Share

HURT
HURT
Penulis: Miss Rie

1. Perempuan dan Laki-Laki yang Memeluk Luka

Desember 2018, Hongdae.

SIAL!

Cho Ae Ri meletakkan pensilnya dengan gusar seraya mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mengeluarkannya lagi dengan perlahan. Perasaan tak nyaman yang melanda Ae Ri sejak semalam masih saja tak mau hilang, bahkan semakin menjadi-jadi hingga membuat dadanya serasa mau meledak.

Tatapan Ae Ri kemudian tertuju pada buku sketsa di hadapannya. Sosok perempuan berambut panjang yang tengah berdiri tegak menatap ke laut lepas tergambar di sana. Ae Ri memijat pelipisnya, mendadak pening. Seharusnya, bukan gambar ini yang ia buat, begitu pikirnya.

Pandangannya lantas beralih pada naskah novel yang tergeletak di samping sikunya. Naskah itulah penyebab hadirnya perasaan tak nyaman itu. Naskah yang alur ceritanya menyeret Ae Ri ke dalam pusaran ingatan masa lalu dan membuat Ae Ri tanpa sadar menggambar dirinya sendiri untuk ilustrasi naskah tersebut.

Ya, sosok perempuan berambut panjang itu adalah dirinya. Cho Ae Ri yang penuh dengan kesedihan dan keputusasaan.

Dengan tangan gemetar, Ae Ri meraih cangkir berisi kopi hitam yang sejak lima belas menit lalu belum ia sentuh, kemudian meminumnya dengan tergesa-gesa. Begitu rasa pahit dari kopi itu menyentuh lidahnya, rasa tak nyaman di hati Ae Ri perlahan luruh.

“Haahhh ....” Ia mengembuskan napas cukup panjang seraya meletakkan kembali minumannya yang tinggal seperempat ke atas meja, lalu melempar pandangan ke luar jendela kafe.

Hari Minggu ini, seperti biasa, kawasan Hongdae sangat ramai. Anak-anak muda berpakaian tebal hilir-mudik mendominasi sepanjang trotoar di tengah rintik salju. Ae Ri mengamati mereka dengan saksama. Ada percikan kebahagiaan terpancar dari kedua bola mata gadis berusia dua puluh lima tahun itu.

Ia suka seperti ini, duduk sendirian sambil mengamati orang lain dalam diam. Memperhatikan apa yang mereka pakai, memperhatikan cara mereka berjalan, cara mereka tertawa, cara mereka saling tatap satu sama lain, atau mencoba menebak apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Hal itu selalu menghadirkan sensasi kebahagiaan tersendiri baginya. Ia merasa lebih hidup meski hanya dengan mengamati orang lain.

“Upacara pernikahan Park Hye Mi dan Kim Man Go yang berlangsung tadi pagi berjalan dengan lancar dan khidmat. Sang pianis terkenal bersama sang suami berencana mengadakan pesta resepsi di Queen Hotel Cheondam-dong nanti malam.

Meski ini pernikahan kedua bagi Park Hye Mi maupun Kim Man Go, mereka tetap ingin menyelenggarakan resepsi pernikahan dengan megah dan meriah dengan tamu undangan sekitar tiga ribu orang. Sayangnya, mereka memutuskan untuk menutup kemeriahan pesta itu dari wartawan.

Lee Joon, putra Park Hye Mi dari mendiang aktor Lee Jin Wo, ketika diwawancarai mengungkapkan betapa ia sangat bahagia dengan pernikahan ibunya ini."

Suara seorang reporter wanita terdengar jelas dari meja di depan Ae Ri. Di sana, dua orang gadis remaja berusia kira-kira sembilan belas tahunan sedang asyik menonton acara infotainment lewat tablet. Penampilan mereka sangat mencolok. Satunya berambut panjang dicat pirang dan satu lagi berambut model bob sedagu dicat merah marun.

“Beruntung sekali, ya, gadis yang menjadi adik tiri Joon Oppa[1]?” komentar gadis berambut pirang.

Gadis berambut merah marun mengangguk setuju, lalu menopang dagu dan mendesah berlebihan. “Seandainya saja itu aku ...,” gumamnya dengan nada kecewa. “Setiap hari aku bisa bertemu dengannya tanpa ada yang menghalangi. Kami makan bersama, bercengkerama, dan aku bisa bermanja-manjaan pada Joon Oppa sepuasnya. Ah ... hidupku akan lebih indah kalau bisa seperti itu.”

