Clarissa Lesmana, si pelayan bar, tiba-tiba diakui sebagai cucu perempuan Keluarga Lesmana. Tapi bukan kekayaan atau keluarga bahagia yang ia dapatkan, melainkan perjodohan. Perjodohannya dengan pria lumpuh, anak pertama Keluarga Adam, Bryan Adam, hanya sebuah kesepakatan. Kesepakatan yang menuntunnya pada hubungan yang lebih kompleks serta pergolakan emosional yang belum pernah ia rasakan. Bagaimana kelanjutan kisah Clarissa dan Bryan? Apa mereka akan bertahan atau mencari kebahagiaan masing-masing?
Lihat lebih banyak“Clarissa, ada perempuan nyariin kamu.”
Gadis muda berseragam pelayan yang tengah berjalan ke dapur, menoleh ketika mendengar namanya dipanggil oleh pelayan lain.
“Di ruang VIP 205.”
Clarissa masuk ke dalam dapur, menyimpan ice bucket yang berisi es mencair. Keluar dari dapur, ia melangkah naik ke lantai dua.
Di depan ruang bertuliskan angka 205, Clarissa merapikan seragam hitamnya dan pita berwarna abu-abu di lehernya. Ia mengetuk dua kali lalu masuk ke dalam ruangan.
Di dalam ruangan itu hanya ada seorang wanita paruh baya berpakaian modis dan mewah sibuk dengan ponselnya. Clarissa bisa menduga wajah wanita itu telah memakan ratusan juta untuk perawatan.
“Saya Clarissa. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Clarissa, tersenyum sopan.
“Duduk,” perintah si wanita. Ia hanya melirik sekilas ke arah Clarissa lalu kembali fokus pada ponsel.
Clarissa duduk di ujung sofa melingkar. Sementara wanita itu duduk di tengah-tengah, ada jarak dua lengan yang memisahkan mereka.
Wanita itu menyimpan ponsel mahalnya ke dalam tas berwarna krem yang Clarissa duga lebih mahal lagi. Perhatiannya tertuju pada Clarissa.
“Kenalkan, aku bibimu, adik dari ayahmu. Hanum Lesmana,” ucap si wanita cepat.
“Maksud anda...” Otak Clarissa tengah mencerna ucapan wanita paruh baya bernama Hanum.
“Aku— Kakek dan Nenekmu menunggumu kembali ke rumah Keluarga Lesmana.” Hanum membuka tasnya, mengeluarkan kartu nama, lalu meletakkannya di meja.
“Seperti yang kamu lihat, Keluarga Lesmana adalah keluarga kaya dan terpandang. Kalau kamu kembali ke Keluarga Lesmana, kamu bisa menikmati kehidupan yang berbeda dengan hidupmu sekarang.”
Hanum bangkit dari duduknya. Ia berjalan ke arah pintu. Sebelum keluar, ia berbalik lalu berucap, “Besok aku akan kembali ke sini. Siapkan barangmu, kita akan langsung ke Kota A.”
Pintu ditutup meninggalkan Clarissa yang berusaha memproses informasi baru dari Hanum.
Pertama, perempuan tadi adalah adik ayahnya yang meninggal saat ia masih berusia lima tahun. Kedua, dia bilang keluarga lesmana itu kaya yang berarti ayahnya kaya. Ketiga, keluarga kaya itu ingin Clarissa kembali, besok.
“Persis seperti kisah dongeng,” gumam Clarissa tertawa sinis.
Clarissa baru lulus SMA tiga bulan lalu. Ia tidak lanjut kuliah karena tidak punya uang, walau bisa mendapat beasiswa, ada banyak kebutuhan lain yang harus bisa dia penuhi. Sudah tiga bulan Clarissa pindah ke kota B, bekerja sebagai pelayan bar di salah satu bar besar di kota ini.
Jauh sebelum lulus SMA, Clarissa terbiasa kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhannya. Sejak ayahnya meninggal, ibunya -Rita Wijaya- menghidupi dia dan saudara-saudaranya sendirian. Punya banyak saudara membuat Clarissa harus berjuang sendiri ketika menginginkan sesuatu.
Ia tak pernah tahu ayahnya punya keluarga, kaya pula. Atau mungkin ia masih terlalu kecil saat ayahnya meninggal.
Setelah memperbaiki suasana hatinya, Clarissa mengambil satu botol minuman dan gelas yang ada di ruangan itu lalu berjalan keluar dengan gaya profesional.
Sesampainya di dapur, dia menyimpan botol dan gelas itu di meja tempat gelas kotor lalu keluar dari dapur.
Di depan dapur, pelayan yang tadi memanggilnya menemui Hanum menghampiri Clarissa.
“Aku pikir yang tadi itu sugar mommy. Ternyata dia gak ngasih tip,” ujarnya, siap bergosip.
Clarissa hanya tertawa hambar lalu berjalan pergi, menghampiri tamu yang baru datang. Tidak niat bergosip.
