"Dasar lonte! Muka anak baik-baik, kelakuannya ternyata... Risa... Risa, bikin malu warga di sini! Pergi aja lo dari lingkungan ini!" teriak warga yang terkejut saat mengetahui jika perempuan bernama Risa, anak tunggal dari keluarga sederhana yang sebelumnya, mahasiswi semester tiga jurusan Akuntansi, mendadak membuat heboh lingkungan tempat tinggalnya di kawasan padat penduduk.
Risa menundukan kepala begitu dalam, ia baru saja pulang dari apotek untuk membeli obat. Rasa mual yang melanda dirinya setiap pagi, membuat ia mau tak mau mengkonsumsi obat anti mual, jika tidak, ia tak bisa membantu ibunya menyiapkan dagangan kue basah yang dijajaki di kios dekat pasar milik orang lain.
"Jangan dengerin mereka, biarin aja. Mulutnya nggak bisa dijaga," sinis ibu. Risa berjalan masuk ke dalam rumah, meletakan bungkusan putih, ia mendudukan bokongnya pada kursi meja makan yang warna cat kayunya sudah memudar termakan usia.
"Bapak udah berangkat, Bu?" Risa celingukan, mencari keberadaan lelaki yang melindunginya dan tidak menghakiminya, ia justru sedih karena merasa gagal menjaga putri satu-satunya.
"Udah. Pak Bagas minta diantar ke bandara karena penerbangan ke Belanda jam sepuluh malam nanti, jadi dari jam segini udah harus berangkat. Kamu mau makan lagi? Ibu baru goreng tempe. Besok kita ke puskesmas, ya, periksa kandungannya."
"Nggak usah diperiksa, Bu, nggak papa. Biar aja." Risa beranjak, harum tempe goreng yang baru matang membuat air liurnya memenuhi rongga mulut. Ia tersenyum, saat melihat ada sayur bening bayam juga.
"Nggak boleh gitu. Besok, setelah Ibu pulang taruh kue di toko, kita ke puskesmas. Biasanya dikasih vitamin juga, Ris." Ibu mengaduk adonan kue bolu kukus sambil duduk di lantai beralaskan tikar lipat. Setiap hari, memang itu yang dilakukan ibu, berjualan sepuluh macam kue basah hasil buatannya dan selalu ludes habis. Sudah sepuluh tahun ia lakukan, untuk menambah uang belanja, suaminya bekerja sebagai supir pribadi dari orang kaya di komplek elit tak jauh dari lokasi tempat tinggal.
Bapak bukan orang baru, ia sudah ikut bekerja dengan keluarga Bagas lebih dari tujuh tahun. Menjadi supir kepercayaan juga orang yang diandalkan keluarga majikannya karena bapak cekatan juga rajin.
"Udah, Bu, kapan-kapan aja periksanya, ya. Risa malas keluar rumah." Ia duduk, meletakan piring di atas meja makan, mulai menikmati hidangan sederhana masakan ibunya.
"Kenapa, sih, Ris? Apa Ibu salah, mau tau kondisi kandungan kamu, tau kondisi cucu Ibu?"
"Cucu haram," celetuk Risa yang membuat ibunya geram.
"Kalau begitu, bilang sama Ibu, siapa yang udah hamilin kamu dan lepas tanggung jawab. Tujuannya apa dan kenapa? Apa dia nggak sadar udah bikin masa depan kamu hancur." Kedua mata ibu melotot, Risa diam, ia melanjutkan makan.
"Nah... nggak mau buka suara,'kan, siapa yang udah hamilin kamu. Anak itu nggak salah, Risa. Berhak tumbuh sehat."
"Aib, Bu. Risa nggak mau Ibu dihina orang-orang, cukup Risa aja, Bu." Risa menatap nanar ke ibunya.
Wanita itu menghela napas panjang, "kenapa kamu lebih peduli pikiran dan pendapat orang lain, tapi kamu nggak lakuin hal itu ke orang tuamu." Ibu begitu lekat menatap putrinya yang kembali membisu.
Tak mungkin ia beritahu siapa yang menghamilinya. Risa sendiri marah terhadap dirinya, saat ia diperkosa oleh lelaki itu, ia hanya bisa menangis, tak mencoba membela diri karena ancaman lelaki itu yang akan membahayakan orang tuanya.
"Assalamualaikum, Risa," suara seseorang memanggil. Rumah sederhana itu menjadi tempat tinggalnya sejak ia lahir ke dunia. Rumah kecil dengan kamar dua yang tak banyak barang karena memang tak muat, menjadi satu-satunya harta benda yang dimiliki keluarganya.
"Waalaikumsalam," jawab Risa sambil berjalan keluar.
"Ris, ini, ada soto ayam buat kamu," tangan pria itu terulur menyerahkan plastik putih. Risa menyambut, tersenyum masam seraya mengucapkan terima kasih.
"Aku pulang, ya," pamit pria itu.
"Makasih, Dit.” ucap Risa sambil melangkah masuk ke dalam rumah.
“Siapa? Adit?” tanya ibu. Risa mengangguk seraya meletakan bungkusan ke atas meja makan.
“Adit tau kamu hamil?” lanjut ibu.
“Nggak ngerti. Tau mungkin.” Risa kembali duduk di kursi, niatnya mau membantu ibu membuat adonan kue, namun perutnya sedikit keram hingga ia meringis.
“Keram, Ris?” Ibu beranjak. Ia ke dapur untuk cuci tangan lalu menarik kursi di dekat putrinya, ia mengusap perut Risa yang masih tampak kecil, memang belum jelas terlihat.
“Sabar, ya.” Ibu tersenyum. Risa mengangguk. “Mau seumur hidup kamu merahasiakan siapa Ayah anak ini, Ibu nggak papa. Yang penting kamu jangan gugurin, semakin dosa.”
“Risa diperkosa, Bu, bukan nawarin diri. Tetap dosa?” tanyanya dengan tatapan sendu.
“Ibu juga nggak tau pasti. Yang pasti itu… kamu sabar jalani kehamilan ini, jaga dan nanti setelah lahir, didik dengan benar supaya kuat seperti kamu. Jangan dengerin omongan orang-orang di sini yang ngatain kamu lonte. Harusnya mereka takut omongannya berbalik ke diri sendiri, mereka juga ada anak perempuan.”
Risa mengangguk. Entah mengapa ibunya begitu tampak santai menanggapi kehamilan dirinya. Risa hanya melihat satu kali ibunya menangis saat ia memberi tau dirinya hamil, tapi ia tidak bisa memberitahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya.
Malam semakin larut, Risa yang terlelap di kamar sederhana miliknya mendengar suara ibunya yang sedang bicara dengan bapak. Risa beranjak, berdiri di balik pintu kamar, mencoba menguping pembicaraan kedua orang tuanya.
“Anak Risa nggak akan bisa punya akte kelahiran karena nama Ayah harus tercantum. Gimana, Pak? Nggak mungkin pakai nama Bapak, ‘kan?” lirih ibu. Lalu Risa mendengar isak tangis ibunya yang membuat hatinya sakit, ternyata diam-diam ibu suka menangis tanpa mau terdengar dirinya. Namun malam itu semua berubah, Risa tau kepiluan hati seorang ibu,ia menyandarkan kepala pada dinding kamar. Air matanya luruh.
“Maafin Risa, ampuni Risa, Bu… Pak, demi kalian selamat Risa nggak bisa kasih tau siapa yang udah lakuin ini semua. Risa minta maaf,” gumamnya lalu membekap mulut, takut isak tangisnya terdengar kedua orang tua.
***
“Beli gula pasir setengah kilo aja, Bu,” ucap Risa saat sedang ke warung yang berjarak dua puluh meter dari rumahnya namun harus memutar ke belakang rumah.
