Enam bus berukuran besar memasuki halaman sebuah villa. Setelah bus berhenti, segera serombongan mahasiswa berhamburan keluar. Di hadapan mereka berdiri bangunan kayu dua lantai yang tidak terlalu lebar, tapi bentuknya memanjang ke belakang. Villa itu cukup longgar untuk menampung dua ratus orang selama tiga hari dua malam ini. Suasana villa cukup sejuk. Di sekeliling bangunan utama penuh aneka macam pohon rimbun. Di dekat gerbang masuk ada pos satpam yang dijaga dua orang pria berbadan besar. Di bagian belakang bangunan utama, pemandangan pantai dengan pasir putihnya begitu menggoda. Sayangnya, untuk bermain ombak harus keluar area villa dan berjalan memutar, sekitar seratus meter dari gerbang keluar terlebih dahulu. "Ini villa punya siapa, Bang?" tanya Gia yang terpesona dengan suasana sejuk di sekitarnya. Gia berputar perlahan demi memandang ke seluruh penjuru villa. Matanya jelas memancarkan kekaguman. Gia bahkan tidak sadar kalau mulutnya sudah terbuka. "Ini tempat langganan an
Gia mengambil bungkus bekas mi instan, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik hitam besar. Plastik itu sudah terisi separuhnya, terisi sampah. Gia menghela napas, menyeka keringat yang membasahi keningnya. Matahari sudah berada tepat di atas kepalanya, bersinar cerah dan menyengat. Hari ini jadwal kegiatan utama dari Makrab adalah membersihkan pantai. Pasukan dibagi menjadi dua tim. Tim pertama membersihkan pantai dari sampah apa pun. Tim kedua bertugas masuk ke laut sejauh seratus meter dari bibir pantai, mengumpulkan sampah yang mengambang atau tenggelam sampai dasar. Gia sama sekali tidak menyangka Makrab yang dilaluinya ternyata berupa pengabdian masyarakat yang tidak resmi. Bayangan seram tentang senior sadis dan acara Makrab yang kejam pun lenyap. Gia jadi salut dengan para seniornya. Pantai hari ini tidak terlalu ramai pengunjung karena memang masih hari Senin, hari kerja. Hampir tidak ada orang yang berlibur ke pantai di hari ini. Tapi, dua ratus orang cukup membuat pan
Setelah melalui tiga jam perjalanan, bus yang dinaiki Gia dan rombongannya akhirnya sampai di fakultas hukum kampus Merva. Gia sejak setengah perjalanan sudah tertidur, sampai saat ini juga masih memejamkan matanya dengan tumpuan bahu Hugo. Tidak ada tanda bahwa Gia akan membuka mata dalam waktu dekat. Napasnya teratur, membuktikan bahwa dia tidur sangat nyenyak. Semua teman Gia mulai heboh berebut untuk turun. Tapi, Hugo masih membiarkan Gia tidur dengan mulut sedikit terbuka. Dia enggan menggangu Gia yang terlihat sangat menikmati tidurnya. Lagi pula, hal yang langka bagi Hugo melihat Gia tertidur seperti ini. "HEY, MARFUAH! MAU SAMPAI KAPAN LO MOLOR?" teriak Jessica kepada Gia. Dia terpaksa kembali naik ke bus lagi karena belum melihat Gia turun. "Biarin aja dulu, Je," pinta Hugo mencegah Jessica yang akan berteriak memanggil Gia lagi. "Emang Bang Hugo nggak pegel apa? Lagian itu Gia tidur nganga gitu. Basah itu bahu lo, Bang." Jessica gemas dengan tingkah sahabatnya, yang bisa
"Gia berangkat," pamit Gia ke Ayah dan Bunda sambil setengah berlari menuju ke garasi. Hari ini hari pertama Gia Ujian Semester. Ada dua mata kuliah yang diujikan hari ini. Ujian pertama di jam tujuh pagi. Seharusnya, Gia sudah sampai kampus pukul 06.45, lima belas menit sebelum ujian dimulai. Sayangnya, untuk kesekian kalinya, Gia terlambat bangun. Sekarang sudah pukul 06.25, tapi Gia masih berada di rumah. Gia tidak bisa menahan cemas lagi. Setelah duduk di belakang kemudi, Gia melemparkan tas ransel hitamnya ke bangku samping dan segera menyalakan mesin mobilnya. Berkali-kali dicoba, mobil Gia tetap bergeming, tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali. "Ya, Allah. Berat banget cobaan gue," keluh Gia frustasi. Dia keluar dari mobil. "AYAH," panggil Gia sekencangnya. Suara cemprengnya memenuhi penjuru rumah. Tangan kirinya berada di pinggang, sedangkan tangan kanannya mengacak-acak rambut. Ayah yang mendengar teriakan putri kesayangannya segera menghentikan sarapan dan keluar r