“Sugar mommy apaan? Gak ada manis-manisnya,” batin Clarissa.
Clarissa bekerja profesional seperti tidak mendengar info mengejutkan dari Hanum. Ia bekerja hingga pukul sepuluh malam karena hari ini dia masuk shift sore.
Setelah berganti baju, Clarissa meninggalkan bar. Berjalan kaki menuju ke halte bis. Sembari menunggu bis datang, ia membuka ponselnya, menghubungi kontak ‘Bunda Rita’.
“Ma, ayah aku punya adik yah? Namanya Hanum Lesmana.”
“Iya. Kamu tau darimana?”
“Dia datang ke barku. Dia ngajak aku balik ke Keluarga Lesmana.”
“Oh iya?”
“Iya, ma.”
Perlu diperjelas kalau selama mereka menelpon, intonasi suara Rita datar-datar saja, tidak terkejut ataupun penasaran.
“Terus kamu mau gimana?” tanya Rita.
“Aku mau ikut. Kapan lagi bisa jadi anak orang kaya.”
“Dasar mata duitan.”
“Aku gak mata duitan, ma. Aku ini realistis.”
“Udahlah, capek ngobrol sama orang yang pikirannya uang terus.”
“Mama pikir sifat aku ini turun dari siapa?”
Ada jeda beberapa menit sebelum terdengar tawa renyah Rita dari seberang.
“Kamu gak ngerasa ini aneh? Masa kamu diajak pulang tapi kakak-kakakmu tidak?” Rita terdengar lebih serius.
“Mungkin mereka cuma butuh anak perempuan,” jawab Clarissa, asal.
“Itu kamu paham.”
“Hah? Pokoknya aku coba aja dulu. Kali aja aku dapat warisan. Aku bisa jadi kaya mendadak.”
Terdengar suara tawa Rita. “Ya sudah, terserah kamu. Hati-hati aja. Kalau ada apa-apa hubungi rumah.”
“Siap, ma!”
Clarissa menyimpan ponselnya. Ia melirik ke samping, ke arah bis yang melaju pelan ke arah halte tempatnya menunggu.
...
“Kita akan langsung ke rumah pribadiku,” ucap Bryan saat mereka ada di dalam mobil.Clarissa mengangguk. Ia tidak peduli kemana mereka akan pergi.“Kenapa kamu mau menikah denganku?” tanya Bryan memecah keheningan.“Kamu tampan,” jawab Clarissa, cepat, tanpa menoleh ke arah Bryan.Dahi Bryan berkerut. Diantara semua jawaban, jawaban itu adalah yang tidak terpikir sama sekali.“Aku memang orang yang berorientasi pada wajah,” tambah Clarissa.Bryan terkekeh. Entah ucapan Clarissa serius atau tidak, istrinya ini cukup lucu.“Kamu tahu Adam Group?” tanya Bryan lagi.“Aku tahu Adam Hospital, Adam Happy Mart dan aku selalu pakai kertas HVS dari Adam Paper. Mereka semua gabung dalam Adam Group, kan?”Bryan mengangguk. Wajahnya mengeras. “Semua itu milik Adam Group, tapi bukan milikku dan tidak akan pernah jadi milikku. Kamu lihat sendiri keadaan kakiku. Semua yang dimiliki Adam Group akan jatuh ke tangan adikku. Sementara aku hidup dari jatah bulanan yang diberikan keluarga Adam.”“Kamu seba
Hari ketujuh kedatangan Clarissa ke Kota A menjadi hari resepsi pernikahannya. Pagi-pagi sekali ia dibawa ke hotel. Tim make-up sudah menunggu disana. Ia didandani secantik mungkin dan disesuaikan dengan gaunnya.Selesai make-up, Clarissa langsung dituntun ke ruang tunggu pengantin. Tidak ada yang masuk selain Hanum, Fitri dan Bella yang datang hanya untuk mengecek.Bosan menunggu sendirian, Clarissa mengecek ponselnya. Ada banyak panggilan tak terjawab dari kontak ‘Kak Rion’. Ia menelpon kembali.Telpon diangkat. Suara keras dari orang di seberang terdengar. “Clarissa Lesmana, kamu mau nikah?!”“Iya. Hari ini,” jawab Clarissa santai.“Kamu gila yah?!”“Memangnya anggota keluarga kita ada yang normal?”“Benar juga. Tapi masa kamu gak ngundang siapapun. Kamu ada niatan nikah lagi?”Clarissa hampir saja menepuk jidatnya kalau dia tidak ingat wajahnya tengah full make-up.“Kak, cara orang buat kaya itu beda-beda. Dan aku milih nikah sebagai caraku buat kaya.”“Dasar aneh. Padahal ada ban
