Home / Romansa / MADU Titipan / Mengancam Burungmu

Share

MADU Titipan
MADU Titipan
Author: Askama95

Mengancam Burungmu

Author: Askama95
last update Last Updated: 2021-04-09 21:11:53
Suara pintu diketuk berulang kali hingga membangunkanku. Segera kubangkit dari tempat ternyaman itu. Rasanya memang sulit meninggalkan kasur yang empuk kesayanganku.

Mata kukerjapkan. Menguap beberapa kali. Meregangkan ototku yang kaku. Kemudian kupakai sandal jepit agar kakiku tak kedinginan saat bersentuhan dengan lantai keramik.

"Anita, buka Sayang! Mas pulang!" teriak seseorang dari luar. Ia menggedor pintu sangat keras. Hingga memekikkan telinga ini.

“Iya, Mas. Tunggu sebentar!” sahutku dari dalam.

Ya, namaku adalah Anita. Aku seorang ibu rumah tangga biasa. Tapi apakah aku bisa disebut seorang ibu rumah tangga sementara aku tidak akan dikaruniai anak? Kata Dokter sih, aku mandul. Tapi aku masih berharap akan ada keajaiban.

Kuikat rambutku yang terurai dan kemudian membuka kunci serta menurunkan gagang pintu.

Ceklek!

Pintu pun terbuka lebar. Hawa dingin masuk ke dalam rumah dan menusuk sampai ke dalam tulang.

Aku tertegun saat melihat pemandangan yang kurang mengenakkan ini. "Mas, dia siapa?"

Suamiku, Kamal namanya. Ia pagi buta baru pulang ke rumah dan bergandengan dengan seorang wanita yang tengah mengandung. Wanita itu berambut hitam panjang. Ia memakai dress pendek selutut. Kuakui, wanita tersebut jauh lebih cantik dan terlihat lebih muda dariku.

"Mas?" Untuk kedua kalinya aku menegurnya. Akan tetapi Mas Kamal masih saja diam menundukkan kepalanya. Tangannya masih dengan erat menggandeng tangan wanita itu. Entah ia tak sadar, lupa atau bagaimana. Ia tak malu melakukan hal tersebut di hadapanku. Aku cemburu.

Sejenak hening ....

"Aku ... istrinya Mas Kamal," jawab wanita yang kini begitu erat menggenggam tangan suamiku.

Mataku terbelalak. Sejenak telingaku berdenging. "Apa?!" sontak aku terkejut.

"Ma-maksudnya?" Aku benar-benar tak dapat mencerna setiap kata yang telah dilontarkan wanita tadi.

Aku berpikir saat menangkap sebuah kata yang memang sudah menjadi titelku, status yang disandang juga olehku, istri. "Katakan, Mas? Apa itu benar? Apa dia itu istrimu?”

Kutatap lekat suamiku yang baru saja pulang itu. Kutelisik. Kuselediki melalui sorot mata yang selalu kurindukan tersebut.

Mas Kamal tak menghiraukan perkataanku. Seketika tubuhku lemah bak disambar petir. "Kenapa? A-aku ga percaya. Engga. Aku ga percaya... Mas pasti hanya mengaku-ngaku, kan?" Kucoba untuk tak langsung mempercayainya. Menggeleng-gelengkan kepala.

"Lihat ini!" Wanita itu dengan tidak sopan menunjukkan jari manisnya yang dibelenggu oleh cincin emas.

Kutangkis tangan kotor itu sambil menggemeretakkan gigi. "Mas?" Nanarku tertuju pada suamiku, menunggu sebuah jawaban.

"Iya, An. Aku sudah menikahinya," sahut Mas Kamal dengan nada rendahnya. Ia tak berani mengangkat wajahnya hanya sekedar untuk menatapku.

"Ba-bagaimana bisa?" Kulangkahkan kakiku mundur saat Mas Kamal mencoba meraih tangan ini. "Kenapa?" Bibirku gemetar.

"Biar Mas jelaskan, An!" Mas Kamal menyuruhku untuk mendengarkannya. Kami masih berada di lawang pintu.

