Nu.""Jadi artis akademi kita ini beneran jatuh cinta?""Gue jadi elek-elekan karena dia!""Itulah cinta, Lan."Erlan mengusap mata tajamnya yang beriris coklat. Ingatan tentang percakapannya dengan Ibnu kemarin kembali terputar. Ternyata perasaannya pada Kania sangat terlihat. Padahal sebisa mungkin dia menyembunyikan itu, tapi gesture tubuhnya tak dapat dibohongi. Akankah hubungan diam-diam selama bertahun-tahun ini akan terungkap? Memikirkan saja sudah membuat Erlan berdebar.Erlan kembali merebahkan tubuhnya di kasur mess perwira di batalyonnya. Dia lelah setelah tradisi masuk satuan. Namun, matanya belum bisa terpejam kar
"Udah kamu unggah foto terbaruku?" tanyaku tegas pada seseorang di seberang telepon."Siap Abang Sayang..." balasnya kurang ajar."Heh, jangan kurang ajar kamu ya!" ancamku tak suka."Terus saya harus gimana Bang. Katanya kita pacaran, masak harus izin-izinan segala," kata perempuan tomboy itu, sebut saja dia Aruni."Iya, tahu tempatmu ya!" kataku seram.Dia berdehem kecil, "siap Bang!""Suaramu yang enak. Jangan malas kamu jawab saya!" ancamku lagi. Aku tak suka kelihatan lemah di depannya."Siap Bang. Sudah saya unggah foto terbaru Abang di Instagram saya demi pencitraan di jejaring sosial. Laporan selesai.""Oke, lanjutkan. Kita tetap pada perjanjian awal kan, aku dapat status palsu dan kamu dapat ketenaran. Jangan melanggar itu, jangan sampai bocor kemana-mana.""Siap Bang!" jawab Aruni pelan.Telepon kututup. Ya ya ya, aku memang jahat sama Aruni, hanya sama dia. Sama perempuan lain sebut saja Kania, tentu ti
Malam hari saat berjauhan dengan orang terkasih adalah saat yang berat. Gelap malam membawa kenangan tentang kebersamaan yang tak mungkin terjadi. Saat malam, ingatan tentang cinta semakin kuat dan memuakkan. Rasa rindu makin pekat seiring pekatnya langit malam.Erlan dan Kania telah melalui banyak malam menjemukan seperti itu. Cerita mereka banyak bergulir di malam hari. Sebab pagi dan siang mereka selalu sibuk, tiada sempat bicara selain hanya menyapa.Kadang malam mereka isi dengan saling merindukan. Kadang malam juga mereka isi dengan pertengkaran kecil khas hubungan jarak jauh. Namun, kali ini malam mereka isi dengan saling berpegangan tangan di dalam gerbong kereta yang membawa mereka menuju Jakarta.Hari itu datang juga. Dimana akhirnya Kania akan diperkenalkan secara resmi seba
Aku menangis tersedu. Entah sudah yang keberapa kalinya hingga malam merayapi langit Jakarta. Perlahan mulai kutata pikiranku. Jadi, Mas Erlan telah punya calon istri dari keluarga lain. Mereka telah dijodohkan sejak bayi. Namun, Mas Erlan jatuh cinta padaku dan kami berpacaran hingga 10 tahun.Hari ini saat aku akan dikenalkan sebagai wanita yang dicintainya, keluarga Mas Erlan juga akan menggelar pertemuan dengan keluarga itu. Siapapun keluarga itu, yang jelas mereka selevel. Tidak sepertiku, seperti kisah awal, kami bak langit dan bumi. Sejalan tapi tak bisa menyatu. Jika menyatu hanya akan membawa kehancuran dunia.Aku menangis hingga merasa mual. Dengan berlari, aku ke kamar mandi. Memuntahkan semua isi perutku. Sudah dua kali aku muntah sejak siang tadi. Badanku terasa tak enak, apalagi hati ini. Hancur sekali.
“Meski kita tidak bersama, aku akan selalu mendoakan untuk kebahagiaanmu. Semoga kamu bahagia dengan pernikahanmu. Kelak dikaruniai anak yang soleh solehah. Anak yang cantik dan ganteng, serta lucu-lucu. Mereka pasti mewakili fisik rupawan sepertimu dan Mbak Nabilla. Semoga Mas Erlan bahagia selamanya.”Doa macam apa yang telah kamu ucapkan, Kania? Mengapa itu terasa getir dan menusuk perasaanku berkali-kali. Doa itu sangat indah tanpa dendam mendalam. Namun, mengapa ini terasa sakit? Begini rasanya kehilangan mendalam itu? Kamu masih di dunia ini tapi bukan milikku lagi. Kita berjalan di bawah langit yang sama, namun tak bisa bergandengan tangan lagi.“Izin Bang, Kania sudah masuk ke rumahnya.”
Aku tak pernah bisa melupakanmu, Kania. Sejak masa sekolah, hatiku telah tertambat padamu. Kamu beda, selalu saja memesona dengan caramu sendiri. Kutahu kamu menempel pada kakak kelas itu. Ya, aku memang kalah populer dibanding dia. Semua orang tahu jika kalian jatuh cinta. Tapi, bodohkah aku jika selalu menyisipkan namamu dalam doaku?Masih kuingat caramu menolakku. Katamu, hanya ingin setia pada Mas Erlan. Hatiku adem mendengarnya. Baru kali aku tak emosi ditolak perempuan. Justru kagum dengan kesetiaanmu. Padahal statusmu dan dia tak jelas, tapi hatimu dijaga untuknya. Andai saja hatiku yang kamu jaga? Pasti aku jadi lelaki terberuntung di dunia.Aku menjauh, menempuh jarak demimu. Meraih cita-cita untuk masa depan. Siapa tahu kelak kita bertemu lagi. Siapa tahu kelak waktu kita sama dan bersatu. Aku akan hadir sebagai sosok dewasa,
Aku berdiri di tepi karang yang tinggi. Menatap hamparan samudera yang biru dan luas. Terlihat teduh mendinginkan hati dan mataku. Berharap mereka bisa seluas samudera ini. Menerima semua kepahitan hidup. Pikiranku kosong, sebab bingung akan memikirkan apa. Yang jelas bukan untuk membunuh diriku.Aku ingin menata hidupku yang berantakan. Mengobati hatiku yang telah tercecar tertabrak badai asmara. 10 tahun menjadi kekasihnya lalu tidak berakhir di pelaminan. Bahkan, kami mengambil keputusan untuk saling melupakan selamanya. Ini sangat menyakitkan.Tapi, tak apa. Seorang Kania masih baik-baik saja. Hingga sebulan dia menikah, aku masih bernapas dengan afiat. Apalagi setelah melihatnya bahagia mengunggah foto bersama sang istri di media sosial. Mereka terlihat bahagia sekali. Seorang Kania saja tak pernah terpajang di media sosialnya. Sen