Clarissa mengesampingkan dulu keinginannya untuk menonton. Ia duduk di sofa ruang tamu, berhadapan dengan Hanum dan Handoko.“Jadi berapa saham yang akan kalian berikan?” tanya Clarissa, tanpa basa-basi.“Empat puluh persen, pemegang saham utama...” ucap Hanum. Clarissa menaikkan satu alisnya, ia tahu ucapan bibinya belum selesai.“PT Lesmana Beauty. Saat ini Lesmana Group punya empat anak perusahaan. Menjadi pemegang saham utama salah satu anak perusahaan adalah hal yang tidak bisa kau dapatkan dengan mudah.”Handoko menyerahkan beberapa dokumen kepada Clarissa. Hanya butuh tanda tangan sebelum saham itu secara resmi pindah ke tangan Clarissa.Clarissa membaca dokumen di hadapannya selama sepuluh menit, lalu membubuhkan tanda tangan. Hanum menatap sinis.“Lulusan SMA saja sok-sok membaca dokumen kompleks.”Di balik cemoohan, Hanum merayakan kemenangannya dengan bangga. PT Lesmana Beauty sudah berdiri selama enam tahun. Belum genap setahun berdiri, pandemi melanda. Perusahaan baru itu
Hanum menatap lekat wajah cantik keponakannya. Giginya bergemeletuk.“Apa yang kamu mau?”“Apa yang bisa Keluarga Lesmana berikan padaku?”Clarissa tahu cara negosiasi yang baik. Jangan pernah menyebutkan hargamu lebih dulu kalau tidak mau rugi.“Seratus juta.”Clarissa tertawa remeh. “Uang, baju, mobil bahkan rumah bisa aku dapatkan dari keluarga itu. Walau keadaannya seperti itu, dia masih anak orang kaya yang dapat uang saku dari keluarganya.”Hanum tak tahu gadis yang hanya lulusan SMA ini akan sulit dia hadapi. “Lalu apa yang kau mau?”“Apa yah...” Clarissa tampak berpikir tapi Hanum tahu gadis itu punya jawabannya. “Saham.”Plak!Hanum memukul dinding di sampingnya. Clarissa benar-benar tidak tahu diri.“Jangan macam-macam kau! Mana pantas anak jalanan sepertimu memiliki saham di perusahaan Lesmana.”“Bukannya ayahku anak keluarga Lesmana juga? Masa iya dia tidak punya saham? Cukup berikan hak ayahku padaku.”“TIDAK!” Hanum berteriak dalam hati. Tidak akan ia biarkan saham yang
Hanum berjalan ke sisi wanita tua itu, mengusap lengannya. Lalu menoleh pada Clarissa.“Ini nenekmu.”Nenek Clarissa, Fitriana Wijaksana, menatap Clarissa penuh kerinduan. Clarissa menatap balik. Sekilas ia bisa melihat kemiripannya dengan wanita itu. Mungkin saat tua, ia akan terlihat seperti sang nenek.Pantas saja orang-orang selalu bilang Clarissa terlihat berbeda dengan keluarganya. Rupanya dia mirip dengan ayahnya -Hendi Lesmana- dan ibu ayahnya.“Bu, ayo kita pergi sekarang.” Hanum mengingatkan ibunya.Fitri menatap Clarissa dengan tatapan sesal, lalu mengangguk pada Hanum.“Kita mau ke butik cari dres. Kamu harus berterima kasih pada nenekmu. Lihat penampilanmu sekarang, bagus dilihat karena bajumu juga bagus,” ucap Hanum.Clarissa tak merespon. Ia lebih memilih menatap wanita tua di samping Hanum yang tampaknya ingin bicara dengan Clarissa.Di dalam mobil, Fitri akhirnya bicara. “Kamu udah lulus SMA?”“Iya... nek.”“Sekarang kuliah semester berapa?”“Aku kerja, gak kuliah.”“
Clarissa ke bar membawa koper, tas jinjing besar, tas ransel kecil dan tas selempang kecil. Semua yang melihat, berpikir dia baru diusir dari kosnya.Teman pelayannya menatap kasihan. Terlebih saat manajer mereka datang menghampiri. Ia siap membela Clarissa kalau manajernya tidak senang dengan tumpukan tas Clarissa.Tapi manajernya berucap dengan tenang, “Hari ini hari terakhir kerjamu, kan? Ini gajimu bulan ini. Hanya bisa saya berikan secara cash karena belum tutup buku.”Clarissa mengangguk. Sepertinya Hanum sudah menginfokan manajer Clarissa tentang pemberhentiannya hari ini.“K-kamu dipecat, Clar?” Teman pelayan Clarissa menutup mulutnya dengan gaya yang dramatis.“Bukan dipecat. Aku yang keluar.”Clarissa tidak menjelaskan lebih lanjut. Dia segera menyimpan tasnya ke ruang loker lalu kembali bekerja. Sementara temannya menatap tak percaya. Ia masih yakin Clarissa dipecat, entah karena apa.Hari terakhir kerja tak membuat Clarissa bermalas-malasan. Bahkan salah satu pelanggan tet
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen