Share

Kangen

Penulis: Askama95
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-09 21:14:03
"Mawar masuk!"

Mas Kamal menyuruh wanita yang bernama Mawar itu masuk ke dalam rumah. Ia pun mengantarnya ke kamar yang biasa tamu gunakan.

Sementara itu, aku hanya berdiri sambil memperhatikan gerak-gerik keduanya. Kulihat Mas Kamal membantu Mawar untuk membaringkan tubuhnya. Ia pun menyelimutinya juga.

"Astaga ... sudahlah, Mas! Dia juga 'kan bisa sendiri," dengkusku kesal. Ia begitu perhatiannya kepada wanita yang baru kukenal itu.

"Iya, Sayang. Sebentar," sahut Mas Kamal.

"Ayo kita tidur!" ajaknya padaku. Mas Kamal menggiringku ke kamar. Ia memegang kedua pundakku.

Kami berada di kamar. Mas Kamal berbaring di kasur sedangkan aku duduk bersandar pada bantal.
Sebersit pemikiranku bekerja. Kuolah hingga menjadi sebuah asumsi yang bisa diterima oleh akal sehat orang lain juga.

"Mas, bukannya ga sah ya, kalau nikah sedang dalam keadaan hamil?"

Mas Kamal sejenak berpikir. "Memang iya. Itu hanya formalitas aja. Untungnya keluarga Mawar ga ngerti hal itu,” tutur Mas Kamal yang malah beringsut.

"Jadi ... kamu tenang aja! Pernikahan ini palsu. Engga pernah ada. Sesuai perkataanmu, pernikahan ini ga sah," ucap Mas Kamal penuh tekanan.

"Iya, Mas. Aku jadi lega dengernya." Kubuang nafas panjang seraya mengusap dadaku, melepas keresahan hati.

"Ya udah, Mas tidur duluan, ya? Mas capek!” katanya.

"Iya, Mas." Aku mengangguk dan ikut membaringkan tubuhku di sampingnya.

***

Pagi hari suasana terasa hangat, mungkin karena Mas Kamal memelukku dari tadi. Hehe.

Suara ayam berkokok disusul dengan dentuman bedug seakan saling beriringan. Adzan subuh berkumandang. "Mas bangun! Udah adzan!" Kutepuk-tepuk punggung suamiku pelan.

"Duluan aja! Mas masih ngantuk," ketusnya.

Aku mengernyitkan dahi. "Aneh sekali, tidak biasanya Mas Kamal malas begitu," batinku bertanya-tanya.

Segera kutinggal suamiku yang masih enggan bangun itu, lalu kubasuh apa-apa yang akan membawaku untuk menjalankan perintah-Nya. Kugelar sajadah dan kumulai kewajibanku sebagai seorang muslimah. Kupanjatkan doa yang terbaik untuk kelangsungan kehidupan rumah tanggaku.

Sejenak kulihat Mas Kamal yang masih bergeming. "Ada yang aneh deh sama Mas Kamal!" gumamku.

Aku menggaruk kepalaku yang gatal, tempat kutu bersemayam. "Mmm ... mungkin dia capek. Ya, aku harus ngertilah. Dari Bengkulu ke Bandung ‘kan perjalanannya jauh banget," pikirku.

"Mas Kamal ‘kan ke Bengkulu baru dua bulan, sedangkan kandungan wanita itu kira-kira udah delapan bulanan. Syukurlah, berarti itu juga bukan anak Mas Kamal.” Aku tersenyum lagi. Banyak fakta yang tidak menjurus pada dugaan burukku.

Pukul enam pagi, aku pun keluar untuk membeli gorengan. Aku beli agak banyak karena jumlah penghuni rumahku bertambah. "Kenapa Mas Kamal harus membawa simpanan bosnya ke rumah? Uang belanja 'kan jadinya nambah." Biasa, Ibu-ibu kalau pengeluaran mendadak besar, ya ... mengeluh.

Sebelum perkumpulan ibu-ibu rumpi datang, secepat kilat kuberlari dan menutup pintu dengan rapat.

"Bahaya! Mungkin saja mereka sudah tahu kalau Mas Kamal membawa wanita hamil ke rumahku. Nanti disangka yang aneh-aneh lagi!" Kucoba untuk mengatur nafas. Dadaku kembang-kempis karena berlari terlalu cepat.
Setelahnya lalu kuintip kamar Mawar, ternyata dia masih tidur.

"An!" Tiba-tiba suara yang berat mengagetkanku.

"Astaga!" ucapku, spontan. "Mas Kamal? Ngagetin aja,” kataku pelan.

"Ngapain ngintip-ngintip?" tanyanya.

"Eh?! Engga, Mas. Mmm ... sarapan yuk!" Kualihkan perhatiannya.

Mas Kamal mengangguk. Aku pun pergi ke dapur mengambil piring dan menyajikan gorengan kesukaan suamiku itu. Tak lupa kutuang air dari teko ke dalam gelas.

"An, hari ini tolong kau masak yang banyak, ya?" Mas Kamal berbicara dengan mulutnya yang penuh itu.

Tempe mendoan yang hampir masuk ke dalam mulut pun, seketika mengerem mendadak. "Memangnya ada acara apa, Mas?" tanyaku dengan posisi tangan yang sibuk memegang cabai rawit dan tempe tepung incaranku.

"Bukan acara sih. Gimana, ya ngomongnya? Mmm , jadi gini ... orang tua Mawar mau berkunjung katanya," jelas Mas Kamal.

"Apa?! Ma-maksudku ... kenapa mereka datang kemari?" Aku tentu terkejut.

"Katanya pengen lihat tempat tinggal Mawar." Mas Kamal meneguk segelas air putih karena ia tak menyukai kopi.

"Tapi,mereka–" ucapku tak selesai.

"Udah, cepet belanja aja! Nih duitnya," sosor Mas Kamal yang menyodorkan uang berwarna merah sebanyak dua puluh lembar. Ya, jika kuhitung.

"Mas kamu punya duit sebanyak ini dari mana?" Aku keheranan.

"Itu dari orang tua Mawar," jawab Mas Kamal dengan singkatnya.

"Kok mereka ngasih duit?" Aku tak mengerti.

"Mas juga ga tau." Mas Kamal menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tapi, Mas nerima gitu aja?" tanyaku pada Mas Kamal yang tak tahu malu itu.

"Masa Mas nolak? Rezeki. Udah, ambil! Sisanya bisa kamu pakai buat belanja baju. 'Kan lumayan," titahnya.

"Ya udah, Mas. Aku pergi. Jangan ngelakuin yang aneh-aneh loh sama Mawar!" Aku mengingatkan.

"Ga akan," sahut Mas Kamal.

"Janji?" Aku menunggu kepastian.

"Bawel banget sih istriku ini," gerutunya. Ia cemberut. Aku terkekeh.

Dengan sangat terpaksa, aku pun pergi meninggalkan mereka berdua. Aku pergi ke pasar naik angkutan umum. Kubeli segala sesuatu yang biasa disuguhkan ketika mengadakan syukuran.
Ke sana-kemari aku berjalan hingga lututku terasa lelah. Setelah kurasa sudah cukup, aku pun pulang ke rumah.

Aku berlari dengan menjinjing keranjang belanja yang berat ini. "Aku takut jika terjadi sesuatu antara mereka berdua," celotehku sesaat sebelum membuka pintu rumah.

Kulihat Mas Kamal tidak ada di ruang makan. Kutaruh belanjaanku di sana. Lalu aku pun pergi ke kamar. Ternyata Mas Kamal sedang memakai handuk.

"Mas aku pulang," ucapku.

"Kok ga ngetuk pintu dulu?" tanyanya, mungkin kaget.

"Hehe. Maap, Mas. Aku buru-buru." Aku menutup mata dengan kedua telapak tanganku.

"Terus kenapa matanya ditutup?" tanyanya lagi. Mungkin kini ia sedang menertawakanku.

"Aku masih belum terbiasa, Mas," jawabku malu-malu.

"Aneh banget sih! Kita 'kan nikah udah hampir empat bulan," katanya.

Terdengar suara resleting yang ditarik, berarti suamiku sudah memakai celana.

"Nikah sih empat bulan, tapi dua minggu setelah pernikahan udah ditinggalin. Baru ketemu lagi sekarang," ketusku, agak menjurus ke marah memang. Haha.

"Hmmm ... bilang aja kangen!" godanya.

"Emangnya Mas ga kangen?" tanyaku, masih dalam posisi memejamkan mata di balik tanganku ini.

"Sama dong!" Mas Kamal tiba-tiba memelukku dan membuat mataku terbelalak. Tubuhnya dingin, segar. Semerbak harumnya sabun mandi bisa kuhirup dengan jelas.

"Maapin Mas, ya? Kalau bukan karena pekerjaan ... mana mungkin Mas ninggalin istri kaya kamu," katanya dengan nada yang sendu. Suaranya yang besar membuat jantungku berdebar. Ia mencubit pipiku.

"Ih, Mas Kamal! Sakit tahu! Udah ah, cepetan pake bajunya!" suruhku. Aku bisa melihat dan menyentuh bagian depan tubuhnya yang sudah seperti roti sobek itu.

"Iya, iya. Gimana ... udah belanjanya?" Mas Kamal memakai pakaiannya.

"Udah, Mas. Aku ke dapur dulu, ya?" pamitku padanya seraya berlalu pergi.

“Kenapa juga aku harus repot-repot menjamu mereka?” Aku berjalan dan mengambil keranjang belanjaanku tadi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MADU Titipan   Perang Dingin Masih Berlanjut

    Setelah mendapatkan uang, aku pun segera pergi. Rasanya aku benar-benar ingin terbang menjauh dari orang yang selalu membuatku naik darah itu.Keringat mulai bercucuran. Ya, mungkin ini akibat dari jarangnya aku berolahraga hingga baru berjalan beberapa meter saja, aku sudah terasa sangat kelelahan.“Gorengan ...!”Suara ini begitu bergetar. Aku sempat minum sebelumnya tadi karena tenggorokan ini mulai kering. Indah tampak nyaman dalam gendongan.“Anak pintar,” ucapku sambil terus berjalan.Tanpa disadari, langkah ini ternyata membawaku ke sebuah tempat yang tak asing. Di sana ada mobil dan ada orang yang kini sangat membenciku.“Mas Rendi,” ucapku pelan. Aku berdiri mematung.Mas Rendi pun menghentikan aktivitasnya yang sedang mengelap kendaraan kesayangannya itu. Ia menatap ke arahku. Bukan, maksudku kepada kami, aku dan Indah.Entah kenapa, aku merasa jika hati ini seolah ingin sekali kembali menjalin hub

  • MADU Titipan   Berjualan

    Rasa takut terus menghantui bahkan sampai mendatangiku di alam mimpi. Ya mimpi buruk tentunya. Mimpi di mana ketika aku sudah sangat mencintai dan menyayangi Indah, tiba-tiba saja Mawar mengambilnya. Sungguh jahat.“Untung cuman mimpi,” kataku yang sudah berkeringat panas dan dingin.Kutatap jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku baru ingat jika aku belum makan sejak tadi siang.Kutinggalkan Indah yang tertidur lelap, lalu kupergi ke dapur. Serangan malam seperti ini memang sering terjadi dan aku pun untungnya selalu menyediakan mie instan sebagai ‘jalan jinjaku’.Mie hangat dengan telur. Sebenarnya makanan itu adalah memang makanan favoritku. Ya, itu jadi favorit sesaat setelah Mas Kamal sering pergi. Pergi meninggalkanku tanpa uang sepeser pun. Makanya aku harus irit dan jarang makan royal.Setelah kurasa perutku kenyang, aku pun menonton TV. Sengaja volume-nya pun tak begitu besar karena takut membangunkan Inda

  • MADU Titipan   Biarkan Aku Memilih

    Aku membawa bayi ini menuju ke rumah Mas Rendi. Dengan jantung yang dag-dig-dug tak karuan aku pun masuk. Ternyata Mas Rendi sudah menungguku sambil berkacak pinggang."Anita!" Tentu Mas Rendi akan membentakku seperti itu dan aku sudah sangat siap. Kusimpan tas besar milik bayi ini di atas meja. Tanganku mulai terasa kram."Kenapa kamu ini? Kenapa malah membawa anak itu ke rumah?" Begitupun dengan pertanyaan ini. Aku masih berdiri tak jauh dari pintu sambil mendengarkan apa-apa yang akan dikatakan Kakakku.Kutatap saja matanya. "Kenapa, Mas? Apa tidak boleh?" Padahal aku pun sudah sangat tahu apa yang akan dikatakannya."Sudah jelas tadi Mas ngelarang!" katanya masih dengan nada yang memekikkan telingaku."Tapi, Mas--" Pandangan mataku kini beralih pada si bayi. Kutatap nanarnya yang begitu berbinar. Menggoda dan menggelitik hatiku agar melindunginya."Udah, Mas ga mau ngurusin adik kaya kamu. Mas ga mau juga terbebani anak haram itu!” kata Ma

  • MADU Titipan   Bayi yang Malang

    Pria itu pun melenggang pergi. Ia pulang dan aku masih merasa jantungku belum bisa berdegup dengan normal. Kututup pintu dan kulihat sepasang suami-istri sudah menunggu. Bersiap untuk menggodaku."Cieeee ....," goda Mas Rendi."Ih, apa sih, Mas?" Aku tersipu malu. Pipiku sudah memerah seperti kepiting rebus.Kami bertiga tertawa bersama. Mbak Rina pun menepuk pundakku. "Mbak lihat ... mereka cocok," katanya."Hahaha. Maen cocok cocok aja si Mbak." Aku tertawa terbahak-bahak.Tok! Tok! Tok!Sekitar sepuluh menit, terdengarlah suara pintu diketuk lagi. "Masa dia balik lagi?" pikirku. Hatiku sudah merasa tak karuan.“Jangan-jangan dia balik lagi, An?!” Mbak Rina menyikut perutku pelan sambil terkikik. Begitu pun dengan suaminya. Mereka terlihat begitu kompak. Bahagia melihat penderitaanku."Cieee ... bukain sana!" suruh Mas Rendi. Ia bahkan sengaja mendorongku.Kurapikan rambutku dan dengan semangat kubuka pintu. Ternyata ...."Mas Kamal?"

  • MADU Titipan   Pria Asing

    Ceklek!"Wa'alaikum salam ...," jawab Mas Rendi sambil membuka pintu.Semua mata mengarah ke arah luar. Aku menatap aneh. "Syukurlah, kukira dia Mas Kamal. Tapi ... dia siapa?" batinku.Mbak Rina tersenyum padaku. Aku tak mengerti maksud dibalik senyum itu. Mas Rendi bergegas menghampiri tamu tersebut."Ah ... Mas Rido? Masuk!" Mas Rendi mempersilakan orang asing itu masuk.Kakakku menyebut pria asing itu dengan nama Rido. Kulihat wajahnya memang tampan. Seperti Mas Kamal, dia juga berjanggut dan berkumis tipis. Ia memakai kemeja putih, dengan jas menggantung di lengannya. "Apa dia seorang Bos?" pikirku."Silakan duduk!" titah Mas Rendi. Sementara itu, aku dan Mbak Rina masih berdiri berdampingan seperti sedang mengantre pembagian sembako."Terima kasih, Mas," sahut Rido. Ia pun duduk di sofa tempatku menangis dulu. Ya, tentu saja aku masih ingat.Mas Rendi menatap ke arah kami berdua. Katanya, "Kok malah bengong?! Ambilin air! Masa

  • MADU Titipan   Dilema

    "Hahahahaha ...." Serentak semua tertawa. Ya, menertawakanku."Ya iyalah. Itu kan memang anaknya," ucap Pak Yanto."Mas??" Mataku berkaca-kaca dan segeralah aku berlari keluar. Kupinjam telepon rumah sakit dan mencoba menghubungi Mas Rendi."Mas jemput aku di rumah sakit Bintari!" ucapku di telepon.Setelahnya kututup sambungan telepon itu dan menunggu di bibir pintu masuk rumah sakit. Rasanya aku ingin segera pergi jauh dari tempat ini. Malu.Akan tetapi, tiba-tiba Mas Kamal memelukku dari belakang. "Percayalah! Dia bukan anakku," bisiknya.Aku terkejut. Sejenak aku terdiam. "Lepasin, Mas!" pekikku. Aku sudah menyingkirkan rasa malu ini. Aku berteriak.Namun, Mas Kamal tak menyerah. Ia tak hilang akal dan malah membawaku ke tempat parkir. Di sana memang agak sepi."Udah jelas-jelas wajahnya aja mirip kamu, Mas. Pokoknya aku minta kita cerai. Pisah!" tegasku."Ga. Ga akan. Mas ga mau, An!" Mas Kamal menarik pinggangku. Merangkul tubuhku. Kupaling