“Ini. Risa… kamu beneran hamil? Kamu diperkosa? Tapi kenapa warga di sini bilang kamu lonte? Jual diri karena capek hidup sederhana?” tanya pemilik warung. Risa hanya diam, ia tak mau menjawab.
“Makasih, Bu, ini uangnya, pas, ya.” Ia pergi meninggalkan warung tanpa menjawab pertanyaan tadi. Saat berjalan kembali ke rumah, ia bertemu segerombolan ibu-ibu yang biasa berkumpul saat siang hari. Ngerumpi sana sini.
“Daerah rumah kita jadi ikutan kotor nggak, ya? Ada lonte di sini.” celetuk salah satu wanita.
“Iya, ya. Apa kita usir aja? Lagian heran aja, kalem-kalem gini ternyata murahan. Bikin malu warga di sini, ‘kan?!” sindir yang lainnya. Risa terus berjalan, ia menunduk. Kemudian langkahnya terhalang oleh dua perempuan yang ia tau salah satunya anak dari tetangga dekat rumah.
“Mending lo cabut dari sini, Ris. Bikin contoh nggak baik buat warga remaja di sini. Lo kelihatannya aja diem, kalem, ternyata… luar biasa hebat, sampai jual diri gini. Lonte banget emang lo, ya.” sinis gadis itu.
Risa hanya bisa menghela napas panjang, malas menjelaskan, toh bukan urusan mereka. Kenapa suka mencampuri urusan orang lain? Risa kembali berjalan dengan melewati samping tubuh salah satu gadis yang menghadang. Ia tak acuh, baginya mendengarkan ocehan orang lain yang tak paham kondisinya, sama saja akan membuatnya semakin tersiksa batin.
Tiba di rumah, ia tengah asik mengaduk teh manis. Perutnya ingin mendapat asupan minuman hangat. Susu hamil, ia tak mampu beli, mau minta uang ke bapak ibunya, rasanya tak tega. Baginya, ia cukup berdoa, semua janinnya tumbuh sehat dan sempurna, seorang bayi yang tak minta ada di rahimnya dengan cara yang tak baik.
“Hoekk…” suara Risa muntah-muntah terdengar dari arah kamar mandi. Bapak berjalan cepat, baru saja ia hendak berangkat bekerja ke rumah keluarga kaya raya itu, tapi karena mendengar putrinya yang mual muntah, ia mendahului hal tersebut. “Ris… mual lagi?” tanyanya sambil berdiri di depan pintu kamar mandi. “Iya, Pak, nggak papa, kok. Bapak berangkat aja,” teriaknya dari dalam kamar mandi. “Obat mualnya ada nggak, ‘Nak?” lanjut bapak. “Ada…, Bapak berangkat aja takut telat, nanti, Pak!” teriak Risa lagi. Tapi bapak tetap diam, ia berdiri menunggu putrinya keluar dari kamar mandi. Tak lama, saat Risa berjalan keluar, bapak merangkul bahu putrinya. “Bapak beliin susu Ibu hamil, ya, Nak? Bapak denger itu asupan baik untuk janin.” Mereka berjalan ke arah meja makan. Risa menggelengkan kepala begitu pelan. “Jangan repot-repot, Pak, Risa ada vitamin dari bidan, udah cukup. Nggak usah beli susu.” Baru saja Risa menolak, ibu yang pulang dari toko menyetor kue, datang sambil membawa susu h
“Udah siap, Ris?” tanya ibu saat masuk ke dalam kamar putrinya. Risa mengangguk, ia memakai kaos dan celana panjang yang tak menekan perutnya, usia kandungannya sudah masuk minggu ke delapan namun masih terlihat rata. “Ayo, Bu,” ajak Risa sambil membantu membawa tas berisi kantong plastik. Sementara ibu membawa satu tas bahan super besar yang terisi delapan kotak kue basah. Mereka membawa dengan trolley yang bapak buat sendiri dari kayu dan roda kecil. Hal itu memudahkan ibu membawa ke pasar dengan berjalan kaki yang jaraknya tak kurang dari satu kilometer. Risa dan ibu berjalan santai, banyak pasang mata para tetangga yang mencibir saat mereka lewat, namun keduanya sudah tak peduli dan memilih cuek. Tiba di pasar, Risa segera membereskan meja kayu yang sudah diletakan bapak jam empat pagi, lagi-lagi meja kayu lipat itu bapak yang buat. Penjual es cendol belum datang, Risa sudah memberikan jarak untuk penjual cendol nanti tiba, tak repot saat merapikan dagangannya. “Bu, yang buat
Los dagangan kue Risa dan ibunya semakin hari semakin ramai, bahkan, keduanya sampai kewalahan saat mendadak menerima pesanan kue untuk acara konsumennya. Seperti malam itu, setelah pulang dari pasar pukul dua siang, Risa dan ibu beristirahat sejenak sekedar meluruskan kaki. Namun, tak lama kemudian segera merapikan bahan kue untuk dijual esok hari. “Bu, nggak ada pesanan lagi?” “Ada, Ris. Lumpia isi daging giling. Ini Ibu mau tumis dagingnya. Kamu bikin adonan kulitnya, ya, jangan lupa ditutupi plastik yang udah diolesi minyak biar nggak kering kalau udah jadi semua nantinya.” “Iya, Bu.” Risa beranjak. Ia segera mengambil tepung terigu dan baskom besar. Ruang TV sudah disulap menjadi ruang produksi, bapak yang mengatur supaya anak dan istrinya tak perlu mondar mandir ke dapur untuk membuat kue. Bahkan kompor juga dipindahkan satu ke ruang TV berukuran kecil itu. Risa duduk di kursi meja makan, perutnya sudah membesar, kini sudah memasuki lima bulan usia kehamilannya. Berat badanny
Perut Risa sudah semakin besar, bahkan kini sudah memasuki HPL atau hari perkiraan lahir. Ia tak tau jenis kelamin anaknya apa, tapi tanda-tanda ia akan melahirkan masih belum tampak. Hari itu, ia kembali mendapat lirikan dan cibiran dari tetangga, bapak yang selama ini diam akhirnya bersuara dan meminta para tetangga untuk sabar hingga Risa melahirkan, kemudian ia akan memboyong keluarganya pindah karena rumah satu-satunya juga laku dijual dengan harga murah, terpaksa hal itu dilakukan mengingat lingkungan yang tak sehat dengan perkataan yang terus menghina Risa. Ia sedang berjalan ke toserba yang baru diresmikan, milik Ratu. Risa masuk ke dalamnya, toserba dua tingkat itu menyediakan banyak ragam barang kebutuhan, bahkan hingga ke perlengkapan bayi dan anak. Risa menaiki tangga secara perlahan, di tangan kanannya ia memegang dompet. Ia punya ponsel, tapi tak pernah ia gunakan karena berisi teman-teman kuliahnya yang pasti mencari dirinya. Tiba di lantai dua, ia mendekat ke arah ra
Kelahiran bayi mungil itu disambut suka cita kedua orang tua Risa juga keluarga Koh Liem. Nama sederhana juga sematnya Risa dengan sangat indah, Nadia Faradiba, memiliki arti yang indah dan cantik. Risa belum pulih benar, ia masih harus berada di tempat praktek bidan. Agus berjalan ke meja administrasi, menanyakan berapa biaya melahirkan dan semuanya. Total enam juta rupiah, Agus diam, uangnya hanya ada tiga juga. Ia segera pergi dari sana karena akan berangkat kerja setelah sebelumnya pulang ke rumah untuk mandi dan mengganti pakaian. Setibanya di rumah sakit, ia melihat pria tersebut baru keluar kamar rawat istrinya. “Pagi, Mas,” sapa Agus. “Pagi. Pak Agus kok di sini, bukannya?” “Cucu saya sudah lahir dengan selamat. Hanya Risa yang lemah dan harus tinggal di sana sampai dua atau tiga hari lagi.” “Oh, cucunya laki-laki atau perempuan?” “Perempuan.” jawab Agus. Pria itu diam. Tak bisa berkata-kata apa pun lagi. “Mari, Mas, kita harus jemput Leon di rumah, ‘kan?” ajak Agus. Pri
