Share

Hamil anak siapa?
Hamil anak siapa?
Penulis: Rianievy

Lonte!

"Dasar lonte! Muka anak baik-baik, kelakuannya ternyata... Risa... Risa, bikin malu warga di sini! Pergi aja lo dari lingkungan ini!" teriak warga yang terkejut saat mengetahui jika perempuan bernama Risa, anak tunggal dari keluarga sederhana yang sebelumnya, mahasiswi semester tiga jurusan Akuntansi, mendadak membuat heboh lingkungan tempat tinggalnya di kawasan padat penduduk.

Risa menundukan kepala begitu dalam, ia baru saja pulang dari apotek untuk membeli obat. Rasa mual yang melanda dirinya setiap pagi, membuat ia mau tak mau mengkonsumsi obat anti mual, jika tidak, ia tak bisa membantu ibunya menyiapkan dagangan kue basah yang dijajaki di kios dekat pasar milik orang lain.

"Jangan dengerin mereka, biarin aja. Mulutnya nggak bisa dijaga," sinis ibu. Risa berjalan masuk ke dalam rumah, meletakan bungkusan putih, ia mendudukan bokongnya pada kursi meja makan yang warna cat kayunya sudah memudar termakan usia.

"Bapak udah berangkat, Bu?" Risa celingukan, mencari keberadaan lelaki yang melindunginya dan tidak menghakiminya, ia justru sedih karena merasa gagal menjaga putri satu-satunya.

"Udah. Pak Bagas minta diantar ke bandara karena penerbangan ke Belanda jam sepuluh malam nanti, jadi dari jam segini udah harus berangkat. Kamu mau makan lagi? Ibu baru goreng tempe. Besok kita ke puskesmas, ya, periksa kandungannya."

"Nggak usah diperiksa, Bu, nggak papa. Biar aja." Risa beranjak, harum tempe goreng yang baru matang membuat air liurnya memenuhi rongga mulut. Ia tersenyum, saat melihat ada sayur bening bayam juga.

"Nggak boleh gitu. Besok, setelah Ibu pulang taruh kue di toko, kita ke puskesmas. Biasanya dikasih vitamin juga, Ris." Ibu mengaduk adonan kue bolu kukus sambil duduk di lantai beralaskan tikar lipat. Setiap hari, memang itu yang dilakukan ibu, berjualan sepuluh macam kue basah hasil buatannya dan selalu ludes habis. Sudah sepuluh tahun ia lakukan, untuk menambah uang belanja, suaminya bekerja sebagai supir pribadi dari orang kaya di komplek elit tak jauh dari lokasi tempat tinggal.

Bapak bukan orang baru, ia sudah ikut bekerja dengan keluarga Bagas lebih dari tujuh tahun. Menjadi supir kepercayaan juga orang yang diandalkan keluarga majikannya karena bapak cekatan juga rajin.

"Udah, Bu, kapan-kapan aja periksanya, ya. Risa malas keluar rumah." Ia duduk, meletakan piring di atas meja makan, mulai menikmati hidangan sederhana masakan ibunya.

"Kenapa, sih, Ris? Apa Ibu salah, mau tau kondisi kandungan kamu, tau kondisi cucu Ibu?"

"Cucu haram," celetuk Risa yang membuat ibunya geram.

"Kalau begitu, bilang sama Ibu, siapa yang udah hamilin kamu dan lepas tanggung jawab. Tujuannya apa dan kenapa? Apa dia nggak sadar udah bikin masa depan kamu hancur." Kedua mata ibu melotot, Risa diam, ia melanjutkan makan.

"Nah... nggak mau buka suara,'kan, siapa yang udah hamilin kamu. Anak itu nggak salah, Risa. Berhak tumbuh sehat."

"Aib, Bu. Risa nggak mau Ibu dihina orang-orang, cukup Risa aja, Bu." Risa menatap nanar ke ibunya.

Wanita itu menghela napas panjang, "kenapa kamu lebih peduli pikiran dan pendapat orang lain, tapi kamu nggak lakuin hal itu ke orang tuamu." Ibu begitu lekat menatap putrinya yang kembali membisu.

Tak mungkin ia beritahu siapa yang menghamilinya. Risa sendiri marah terhadap dirinya, saat ia diperkosa oleh lelaki itu, ia hanya bisa menangis, tak mencoba membela diri karena ancaman lelaki itu yang akan membahayakan orang tuanya.

"Assalamualaikum, Risa," suara seseorang memanggil. Rumah sederhana itu menjadi tempat tinggalnya sejak ia lahir ke dunia. Rumah kecil dengan kamar dua yang tak banyak barang karena memang tak muat, menjadi satu-satunya harta benda yang dimiliki keluarganya.

"Waalaikumsalam," jawab Risa sambil berjalan keluar.

"Ris, ini, ada soto ayam buat kamu," tangan pria itu terulur menyerahkan plastik putih. Risa menyambut, tersenyum masam seraya mengucapkan terima kasih.

"Aku pulang, ya," pamit pria itu.

"Makasih, Dit.” ucap Risa sambil melangkah masuk ke dalam rumah. 