"Jelaskan apa lagi?!" teriakku. Aku ambeuk ke lantai. Di sana tangisku pecah.

Mas Kamal menghampiri dan berjongkok di hadapanku. "Ini semua bukan kemauanku. Ini semua demi bisnisku," katanya.

"Lalu ... kenapa dia bisa sampai hamil? Jangan mengada-ada, Mas! Sudah jelas berarti kamu sudah lama berhubungan dengannya." Lagi-lagi aku berteriak.

"Jahat! Mas mengkhianatiku!" tambahku.

Begitu hancur hati ini. Rasanya seperti dicabik-cabik. Hatiku remuk. Rasanya sakit, perih bak luka yang berdarah ditaburi garam dan disiram air cuka.

"Engga! Ga mungkin. Mas hanya mencintaimu, ga ada yang lain," sanggah Mas Kamal.

"Diam!" Aku muak.

"Mas ga akan bisa diam jika kamu terus ga percaya dengan apa yang udah Mas bilang," katanya.

Sementara itu, wanita itu seakan sedang menertawakanku. Ia menutup mulut dengan sebelah tangannya.

"Mas hanya akan bersamanya sampai dia melahirkan. Ini semua perintah. Dia adalah simpanan Bosku," jelas Mas Kamal.

"Cincin itu memang dariku, tapi anak itu bukan hasil hubunganku dengannya. Dia simpanan Bosku. Dia hamil karena Bosku. Percayalah!" tutur Mas Kamal, berulang kali menyebut wanita itu simpanan Bosnya.

"Tapi kenapa kamu malah membawanya ke rumah kita, Mas?" Aku tak mengerti jalan pikiran suamiku.

"Entahlah! Bos yang menyuruhku. Aku hanya menuruti perintahnya saja," kata Mas Kamal dengan santainya.

"Mas ...." Aku memanggilnya. Mataku sudah merah berair. Rasanya cairan di hidungku pun sudah tak tertahankan lagi.

"Mas tau ini pasti berat bagimu, tapi Mas juga kasihan padanya. Tidak ada yang mau merawatnya." Mas Kamal begitu peduli padanya.

"Kembalikan, Mas! Kembalikan wanita itu! Pulangkan sekarang juga pada Bosmu, biar dia yang bertanggungjawab!" titahku.

"Engga bisa." Mas Kamal memegang tanganku seolah memohon.

"Kalau begitu, kau pilih mana Mas? Aku atau dia?" Kutunjuk diri ini dan juga wanita itu. Aku menangis lagi. Tidak pernah terpikirkan olehku akan mengeluarkan kata-kata itu.

"Mana bisa seperti itu? Pertanyaan macam apa itu?" Mas Kamal mengusap wajahnya kasar.

"Aku ga sudi, Mas. Aku ga sudi dimadu." Kumenangis sesenggukan.

"Aku memang mandul, Mas. Tapi aku tetap tidak mau dimadu. Jika kau ingin seorang anak, kita bisa mendapatkannya di panti asuhan," ucapku penuh amarah.

Mas Kamal merangkul, memelukku. "Biarlah kita berbaik hati mengurusnya. Bukankah itu yang selalu diajarkan oleh Bapakmu agar harus menolong sesama?"

"Terserah, Mas! Aku akan pergi saja ke rumah Mas Rendi." Aku berontak. Mas Rendi itu Kakak pertamaku. Aku selalu mengadu padanya karena kami, maksudku Mas Rendi dan aku sudah yatim-piatu.

"Anita ... jangan tinggalin, Mas! Dia memang akan satu atap bersama kita, tapi tidak satu ranjang bersamaku. Hatiku hanya milikmu, An!” Mas Kamal menahanku.

"Aku tidak peduli," ucapku sambil menangis dan menutup kedua telingaku.

"Aku janji, An!" ucapnya lagi. Ia memelukku dengan begitu erat.

Kehangatan ini memang jarang aku temui. Aku baru bisa memeluknya hari ini. Jujur saja, aku sangat merindukan suamiku yang menyebalkan ini.

“Nyebelin tapi ngangenin,” batinku. Ya, itulah Mas Kamal yang selalu membuatku meleleh dengan kata-kata manis dan perlakuannya yang baik padaku.