Ae Ri mendengkus mendengar percakapan kedua gadis itu. Apa yang mereka ucapkan sama dengan apa yang diucapkan Kang Eun Jung, sahabatnya, kemarin. Dan mendengar ucapan itu untuk kedua kalinya membuat Ae Ri merinding setengah mati.

“Aku senang akhirnya ibuku mau membuka hatinya lagi untuk pria lain. Ibuku itu tipe orang yang susah jatuh cinta. Jujur, awalnya aku sangat khawatir karena ibuku tak kunjung memperkenalkan pria manapun padaku. Bahkan sempat terlintas dipikiranku untuk mendaftarkannya ke dating online. Hahaha....”

Beberapa saat kemudian, suara sang reporter wanita digantikan oleh suara seorang laki-laki yang sangat familier di telinga Ae Ri.

Lee Joon.

Aktor berusia dua puluh enam tahun yang satu setengah tahun ini sedang menjadi sorotan publik berkat aktingnya yang memukau di setiap drama tv dan film layar lebar yang dibintanginya. Aktor yang selalu dielu-elukan Eun Jung dan ratusan ribu gadis di Korea maupun luar negeri, seolah ia adalah superhero yang menyelamatkan dunia dari kehancuran.

Menggelikan! Komentar sarkastis itu selalu dilontarkan Ae Ri dalam hati setiap mendengar orang-orang memuji Lee Joon. Menurutnya, mereka terlalu berlebihan menilai laki-laki itu. Di mata Ae Ri, laki-laki itu tidaklah hebat ataupun istimewa. Ia hanyalah laki-laki biasa yang kebetulan memiliki wajah tampan dan pandai berakting. Bahkan saking pandainya berakting, tidak ada yang tahu bahwa senyum yang tersungging di bibirnya dan tawa cerianya itu palsu.

“Yah, tentu saja aku mengharapkan yang terbaik untuk ibuku. Semoga pernikahannya ini akan selalu membawa kebahagiaan untuknya. Dia berhak bahagia. Dan, aku juga sangat senang bisa memiliki adik seperti Hana. Dia cantik, baik, dan juga pintar. Aku benar-benar beruntung bisa memiliki adik seperti dia. Lagi pula, kami sudah berteman lama, jadi sudah tidak canggung lagi. Aku yakin kami bisa menjadi keluarga yang harmonis.”

Lee Joon kembali menjawab pertanyaan yang diajukan wartawan dan lagi-lagi mengakhirinya dengan tawa riang. Tawa yang justru terdengar sumbang di telinga Ae Ri.

Ae Ri kembali meraih cangkir kopi dan menggenggamnya dengan kedua tangan tanpa berniat meminum isinya. Ia hanya memandangi cairan hitam pekat di dalam cangkir yang tinggal seperempat dengan pandangan kosong.

Lihat! Kali ini pun laki-laki itu sedang berakting. Ia pura-pura bahagia padahal di dalam hatinya sedang menangis darah.

“Hh!” Ae Ri tersenyum kecut. Lekas dibereskannya barang-barang miliknya di atas meja dan tanpa pikir panjang lagi segera pergi dari kafe itu.

++++

Desember 2018, Apgujeong-dong.

Mobil sport warna silver meluncur cepat memasuki basement sebuah gedung apartemen di kawasan elit Apgujeong-dong. Suara deru mesin dan decit bannya menggema memecahkan keheningan tempat itu. Di sudut basement, mobil itu berbelok tajam sebelum akhirnya terparkir rapi bersama mobil-mobil lainnya.

Semenit kemudian, seorang laki-laki muda bertubuh jangkung dan tegap keluar dari mobil itu. Ia membanting pintu mobilnya dan berderap kasar menuju lift di sudut lain basement yang kemudian berhenti di lantai sepuluh, tempat apartemennya berada.

Bruk!!!

Laki-laki itu mengempaskan tubuhnya ke sofa ruang duduk apartemennya. Ia mengembuskan napas panjang dan menatap langit-langit.

Akhirnya ia sendirian. Terlepas dari orang-orang yang dengan senyum ceria mengucapkan selamat atas pernikahan ibunya atau para wartawan yang terus menanyakan pertanyaan seputar keluarga barunya yang justru membuatnya sangat muak. Di sini, di rumahnya, ia tidak perlu lagi berakting menjadi sosok laki-laki yang keren dan memasang wajah bahagia. Dalam kesendiriannya, ia bisa menjadi dirinya sendiri, seorang Lee Joon yang lemah dan rapuh.

