“Eh ... ya ampun?!” Sonya dengan cepat berjongkok saat menyadari kalau tetangganya itu tahu kalau dirinya sedang memperhatikan tetangganya.
Sonya dengan cepat menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya, rasa malu karena ketahuan sedang mengintip tetangganya langsung Sonya rasakan. “Ya ... ampun, Sonya, ngapain kamu ngintip, sih?” Sonya menjulurkan kepalanya untuk melihat kembali tetangga barunya itu dari balik jendela.
Deg!
Dengan cepat Sonya menyembunyikan kepalanya lagi saat melihat kalau tetangganya itu sedang tersenyum pada dirinya dan melambaikan tangan pada Sonya. “Ya ... ampun, Sonya.”
Sonya memutar tubuhnya dan duduk di lantai sembari mengipasi wajahnya yang panas dan memerah karena merasa malu akibat ketahuan mengintip tetangga barunya itu. Sonya menggigit jempolnya untuk menenangkan dirinya.
“Kamu, kenapa harus ngintip, sih, Sonya?” tanya Sonya pada dirinya sendiri yang bingung de
"Mampus ...," bisik Sonya pelan, saking pelannya Sonya yakin kalau hanya semut yang bisa mendengar dirinya mengumpat."Dok, kertasnya," ucap Awan sembari berjongkok dan mengambil kertas-kertas yang jatuh ke lantai kemudian menyerahkannya ke tangan Sonya."Oh, iya, terima kasih. Maaf saya permisi, masih ada operasi," ungkap Sonya sembari berbalik namun, naas saat Sonya berjalan ke arah pintu kepalanya tertabrak daun pintu yang tidak Lidya tutup ke
Sonya berjalan ke arah kotak obat-obatan yang ada di ruangannya, memeriksa persediaan obat-obat anestesi yang kebanyakan masuk ke dalam katagori NAPZA hingga beberapa obat itu disimpan di dalam lemari yang terkunci rapat di ruangan milik Sonya dan diawasi ketat oleh pihak rumah sakit.Tok ... tok ... tok ...."Masuk," ucap Sonya sembari melirik ke arah pintu."Maap Dok, boleh saya masuk?" tanya Awan.Deg!Jantung Sonya berdetak lebih cepat dari bisanya saat melihat senyuman Awan dan bahkan dari jarak sejauh ini Sonya sudah bisa mencium aroma tubuh Awan yang mengingatkannya dengan wangi laut."Dokter, boleh saya masuk?" ulang Awan yang ragu untuk masuk ke ruangan Dokter Sonya y
Sonya memanjangkan lehernya saat akan berjalan di lorong rumah sakit, dia sama sekali tidak mau bertemu dengan Awan. Fakta bila Awan sudah mengetahui mereka bertetangga membuat Sonya ketar ketir. Hampir seminggu ini Sonya berusaha untuk menjauh sejauh-jauhnya dari Awan.Merasa sudah aman Sonya berjalan ke arah ruangannya, saat sudah sampai Sonya menyimpan semua barangnya termasuk menanggalkan snelli-nya, entah kenapa Sonya merasa sangat kepanasan saat itu hingga akhirnya membuat dirinya hanya mengenakan kemeja satin tipis.