Beberapa menit hingga aku mulai sadar. Mas Kamal menyapu air mataku. Aku pun berkata, "Baiklah. Jika kamu berbohong, aku ga akan segan-segan memotong burungmu, Mas! Pakai silet,” berangku. Ngenes.

Mas Kamal bergidik. "Ih, serem banget kamu, An! Tenanglah! Mas janji, beneran! Suwer tekewer kewer!" ucap Mas Kamal yang membuatku seolah ingin tertawa mendengarnya.

“Sepertinya memang ga ada hubungan apa-apa di antara mereka. Buktinya Mas Kamal nempel banget sama aku. Hihi,” batinku.

“Tapi ... kenapa Mas Kamal sampai mau disuruh menikahinya juga? Kok mau-maunya sih dia begitu?! Harusnya dia nolak, harusnya dia tuh sadar kalau dia sudah punya istri. Aneh.” Pikiranku melayang-layang.

Mas Kamal mengecup puncak kepalaku di hadapan wanita yang sedari tadi melihat pertengkaran kami. Wanita itu terlihat begitu santai dan tidak merasa bersalah sedikitpun. Aku sebal.

“Apa wanita itu ga akan buat masalah?” pikirku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MADU Titipan   Perang Dingin Masih Berlanjut

    Setelah mendapatkan uang, aku pun segera pergi. Rasanya aku benar-benar ingin terbang menjauh dari orang yang selalu membuatku naik darah itu.Keringat mulai bercucuran. Ya, mungkin ini akibat dari jarangnya aku berolahraga hingga baru berjalan beberapa meter saja, aku sudah terasa sangat kelelahan.“Gorengan ...!”Suara ini begitu bergetar. Aku sempat minum sebelumnya tadi karena tenggorokan ini mulai kering. Indah tampak nyaman dalam gendongan.“Anak pintar,” ucapku sambil terus berjalan.Tanpa disadari, langkah ini ternyata membawaku ke sebuah tempat yang tak asing. Di sana ada mobil dan ada orang yang kini sangat membenciku.“Mas Rendi,” ucapku pelan. Aku berdiri mematung.Mas Rendi pun menghentikan aktivitasnya yang sedang mengelap kendaraan kesayangannya itu. Ia menatap ke arahku. Bukan, maksudku kepada kami, aku dan Indah.Entah kenapa, aku merasa jika hati ini seolah ingin sekali kembali menjalin hub

  • MADU Titipan   Berjualan

    Rasa takut terus menghantui bahkan sampai mendatangiku di alam mimpi. Ya mimpi buruk tentunya. Mimpi di mana ketika aku sudah sangat mencintai dan menyayangi Indah, tiba-tiba saja Mawar mengambilnya. Sungguh jahat.“Untung cuman mimpi,” kataku yang sudah berkeringat panas dan dingin.Kutatap jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku baru ingat jika aku belum makan sejak tadi siang.Kutinggalkan Indah yang tertidur lelap, lalu kupergi ke dapur. Serangan malam seperti ini memang sering terjadi dan aku pun untungnya selalu menyediakan mie instan sebagai ‘jalan jinjaku’.Mie hangat dengan telur. Sebenarnya makanan itu adalah memang makanan favoritku. Ya, itu jadi favorit sesaat setelah Mas Kamal sering pergi. Pergi meninggalkanku tanpa uang sepeser pun. Makanya aku harus irit dan jarang makan royal.Setelah kurasa perutku kenyang, aku pun menonton TV. Sengaja volume-nya pun tak begitu besar karena takut membangunkan Inda