“Siapa? Adit?” tanya ibu. Risa mengangguk seraya meletakan bungkusan ke atas meja makan. 

“Adit tau kamu hamil?” lanjut ibu. 

“Nggak ngerti. Tau mungkin.” Risa kembali duduk di kursi, niatnya mau membantu ibu membuat adonan kue, namun perutnya sedikit keram hingga ia meringis. 

“Keram, Ris?” Ibu beranjak. Ia ke dapur untuk cuci tangan lalu menarik kursi di dekat putrinya, ia mengusap perut Risa yang masih tampak kecil, memang belum jelas terlihat. 

“Sabar, ya.” Ibu tersenyum. Risa mengangguk. “Mau seumur hidup kamu merahasiakan siapa Ayah anak ini, Ibu nggak papa. Yang penting kamu jangan gugurin, semakin dosa.” 

“Risa diperkosa, Bu, bukan nawarin diri. Tetap dosa?” tanyanya dengan tatapan sendu. 

“Ibu juga nggak tau pasti. Yang pasti itu… kamu sabar jalani kehamilan ini, jaga dan nanti setelah lahir, didik dengan benar supaya kuat seperti kamu. Jangan dengerin omongan orang-orang di sini yang ngatain kamu lonte. Harusnya mereka takut omongannya berbalik ke diri sendiri, mereka juga ada anak perempuan.” 

Risa mengangguk. Entah mengapa ibunya begitu tampak santai menanggapi kehamilan dirinya. Risa hanya melihat satu kali ibunya menangis saat ia memberi tau dirinya hamil, tapi ia tidak bisa memberitahu siapa ayah dari bayi yang dikandungnya. 

Malam semakin larut, Risa yang terlelap di kamar sederhana miliknya mendengar suara ibunya yang sedang bicara dengan bapak. Risa beranjak, berdiri di balik pintu kamar, mencoba menguping pembicaraan kedua orang tuanya. 

“Anak Risa nggak akan bisa punya akte kelahiran karena nama Ayah harus tercantum. Gimana, Pak? Nggak mungkin pakai nama Bapak, ‘kan?” lirih ibu. Lalu Risa mendengar isak tangis ibunya yang membuat hatinya sakit, ternyata diam-diam ibu suka menangis tanpa mau terdengar dirinya. Namun malam itu semua berubah, Risa tau kepiluan hati seorang ibu,ia menyandarkan kepala pada dinding kamar. Air matanya luruh. 

“Maafin Risa, ampuni Risa, Bu… Pak, demi kalian selamat Risa nggak bisa kasih tau siapa yang udah lakuin ini semua. Risa minta maaf,” gumamnya lalu membekap mulut, takut isak tangisnya terdengar kedua orang tua. 

***

“Beli gula pasir setengah kilo aja, Bu,” ucap Risa saat sedang ke warung yang berjarak dua puluh meter dari rumahnya namun harus memutar ke belakang rumah. 

“Ini. Risa… kamu beneran hamil? Kamu diperkosa? Tapi kenapa warga di sini bilang kamu lonte? Jual diri karena capek hidup sederhana?” tanya pemilik warung. Risa hanya diam, ia tak mau menjawab. 

“Makasih, Bu, ini uangnya, pas, ya.” Ia pergi meninggalkan warung tanpa menjawab pertanyaan tadi. Saat berjalan kembali ke rumah, ia bertemu segerombolan ibu-ibu yang biasa berkumpul saat siang hari. Ngerumpi sana sini. 

“Daerah rumah kita jadi ikutan kotor nggak, ya? Ada lonte di sini.” celetuk salah satu wanita. 

“Iya, ya. Apa kita usir aja? Lagian heran aja, kalem-kalem gini ternyata murahan. Bikin malu warga di sini, ‘kan?!” sindir yang lainnya. Risa terus berjalan, ia menunduk. Kemudian langkahnya terhalang oleh dua perempuan yang ia tau salah satunya anak dari tetangga dekat rumah. 

“Mending lo cabut dari sini, Ris. Bikin contoh nggak baik buat warga remaja di sini. Lo kelihatannya aja diem, kalem, ternyata… luar biasa hebat, sampai jual diri gini. Lonte banget emang lo, ya.” sinis gadis itu. 

Risa hanya bisa menghela napas panjang, malas menjelaskan, toh bukan urusan mereka. Kenapa suka mencampuri urusan orang lain? Risa kembali berjalan dengan melewati samping tubuh salah satu gadis yang menghadang. Ia tak acuh, baginya mendengarkan ocehan orang lain yang tak paham kondisinya, sama saja akan membuatnya semakin tersiksa batin. 

Tiba di rumah, ia tengah asik mengaduk teh manis. Perutnya ingin mendapat asupan minuman hangat. Susu hamil, ia tak mampu beli, mau minta uang ke bapak ibunya, rasanya tak tega. Baginya, ia cukup berdoa, semua janinnya tumbuh sehat dan sempurna, seorang bayi yang tak minta ada di rahimnya dengan cara yang tak baik. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status