Kringgg!!!

Telepon apartemennya tiba-tiba berdering. Joon bergeming. Ia membiarkan telepon itu terus meraung sampai akhirnya suara Hwang Mi Kyung, kakak sepupu sekaligus manajernya, menggantikan deringan itu.

<“Lee Joon, kenapa kau pergi begitu saja tanpa memberitahuku dan juga mematikan ponselmu, hah?! Kau tahu, aku mengkhawatirkanmu sampai rasanya mau mati. Sekarang, kau ada di apartemen, ‘kan? Aku akan ke sana. Ingat, jangan melakukan hal konyol!”>

Tut ... tut ... tut ...!

Suara itu berhenti. Seketika ruangan apartemen kembali hening. Lee Joon mengembuskan napas panjang untuk kesekian kalinya dan tersenyum kecut. Melakukan hal konyol? Bunuh diri, maksudnya? Kalau saja ia bisa melakukan hal itu sejak awal, mungkin hatinya tak akan sesakit saat ini. Sayangnya, ia terlalu pengecut untuk bunuh diri dan dengan percaya diri lebih memilih untuk menahan rasa sakit, yang pada akhirnya justru akan membunuhnya secara perlahan.

Lee Joon bangkit dari posisi tidurnya dan berjalan ke pantri. Diambilnya sekaleng bir dari lemari es, membuka penutupnya dengan sekali tarik, dan menenggak isinya dengan terburu-buru. Membuat cairan kekuningan lolos dari mulutnya dan menetes ke kemeja putih yang ia kenakan.

“Joon, aku tahu ini sangat berat bagimu. Tapi, bukankah ini keputusan yang kau ambil? Jadi, menyesal sekarang tak ada gunanya. Semuanya sudah terlambat. Kau harus melupakannya dan mengubur dalam-dalam rasa cintamu itu.”

Perkataan Hwang Mi Kyung tadi pagi, sebelum pergi ke upacara pernikahan ibunya, kembali terngiang di telinga Joon.

PRAK!

Joon meletakkan kaleng bir-nya ke meja pantri dengan kasar dan mencengkeram benda itu kuat-kuat. Otot-otot wajahnya mengeras. Sorot matanya memancarkan amarah, kecewa, dan rasa sakit.

Melupakan dan mengubur dalam-dalam rasa cintanya? Apakah hal itu bisa dilakukan dengan mudah, seperti kita membalikkan telapak tangan?

Tidak. Itu tidak mudah. Joon sangat tahu itu.

KLONTANG!!!

Bunyi itu menggema ke seluruh ruangan ketika Joon melemparkan kaleng bir-nya ke lantai. Cairan dari dalam kaleng itu memercik ke mana-mana. Joon kembali mengeluarkan satu kaleng bir dari lemari es, meminum isinya dengan kalap, lalu melemparkannya lagi ke lantai. Ia terus melakukan hal itu hingga kaleng kelima dan kemudian tubuhnya merosot ke lantai, terduduk di sana dengan punggung bersandar ke pintu lemari es. Pandangannya kosong.

“Joon~a[1]! Joon~a!” Itu suara Hwang Mi Kyung. Joon mendengarnya, tetapi ia tidak memedulikan panggilan wanita itu.

“Joon, kau di mana?” Hwang Mi Kyung kembali memanggil disertai bunyi pintu-pintu dibuka dan ditutup kembali dengan kencang.

“Oh, astaga!” Hwang Mi Kyung memekik begitu melihat betapa kacau keadaan adik sepupunya. Wajah wanita berusia tiga puluh tiga tahun itu menegang.

Lee Joon mengangkat kepalanya dan menyunggingkan senyum tipis.

“Kau menemukanku, Noona[2]. Chukhahamnida[3]!” ucapnya dengan suara serak, lalu menutup mata dan tumbang ke lantai.

++++

Miss Rie

Catatan: [1] Oppa: Kakak laki-laki (diucapkan oleh perempuan yang lebih muda) [2]‘~ya’ atau ‘~a’: partikel panggilan untuk orang sebaya atau lebih muda [2] Noona: Kakak perempuan (diucapkan oleh laki-laki yang lebih muda) [3] Chukhahamnida: Selamat! (formal)

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Risna Utami
Ikut sedih. Gak kebanyang kalau aku di posisi Joon 😢
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status