Share

MADU Titipan
MADU Titipan
Penulis: Askama95

Mengancam Burungmu

Suara pintu diketuk berulang kali hingga membangunkanku. Segera kubangkit dari tempat ternyaman itu. Rasanya memang sulit meninggalkan kasur yang empuk kesayanganku.

Mata kukerjapkan. Menguap beberapa kali. Meregangkan ototku yang kaku. Kemudian kupakai sandal jepit agar kakiku tak kedinginan saat bersentuhan dengan lantai keramik.

"Anita, buka Sayang! Mas pulang!" teriak seseorang dari luar. Ia menggedor pintu sangat keras. Hingga memekikkan telinga ini.

“Iya, Mas. Tunggu sebentar!” sahutku dari dalam.

Ya, namaku adalah Anita. Aku seorang ibu rumah tangga biasa. Tapi apakah aku bisa disebut seorang ibu rumah tangga sementara aku tidak akan dikaruniai anak? Kata Dokter sih, aku mandul. Tapi aku masih berharap akan ada keajaiban.

Kuikat rambutku yang terurai dan kemudian membuka kunci serta menurunkan gagang pintu.

Ceklek!

Pintu pun terbuka lebar. Hawa dingin masuk ke dalam rumah dan menusuk sampai ke dalam tulang.

Aku tertegun saat melihat pemandangan yang kurang mengenakkan ini. "Mas, dia siapa?"

Suamiku, Kamal namanya. Ia pagi buta baru pulang ke rumah dan bergandengan dengan seorang wanita yang tengah mengandung. Wanita itu berambut hitam panjang. Ia memakai dress pendek selutut. Kuakui, wanita tersebut jauh lebih cantik dan terlihat lebih muda dariku.

"Mas?" Untuk kedua kalinya aku menegurnya. Akan tetapi Mas Kamal masih saja diam menundukkan kepalanya. Tangannya masih dengan erat menggandeng tangan wanita itu. Entah ia tak sadar, lupa atau bagaimana. Ia tak malu melakukan hal tersebut di hadapanku. Aku cemburu.

Sejenak hening ....

"Aku ... istrinya Mas Kamal," jawab wanita yang kini begitu erat menggenggam tangan suamiku.

Mataku terbelalak. Sejenak telingaku berdenging. "Apa?!" sontak aku terkejut.

"Ma-maksudnya?" Aku benar-benar tak dapat mencerna setiap kata yang telah dilontarkan wanita tadi.

Aku berpikir saat menangkap sebuah kata yang memang sudah menjadi titelku, status yang disandang juga olehku, istri. "Katakan, Mas? Apa itu benar? Apa dia itu istrimu?”

Kutatap lekat suamiku yang baru saja pulang itu. Kutelisik. Kuselediki melalui sorot mata yang selalu kurindukan tersebut.

Mas Kamal tak menghiraukan perkataanku. Seketika tubuhku lemah bak disambar petir. "Kenapa? A-aku ga percaya. Engga. Aku ga percaya... Mas pasti hanya mengaku-ngaku, kan?" Kucoba untuk tak langsung mempercayainya. Menggeleng-gelengkan kepala.

"Lihat ini!" Wanita itu dengan tidak sopan menunjukkan jari manisnya yang dibelenggu oleh cincin emas.

Kutangkis tangan kotor itu sambil menggemeretakkan gigi. "Mas?" Nanarku tertuju pada suamiku, menunggu sebuah jawaban.

"Iya, An. Aku sudah menikahinya," sahut Mas Kamal dengan nada rendahnya. Ia tak berani mengangkat wajahnya hanya sekedar untuk menatapku.

"Ba-bagaimana bisa?" Kulangkahkan kakiku mundur saat Mas Kamal mencoba meraih tangan ini. "Kenapa?" Bibirku gemetar.

"Biar Mas jelaskan, An!" Mas Kamal menyuruhku untuk mendengarkannya. Kami masih berada di lawang pintu.

"Jelaskan apa lagi?!" teriakku. Aku ambeuk ke lantai. Di sana tangisku pecah.

Mas Kamal menghampiri dan berjongkok di hadapanku. "Ini semua bukan kemauanku. Ini semua demi bisnisku," katanya.

"Lalu ... kenapa dia bisa sampai hamil? Jangan mengada-ada, Mas! Sudah jelas berarti kamu sudah lama berhubungan dengannya." Lagi-lagi aku berteriak.

"Jahat! Mas mengkhianatiku!" tambahku.

Begitu hancur hati ini. Rasanya seperti dicabik-cabik. Hatiku remuk. Rasanya sakit, perih bak luka yang berdarah ditaburi garam dan disiram air cuka.