  • MADU Titipan   Ananknya Mirip Kamu Mas!

    Kasih saran ya readers! Supaya ceritaku berkembang. Terima kasih~Happy reading~***"Engga. Aku ga mau masuk. Biarin aja! Toh biasanya juga ada perawat di sana," tolakku.Setahuku pasti selalu ada seorang asisten yang akan membantu Dokter atau Bidan untuk menghadapi proses persalinan.Pak Yanto menatapku dengan penuh kekecewaan. Alisnya turun. Matanya berkaca-kaca. Ia menghempaskan tanganku kasar."Ya Tuhan ... dasar wanita jahat!" katanya. Ia bisa dengan mudahnya menilai seseorang.“Kamu sampe ga mau nolongin kaya gitu. Kamu wanita! Tapi kamu ga ngerti keadaan mendesak kaya gini? Ga punya hati banget! Kenapa bisa Kamal sampe menikahi wanita sejahat dirimu? Kamu pasti maen pelet, kan?!” tuduh Pak Yanto.“Sembarangan! Maaf ya, Pak. Bapak memang boleh marah dan kecewa karena aku ga bantuin Bapak. Tapi, Bapak ga usah dan ga perlu ngomong kaya gitu. Nuduh kaya gitu!” berangku sambil menunjuk wajah Pak

  • MADU Titipan   Kejadian Tak Terduga

    “Tapi ... nyatanya dugaanku salah.”POV KAMAL end***Aku mendengarkan apa yang diceritakan Mas Kamal dengan saksama. Sungguh aku merasa benar-benar telah dibohongi. Aku sangat geram. Jika diperkenankan aku ingin sekali meludah di wajahnya. Jika di dunia ini tidak ada istilah hukum, aku ingin sekali membunuhnya, menghabisi nyawanya sekarang juga. Namun, sayangnya aku masih dalam kondisi sadar. Hingga keinginanku yang bisa saja kulakukan masih bisa ditahan."Lalu maksudmu, itu anak siapa?" tanya Mas Rendi."Aku ga tahu." Mas Kamal menggeleng-gelengkan kepalanya."Ya ... itu anakmu dong, Mas!" ucapku begitu lantangnya sambil berkacak pinggang. Dadaku terasa sesak."Mas ...!"

  • MADU Titipan   Kamal yang Bodoh

    POV KAMALPagi itu aku pergi bersama Bos Zenal. Ya, aku selalu ikut bersamanya karena aku bekerja sebagai sopir pribadinya. Kukendarai mobil mahal ini menuju ke sebuah hotel bintang lima."Berhenti di sini! Kita tunggu sebentar," titah Bos.Kuhentikan laju mobil di bahu jalan. "Memangnya ada apa Bos?" Aku ingin tahu, padahal harusnya aku sudah tahu jika ia sedang menunggu wanita pesanannya. Bosku memang suka jajan."Kamu banyak nanya, kaya yang belum kenal saya saja! Hahaha,” jawab Bos seraya menengok ke kanan dan ke kiri. Menatap kendaraan yang melintas."Maap, Bos."Beberapa menit kami menunggu, akhirnya datang sebuah mobil angkutan umum dan berhenti di ujung jalan.Lalu keluarlah seorang wanita. Ia menggunakan pakaian yang begitu seksi. Mataku sampai tak mampu berkedip melihat lekuk tubuhnya. Kulihat dari ujung kaki sampai ....Saat kulihat wajahnya. Ia nampak tak begitu asing bagiku. "Mawar?" sebu

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status