Risa menggendong bayinya dengan begitu hati-hati saat melewati rumah tetangga di tempat tinggalnya yang baru. Sudah dua minggu ia dan kedua orang tuanya juga bayi Nadia tinggal di sana. Awalnya semua biasa saja namun, perahan muncul suara sumbang yang membuat hati Risa harus semakin memupuk kesabaran. "Risa, dari mana?" tanya tetangga bernama Iin, janda muda anak satu yang berprofesi sebagai pekerja di salon yang ada di pasar. "Dari posyandu, teh, imunisasi Nadia," jawab Risa. "Oh. Kirain cari Bapaknya Nadia, atau coba hubungi. Siapa tau lagi butuh uang, 'kan?" hina Iin. Risa diam, ia terus berjalan dan sesekali melirik ke bayi perempuan dalam gendongannya yang terlapis selimut bayi hadiah dari Weini juga. Risa berjalan hingga ke rumah sederhana yang dibeli bapak. Pria itu kini bekerja sebagai sekuriti di pabrik roti dekat pasar. Sedangkan ibu bekerja di rumah konveksi sebagai penjahit. Ibu memang pandai menjahit dan bikin kue, jika kue, konsumennya sedikit karena rata-rata orang
Nadia sedang duduk menikmati roti di dapur saat Risa memasak sayur terong yang ia goreng lalu membuat sambal. "Enak rotinya, Nad?" tanya Risa sambil membalik terong di dalam wajan. Nadia mengangguk. Ia mengarahkan roti ke Risa. "Buat Nadia aja, Bunda lagi masak buat Bunda makan. Makan yang banyak biar sehat, ya." Risa beralih menanak nasi dalam panci kecil. Ia mengaduk perlahan sambil memantau api pada tungku kayu bakar. Tangannya sudah terbiasa terkena api yang terbang dari sisa pembakaran kayu, bara kecil itu tak pernah absen menyentuh kulit tangannya. Jam menunjukan angka 6, kedua orang tuanya belum kembali dari pasar. Perasaan Risa mulai tak karuan, ia menunggu sambil menatap hidangan sederhana yang tersaji di atas meja. Nadia sendiri asik bermain pinsil dan kertas yang Risa berikan sebagai sarana kreatifitas Nadia. Dua jam berlalu, hingga pintu rumah diketuk. Risa beranjak cepat sambil menggendong Nadia. "Pak Kades," sapanya. "Risa. Bapak ke sini mau kasih kabar. Orang tua ka
Kembali Risa menjalankan aktivitasnya, dan membawa serta Nadia. Rumah sudah ia kunci rapat. Tangannya bersiap menggendong Nadia ke punggungnya, ia menggunakan kain sebagai penyanggahnya. "Nadia ikut Bunda kerja lagi ya, sayang," tuturnya sambil mulai berjalan. Mereka melewati rumah tetangga yang tak lagi nyinyir, tapi berganti dengan tatapan merendahkan. Salah apa Risa, sampai ia harus menelan pil pahit hidup dengan respon tetangga sekejam itu. Langkah Risa terhenti saat ia melihat seseorang dengan sepeda motor berhenti di hadapannya saat ia tiba di jalan raya. "Teh Risa," sapanya. Risa menatap, ia memicingkan kedua mata karena tak tau siapa yang menyapa hingga pria itu membuka kaca helm yang dikenakan. "Dokter Azil?!" Risa memekik. Azil tersenyum. "Mau ke mana?" "Ke kebun sayur. Dokter mau ke Puskesmas?" "Iya. Mari saya antar, Teh." "Nggak usah, saya biasa jalan kaki," tolak Risa sopan. "Nggak papa. Kasihan Nadia, baru sembuh juga, 'kan? Ayo, Teh." Azil memaksa. Risa sempat r