"Kamu kenapa?" tanya Lidya yang kaget melihat betapa nelangsanya Sonya."Aku nggak sanggup lagi kerja di sini, apa aku harus resign?" sahut Sony sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan mengentak-entakkan kakinya ke lantai. Ah ... Sonya tidak sanggup lagi bila harus bertemu Awan, lelaki itu benar-benar mampu membuat Sonya salah tingkat di setiap pertemuannya."Jangan bikin perkara kamu, Sonya, banyak banget yang mendapatkan posisi kamu sekarang. Terus kamu dengan bodohnya ingin resign? Kamu kenapa?" tanya Lidya sembari duduk berhadapan dengan Sonya. Lidya mengeluarkan bekal makan siangnya dan sebuah kantung plastik yang berisikan minuman kesukaan Sonya."Itu apa?" tanya Sonya dengan mata berbinar saat melihat minuman kesukaannya."Itu apa," ejek Lidya dengan mengulan
"Kenapa kamu blokir kartu kredit aku?" Sonya hampir terbahak saat mendengar perkataan suaminya itu, ternyata benar apa yang ia pikirkan kalau Emir baru akan menghubunginya bila berhubungan dengan uang. "Sejak kapan kamu punya kartu kredit, suamiku sayang," ejek Sonya sembari membereskan barang-barangnya karena sudah waktunya pulang, diliriknya jam di dinding yang sudah menunjukkan jam dua belas malam. Sepertinya, operasi jantung tadi benar-benar menyita waktunya. "Sonya dengar, aku butuh kartu kredit itu," ucap Emir dengan suara pelan. "Buat apa? Kamu butuh kartu kredit itu buat apa? Kamu kan punya penghasilan yang nggak pernah aku tahu nominalnya dan nggak pernah kamu kasih juga ke aku, itu semua cukup untuk kamu hidup." Sonya memasukkan dompet ke dalam tas berlogo huruf H
"Eka, aku pulang duluan, yah," ucap Awan sembari melambaikan tangannya."Eh ... kamu udah selesai shift-nya?" tanya Eka yang tidak terima karena ditinggalkan oleh Awan, padahal seingatnya jadwal jaga mereka sama."Udahlah, kan, aku dari pagi, Eka. Lupa kamu?" sahut Awan sembari berjalan meninggalkan Eka,"Wan ... woi, Awan, kalau kamu nggak ikut jaga aku bisa digempur pasien ini. Kamu lupa aku 'bau'?" tanya Eka panik."Itu problem kamu, Eka," jawab Awan yang tidak peduli dengan Eka yang akan dibanjiri pasien karena 'bau' miliknya.Awan tahu kalau Eka yang berjaga malam pasti akan banyak pasien yang datang dan membuat semua nakes (teNAga KESehatan) kewalahan dan akhirnya Eka selalu disebut 'bau' oleh semua rekan sejawatnya. Berbeda dengan Awan yang di setiap waktu jaganya akan jarang datang pasien dan membuat rekan sejawatnya bisa sedikit bersantai hingga memanggil Awan dengan sebutan 'wangi'."Wan ... sumpah, Wan ... tolonglah, aduh ...." Ek
"Mau pulang sama aku?" tanya Awan."Kalau aku pulang sama kamu, kamu nggak bakal mikir aneh-aneh?" Sonya balik bertanya."Mikir aneh apa? Aku hanya nggak suka liat perempuan pulang sendirian di tengah malam. Yah, kecuali kamu ada yang anter, suami kamu mungkin," sahut Awan sembari menatap ujung sepatunya, entah kenapa Awan merasa berat mengatakan kata suami pada Sonya. Andai Sonya belum memiliki suami mungkin saat ini Awan akan mendekati Sonya dengan kecepatan cahaya."Suami?" Sonya ingin tertawa sekeras-kerasnya, suami sialannya itu sama sekali tidak akan memikirkannya lagi. Mungkin Emir akan langsung mengadakan acara pesta bila terjadi sesuatu dengan dirinya. Karena, bila Sonya mati Emir bisa menikahi lonte sialan itu dan mengambil semua harta kekayaan yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil keringatnya sendiri.
"Pelan-pelan, Awan," pekik Sonya saat Awan menjalankan motornya dengan kecepatan yang membuat jantung Sonya berdetak lebih cepat."Ini pelan, Sonya," teriak Awan mengimbangi suara deru angin."Ampun, Awan ... aku masih mau hidup, nggak mau aku ketemu sama malaikat pencabut nyawa sekarang!?" pekik Sonya sembari mengeratkan pelukannya lebih erat lagi di pinggang Awan."Malaikat pencabut nyawanya minder kalau ketemu kamu, Sonya," sahut Awan sembari tersenyum."Mana ada malaikat pencabut nyawa minder? Gimana caranya? Kamu kadang suka ngaco." Sonya mencubit perut Awan yang keras dengan susah payah.Sonya mengelus perut Awan, menikmati setiap inci perut Awan yang hangat di ujung jemarinya, kelopak mata Sonya menutup serapat mungkin untuk menikmati dan membuai fantasi sensualnya."Sonya, besok aku boleh ke rumah kamu?" tanya Awan membuyarkan lamunan Sonya.&n