  • MADU Titipan   Biarkan Aku Memilih

    Aku membawa bayi ini menuju ke rumah Mas Rendi. Dengan jantung yang dag-dig-dug tak karuan aku pun masuk. Ternyata Mas Rendi sudah menungguku sambil berkacak pinggang."Anita!" Tentu Mas Rendi akan membentakku seperti itu dan aku sudah sangat siap. Kusimpan tas besar milik bayi ini di atas meja. Tanganku mulai terasa kram."Kenapa kamu ini? Kenapa malah membawa anak itu ke rumah?" Begitupun dengan pertanyaan ini. Aku masih berdiri tak jauh dari pintu sambil mendengarkan apa-apa yang akan dikatakan Kakakku.Kutatap saja matanya. "Kenapa, Mas? Apa tidak boleh?" Padahal aku pun sudah sangat tahu apa yang akan dikatakannya."Sudah jelas tadi Mas ngelarang!" katanya masih dengan nada yang memekikkan telingaku."Tapi, Mas--" Pandangan mataku kini beralih pada si bayi. Kutatap nanarnya yang begitu berbinar. Menggoda dan menggelitik hatiku agar melindunginya."Udah, Mas ga mau ngurusin adik kaya kamu. Mas ga mau juga terbebani anak haram itu!” kata Ma

  • MADU Titipan   Bayi yang Malang

    Pria itu pun melenggang pergi. Ia pulang dan aku masih merasa jantungku belum bisa berdegup dengan normal. Kututup pintu dan kulihat sepasang suami-istri sudah menunggu. Bersiap untuk menggodaku."Cieeee ....," goda Mas Rendi."Ih, apa sih, Mas?" Aku tersipu malu. Pipiku sudah memerah seperti kepiting rebus.Kami bertiga tertawa bersama. Mbak Rina pun menepuk pundakku. "Mbak lihat ... mereka cocok," katanya."Hahaha. Maen cocok cocok aja si Mbak." Aku tertawa terbahak-bahak.Tok! Tok! Tok!Sekitar sepuluh menit, terdengarlah suara pintu diketuk lagi. "Masa dia balik lagi?" pikirku. Hatiku sudah merasa tak karuan.“Jangan-jangan dia balik lagi, An?!” Mbak Rina menyikut perutku pelan sambil terkikik. Begitu pun dengan suaminya. Mereka terlihat begitu kompak. Bahagia melihat penderitaanku."Cieee ... bukain sana!" suruh Mas Rendi. Ia bahkan sengaja mendorongku.Kurapikan rambutku dan dengan semangat kubuka pintu. Ternyata ...."Mas Kamal?"

  • MADU Titipan   Pria Asing

    Ceklek!"Wa'alaikum salam ...," jawab Mas Rendi sambil membuka pintu.Semua mata mengarah ke arah luar. Aku menatap aneh. "Syukurlah, kukira dia Mas Kamal. Tapi ... dia siapa?" batinku.Mbak Rina tersenyum padaku. Aku tak mengerti maksud dibalik senyum itu. Mas Rendi bergegas menghampiri tamu tersebut."Ah ... Mas Rido? Masuk!" Mas Rendi mempersilakan orang asing itu masuk.Kakakku menyebut pria asing itu dengan nama Rido. Kulihat wajahnya memang tampan. Seperti Mas Kamal, dia juga berjanggut dan berkumis tipis. Ia memakai kemeja putih, dengan jas menggantung di lengannya. "Apa dia seorang Bos?" pikirku."Silakan duduk!" titah Mas Rendi. Sementara itu, aku dan Mbak Rina masih berdiri berdampingan seperti sedang mengantre pembagian sembako."Terima kasih, Mas," sahut Rido. Ia pun duduk di sofa tempatku menangis dulu. Ya, tentu saja aku masih ingat.Mas Rendi menatap ke arah kami berdua. Katanya, "Kok malah bengong?! Ambilin air! Masa

  • MADU Titipan   Dilema

    "Hahahahaha ...." Serentak semua tertawa. Ya, menertawakanku."Ya iyalah. Itu kan memang anaknya," ucap Pak Yanto."Mas??" Mataku berkaca-kaca dan segeralah aku berlari keluar. Kupinjam telepon rumah sakit dan mencoba menghubungi Mas Rendi."Mas jemput aku di rumah sakit Bintari!" ucapku di telepon.Setelahnya kututup sambungan telepon itu dan menunggu di bibir pintu masuk rumah sakit. Rasanya aku ingin segera pergi jauh dari tempat ini. Malu.Akan tetapi, tiba-tiba Mas Kamal memelukku dari belakang. "Percayalah! Dia bukan anakku," bisiknya.Aku terkejut. Sejenak aku terdiam. "Lepasin, Mas!" pekikku. Aku sudah menyingkirkan rasa malu ini. Aku berteriak.Namun, Mas Kamal tak menyerah. Ia tak hilang akal dan malah membawaku ke tempat parkir. Di sana memang agak sepi."Udah jelas-jelas wajahnya aja mirip kamu, Mas. Pokoknya aku minta kita cerai. Pisah!" tegasku."Ga. Ga akan. Mas ga mau, An!" Mas Kamal menarik pinggangku. Merangkul tubuhku. Kupaling