"Engga! Ga mungkin. Mas hanya mencintaimu, ga ada yang lain," sanggah Mas Kamal.

"Diam!" Aku muak.

"Mas ga akan bisa diam jika kamu terus ga percaya dengan apa yang udah Mas bilang," katanya.

Sementara itu, wanita itu seakan sedang menertawakanku. Ia menutup mulut dengan sebelah tangannya.

"Mas hanya akan bersamanya sampai dia melahirkan. Ini semua perintah. Dia adalah simpanan Bosku," jelas Mas Kamal.

"Cincin itu memang dariku, tapi anak itu bukan hasil hubunganku dengannya. Dia simpanan Bosku. Dia hamil karena Bosku. Percayalah!" tutur Mas Kamal, berulang kali menyebut wanita itu simpanan Bosnya.

"Tapi kenapa kamu malah membawanya ke rumah kita, Mas?" Aku tak mengerti jalan pikiran suamiku.

"Entahlah! Bos yang menyuruhku. Aku hanya menuruti perintahnya saja," kata Mas Kamal dengan santainya.

"Mas ...." Aku memanggilnya. Mataku sudah merah berair. Rasanya cairan di hidungku pun sudah tak tertahankan lagi.

"Mas tau ini pasti berat bagimu, tapi Mas juga kasihan padanya. Tidak ada yang mau merawatnya." Mas Kamal begitu peduli padanya.

"Kembalikan, Mas! Kembalikan wanita itu! Pulangkan sekarang juga pada Bosmu, biar dia yang bertanggungjawab!" titahku.

"Engga bisa." Mas Kamal memegang tanganku seolah memohon.

"Kalau begitu, kau pilih mana Mas? Aku atau dia?" Kutunjuk diri ini dan juga wanita itu. Aku menangis lagi. Tidak pernah terpikirkan olehku akan mengeluarkan kata-kata itu.

"Mana bisa seperti itu? Pertanyaan macam apa itu?" Mas Kamal mengusap wajahnya kasar.

"Aku ga sudi, Mas. Aku ga sudi dimadu." Kumenangis sesenggukan.

"Aku memang mandul, Mas. Tapi aku tetap tidak mau dimadu. Jika kau ingin seorang anak, kita bisa mendapatkannya di panti asuhan," ucapku penuh amarah.

Mas Kamal merangkul, memelukku. "Biarlah kita berbaik hati mengurusnya. Bukankah itu yang selalu diajarkan oleh Bapakmu agar harus menolong sesama?"

"Terserah, Mas! Aku akan pergi saja ke rumah Mas Rendi." Aku berontak. Mas Rendi itu Kakak pertamaku. Aku selalu mengadu padanya karena kami, maksudku Mas Rendi dan aku sudah yatim-piatu.

"Anita ... jangan tinggalin, Mas! Dia memang akan satu atap bersama kita, tapi tidak satu ranjang bersamaku. Hatiku hanya milikmu, An!” Mas Kamal menahanku.

"Aku tidak peduli," ucapku sambil menangis dan menutup kedua telingaku.

"Aku janji, An!" ucapnya lagi. Ia memelukku dengan begitu erat.

Kehangatan ini memang jarang aku temui. Aku baru bisa memeluknya hari ini. Jujur saja, aku sangat merindukan suamiku yang menyebalkan ini.

“Nyebelin tapi ngangenin,” batinku. Ya, itulah Mas Kamal yang selalu membuatku meleleh dengan kata-kata manis dan perlakuannya yang baik padaku.

Beberapa menit hingga aku mulai sadar. Mas Kamal menyapu air mataku. Aku pun berkata, "Baiklah. Jika kamu berbohong, aku ga akan segan-segan memotong burungmu, Mas! Pakai silet,” berangku. Ngenes.

Mas Kamal bergidik. "Ih, serem banget kamu, An! Tenanglah! Mas janji, beneran! Suwer tekewer kewer!" ucap Mas Kamal yang membuatku seolah ingin tertawa mendengarnya.

“Sepertinya memang ga ada hubungan apa-apa di antara mereka. Buktinya Mas Kamal nempel banget sama aku. Hihi,” batinku.

“Tapi ... kenapa Mas Kamal sampai mau disuruh menikahinya juga? Kok mau-maunya sih dia begitu?! Harusnya dia nolak, harusnya dia tuh sadar kalau dia sudah punya istri. Aneh.” Pikiranku melayang-layang.

Mas Kamal mengecup puncak kepalaku di hadapan wanita yang sedari tadi melihat pertengkaran kami. Wanita itu terlihat begitu santai dan tidak merasa bersalah sedikitpun. Aku sebal.

“Apa wanita itu ga akan buat masalah?” pikirku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status