Usia tidak menjamin kedewasaan. Pernyataan yang kali ini sangat disetujui Gia. Gia sama sekali tidak menyangka seorang pria yang usianya nyaris empat puluh tahun bisa menyebalkan melebihi balita, yang baru bisa menangis kalau keinginannya tidak dipenuhi. Belum ada satu tahun mereka berkenalan, tapi Restu sudah bersikap layaknya orang tua yang posesif pada Gia. Gia merasa punya dua orang Ayah sekarang. "Maaf, saya sedikit terlambat menjemput. Kamu bersedia menunggu saya?" Restu bertanya saat menelepon Gia. Dia benar-benar merasa tidak tenang membiarkan Gia harus menunggu. "Santai aja, Om. Gia masih di kampus, kok. Temen Gia masih banyak yang nongkrong di sini. Nanti kalau Gia udah bosen, bisa manggil ojek online aja. Om tenang aja, kelarin urusan Om. Jangan sampai diomelin bos besar cuma karena jemput putri cantik, kayak Gia ini. Jangan sampai Gia jadi alasan Om dipotong gajinya. Bahaya itu kalau dipotong gaji. Om bisa kekurangan duit. Kasihan Gavin nanti nggak bisa jajan es krim lag
Aroma pop corn langsung menusuk hidung saat Gia masuk. Lampu temaram menerangi ruangan. Deretan manusia sedikit mengular di loket. Gia berjalan dengan debaran jantung tak beraturan, nyaris meledak seperti gumpalan pop corn yang sedang dimasak. Tangan kanannya digenggam erat oleh tangan yang lebih besar, sedikit kasar, dan hangat. Gia masih tidak percaya sekarang dia berdiri di samping Hugo, mengantre di loket. Dua hari sebelumnya, Hugo mengajaknya kencan kedua. Seperti orang yang kehilangan kesadaran, Gia langsung mengiakan. Tidak ada alasan untuk menolak Hugo. Tidak ada yang bisa mengubah keputusannya untuk menyetujui kencan bersama Hugo. Gia bahkan mengabaikan Restu yang seharian ini terasa semakin menyebalkan. Gia berharap punya keberanian sedikit lebih besar untuk memblokir nomor pria tua itu. Tapi, jauh di sudut sempit hatinya, Gia mengakui masih membutuhkan Restu. Setidaknya dia masih bisa dimanfaatkan sebagai tukang ojek gratisan. "Mau minum apa?" tanya Hugo setelah mendapatk
Pemanasan global mungkin bukan hanya sekadar teori. Sengatan panas matahari semakin hari terasa semakin membakar kulit, ditambah polusi udara yang semakin menyesakkan, membuat dunia terlihat semakin tua. Gia duduk di teras depan ruang sekretariat BEM sendirian. Keringat membuat kemejanya basah. Matanya memandangi layar ponsel yang sedang menampilkan game Onet. Jari-jari Gia lincah memencet setiap gambar yang sama. Tiba-tiba dahinya terasa dingin. Gia mengalihkan pandangannya ke atas. Hugo tersenyum memandang Gia. Disodorkannya sekaleng soda yang tadi sempat ditempelkannya ke dahi Gia. Gia menerimanya dengan senang hati. Bibirnya membentuk lengkungan lebar. "Serius banget," komentar Hugo, lalu duduk di samping Gia. "Makasih, Bang," sahut Gia, mematikan layar ponselnya dan menaruhnya di atas pangkuan. Dia meneguk minuman dingin yang sudah dibukakan Hugo itu. Langsung saja tenggorokannya terasa segar. "Udah kelar rapatnya?" tanyanya setelah puas minum. Hugo duduk di samping Gia, mel
Wajah Gia kusut dan sedikit berminyak, mirip kertas koran bekas gorengan. Ditendanginya daun-daun kering yang berjatuhan di depannya. Dia meratapi kebodohannya sendiri, yang terus terulang. 'Harusnya gue paham kalau Bang Hugo bukan pacar gue. Dia bebas mau pelukan, bahkan ciuman sama cicak sekali pun. Gue yang salah udah cemburu sama dia. Gue ini cuma juniornya, nggak lebih bisa kurang kalau ada diskon akhir tahun.' Gia terus menghujat dirinya sendiri dalam hati. Baginya ini memang kesalahannya sendiri. Langkah kaki Gia terhenti saat melihat sepatu kulit coklat yang mengilat di depannya. Gia mengangkat kepalanya, memastikan sosok yang ada di hadapannya saat ini. Restu tersenyum memandang Gia. Dia mengangkat tangan kanannya yang memegang jas warna silver, lalu meletakkannya di pundak. Dengan kaus hitam polos dan celana jins hitam yang dihiasi sabuk kulit coklat, sulit untuk menyatakan kalau Restu ini buruk rupa. Kalau tidak mengetahui sikap menyebalkan Restu, Gia berani bertaruh bisa