  • MADU Titipan   Ananknya Mirip Kamu Mas!

    Kasih saran ya readers! Supaya ceritaku berkembang. Terima kasih~Happy reading~***"Engga. Aku ga mau masuk. Biarin aja! Toh biasanya juga ada perawat di sana," tolakku.Setahuku pasti selalu ada seorang asisten yang akan membantu Dokter atau Bidan untuk menghadapi proses persalinan.Pak Yanto menatapku dengan penuh kekecewaan. Alisnya turun. Matanya berkaca-kaca. Ia menghempaskan tanganku kasar."Ya Tuhan ... dasar wanita jahat!" katanya. Ia bisa dengan mudahnya menilai seseorang.“Kamu sampe ga mau nolongin kaya gitu. Kamu wanita! Tapi kamu ga ngerti keadaan mendesak kaya gini? Ga punya hati banget! Kenapa bisa Kamal sampe menikahi wanita sejahat dirimu? Kamu pasti maen pelet, kan?!” tuduh Pak Yanto.“Sembarangan! Maaf ya, Pak. Bapak memang boleh marah dan kecewa karena aku ga bantuin Bapak. Tapi, Bapak ga usah dan ga perlu ngomong kaya gitu. Nuduh kaya gitu!” berangku sambil menunjuk wajah Pak

  • MADU Titipan   Kejadian Tak Terduga

    “Tapi ... nyatanya dugaanku salah.”POV KAMAL end***Aku mendengarkan apa yang diceritakan Mas Kamal dengan saksama. Sungguh aku merasa benar-benar telah dibohongi. Aku sangat geram. Jika diperkenankan aku ingin sekali meludah di wajahnya. Jika di dunia ini tidak ada istilah hukum, aku ingin sekali membunuhnya, menghabisi nyawanya sekarang juga. Namun, sayangnya aku masih dalam kondisi sadar. Hingga keinginanku yang bisa saja kulakukan masih bisa ditahan."Lalu maksudmu, itu anak siapa?" tanya Mas Rendi."Aku ga tahu." Mas Kamal menggeleng-gelengkan kepalanya."Ya ... itu anakmu dong, Mas!" ucapku begitu lantangnya sambil berkacak pinggang. Dadaku terasa sesak."Mas ...!"

  • MADU Titipan   Kamal yang Bodoh

    POV KAMALPagi itu aku pergi bersama Bos Zenal. Ya, aku selalu ikut bersamanya karena aku bekerja sebagai sopir pribadinya. Kukendarai mobil mahal ini menuju ke sebuah hotel bintang lima."Berhenti di sini! Kita tunggu sebentar," titah Bos.Kuhentikan laju mobil di bahu jalan. "Memangnya ada apa Bos?" Aku ingin tahu, padahal harusnya aku sudah tahu jika ia sedang menunggu wanita pesanannya. Bosku memang suka jajan."Kamu banyak nanya, kaya yang belum kenal saya saja! Hahaha,” jawab Bos seraya menengok ke kanan dan ke kiri. Menatap kendaraan yang melintas."Maap, Bos."Beberapa menit kami menunggu, akhirnya datang sebuah mobil angkutan umum dan berhenti di ujung jalan.Lalu keluarlah seorang wanita. Ia menggunakan pakaian yang begitu seksi. Mataku sampai tak mampu berkedip melihat lekuk tubuhnya. Kulihat dari ujung kaki sampai ....Saat kulihat wajahnya. Ia nampak tak begitu asing bagiku. "Mawar?" sebu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status